Dia salah seorang ‘anak panah’ (kader) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang siap diluncurkan ke mana saja oleh pemegang busur (Majelis Surya) selaku lembaga tinggi partai. Dia menjadi anak panah ketiga yang menerima estafet kepemimpinan PKS. Tifatul Sembiring dipercaya menjabat Ketua Umum DPP PKS menggantikan dan melanjutkan kepemimpinan Hidayat Nur Wahid yang mengundurkan diri setelah terpilih menjadi Ketua MPR.
Tifatul yang sebelumnya menjabat Ketua DPP PKS Wilayah Dakwah I (Sumatera) dipilih dan dilantik Majelis Surya menjadi Pjs Ketua Umum DPP PKS, Senin 11 Oktober 2004. Pria Batak Karo kelahiran Bukit Tinggi 28 September 1961, melanjutkan kepemimpinan PKS periode 2001-2005. Kemudian dalam Musyawarah Majelis Syuro I Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berlangsung 26-29 Mei di Jakarta, Tifatul terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) periode 2005-2010.
Selain memilih Presiden Partai, Majelis Syuro juga memilih ketua lembaga- lembaga tinggi partai. KH Hilmi Aminuddin menjadi orang nomor satu di PKS sebagai Ketua Majelis Syuro, Surahman Hidayat dipilih sebagai Ketua Dewan Syariah Pusat, Suharna Surapranata sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat, Tifatul Sembiring sebagai Presiden Partai, Muhammad Anis Matta sebagai Sekretaris Jenderal, dan Mahfudz Abdurrahman sebagai Bendahara Umum.
Dalam pidato pertamanya setelah terpilih secara definitif sebagai Presiden PKS, Tifatul mengatakan, proses suksesi kepemimpinan di PKS bisa memberikan contoh bagi pembelajaran politik tentang cara berdemokrasi yang damai. Selain itu, proses suksesi kepemimpinan sebagai peristiwa penting di PKS ternyata bisa dilakukan dalam biaya yang lebih murah dibandingkan dengan pelaksanaan suksesi partai politik pada umumnya.
"Di PKS selalu seru sorong- sorongannya, saling menyilakan maju dan tidak ada kampanye untuk maju memimpin apalagi memakai politik uang," kata Tifatul menjelaskan. Jabatan, bagi Tifatul, merupakan amanah yang pada akhirnya nanti harus dipertanggungjawabkan di padang mashar. "Dengan diamanahkannya beban jabatan ini, saya sendiri mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun," ujarnya.
Tifatul yakin PKS ke depan akan kembali melakukan lompatan besar. Untuk itu butuh kerja keras semua kader partai. Meskipun, tak akan membuat target khusus, tetapi PKS akan berusaha membuat peningkatan perolehan suara. Partai kader yang digandrungi anak muda pencinta hati dan moral bersih ini memberi teladan bahwa para kader partai tidak pantas merangkap jabatan di partai manakala telah dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan pemerintah (publik).
Partai terbuka yang membawa misi moral dan dakwah dalam waktu singkat berhasil melesatkan “anak panah” pertama Nur Mahmudi menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) di era Presiden Abdurrahman Wahid, dan “anak panah” kedua Nur Wahid terpilih menjadi Ketua MPR RI periode tahun 2004-2009.
PKS adalah partai yang mempunyai disiplin kuat membedakan mana hak-hak publik dan mana hak hak partai. Konflik kepentingan dan perangkapan antara jabatan publik dan jabatan partai adalah tabu. Sikap itu pernah segera dibuktikan oleh Nur Mahmudi yang ketika ditunjuk menteri mundur sebagai Presiden PKS, demikian pula Nur Wahid usai terpilih 5 Oktober resmi mundur per 11 Oktober 2004. Untuk sementara Tifatul masih merupakan “anak panah” yang sedang disiapkan oleh sang pemegang “tali busur” untuk suatu ketika dilesatkan kemana saja sesuai kebutuhan partai dan demi kemaslahatan umat.
Dianggap berhasil
Kemunculan Tifatul menjadi pengganti Nur Wahid mengejutkan banyak pihak. Namun bagi Majelis Surya PKS mengetahui track record Tifatul, hal ini bukan mengejutkan. Dia kader yang berhasil menggelontorkan 380 kursi parlemen se-Sumatera ke pada Pemilu Legislatif 5 April 2004 menjadi milik PKS. Dia pula kader yang dipercaya tampil dalam lobi politik sebelum partai ini menjatuhkan pilihan mendukung pasangan SBY-MJK dalam Pilpres putaran kedua, setelah pada Pilpres pertama 5 Juli 2004 mendukung pasangan Amin Rais-Siswono Yudohusodo.
Sebagai Ketua DPP Wilayah Dakwah (Wilda) I Sumatera membawahi 10 propinsi di Pulau Sumatera, dengan mengusung 52.000 kader PKS se-Sumatera Tifatul Sembiring dianggap berhasil meraih total 380 kursi parlemen. Diantaranya, sebanyak 17 kursi di DPR RI Senayan, 57 kursi di DPRD I seluruh propinsi Sumatera, dan sisanya di DPRD II Kabupaten/Kotamadya seluruh Sumatera. Jumlah ini adalah sepertiga dari total 1.112 kursi parlemen di semua tingkatan yang berhasil diraih PKS di seluruh Indonesia.
Perihal lobi politiknya kepada pasangan SBY-MJK, Tifatul mengakui awalnya ia yang didampingi Sekjen PKS Anis Matta berhasil mengadakan komunikasi politik agar pada Pilpres pertama 5 Juli 2004 PKS ada di barisan SBY-MJK. Sayangnya, lobi itu belum bisa diterima segenap pimpinan partai. Sebab terbukti, berdasarkan mekanisme internal organisasi partai, di hari terakhir sebelum masa tenang PKS baru bisa memutuskan sikap politik untuk mendukung Amin Rais-Siswono Yudohusodo. Pasangan ini ternyata tak didukung efektif oleh rakyat kebanyakan sebab hanya menempati urutan keempat perolehan suara di bawah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono Muhammad Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi, dan pasangan Wiranto Salahuddin Wahid.
Komunikasi politik kepada SBY-MJK kembali diteruskan Tifatul. Kali ini, menjelang Pilpres kedua 20 September 2004 yang hanya menyisakan dua pilihan pasangan ia disertai Irwan Prayitno. Hasil lobi lanjutan bisa diterima oleh Majelis Syuro dan pimpinan PKS. Sehingga jauh-jauh hari PKS sudah angkat bendera penuh mendukung pasangan SBY-MJK. Kendati sebagai “penumpang” terakhir kontrak politik yang dibuat Tifatul efektif menguntungkan sekali bagi kedua belah pihak. Dalam kontrak PKS memperoleh beberapa jatah kursi strategis di kabinet.
Pasangan SBY-MJK berhasil meraih suara terbanyak sebagai pemenang Pemilu. Sebagai the ruling party “anak-anak panah” PKS siap dilesatkan ke mana saja dan kapan saja. Salah satu bukti awalnya adalah Hidayat Nur Wahid. Atas restu dan dukungan SBY-MJK bersama Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Kebangsaan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi kerakyatan ditambah sejumlah anggota DPD, Hidayat Nur Wahid pada pemilihan 6 Oktober 2004 berhasil meraih kursi pimpinan MPR berbeda tipis dua suara saja dari Sutjipto dari Koalisi Kebangsaan.
Walau partai baru dalam waktu singkat PKS sudah tergolongkan ke dalam kelompok elit, atau sebagai the ruling party partai penguasa. Karena sebagai partai penguasa Tifatul berjanji dan menjamin tak akan melengserkan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono di tengah jalan, seperti pernah dialami Gus Dur. Kendati “hanya” sebagai pimpinan sementara Tifatul pasti akan memberi banyak warna kepada partai dan peta perjalanan politik nasional, paling tidak hingga berlangsung Mukhtamar April 2005 untuk memilih pimpinan baru PKS yang definitif.
Politik sebagai ibadah
Tifatul Sembiring adalah ayah dari tujuh orang anak hasil pernikahannya dengan Sri Rahayu, wanita asal Karanganyar. Tifatul bersama Nur Mahmudi Ismail dan Hidayat Nur Wahid adalah tiga dari antara 50 orang pendiri Partai Keadilan (PK), partai yang menjadi cikal bakal PKS. PK pada Pemilu 1999 tidak lolos electoral threshold batas dua persen sehingga untuk bisa maju kembali pada Pemilu 2004 PK harus bermetamorfosa menjadi partai baru. Lahirlah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Tifatul mengaku menerima mandat memimpin PKS secara mendadak. Hanya tiga hari sebelum diserahterimakan, dilantik, dan diumumkan resmi ke masyarakat luas 11 Oktober, persisnya pada Jumat 8 Oktober 2004 malam hari. “Anak panah” Tifatul dilesatkan menjadi presiden partai oleh “tali busur” yang terdiri Majelis Pertimbangan Partai, Majelis Syura, Dewan Syariah Pusat, dan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid. “Saya dan istri saya baru tahu malam Sabtu. Keputusan itu sudah diambil dan dimandatkan kepada saya setelah shalat magrib,” kata Tifatul, kepada Azhar Azis dari Indo Pos.
Tifatul menanggapi pemberian mandat sebagai biasa-biasa saja sebab tidak ada yang istimewa dalam setiap proses peralihan kepemimpinan di PKS. Namun karena yang menerima mandat adalah dirinya sendiri maka disertai pula rasa takut. “Kalau di PKS, kita justru takut menerima jabatan. Karena itu, tidak ada kader yang mau melakukan kampanye positif untuk pencalonannya. Tetapi, kita seperti anak panah yang siap diluncurkan ke mana saja oleh sang pemegang tali busur, yaitu Majelis Syura dan lembaga tinggi partai,” jelas Tifatul.
Rasa takut muncul pada diri Tifatul sebab ia tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dirinya kaget saat mengetahui telah ditunjuk sebab sepanjang memegang jabatan sementara hingga enam bulan ke depan ia menjadi harus berhati-hati dalam mengambil setiap tindakan dan kebijakan partai.
Di sisi lain ia merasakan biasa-biasa saja sebab demikianlah halnya iklim demokrasi di PKS. Tidak ada yang istimewa dalam setiap proses peralihan pimpinan PKS. Bahkan, istri dan anak-anaknya sudah maklum akan pola kerja PKS yang sedemikian tangkas. Sejak pertama kali aktif, saat masih bernama PK Tifatul sudah sering berada di luar rumah.
Sebagai Humas PK ia selalu harus berada disamping Sang Presiden Nur Mahmudi Ismail, diminta untuk mendampingi. Berada di luar rumah hingga 17 hari lamanya mudah dipahami alasannya oleh seluruh anggota keluarga, yang menganggap pekerjaan politik di PKS sebagai ibadah dan pengabdian kepada umat.
Tifatul beribadah dan mengabdi kepada umat melalui karir politik PKS berjalan secara mulus. Urusan kebutuhan keluarga sudah ditopang oleh kelancaran usaha penerbitan milik Tifatul. Dia adalah direktur merangkap penulis pada perusahaan penerbitan Asahuddin Press, Jakarta, miliknya.
Demikian pula istrinya, Sri Rahayu tergolong aktif menulis tentang kewanitaan. Dua buah bukunya, “Bila Muslimah Berpolitik” dan “Ketika Aku Mencintaimu”, sudah diterbitkan oleh Gema Insani Press. Tifatul pertamakali mengenal Sri Rahayu, istrinya, itu di arena dakwah kampus. Tifatul awalnya adalah aktivis dakwah kampus yang menebarkan syiar Islam. Di forum mulia itulah untuk pertama kali Tifatul, pria Batak Karo kelahiran Bukittinggi dipertemukan sekaligus berkenalan dengan gadis asal Karanganyar, Sri Rahayu.
Ketujuh putra-putri buah cinta pernikahan Tifatul-Sri Rahayu adalah si sulung Sabriana pelajar kelas 2 SMU, dan Fathan kelas 1 SMU. Selanjutnya adalah Ibrahim, Yusuf, Fatimah, Muhammad, dan si bungsu Abdurrahman yang masih berusia 2 tahun 8 bulan.
Sesibuk apapun perjalanan karir politik berupa ibadah dan dakwah, Tifatul selalu berusaha menyediakan waktu khusus kepada seluruh anggota keluarga. Rapat keluarga seringkali digelar untuk mendengarkan masukan dan kritikan dari anak-anak. Hasilnya, kendati sering berada di luar rumah keseluruhan anaknya tak merasa terasing atau teralienasi dari kegiatan Tifatul yang rajin berdakwah.
Tifatul adalah insinyur komputer lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Informatika dan Komputer (STI&K) Jakarta, yang sejak tahun 1982 bekerja di PT PLN Pusat Pengaturan Beban Jawa, Bali, dan Madura. Tugasnya menggarap bidang telekomunikadi dan data processing. Tahun 1989 ia mengundurkan diri dari pekerjaan mapan itu hanya untuk berdakwah. Sejak aktif berdakwah di kampus jiwa mubaligh sudah tertanam dalam diri Tifatul.
Pekerjaan di PLN begitu menyita waktu Tifatul sehingga tidak sempat berinteraksi dengan sesama untuk berdakwah. Berangkat kerja jam enam pagi lalu pulang jam enam sore sudah dalam kondisi kelelahan. Interaksi dengan masyarakat sekitar menjadi minim sekali, padahal, dalam Islam sebaik baiknya manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada orang lain.
Sejak tahun 1990 aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini bergabung dengan Yayasan Pendidikan Nurul Fikri, serta dengan Korps Mubaligh Khairu Ummah, hingga sekarang. Tifatul juga menyempatkan diri berkunjung ke Pakistan selama enam bulan untuk mengasah wawasan berpikir politik di International Politic Center for Asian Studies Strategic Islamabad, Pakistan.
Tifatul terus saja merangkai jaringan dakwah kampus. Begitu tiba era multi partai, bersama Nur Mahmudi dan Nur Wahid ia berada bersama 50 kader pendiri Partai Keadilan (PK), di tahun 1998. Sejak itu resmilah Tifatul menggeluti politik praktis sebagai salah satu model ibadah dan dakwah yang baru. Awalnya ia menjabat Humas partai yang mengharuskannya selalu mendampingi Presiden Nur Mahmudi.
Ketujuh putra-putri buah cinta pernikahan Tifatul-Sri Rahayu adalah si sulung Sabriana pelajar kelas 2 SMU, dan Fathan kelas 1 SMU. Selanjutnya adalah Ibrahim, Yusuf, Fatimah, Muhammad, dan si bungsu Abdurrahman yang masih berusia 2 tahun 8 bulan.
Sesibuk apapun perjalanan karir politik berupa ibadah dan dakwah, Tifatul selalu berusaha menyediakan waktu khusus kepada seluruh anggota keluarga. Rapat keluarga seringkali digelar untuk mendengarkan masukan dan kritikan dari anak-anak. Hasilnya, kendati sering berada di luar rumah keseluruhan anaknya tak merasa terasing atau teralienasi dari kegiatan Tifatul yang rajin berdakwah.
Tifatul adalah insinyur komputer lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Informatika dan Komputer (STI&K) Jakarta, yang sejak tahun 1982 bekerja di PT PLN Pusat Pengaturan Beban Jawa, Bali, dan Madura. Tugasnya menggarap bidang telekomunikadi dan data processing. Tahun 1989 ia mengundurkan diri dari pekerjaan mapan itu hanya untuk berdakwah. Sejak aktif berdakwah di kampus jiwa mubaligh sudah tertanam dalam diri Tifatul.
Pekerjaan di PLN begitu menyita waktu Tifatul sehingga tidak sempat berinteraksi dengan sesama untuk berdakwah. Berangkat kerja jam enam pagi lalu pulang jam enam sore sudah dalam kondisi kelelahan. Interaksi dengan masyarakat sekitar menjadi minim sekali, padahal, dalam Islam sebaik baiknya manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada orang lain.
Sejak tahun 1990 aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini bergabung dengan Yayasan Pendidikan Nurul Fikri, serta dengan Korps Mubaligh Khairu Ummah, hingga sekarang. Tifatul juga menyempatkan diri berkunjung ke Pakistan selama enam bulan untuk mengasah wawasan berpikir politik di International Politic Center for Asian Studies Strategic Islamabad, Pakistan.
Tifatul terus saja merangkai jaringan dakwah kampus. Begitu tiba era multi partai, bersama Nur Mahmudi dan Nur Wahid ia berada bersama 50 kader pendiri Partai Keadilan (PK), di tahun 1998. Sejak itu resmilah Tifatul menggeluti politik praktis sebagai salah satu model ibadah dan dakwah yang baru. Awalnya ia menjabat Humas partai yang mengharuskannya selalu mendampingi Presiden Nur Mahmudi.
Menjelang Mukhtamar, Tifatul ditugaskan sebagai Wakil Sekjen PKS, dan pasca mukhtamar diangkat mendapat mandat sebagai Ketua DPP Wilayah Dakwah I Sumatera. Jabatan, mandat, dan amanah itu berhasil dipertanggungjawabkan Tifatul dengan menggelontorkan sepertiga total kursi palemen milik PKS berasal dari wilayah dakwah pimpinannya
0 Comments
Post a Comment