Biografi Raja Ali Haji


Raja Ali Haji adalah anak raja ahmad dan cucu raja haji Fisabillilah, banhsawan dari kesultanan riau lingga. Ayahnya adalah orang terpelajar yang juga termasuk pengarang riau lingga yang terkenal dan rajin menuntut ilmu. Nenek moyang raja ali haji sebetulnya adalah raja bugis yang pertama kali memeluk islam. Namanya la madusilat. Salah seorag anak La madusilat pergi mengembara hingga ketanah riau lingga dan mendapat kedudukan penting dalam kesltanan riau lingga.


Raja Ali Haji tumbuh dalam keluarga yang memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang kuat. Sejak kecil ayahnya telah mendidiknya dalam mempelajari bahasa arab dan ilmu agama dengan baik bahkan ia pernah menuntut ilmu sampai ke mesir dan mekkah. Bersama dengan ayahnya dan sebelas kerabat lainya, ia termasuk bangsawan riau lingga yang pertama kali mengunjungi tanah suci mekkah, yaitu pada 1828.

Sekembalinya dari menuntut ilmu dinegeri sebrang Raja Ali Haji menjadi seorang ulama yang terkenal dinegerinya. Ia menjadi tumpuan orang-orang yang hendak bertanya maupun belajar masalah keagamaan ataupun masalah-masalah lainya.

Raja Ali Haji kemudian juga terkenal akan karya-karya sastranya yang berbentuk prosa maupun puisi. Karya-karya sastranya berisi beragam tema, diantaranya hukum, sastra, bahasa, dan (Yang Paling banyak) keagamaan pada tahun 1847 Raja Ali Haji menulis salah satu karyanya yang berjudul Gurindam Duabelas. Karyanya tersebut menjadi amat terkenal. Pada tahun 1858 ia juga menulis kitab pengetahuan bahasa yang kemudian menjadi pelopor perkamusan monolingual bahsa melayu.

Selain dua judul diatas, karyanya yang lain adalah syair Abdul Muluk, sisilah melalui didis, syair hukum nikah, syair siti sianah, tsamarat al-muhimmah, sinar gemala mustika alam, tuhfat al nafis. Sayang, di indonesia hanya syair Abdul Muluk dan gurindam Duabelas yang pernah diterbitkan secara komersial. Itupun setelah ia wafat. Hanya gurindam duabelas yang diketahuin oleh masyarakat awam di indonesia hingga saat ini. Karya-karya raja Ali Haji lebih banyak diterbitkan secara bail dan layak di malaysia. Gurindam duabelas juga pernah diterbitkan dinegeri belanda pada tahun 1953. Raja Ali Haji adalah tonggak sastra melayu yang memiliki peran penting dalam khasanah sastra indonesia.

Melihat karya-karyanya yang bisa disebut sebagai pelopor atau cikal bakal yang melicinkan jalan terbentuknya bahasa nasional indonesia, Raja Ali Haji termasuk putra bangsa yang pantas mendapat penghargaan tinggi. Pantaslah pemerintah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional lewat SK Presiden No.089/TK/Tahun 2004.

Pujangga termahsyur dari Pusat Kebudayaan Melayu Riau-Johor. Ia dianggap pembaharu gaya penulisan Melayu pada pertengahan abad ke-19. Sejak remaja, putra raja Bugis terkenal (Raja Haji) ini sering mengikuti ayahnya merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) dan kemudian menunaikan ibadah haji. Pendidikan agama diperolehnya di Pulau Penyengat dan Mekkah. Pada masa itu, ia berhasil mengembangkan Riau menjadi Pusat Kebudayaan Melayu yang besar. Ia juga pernah menjadi guru raja Muda Riau dan Penasihat Kerajaan. Berbagai karyanya antara lain: Gurindam dua belas (1846), Kitab Pengetahuan Bahasa (1854), Syair Nikah, dan Syair Gemala Mustika.

Banyak orang yang sudah mendengar nama Ali Haji ketika masih berada sekolah menengah. Tokoh ini ternyata tidak hanya mengarang Gurindam XII sebagaimana banyak yang hinggap di benak orang, tetapi juga mengarang 12 buku lainnya. Di antara buku tersebut adalah Tuhfat al-Nafis (sejarah), Bustan al-Katibin, Pengetahuan Bahasa (tata bahasa), Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik), serta jumlah syair seperti Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk.

Lahir di Pulau Penyengat, 1809 (ada yang menyebut 1808), Raja Ali Haji tumbuh dari dan dalam keluarga terpandang. Dia mewarisi darah kebangsawanan Melayu dari kakeknya, Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Melayu Johor-Riau-Lingga-Pahang Raja Haji Asy-Syahid Fi Sabilillah. Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) adalah jabatan semacam perdana menteri, yang dalam banyak hal lebih memainkan peran tinimbang sultan Melayu. Sang kakek mendapat gelar Asy-Syahid Fi Sabilillah, sebab dia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di tahun 1784, dimana dia bertindak sebagai panglima perang.

Tetapi tampaknya Raja Ali Haji lebih mewarisi darah ayahnya sebagai seorang ilmuwan. Ayahnya, Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabilillah, adalah seorang ilmuwan yang menulis sedikitnya 4 judul buku (satu di antaranya bersama Raja Ali Haji). Sebagai seorang ilmuwan, Raja Ahmad dipercaya menjadi penasihat kerajaan, khususnya pada masa pemerintahan kakak kandungnya, Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far bin Raja Haji Fi Sabilillah. Adapun ibu Raja Ali Haji, ialah Hamidah binti Panglima Malik, puteri dari Selangor.

Di tahun 1822 Raja Ali Haji mengikuti rombongan Kesultanan Riau yang dipimpin ayahnya ke Batavia. Rombongan itu adalah utusan resmi Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Ja’far. Misinya, bertemu dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A. Baron van der Capellan di Batavia untuk membahas dampak suksesi Sultan Mahmud di Riau dan pengangkatan Sultan Husin di Singapura. Inilah untuk pertama kalinya Raja Ali Haji menginjakkan kaki di pulau Jawa. Sudah tentu pada kesempatan itu dia bertemu dengan beberapa penguasa kolonial, di antaranya ialah Christian van Anggelbeek, seorang penerjemah yang menguasai beberapa bahasa.

Bagi Raja Ali Haji, tentu saja banyak hal berkesan dari perjalanan selama 3 bulan itu. Suka-dukanya. Manis-pahitnya. Di antara yang sangat berkesan bagi anak berusia 13 tahun tersebut adalah pada ketika itu, atas undangan pemerintah Belanda, bersama rombongan dia sempat menonton apa yang disebutnya “wayang Holanda” atau “wayang komidi”. Ialah pentas kesenian di sebuah gedung pertunjukan yang, tulis Raja Ali Haji dalam Tuhfatun Nafis, “sifat rumahnya itu lekuk ke dalam tanah”. Ya, gedung itu adalah Schouwburg, gedung kesenian di zaman kolonial yang kini dikenal dengan Gedung Kesenian Jakarta (Yunus 2002: 68).

                       Biografi Raja Ali Haji     Raja Ali Haji adalah anak raja ahmad dan cucu raja haji Fisabillilah, banhsawan dari kesultanan riau lingga. Ayahnya adalah orang terpelajar yang juga termasuk pengarang riau lingga yang terkenal dan rajin menuntut ilmu. Nenek moyang raja ali haji sebetulnya adalah raja bugis yang pertama kali memeluk islam. Namanya la madusilat. Salah seorag anak La madusilat pergi mengembara hingga ketanah riau lingga dan mendapat kedudukan penting dalam kesltanan riau lingga.  Raja Ali Haji tumbuh dalam keluarga yang memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang kuat. Sejak kecil ayahnya telah mendidiknya dalam mempelajari bahasa arab dan ilmu agama dengan baik bahkan ia pernah menuntut ilmu sampai ke mesir dan mekkah. Bersama dengan ayahnya dan sebelas kerabat lainya, ia termasuk bangsawan riau lingga yang pertama kali mengunjungi tanah suci mekkah, yaitu pada 1828.  Sekembalinya dari menuntut ilmu dinegeri sebrang Raja Ali Haji menjadi seorang ulama yang terkenal dinegerinya. Ia menjadi tumpuan orang-orang yang hendak bertanya maupun belajar masalah keagamaan ataupun masalah-masalah lainya.  Raja Ali Haji kemudian juga terkenal akan karya-karya sastranya yang berbentuk prosa maupun puisi. Karya-karya sastranya berisi beragam tema, diantaranya hukum, sastra, bahasa, dan (Yang Paling banyak) keagamaan

Di tahun 1826, Raja Ali Haji sekali lagi mengikuti perjalanan ayahnya. Kali ini ke Semarang, Jawa   Tengah sekarang, dengan misi dagang untuk menghimpun dana perjalanan haji ke tanah suci. Dalam perjalanan ini, Raja Ali Haji jatuh sakit, terserang “penyakit hawar, muntah berak hampir tiada harap akan hidupnya,” tulis Raja Ali Haji. Hawar adalah sejenis penyakit menular. Penyakit yang menyerang anak 17 tahun itu rupanya sangat serius, sebab sang ayah sempat memesan keranda sebagai persiapan kalau-kalau ajal datang menjemput. Sang ayah akan membawa pulang ke Riau jenazah sang anak, jika benar ajal menjemput. Tapi di Semarang, bau ajal rupanya hanya mendekat. Maka Raja Ali Haji bisa mencatat dengan cukup rinci kisah perjalanannya, termasuk tempat-tempat yang disinggahinya, seperti Jepara dan Juana.

Sebagaimana telah diniatkan, Raja Ahmad, ayah Raja Ali Haji itu, berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan haji di tahun 1828. Raja Ali Haji ikut serta dalam perjalanan ini. Setelah melaksanakan ibadah haji inilah sesungguhnya nama Haji dilekatkan di bagian belakang nama anak yang semula hanya bernama Raja Ali itu. Tentu saja, di sini Raja Ali Haji tidak hanya melaksanakan ibadah haji. Pastilah dia menggunakan kesempatan itu untuk memperdalam ilmu, khususnya ilmu agama, bahasa, dan sastra Arab. Di abad ke-19, Makkah dan Madinah bukan saja pusat spiritual Islam, melainkan juga pusat intelektual Islam paling penting di dunia.

0 Comments

Post a Comment