Biodata
Lahir : Gorontalo 30 Oktober 1955
Kebangsaan : Indonesia
Partai politik : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Istri : Dra. Hj. Heppy Farida
Anak : Safira Prameswari Ramadina
Karunia Dwihapsa Paramasari
Meisya Rizky Berliana
Almamater : Universitas Brawijaya
Universitas Gadjah Mada
Agama : Islam
Biografi
Drs. Djarot Saiful Hidayat, MSi seorang pamong (pemimpin) bernurani wong cilik. Selama menjabat sebagai Walikota Blitar (2000-2010) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017), kader PDI Perjuangan berdarah Jawa kelahiran Gorontalo, 30 Oktober 1955, tersebut telah membuktikan bahwa dia tidak sekadar peduli melainkan sungguh berhati nurani wong cilik. antan Pembantu Rektor I Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya (1997-1999), itu saat menjabat Walikota Blitar dua periode, berhasil menata ribuan pedagang kaki lima yang dulunya kumuh di kompleks alun-alun menjadi tertata rapi. Sama seperti Presiden RI ke-7 (2014-2019) Jokowi saat menjabat Walikota Solo, dia membatasi berdirinya mall. Djarot dan Presiden RI ke-7 (2014-2019) Jokowi lebih memilih menata pasar tradisional dan pedagang kaki lima dengan konsep yang matang daripada mengizinkan berdirinya mall-mall yang justru menghimpit wong cilik. Sehingga dia dijuluki sebagai pakar pasar tradisional. Kebijakannya tersebut terbukti berhasil mendongkrak perekonomian di Blitar. Djarot dikenal warganya sebagai wali kota yang amat merakyat, sederhana dan selalu blusukan untuk melihat kondisi langsung rakyatnya di lapangan. Dia sering blusukan dengan mengayuh sendiri sepedanya. Dia menemui rakyatnya yang tinggal di rumah-rumah reyot dan kumuh. Dia pun membuat kebijakan renovasi rumah tidak layak huni dengan dana hibah di setiap kelurahan dan desa.
Hinggga akhir jabatannya sebagai Walikota, dia telah merenovasi 2000 lebih rumah, sehingga tidak ada lagi rumah reyot di Blitar. Selama menjabat Walikota, Djarot berhasil mengubah Blitar yang tadinya hanya sebuah kota kecil dan miskin menjadi daerah terkaya nomor 2 di Jawa Timur. Maka tak heran, selama kepemimpinan suami Heppy Farida, itu Kota Blitar mendapat penghargaan selama 3 tahun berturut-turut sebagai Kota Terbersih dan menyabet Piala Adipura pada 2006, 2007, dan 2008. Dia juga mendapat Penghargaan Upakarti (2007), Peringkat Pertama penerapan E-Government di Jawa Timur (22 Maret 2010), Penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2008), Penghargaan Terbaik Citizen’s Charter Bidang Kesehatan, Otonomi Award dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) dan Penghargaan atas terobosan inovasi daerah se-Provinsi Jawa Timur (30 April 2008). Politisi Cendekia Djarot Saiful Hidayat, putra keempat dari keluarga M. Thoyib, seorang pensiunan militer dari detasemen perhubungan.
Ketika baru lahir, ayahnya memberi dia nama Saiful Hidayat, tanpa Djarot. Nama depan Djarot itu ditambahkan kemudian. Berawal dari panggilan seorang tukang tempe langganan sang ibu. Kebetulan, ketika kecil dia sering diasuh penjual tempe langganan ibunya itu. Karena ketika kecil dia sering sakit-sakitan pengasuhnya yang penjual tempe itu suka memanggilnya Djarot. Bahkan memamanggil ibunya, Ibu Djarot. Djarot itu artinya anak laki-laki. Kepercayaan masyarakat kala itu, anak yang sering sakit-sakitan perlu ganti atau tambah nama. Panggilan Djarot itu menjadi melekat dan akrab di tengah keluarga. Sehingga, kemudian orangtuanya menambahkan nama Djarot kepadanya menjadi Djarot Saiful Hidayat.
Menurut orang tuanya, nama panjangnya itu (Djarot Saiful Hidayat) mempunyai makna tersendiri yaitu yang berarti laki-laki (Djarot) pembawa pedang (Saiful) yang diberikan petunjuk dan kemuliaan (Hidayat). Dengan tambahan nama Djarot, itu ibunya menyisipkan doa kiranya si bocah yang sempat sakit-sakitan itu kelak akan menjadi anak laki-laki yang akan bisa memimpin dan memberikan petunjuk maupun teladan. "Ibu juga berdoa supaya pas gede, berkumis, dan agak ganteng," jelas Djarot. Karena adanya penambahan nama tersebut, Djarot pun kemudian terpaksa mengurus akta kelahiran ke kelurahan lantaran akta sebelumnya tercantum nama Saiful Hidayat. Alasannya ke kelurahan karena waktu kecil sering sakit-sakitan maka perlu ditambah nama Djarot. Djarot diasuh dalam lingkungan keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras. Pekerjaan apapun dilakukan, mulai dari bertani, berternak dan berjualan di pasar, yang penting halal, dan pendidikan tidak teputus. Djarot dari kecil sering berpindah ke beberapa daerah mengikuti ayahnya yang seorang tentara. Berkat kerja keras orang tua dan keluarganya, Djarot pun bisa menimba ilmu di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB), Malang, hingga mendapat gelar Drs (S1) pada tahun 1986. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta, hingga meraih gelar Magister (S2) pada tahun 1991. Dia pun mengawali kariernya sebagai dosen di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Dia telah menjabat Pembantu Dekan I FIA, UNTAG Surabaya (1984-1991) dan menjabat Dekan FIA, UNTAG Surabaya (1991-1997).
Bahkan sempat menjabat Pembantu Rektor I Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya (1997-1999). Selain aktif sebagai dosen, dia juga aktif dalam dunia politik. Dia seorang Lihat Daftar Tokoh Politisi politisi yang berlatar belakang cendekiawan. Tahun 1999, Djarot aktif sebagai Ketua I Pappuda PDI Perjuangan, Jawa Timur. Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah reformasi 1998, Djarot terpilih menjadi Anggota DPRD Jawa Timur dan menjabat Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur (1999-2000). Baru satu tahun menjadi Anggota DPRD Jatim, PDI Perjuangan mengusungnya menjadi Calon Walikota Blitar. Dalam pemilihan di DPRD Kota Blitar, Djarot terpilih menjadi Wali Kota Blitar ke 21 (3 Mei 2000 – 2005). Dalam Pilkada berikutnya, Djarot dipercaya rakyat Blitar kembali menjabat Walikota untuk periode kedua (2015 - 3 Agustus 2010). Saat menjabat Walikota, Djarot juga aktif sebagai Deputi I BADIKLATDA PDI Perjuangan, Jawa Timur (2001) dan Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPD PDI Perjuangan Jawa Timur (2005-2010). Setelah mengakhiri periode keduanya sebagai Walikota Blitar,
Menurut orang tuanya, nama panjangnya itu (Djarot Saiful Hidayat) mempunyai makna tersendiri yaitu yang berarti laki-laki (Djarot) pembawa pedang (Saiful) yang diberikan petunjuk dan kemuliaan (Hidayat). Dengan tambahan nama Djarot, itu ibunya menyisipkan doa kiranya si bocah yang sempat sakit-sakitan itu kelak akan menjadi anak laki-laki yang akan bisa memimpin dan memberikan petunjuk maupun teladan. "Ibu juga berdoa supaya pas gede, berkumis, dan agak ganteng," jelas Djarot. Karena adanya penambahan nama tersebut, Djarot pun kemudian terpaksa mengurus akta kelahiran ke kelurahan lantaran akta sebelumnya tercantum nama Saiful Hidayat. Alasannya ke kelurahan karena waktu kecil sering sakit-sakitan maka perlu ditambah nama Djarot. Djarot diasuh dalam lingkungan keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras. Pekerjaan apapun dilakukan, mulai dari bertani, berternak dan berjualan di pasar, yang penting halal, dan pendidikan tidak teputus. Djarot dari kecil sering berpindah ke beberapa daerah mengikuti ayahnya yang seorang tentara. Berkat kerja keras orang tua dan keluarganya, Djarot pun bisa menimba ilmu di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB), Malang, hingga mendapat gelar Drs (S1) pada tahun 1986. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta, hingga meraih gelar Magister (S2) pada tahun 1991. Dia pun mengawali kariernya sebagai dosen di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Dia telah menjabat Pembantu Dekan I FIA, UNTAG Surabaya (1984-1991) dan menjabat Dekan FIA, UNTAG Surabaya (1991-1997).
Bahkan sempat menjabat Pembantu Rektor I Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya (1997-1999). Selain aktif sebagai dosen, dia juga aktif dalam dunia politik. Dia seorang Lihat Daftar Tokoh Politisi politisi yang berlatar belakang cendekiawan. Tahun 1999, Djarot aktif sebagai Ketua I Pappuda PDI Perjuangan, Jawa Timur. Pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah reformasi 1998, Djarot terpilih menjadi Anggota DPRD Jawa Timur dan menjabat Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur (1999-2000). Baru satu tahun menjadi Anggota DPRD Jatim, PDI Perjuangan mengusungnya menjadi Calon Walikota Blitar. Dalam pemilihan di DPRD Kota Blitar, Djarot terpilih menjadi Wali Kota Blitar ke 21 (3 Mei 2000 – 2005). Dalam Pilkada berikutnya, Djarot dipercaya rakyat Blitar kembali menjabat Walikota untuk periode kedua (2015 - 3 Agustus 2010). Saat menjabat Walikota, Djarot juga aktif sebagai Deputi I BADIKLATDA PDI Perjuangan, Jawa Timur (2001) dan Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPD PDI Perjuangan Jawa Timur (2005-2010). Setelah mengakhiri periode keduanya sebagai Walikota Blitar,
Djarot aktif menjabat Ketua DPD PA GMNI Jawa Timur (2010-2014), Ketua Bidang Organisasi DPP PDI Perjuangan (2010-2015) dan Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi DPP PDI Perjuangan (2015-Sekarang) Dalam Pemilu 2014, Djarot terpilih menjadi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (2014-2019). Namun pada Desember 2014, jabatan Anggota DPR RI tersebut dilepaskannya setelah Gubernur DKI Jakarta Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012-2017 Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang baru saja dilantik menggantikan Presiden RI ke-7 (2014-2019) Jokowi, memilih dan melantiknya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, 17 Desember 2014 – 20 Oktober 2017, menggantikan posisi Ahok sendiri. Walikota Blitar ke-21 Djarot Saiful Hidayat adalah Walikota Blitar ke-21, dua periode, 2000-2005 dan 2005-2010. Dia menggantikan Istijono Soenarto dan digantikan oleh Samanhudi Anwar. Sejak awal memimpin Kota Blitar, Djarot sudah menunjukkan kepedulian dan keberpihakannya kepada rakyat jelata atau wong cilik. Bahkan dari apa yang dilakukannya membuktikan bahwa Djarot tak sekadar peduli dan berpihak, melainkan memang dia menyelami hati nurani rakyat jelata.
Sejak hari-hari awal menjabat walikota, Djarot sudah suka blusukan, jauh sebelum Presiden RI ke-7 (2014-2019) Joko Widodo melakukannya setelah menjabat Walikota Solo (28 Juli 2005 sampai 1 Oktober 2012). Djarot telah blusukan dengan naik sepeda dan speda motor tanpa protokoler sejak tahun 2000, lima tahun sebelum Jokowi menjadi Walikota Solo. Djarot naik sepeda atau pakai Yamaha Scorpio merah dan pakai kaos oblong mengitari berbagai tempat di Blitar, menyapa dan mendengar aspirasi rakyat tanpa protokoler dan (mengundang) liputan pers. Dia melakukannya dengan nuraninya sendiri, tanpa bermaksud pencitraan diri. Dia sosok pekerja keras, jujur, bersahaja, kreatif, pro rakyat dan selalu berpegang pada aturan, konstitusi dan Pancasila. Selama 10 tahun memimpin Blitar banyak langkah berani dan inovatif yang dilakukannya. Saat baru saja dilantik menjabat Walikota Blitar, dia menolak mobil dinas baru. Dia memilih memakai mobil bekas walikota pendahulunya, Toyota Crown. Hingga dua periode (10 tahun) menjabat walikota, dia tetap mempertahankan Toyota Crown tersebut. Kenapa? Demi penghematan, karena mobil tersebut bagi dia masih layak, tak perlu diganti hanya karena pejabatnya berganti. Selain itu, kalau mobil dinas walikota diganti pasti ketua DPRD, ketua fraksi, dan staf di balaikota semuanya minta ganti. Walaupun sebenarnya penggantian mobil itu sudah dianggarkan, tapi Djarot tetap menolak karena menganggap hal itu pemborosan. Salah satu kebijakan yang terinspirasi dari blusukannya adalah kebijakan renovasi rumah tidak layak huni dengan menyediakan dana hibah. Pemkot Blitar mengucurkan uang insentif untuk memperbaiki rumah warga yang tak layak huni senilai Rp 4,5 - 7 juta per rumah. Dengan kebijakan ini, Djarot juga berhasil membangkitkan kembali semangat bergotong-royong di tengah masyarakat.
Masyarakat bergotong-royong merenovasi rumah-rumah reyot yang ada di sekitarnya. Sampai akhir jabatannya, lebih 2000 rumah reyot telah direnovasi di beberapa kelurahan dan desa. Hingga dipastikan tidak ada lagi rumah reyot tak layak huni di Blitar. Selain itu, ketika keluarga besar Sukarno pada tahun 2008 berniat menjual rumah masa kecil Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Bung Karno di Jalan Sultan Agung, Kota Blitar, Jawa Timur. Djarot (Pemkot Blitar) membeli rumah itu dan dijadikan cagar budaya. Dia menunjukkan tanggung jawab untuk kelestarian aset sejarah. Saat baru menjabat walikota, Djarot baru saja melepas masa lajangnya. Saat itu pasangan suami-istri itu tidak memiliki aset tanah ataupun rumah pribadi di Blitar selain rumah dinas yang disediakan Pemkot. Prihatin melihat kenyataan itu, salah seorang stafnya di Pemkot datang menghadap dan menawarkan sebidang tanah untuk diambil secara gratis bagi walikota baru. Tanah yang cukup luas (hektaran) itu terletak di kawasan strategis. Disebut, tanah itu tidak terdata di aset Pemkot dan bisa dimiliki 100 persen atas nama pribadi. Tanah gendom yang statusnya aman untuk dikuasai secara pribadi. Tapi Djarot dengan tegas menolaknya. Bahkan dia meminta stafnya untuk mendata semua aset pemerintah dan tanah gendom masuk dalam aset Pemkot. Sehingga tanah-tanah tak bertuan itu menjadi terdata sebagai aset Pemkot Blitar. Djarot juga dengan gesit melakukan efisiensi di berbagai lini. Di antaranya, jabatan struktural yang tidak strategis dan tidak bermanfaat dihilangkan dari struktur Pemkot Blitar. Tak kurang dari dari 100 posisi dipangkas, sehingga birokrasi Pemkot Blitar menjadi lebih ramping dan gesit.
Keberpihakannya kepada rakyat kecil dan menengah, juga terwujudkan dari kebijakannya menata pasar tradisional dan pedagang kaki lima, serta membatasi berdirinya mall di kota Blitar. Kebijakan inilah yang juga diterapkan Jokowi di Solo. Djarot dan Jokowi lebih berpihak kepada pedagang di pasar tradisional dan kaki lima untuk menggerakkan roda perekonomian di kota yang dipimpinnya. "Saya bangga, kota Blitar dipenuhi pedagang kaki lima yang tertata baik," kata Djarot. Dengan konsep matang, Djarot berhasil menata ribuan pedagang kaki lima yang sebelumya kumuh di kompleks alun-alun menjadi tertata rapi. Wakil Gubernur DKI Setelah Jokowi terpilih menjadi Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI, Ahok yang tadinya menjabat Wakil Gubernur kemudian Presiden melantiknya menjabat Guberbur DKI Jakarta di Istana Negara Jakarta Rabu 19 November 2014. Jabatan Wakil Gubernur yang lowong, kemudian harus segera diisi. Muncul beberapa nama sebagai kandidat mengisi jabatan Wakil Gubernur DKI tersebut. Beberapa pihak menyebut Partai Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Gerindra-lah yang berhak menunjuk calon untuk mengisi jabatan itu, karena tadinya wakil gubernur itu dari Partai Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Gerindra, yakni Ahok yang telah menyatakan diri keluar dari Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Gerindra. Namun pihak lain menyebut, justru PDI Perjuanganlah yang paling berhak, karena tadinya Jokowi dan Ahok diusung PDI Perjuangan dan Gerindra. Akhirnya, Ahok diberi kebebasan memilih kader PDI Perjuangan untuk mendampinginya. Beberapa nama disebut, antara lain Boy Sadikin, putera Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin yang menjabat Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, dan Djarot Saiful Hidayat, mantan Walikota Blitar yang tengah menjabat Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Ahok memilih Djarot Saiful Hidayat karena jejak rekamnya yang berhasil memimpin Kota Blitar. Setelah mendapat persetujuan DPRD DKI, Ahok melantik Djarot Saiful Hidayat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 17 Desember 2014 di Gedung Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta.
Setelah dilantik, Djarot memilih tetap memakai mobil Toyota Innova hitam miliknya. Padahal sebenarnya, Pemerintah Provinsi DKI menyediakan mobil dinas bermerek Lexus untuknya selaku Wakil Gubernur DKI Jakarta. Namun dia memilih untuk tak menggunakan mobil itu. "Aku disiapin Lexus dan aku enggak pakai," kata Djarot di kantornya, Senin, 22 Desember 2014. Maka, daripada menganggur, Djarot menyarankan agar mobil itu dijual. Sebab, meski tak digunakan, pemerintah tetap harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk merawat mobil itu. Daripada disediakan mobil mewah, dia lebih meminta disediakan lima sepeda motor untuk digunakan blusukan. Satu sepeda motor itu ditempatkan di rumahnya. Sisanya ditaruh di lokasi-lokasi blusukannya. Setelah lima unit sepeda motor yang dimintanya tiba, Selasa, 23 Desember 2014, Djarot Syaiful Hidayat, secara tiba tiba meninggalkan Balai Kota untuk blusukan ke Pintu Air Kali Cideng, Jakarta Pusat. Dia bertolak dari kantornya dengan menggunakan sepeda motor tersebut. Saat meninggalkan Balai Kota, Djarot mengenakan seragam dinas harian berwarna cokelat yang dilapisi jaket kulit berwarna cokelat. Djarot mengemudikan sendiri sepeda motornya dan membonceng ajudannya. Empat sepeda motor lainnya mengikuti.
Sejak hari-hari awal menjabat walikota, Djarot sudah suka blusukan, jauh sebelum Presiden RI ke-7 (2014-2019) Joko Widodo melakukannya setelah menjabat Walikota Solo (28 Juli 2005 sampai 1 Oktober 2012). Djarot telah blusukan dengan naik sepeda dan speda motor tanpa protokoler sejak tahun 2000, lima tahun sebelum Jokowi menjadi Walikota Solo. Djarot naik sepeda atau pakai Yamaha Scorpio merah dan pakai kaos oblong mengitari berbagai tempat di Blitar, menyapa dan mendengar aspirasi rakyat tanpa protokoler dan (mengundang) liputan pers. Dia melakukannya dengan nuraninya sendiri, tanpa bermaksud pencitraan diri. Dia sosok pekerja keras, jujur, bersahaja, kreatif, pro rakyat dan selalu berpegang pada aturan, konstitusi dan Pancasila. Selama 10 tahun memimpin Blitar banyak langkah berani dan inovatif yang dilakukannya. Saat baru saja dilantik menjabat Walikota Blitar, dia menolak mobil dinas baru. Dia memilih memakai mobil bekas walikota pendahulunya, Toyota Crown. Hingga dua periode (10 tahun) menjabat walikota, dia tetap mempertahankan Toyota Crown tersebut. Kenapa? Demi penghematan, karena mobil tersebut bagi dia masih layak, tak perlu diganti hanya karena pejabatnya berganti. Selain itu, kalau mobil dinas walikota diganti pasti ketua DPRD, ketua fraksi, dan staf di balaikota semuanya minta ganti. Walaupun sebenarnya penggantian mobil itu sudah dianggarkan, tapi Djarot tetap menolak karena menganggap hal itu pemborosan. Salah satu kebijakan yang terinspirasi dari blusukannya adalah kebijakan renovasi rumah tidak layak huni dengan menyediakan dana hibah. Pemkot Blitar mengucurkan uang insentif untuk memperbaiki rumah warga yang tak layak huni senilai Rp 4,5 - 7 juta per rumah. Dengan kebijakan ini, Djarot juga berhasil membangkitkan kembali semangat bergotong-royong di tengah masyarakat.
Masyarakat bergotong-royong merenovasi rumah-rumah reyot yang ada di sekitarnya. Sampai akhir jabatannya, lebih 2000 rumah reyot telah direnovasi di beberapa kelurahan dan desa. Hingga dipastikan tidak ada lagi rumah reyot tak layak huni di Blitar. Selain itu, ketika keluarga besar Sukarno pada tahun 2008 berniat menjual rumah masa kecil Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Bung Karno di Jalan Sultan Agung, Kota Blitar, Jawa Timur. Djarot (Pemkot Blitar) membeli rumah itu dan dijadikan cagar budaya. Dia menunjukkan tanggung jawab untuk kelestarian aset sejarah. Saat baru menjabat walikota, Djarot baru saja melepas masa lajangnya. Saat itu pasangan suami-istri itu tidak memiliki aset tanah ataupun rumah pribadi di Blitar selain rumah dinas yang disediakan Pemkot. Prihatin melihat kenyataan itu, salah seorang stafnya di Pemkot datang menghadap dan menawarkan sebidang tanah untuk diambil secara gratis bagi walikota baru. Tanah yang cukup luas (hektaran) itu terletak di kawasan strategis. Disebut, tanah itu tidak terdata di aset Pemkot dan bisa dimiliki 100 persen atas nama pribadi. Tanah gendom yang statusnya aman untuk dikuasai secara pribadi. Tapi Djarot dengan tegas menolaknya. Bahkan dia meminta stafnya untuk mendata semua aset pemerintah dan tanah gendom masuk dalam aset Pemkot. Sehingga tanah-tanah tak bertuan itu menjadi terdata sebagai aset Pemkot Blitar. Djarot juga dengan gesit melakukan efisiensi di berbagai lini. Di antaranya, jabatan struktural yang tidak strategis dan tidak bermanfaat dihilangkan dari struktur Pemkot Blitar. Tak kurang dari dari 100 posisi dipangkas, sehingga birokrasi Pemkot Blitar menjadi lebih ramping dan gesit.
Keberpihakannya kepada rakyat kecil dan menengah, juga terwujudkan dari kebijakannya menata pasar tradisional dan pedagang kaki lima, serta membatasi berdirinya mall di kota Blitar. Kebijakan inilah yang juga diterapkan Jokowi di Solo. Djarot dan Jokowi lebih berpihak kepada pedagang di pasar tradisional dan kaki lima untuk menggerakkan roda perekonomian di kota yang dipimpinnya. "Saya bangga, kota Blitar dipenuhi pedagang kaki lima yang tertata baik," kata Djarot. Dengan konsep matang, Djarot berhasil menata ribuan pedagang kaki lima yang sebelumya kumuh di kompleks alun-alun menjadi tertata rapi. Wakil Gubernur DKI Setelah Jokowi terpilih menjadi Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI, Ahok yang tadinya menjabat Wakil Gubernur kemudian Presiden melantiknya menjabat Guberbur DKI Jakarta di Istana Negara Jakarta Rabu 19 November 2014. Jabatan Wakil Gubernur yang lowong, kemudian harus segera diisi. Muncul beberapa nama sebagai kandidat mengisi jabatan Wakil Gubernur DKI tersebut. Beberapa pihak menyebut Partai Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Gerindra-lah yang berhak menunjuk calon untuk mengisi jabatan itu, karena tadinya wakil gubernur itu dari Partai Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Gerindra, yakni Ahok yang telah menyatakan diri keluar dari Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Gerindra. Namun pihak lain menyebut, justru PDI Perjuanganlah yang paling berhak, karena tadinya Jokowi dan Ahok diusung PDI Perjuangan dan Gerindra. Akhirnya, Ahok diberi kebebasan memilih kader PDI Perjuangan untuk mendampinginya. Beberapa nama disebut, antara lain Boy Sadikin, putera Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin yang menjabat Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, dan Djarot Saiful Hidayat, mantan Walikota Blitar yang tengah menjabat Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan. Ahok memilih Djarot Saiful Hidayat karena jejak rekamnya yang berhasil memimpin Kota Blitar. Setelah mendapat persetujuan DPRD DKI, Ahok melantik Djarot Saiful Hidayat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 17 Desember 2014 di Gedung Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta.
Setelah dilantik, Djarot memilih tetap memakai mobil Toyota Innova hitam miliknya. Padahal sebenarnya, Pemerintah Provinsi DKI menyediakan mobil dinas bermerek Lexus untuknya selaku Wakil Gubernur DKI Jakarta. Namun dia memilih untuk tak menggunakan mobil itu. "Aku disiapin Lexus dan aku enggak pakai," kata Djarot di kantornya, Senin, 22 Desember 2014. Maka, daripada menganggur, Djarot menyarankan agar mobil itu dijual. Sebab, meski tak digunakan, pemerintah tetap harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk merawat mobil itu. Daripada disediakan mobil mewah, dia lebih meminta disediakan lima sepeda motor untuk digunakan blusukan. Satu sepeda motor itu ditempatkan di rumahnya. Sisanya ditaruh di lokasi-lokasi blusukannya. Setelah lima unit sepeda motor yang dimintanya tiba, Selasa, 23 Desember 2014, Djarot Syaiful Hidayat, secara tiba tiba meninggalkan Balai Kota untuk blusukan ke Pintu Air Kali Cideng, Jakarta Pusat. Dia bertolak dari kantornya dengan menggunakan sepeda motor tersebut. Saat meninggalkan Balai Kota, Djarot mengenakan seragam dinas harian berwarna cokelat yang dilapisi jaket kulit berwarna cokelat. Djarot mengemudikan sendiri sepeda motornya dan membonceng ajudannya. Empat sepeda motor lainnya mengikuti.
Djarot mengatakan sengaja memesan lima unit sepeda motor untuk digunakan blusukan. Karena perjalanan menggunakan sepeda motor mampu menghemat waktu, lebih gesit. Selain itu, menurutnya, sepeda motor memiliki daya jangkau yang lebih luas ketimbang mobil. "Saya bisa masuk ke gang di kampung-kampung," ujar Djarot. Sebelumnya, dia blusukan ke Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur dengan meminjam sepeda motor tukang ojek untuk mengunjungi warganya. Minimarket dan Pasar Tradisional Berselang satu hari setelah dilantik menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengatakan keinginannya untuk mengevaluasi keberadaan minimarket di Ibu Kota. "Setiap minimarket di kelurahan dan kecamatan harus dikontrol," tegasnya di Balai Kota, Jumat, 19 Desember 2014. Menurut Djarot, minimarket tidak bisa dibiarkan tumbuh berkembang bak jamur di musim hujan. "Tidak boleh ada pembiaran. Sebab bila terjadi pembiaran, pasar tradisional akan mati. Sehubungan dengan itu, dia berencana membuat kebijakan ihwal syarat pendirian minimarket. Salah satunya Lihat Daftar Tokoh Pengusaha pengusaha minimarket wajib menampung produk usaha menengah, kecil dan mikro. "Tidak boleh mau kaya sendiri tanpa melihat warga sekitar," tegas Djarot.
Djarot menyatakan akan fokus pada pasar tradisional dan perkampungan kumuh, termasuk pembatasan minimarket. Menurutnya, jumlah mini market di Jakarta sudah melebihi batas dan berpotensi mematikan pedagang kecil. Saat blusukan di Terminal Pasar Senen, Jakarta Pusat, Selasa, 20 Januari 2015, Djarot menegaskan sikapnya yang tidak akan menggusur para pedagang. Penegasan itu dikemukakannya setelah mendengar kekuatiran para pedagang sebagaimana disuarakan Ketua Perkumpulan Pedagang Kaki Lima Pasar Senen Mangatir Simanjuntak. "Yang kami dengar, pasar tradisional akan diubah menjadi pasar modern, Pak," kata Simanjuntak kepada Djarot. Mangatir menilai, jika konsep pasar tradisional diubah, harga sewa yang ditetapkan bakal jadi mahal. Hal ini akan membuat pedagang kaki lima tak bisa membayar sewa. Djarot menepis kabar itu. Dia menjelaskan, bukan konsep pasarnya yang diganti, tapi pengelolaannya yang akan diperbarui. Dia ingin kesan kumuh hilang dari pasar tradisional. "Pasar tradisional identik dengan becek, bau, gelap. Nanti akan dikelola dengan baik supaya tak kalah dengan pasar modern," ujarnya. Pasar tradisional yang becek dan bau, disaksikan Djarot ketika blusukan ke Pasar Jaya Kedoya. Dia pun menegur Lurah Kedoya Utara Abdul Latif dan perwakilan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya di Kedoya, Dede Tabrizi, Selasa, 27 Januari 2015 yang mengaku sampah yang menumpuk di pasar itu sudah seminggu tak diangkat. Dia pun meminta sampah itu segera diangkat, serta memberi tenggat waktu membersihkan pasar secera keseluruhan. Sehubungan dengan kebersihan pasar tradisional, Djarot mengadakan pertemuan dengan Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Selasa, 30 Desember 2014.
Seusai pertemuan itu, kepada pers, Djarot menyampaikan keinginannya untuk menjadikan pasar tradisional sebagai pusat pengolahan kompos. Dia memberi contoh, pasar Kramat Jati, 80 persen sampahnya adalah organik. Menurutnya, banyak hal positif yang akan diperoleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jika gagasan ini berhasil dilaksanakan. Selain buangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi berkurang, pupuk hasil olahan bisa dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan dan sebagian lagi didistribusikan kepada masyarakat. Ketika blusukan di Pasar Induk Kramat Jati, Rabu, 4 Februari 2015, Djarot meminta Perusahaan Daerah Pasar Jaya mengubah Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, menjadi pasar wisata. "Jadi pasar wisata belanja sayur-mayur dan buah-buahan segar," katanya. Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki oleh PD Pasar Jaya agar Pasar Induk Kramat Jati bisa menjadi pasar wisata. Di antaranya, harus menjadi lebih bersih dan terang; jalan di depan pasar harus diatur agar tidak macet; juga harus memiliki tempat pengelolaan sampah, sehingga sampah tak menumpuk dan tak mengeluarkan bau tak sedap. Djarot memberi target satu tahun kepada PD Pasar Jaya untuk menata seluruh pedagang Pasar Induk Kramat Jati hingga pasar itu benar-benar layak menjadi pasar wisata.
Perihal penataan pemukiman kumuh, Djarot sangat mendukung rencana Jokowi tentang kampung deret. Menurutnya, kampung deret pada dasarnya solusi untuk merapikan permukiman kumuh. Konsep kampung deret merupakan inisyatif Jokowi sewaktu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Namun, status kepemilikan lahan menjadi salah satu hal yang mengganjal dalam pelaksanaan kampung deret. Kampung deret yang dibangun di atas lahan milik pemerintah menimbulkan resiko konflik. Menurut Jokowi, tanah negara yang bukan jalur hijau bisa diterbitkan sertifikatnya. Adapun yang berhak menempati unit kampung deret adalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah selama lebih dari 20 tahun. Namun permasalahan lain timbul, manakala pemilik memperjualbelikan unit kampung deret. Masih banyak lagi gagasannya sebagai hasil interaksinya dengan warga dalam berbagai pertemuan blusukannya. Selain penataan pasar tradisional dan pedagang kaki lima, penataan pemukiman kumuh dan pengolahan sampah, juga langkah mengatasi banjir dan lain-lain. Namun posisinya sebagai Wakil Gubernur tidak memberi ruang yang luas baginya untuk segera merealisasikannya. Dia bahkan pernah dimarahi Gubernur Ahok ketika Djarot Saiful Hidayat mendukung penyelenggaraan Pesta Rakyat Jakarta di Parkir Timur Senayan. Salah satu pertimbangannya adalah penyelenggara PRJ bakal tak menarik biaya terhadap pengunjung dan PRJ cocok untuk masyarakat menengah ke bawah. Menurut Djarot, sudah menjadi kewajiban pemerintah memberikan peluang bagi pedagang kecil untuk bisa mengakses pameran. Djarot mengatakan, pemerintah harus memberikan akses bagi pedagang kecil untuk bisa berjualan di PRJ. Apalagi menurut Djarot, penyelenggaraan PRJ tak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI. "Saya mendukungnya karena tak ada dana APBD yang digunakan, dan usulan PRJ itu juga datang dari masyarakat," tegasnya.
Riwayat Pendidikan
S1, Universitas Brawijaya, Malang Fakultas Ilmu Administrasi (1986)
S2, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Fakultas Ilmu Politik (1991)
International Workshop
Universitas Amsterdam (2002)
Riwayat Jabatan
Dosen di Universitas 17 Agustus 1945 SurabayaPembantu Rektor I Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya (1997-1999)
PD I FIA, UNTAG Surabaya (1984-1991)
Dekan FIA, UNTAG Surabaya (1991-1997)
Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur (1999-2000)
Wali Kota Blitar (2000-2010)
Wakil Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPD PDI Perjuangan Jawa Timur (2005-2010)
Ketua I Pappuda PDI Perjuangan (1999)
Deputi I BADIKLATDA Jawa Timur (2001)
Ketua DPD PA GMNI Jawa Timur (2010-2014)
Ketua Bidang Organisasi DPP PDI Perjuangan (2010-2015)
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (2014)
Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi DPP PDI Perjuangan (2015-Sekarang)
Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-Sekarang)
Penghargaan
Penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2008)Penghargaan Terbaik Citizen's Charter Bidang Kesehatan, Anugerah Adipura (2006, 2007, dan 2008)
Otonomi Award dari Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
Penghargaan atas terobosan inovasi daerah se-Provinsi Jawa Timur di dalam pembangunan daerahnya (30 April 2008)
Penghargaan Upakarti (2007)
Peringkat Pertama dalam penerapan E-Government di Jawa Timur (22 Maret 2010)
0 Comments
Post a Comment