Biodata Affandi

Biografi Affandi        Affandi Koesoema adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.  Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.  Affandi sangat mengagumi Sukasrana, tokoh wayang berwujud raksasa berwajah buruk, namun memiliki loyalitas penuh terhadap Sumantri, kakaknya. Dalam cerita wayang, akhirnya Sukasrana terbunuh oleh sang kakak yang meragukan loyalitasnya. Penghianatan Sukasrana tidak pernah terbukti, dan rasa sesal tak terhingga menghimpit dada Sumantri. Affandi pernah mengalami wabah


Affandi Koesoema adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.

Affandi sangat mengagumi Sukasrana, tokoh wayang berwujud raksasa berwajah buruk, namun memiliki loyalitas penuh terhadap Sumantri, kakaknya. Dalam cerita wayang, akhirnya Sukasrana terbunuh oleh sang kakak yang meragukan loyalitasnya. Penghianatan Sukasrana tidak pernah terbukti, dan rasa sesal tak terhingga menghimpit dada Sumantri. Affandi pernah mengalami wabah penyakit cacar. Bahkan, empat saudaranya meninggal akibat wabah itu. Bersama enam anak Koesoemah lain, ia dibaringkan di atas daun pisang supaya panasnya turun. Affandi memang selamat, tapi bekasnya membekas diwajahnya. Pendidikan ia lalui di HIS (SD berbahasa jawa Belanda untuk anak-anak pribumi) di Indramayu. Kemudian ia ikut dengan kakaknya, Saboer, untuk sekolah di MULO (setingkat SMP). Untuk memenuhi harapan ayahnya, Affandi masuk ke AMS-B di Batavia. Tapi, ia putus ditengah jalan karena memilih untuk menekuni bakatnya sebagai pelukis.

Meski begitu tergila-gila pada lukisan, Affandi sempat menjadi guru HIS dan Taman Siswa di Jakarta. Kedua sekolah ini memberikan warna baru yang penting dalam hidupnya. Di HIS iaAffandi bertemu dengan Maryati, murid yang kemudian dinikahinya. Sedang di Taman Siswa, Affandi mendapatkan kesempatan untuk belajar melukis di Shanti Niketan, India. Di India dia mendapat kejutan. Bukannya diterima untuk belajar, ia dinilai justru lebih pantas menjadi pengajar. Tetapi, ia menolak. Uang beasiswanya digunakan untuk berkeliling India dan melukis. Selama bekarya di India, subjek gambarannya merangkum kemiskinan yang ada di Negara itu. Beberapa lukisannya kemudian menjadi koleksi Museum Madras dan Museum Tagore. India juga memberikan sesuatu yang baru bagi Affandi. Di Negeri ini Affandi menemukan tehnik "pelototan", yaitu melukis tanpa memakai kuas. Affandi hanya memelotot cat dari tube, dengan menggunakan tangan serta jarinya, untuk melukis. Teknik baru itu semakin menambah cita rasa ekspresionisnya.

Pasca tahun 1934 setelah kelahiran Kartika, anak pertama Affandi, hidup Affandi mengalami masa-masa sulit. Sebagai seorang suami dan ayah, Affandi harus memberikan nafkah keluarganya. Saat itu lukisannya belum bisa digunakan untuk menopang kebutuhan keluarga. Ia kemudian menjadi tukang poster di Bioskop Elite, bandung. Tapi, Affandi terus melukis. Muncul harapan ketika orang mulai tertarik membeli hasil karyanya. Waktu itu di Kebun Raya Bandung diadakan bazar dan pameran lukisan. Salah satu lukisan Affandi dibeli oleh Sjafei Soemardja, lulusan Sekolah Tinggi Lukis Amsterdam, Belanda. Affandi sendiri malah heran mengapa Sjafei mau membeli lukisannya. Sjafei hanya menjawab, "Di dalamnya saya melihat masa depan. Teruslah melukis, jangan berhenti, dan jangan berputus asa".

Affandi terus menuai keberuntungan. Pada zaman pendudukan Jepang, eksistensinya sebagai pelukis mulai mendapat pengakuan. Affandi melakukan pameran untuk pertama kali di Jakarta, di Gedung Putera. Pameran ini sukses besar dan menjadi momen penting buatnya saat masyarakat mengakui bahwa telah lahir pelukis besar.

Di zaman Jepang, Affandi sampai menggunakan lukisannya sebagai media kritik. Tahun 1944, Jepang memesan sebuah poster kepada pendatang baru yang sedang naik daun ini. Temanya untuk menggiatkan Keberangkatan Romusha. Tetapi, Affandi malah membuat patung yang menggambarkan penderitaan akibat Romusha dan "Tiga Orang Pengemis" sebagai gambaran kekejaman Jepang.

Ketika Jepang kalah, Affandi dan keluarganya pindah ke Yogyakarta. Affandi mendirikan Seniman Masyarakat. Pada 1946 lahir lukisan Affandi yang bersejarah dengan juduln Merdeka Atau Mati – melukiskan Laskar Rakyat yang sedang rapat di malam hari. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Affandi juga pernah berkolaborasi dengan Chairil Anwar (yang membikin teks nya) dalam poster perjuangan Boeng, ajo Boeng. Poster patriotik ini melukiskan seorang lelaki mengacungkan kedua tangannya ke atas untuk memutuskan rantai yang membelenggunya. Latar belakangnya adalah bendera Merah Putih.

Biografi Affandi        Affandi Koesoema adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.  Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.  Affandi sangat mengagumi Sukasrana, tokoh wayang berwujud raksasa berwajah buruk, namun memiliki loyalitas penuh terhadap Sumantri, kakaknya. Dalam cerita wayang, akhirnya Sukasrana terbunuh oleh sang kakak yang meragukan loyalitasnya. Penghianatan Sukasrana tidak pernah terbukti, dan rasa sesal tak terhingga menghimpit dada Sumantri. Affandi pernah mengalami wabah

Perjalanannya keliling dunia membuat namanya melambung di lingkup internasional. Setelah menuntaskan perjalanan keliling india, ia melalang buana menebarkan pesonanya yang unik. Saat mengadakan pameran di Eropa, Sir Harbert Read memujinya sebagai satu-satunya pelukis yang membawa angin baru setelah usainya Perang Dunia II. Setahun tinggal di London, Affandi menuju Brussel, paris, dan Roma. Di Venesia ia mendapat penghargaan Bienale sehingga berhak mengadakan pameran di Messina. Tidak semua pelukis boleh memamerkan karyanya disini. Tahun 1954, Affandi pulang ke indonesia. Meski sempat ditolak Akademi Seni Rupa, perjalanannya telah menorehkan namanya dalam komunitas terhormat. Pemegang gelar Doktor Honoris causa dari Universitas Singapura dan anggota seumur hidupAkademi jakarta ini, meninggal pada tahun 1989. Affandi telah tiada, namun monumen abadinya bisa kita lihat dirumah sekaligus Museum yang terletak ditepi sungai Gajah Wong, Yogyakarta. Diatas tanah seluas 3000 meter persegi ini, karyanya akan terus menjadi bukti talentanya yang legendaris. Hanya ada satu kamar di rumah itu. Ruang tidurnya berupa gerobak sapi yang dibangun disamping rumah. Itulah Affandi, maestro pelukis yang unik dan bersahaja, yang dalam bayangan kita selalu lekat dengan kaus oblongnya yang penuh noda cat.

0 Comments

Post a Comment