Setelah melalui proses pemilihan yang ketat, Melanie Putria Dewita Sari, mahasiswi, wakil dari Sumatera Barat, terpilih menjadi Putri Indonesia 2002. Pemilihan kali ini diikuti oleh 34 finalis yang mewakili 30 provinsi di Indonesia (DKI Jakarta diwakili empat finalis). Rissa Susmex, puteri asal Aceh yang pernah menjadi juara pidato berbahasa Spanyol di Venesia, terpilih sebagai runner up satu. Runner up dua adalah finalis asal DKI Jakarta, Sagita Sinta Pratiwi. Fransisca Sani Laurent (Papua) sebagai putri persahabatan, sementara favorit pemirsa adalah Komang Ayu Butiny (Bali).
Sebagai Putri Indonesia 2002, Imel menerima hadiah antara lain adalah rumah dinas, mobil dinas, dan uang sejumlah Rp25 juta. Juara lomba nyanyi Asia Bagus 1999, peraih medali emas paduan suara di Austria dan juga Miss London School ini akan bertugas sebagai duta Indonesia, di antaranya di bidang pariwisata, seni dan kebudayaan, serta kampanye antinarkoba selama setahun mendatang. Setelah sepuluh hari berada dalam karantina panitia, pada malam final pemilihan Putri Indonesia 2002 di Teater Tanah Airku, TMII, Jumat (12/7/02), 34 finalis disaring lagi berturut-turut menjadi kelompok 10 besar, 5 besar, hingga 3 besar. Di setiap babak, dewan juri yang terdiri dari 11 orang dari berbagai kalangan meminta kontestan untuk beropini tentang suatu hal. Mulai masalah sosial, teknologi, pariwisata, hingga pengetahuan umum.
Ketua Dewan Juri, Kusumadewi, menilai Imel, panggilan akrab Melanie, terlihat sangat menonjol. “Saat menjawab berbagai pertanyaan yang disampaikan kepadanya, ia tampak yakin, percaya diri. Ia memberi jawaban yang sangat berbobot,” tutur Kusumadewi kepada Media. Selain itu, lanjutnya, Imel memiliki inner dan outer beauty. Selain cantik, Imel selalu menunjukkan sikap yang santun dan relijius. Acara Pemilihan Puteri Indonesia ke-7/2002 di Teater Tanah Airku kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jumat (12/7/02) malam berlangsung meriah, meskipun mungkin membikin sebagian penonton, termasuk pemirsa televisi, tersenyum kecut. Katanya brain, behavior, and beauty, tapi tak tahu chauvinisme? Memang selalu ada kontroversi sepanjang masa tentang lomba kecantikan, menyangkut fetisme alias pemberhalaan penampilan.
Sedikit berbeda dari acara tahun lalu, puncak acara penyampaian pengumuman Puteri Indonesia 2002 tidak dilakukan langsung penyandang gelar tahun sebelumnya, Angelina Patricia Pingkan Sondakh. Ia baru muncul ke atas panggung setelah nama pemenang disebut oleh pembawa acara Tantowi Yahya. Peran Angelina di atas panggung tinggal melepas sendiri mahkota yang dikenakannya yang kemudian ia sematkan ke atas kepala pemenang, Melanie.
Adegan ini berbeda dibanding acara yang sama tahun sebelumnya, ketika Puteri Indonesia 2000 Bernika Irnadianis Ifada mendapat peran utama sebagai penyampai pengumuman. Waktu itu, Bernika berjalan-jalan ke sekeliling panggung mencari-cari sang pemenang (yang namanya sesaat sebelumnya diketahuinya dari juri) sebelum akhirnya menyematkan mahkota ke kepala Angelina Sondakh, sang Puteri Indonesia 2001. Mengecilnya peran penyandang eks Puteri Indonesia 2001 di atas panggung itu kemungkinan berhubungan dengan penerbitan buku Angelina, yang membuat beberapa pihak “sewot”. Meskipun, menjawab pertanyaan wartawan, Angelina membantah perannya telah mengecil malam itu. Nyatanya, ia tetap dimunculkan di atas panggung oleh panitia.
Ia membantah bahwa kalimat yang ia tulis di awal bukunya Kecantikan Bukan Modal Utama Saya telah mengganggu hubungan kerjanya dengan Yayasan Puteri Indonesia sebagai lembaga penyelenggara acara. Yayasan ini melaksanakan acara Pemilihan Puteri Indonesia didasarkan dari kewenangan memegang lisensi tunggal dari lembaga Miss Universe Organization, organisasi dunia payung kegiatan penyelenggaraan kontes ratu kecantikan di New York.Pertama kali dari kebiasaan tujuh kali pemilihan Puteri Indonesia sejak tahun 1992, Angelina (nama panggilannya: Angie) mengakhiri masa tugasnya sebagai Puteri Indonesia 2001 dengan menulis dan menerbitkan buku. Meski bukunya terkesan sederhana karena sebagian besar berisi catatan hariannya menghadapi hari-hari kegiatannya ketika menjalani peran sebagai Puteri Indonesia, buku itu menjadi penting.
Setidaknya buku itu membuka informasi dari sudut pandang yang intim dari tidak saja pengalaman, juga perenungan seorang Puteri Indonesia tentang bagaimana ia memahami posisinya. Pembaca memperoleh informasi jujur karena buku itu berasal dari catatan harian, catatan pribadi Angie kepada seorang teman khayali bernama “Rasa”. Ia bertutur apa saja. Polos berbicara tentang kekurangan dan kelebihan sesuatu hal yang ia amati. Pemikirannya selalu dua segi: kurang dan lebih atas sesuatu hal. Seperti catatan harian tertanggal 8 September 2001 ketika berada di Palembang untuk sejumlah kesibukan, ia menulis: Mengunjungi museum adalah salah satu kesukaan saya. Saya sangat tertarik dengan sejarah dan barang peninggalan sejarah. Museum tersebut sangat bagus dan luas. “Sayang”, tamannya kurang terawat.
Ketika ia membuat semacam evaluasi umum atas kinerjanya selama setahun menjalani peran sebagai Puteri Indonesia, ia juga menulis di awal bukunya dengan sikap kritis yang sama: Saya sangat bersyukur pernah menyandang gelar Puteri Indonesia dan saya menjalankan semua tugas saya selama ini dengan senang hati. Meskipun ada yang “disayangkan”, saya lebih banyak tampil untuk demo kecantikan dan berbicara tak jauh dari topik kecantikan. Saya sama sekali tidak keberatan, asalkan diimbangi dengan kegiatan yang menonjolkan kriteria yang lain, yaitu kecerdasan intelektual.
Pada kesempatan lain ia mengeluh (catatan 13 Desember 2001): Dan memang tidak bisa dipungkiri selama masih di dunia entertainment, phisical appearance will be top of the list. Kadang hal itu memberatkan. Harus memikirkan masalah berat badan, jerawat, kehalusan kulit dan semua yang berhubungan dengan penampilan. Oh….
“Lewat tulisan itu, saya ingin mendidik calon peserta Puteri Indonesia dan kebanyakan remaja putri, bagaimana memahami makna kecantikan. Dan, bagaimana nilai diri tidak semata ditentukan oleh kecantikan, tidak jadi hamba terhadap usaha menjadi cantik,” tutur Angie yang mengaku baru saja mendapat permintaan terjemahan bukunya ke bahasa Inggris oleh dua lembaga di AS dan Australia.
Puteri Indonesia bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga menonjol kecerdasan intelektual dan perilakunya, berulang-ulang diungkap oleh siapa pun, panitia dan penyelenggara acara seperti mantra: brain, behavior, and beauty (3B). Seolah ingin menegaskan, betapa seluruh hiruk-pikuk itu bukan sekadar acara pameran kecantikan. Pola penjurian itu disebutkan mengacu pada pola yang digunakan untuk pemilihan Miss Universe.
“Bahwa pemilihan ini adalah kompetisi prestasi, bukan sekadar pameran senyum, kerlingan mata, dan pameran tubuh belaka,” sambutan Wakil Ketua Umum Yayasan Puteri Indonesia Puti Kuswisnuwardhani.
Film pemenang Oscar berjudul Erin Brockovich (kisah nyata tentang Erin Brockovich, pejuang lingkungan AS yang eks Miss Wichita) yang diperani Julia Roberts menyindir pernyataan semacam itu. “Aku akan mengabdikan diriku sebagai Miss Wichita, mengenyahkan kelaparan dan menciptakan perdamaian di muka Bumi. Saya hanya punya waktu dua minggu untuk mengenyahkan kelaparan di muka Bumi.”
Seperti yang sudah tampak di layar televisi, keseluruhan acara malam Pemilihan Puteri Indonesia 2002 di TMII Jumat malam itu, memang seluruhnya berisi “kompetisi kecerdasan”. Para finalis dihadapkan pada Dewan Juri yang melayangkan pertanyaan menurut bidang yang luas, sejak pengetahuan umum, sosial, politik, ekonomi sampai sains.
Andi Alfian Mallarangeng kepada wartawan menyebut kemampuan mereka, cuma “lumayan”. Pengamat politik ini mengaku akhirnya mau setelah dibujuk-bujuk panitia untuk menjadi salah seorang juri. “Saya mau dengan syarat panitia membuka kesempatan adanya pertanyaan bertema politik pada saat penjurian. Saya juga mau karena ada kesempatan ceramah pendidikan politik yang saya berikan kepada seluruh finalis. Saya manfaatkan memberi penyadaran politik,” katanya.
Ambil contoh pertanyaan “pengetahuan politik” yang disampaikan salah seorang juri: Jean Louis Ripoche, Manajer Hotel Le Meridien, Jakarta, tentang apakah peserta setuju pada chauvinisme. Sebagaimana bisa disaksikan di layar televisi oleh jutaan pemirsa, si peserta spontan bertanya balik kepada pembawa acara Tantowi Yahya: apa itu chauvinisme.
Ketika Tantowi menjawab balik sekenanya bahwa itu artinya nasionalisme, peserta sambil memasang senyum dengan antusias mendekatkan mikrofon ke mulutnya, lalu menjawab, “Ya, saya setuju sekali dengan chauvinisme.” Waduh.
Sebagai Putri Indonesia 2002, Imel menerima hadiah antara lain adalah rumah dinas, mobil dinas, dan uang sejumlah Rp25 juta. Juara lomba nyanyi Asia Bagus 1999, peraih medali emas paduan suara di Austria dan juga Miss London School ini akan bertugas sebagai duta Indonesia, di antaranya di bidang pariwisata, seni dan kebudayaan, serta kampanye antinarkoba selama setahun.
Referensi
https://urangminang.wordpress.com/2008/06/30/melanie-putria-dewita-sari/
0 Comments
Post a Comment