Djoko Santoso seorang jenderal yang kalem, low profile, bersahaja tapi tegas dan cenderung perfeksionis. Setelah dua tahun menjabat Kasad, perwira intelijen yang kebapakan dan luwes, ini dilantik Presiden SBY sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal Djoko Suyanto, Jumat (28/12/2007) siang di Istana Negara, Jakarta.Selain melantik Djoko Santoso menjadi Panglima TNI, Presiden SBY juga melantik Letnan Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), menggantikan Jenderal TNI Djoko Santoso dan Marsekal Madya TNI-AU Soebandrio sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) menggantikan Marsekal Herman Prajitno yang sudah memasuki masa pensiun.
Serah terima jabatan Panglima TNI dari Marsekal Djoko Suyanto kepada Jenderal TNI AD Djoko Santoso dilakukan dalam upacara militer pada Selasa 8 Januari 2008 pukul 09.00 Wib di halaman Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara itu berlangsung sederahana tapi hikmat dihadiri sejumlah undangan.Jenderal TNI Djoko Santoso, lahir di Solo, Jawa Tengah, 8 September 1952. Lulusan Akabri (1975) ini berpengalaman di lingkungan intelijen negara yang memang secara karakter tidak boleh high profile. Alumni Seskoad (1990) ini lebih banyak bertugas di lingkungan direktorat dan intelijen strategis pertahanan luar negeri. Sehingga eksposenya sangat minim.
Sejak menjabat Kasdam IV/Diponegoro (2000), karirnya mekin cemerlang. Dia kemudian dipercaya menjabat Waassospol Kaster TNI (1998). Kemudian, menjabat Pangdivif 2 Kostrad (2001). Lalu menjabat Pangdam XVI/Pattimura dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) 2002-2003 dan Panglima Kodam (Pangdam) Jaya Mei 2003-Oktober 2003.Karakter penugasan sarjana (S1) FISIP (1994) dan S2 Manajemen (2000) ini kembali menuntut sikap low profile saat dipercaya menjabat Wakil Kepala Staf TNI AD 2003-2005. Kemudian pada tanggal 18 Februari 2005, Ia dilantik menjadi KSAD, menggantikan Ryamizard Ryacudu. Kala itu, Tokoh Indonesia telah memperkirakan dia akan menjabat Panglima TNI berikutnya.
Sebelum dilantik, KSAD Jenderal Djoko Santoso diusulkan menjabat Panglima Tentara Nasional Indonesia menggantikan Marsekal Djoko Suyanto. Usulan itu tertuang dalam Surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Nomor 65 yang diajukan ke pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Surat diterima Ketua DPR Agung Laksono, Senin (26/11/07) sore.
Surat presiden itu dibacakan di rapat paripurna DPR. Selanjutnya, Badan Musyawarah DPR menugaskan Komisi I yang membidangi masalah pertahanan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Kemudian dalam sidang paripurna DPR menyetujui calon yang diajukan Presiden untuk dilantik sebagai Panglima TNI.
Konflik Maluku
Ketegasan Djoko Santoso selaku Panglima Kodam XVI/Pattimura juga terlihat dari keberpihakannya terhadap rakyat maupun hak-hak rakyat. Ketika situasi dan kondisi keamanan Maluku mulai tenang, Panglima Djoko Santoso mulai menerima banyak pengaduan dari masyarakat perkampungan yang berada di sekitar Batalyon 733, Ambon. Satu di antaranya, sulitnya mendapatkan air bersih.
Menerima laporan itu, Djoko langsung menugaskan Asrena Kodam XVI/ Pattimura, Kolonel Fuad Basya, dan staf untuk menapaki gunung mencari sumber air. Setelah ditemukan, Djoko melihat langsung ke atas gunung, dan memerintahkan para prajuritnya membuat bak penampung yang besar, lantas disalurkan dengan pipa besar ke batalyon, hingga dialirkan melalui keran-keran masuk ke rumah-rumah perkampungan penduduk di sekitar Batalyon 733. “Sejak itu rakyat melihat perhatian Panglima terhadap rakyat sangat besar. Mereka lantas banyak menyampaikan pengaduan-pengaduan,” kenang Basya.
Salah satu pengaduan yang sangat terkesan bagi Basya adalah mengenai status tanah yang digunakan Rindam XVI/Pattimura di kawasan Sulih, di pinggir Kota Ambon. Sejumlah anggota masyarakat mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya sejak puluhan tahun lalu. Setelah dilakukan cek administrasi dan fisik tanah, ternyata benar. Bahwa tanah yang digunakan sebagai markas Rindam bertahun-tahun tersebut adalah milik rakyat.
“Panglima lantas memutuskan untuk memberikan ganti rugi kepada rakyat yang memiliki tanah tersebut, dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, sehingga status dan sertifikatnya bisa berubah menjadi milik TNI AD,” kata Fuad Basya.
Perhatian Djoko terhadap hak-hak rakyat juga terlihat ketika ia ditarik dari Maluku untuk menjabat Pangdam Jaya. Fuad Basya yang juga ditugaskan menjadi Aslog Kodam Jaya mengisahkan, suatu saat Pangdam Jaya Mayjen TNI Djoko Santoso memperoleh laporan bahwa sebagian lahan tanah yang digunakan Detasemen Rudal TNI AD di Cikupa, Kabupaten Tangerang, diklaim oleh anggota masyarakat sebagai miliknya.
“Ada tanah rakyat yang masuk ke wilayah Den Rudal, kemudian mereka minta dikembalikan. Setelah dipelajari, staf mengatakan, ini persoalan biasa, setiap pergantian panglima mereka mengadukan tanah tersebut. Jadi gak usah ditanggapi. Tapi saya tetap laporkan ke Pangdam. Beliau minta ditinjau ke lokasi untuk dilakukan cek administrasi serta fisik. Setelah dicek sertifikatnya, ternyata lahan tersebut betul milik TNI AD. Tetapi setelah dilakukan cek fisik, memang ada sebagian tanah rakyat, sekitar 4.000 meter, yang masuk dalam pagar detasemen. Kondisi ini sudah berlangsung lama dan sudah berganti-ganti panglima. Lantas pak Djoko instruksikan kepada saya, hak-hak rakyat harus dikembalikan. Akhirnya disepakati pembelian tanah tersebut dari pemiliknya seharga 30% dari harga pasar,” papar Fuad.
Ketika Djoko menjabat sebagai KSAD dan Panglima TNI, ia senantiasa memperhatikan kasus-kasus tanah yang muncul di lingkungan TNI. Sikap Djoko sangat tegas, hak-hak rakyat harus dikembalikan. Demikian pula ketika terjadi bencana alam, baik tsunami Aceh, Nias, Ambon, dan gempa di Yogyakarta, Djoko mengerahkan dan memimpin langsung para prajurit TNI untuk memberikan pertolongan maupun bantuan kepada rakyat yang terkena musibah.
0 Comments
Post a Comment