Biodata Ratna Sarumpaet


Biodata


Nama : Ratna Sarumpaet

Tempat tanggal lahir : 16 Juli 1949 di Tarutung, Tapanuli Utara

Agama : Islam

Orang Tua : Ayah -Saladin Sarumpaet

Ibu -Yulia Hutabarat

Suami : Achmad Fahmy Alhady.

Anak : Mohammad Iqbal Alhady

Fathom Saulina

Ibrahim Alhady

Atiqah Hasiholan.

Pekerjaan :penulis naskah,sutradara, aktivis politik dan aktivis HAM.

Alamat : Kawasan kampong melayu kecil No. 24, Tebet, Jakarta Selatan

Pendidikan

: -SD Negeritarutung

-SMP BOPKRI Yogyakarta

-SMA PSKD I Jakarta

-Universitas Kristen Indonesia Fakultas Teknik Arsitektur (tidak tamat)


Biografi 



Profil Biografi Ratna Sarumpaet Aktivis HAM,Aktris & Penulis Indonesia dia lahir pada tanggal lahir 16 Juli 1949 sering dipanggil juga Sarumpaet, lahir dalam keluarga Kristen aktif secara politik di Sumatera Utara, awalnya belajar arsitektur di Jakarta. Setelah melihat sebuah drama oleh W.S. Rendra pada tahun 1969, dia putus dan bergabung kelompoknya.

Lima tahun kemudian, setelah menikah dan masuk Islam, ia mendirikan Satu Merah Panggung; rombongan melakukan sebagian besar adaptasi dari drama asing. Saat ia menjadi semakin khawatir tentang pernikahannya dan tidak bahagia tentang adegan teater lokal, dua tahun kemudian Sarumpaet meninggalkan rombongan dan mulai bekerja di televisi; dia hanya kembali pada tahun 1989, setelah menceraikan suaminya yang kasar.

Pembunuhan Marsinah, aktivis buruh, pada tahun 1993 menyebabkan Sarumpaet untuk menjadi aktif secara politik. Dia menulis drama pertamanya asli panggung, Marsinah: Nyanyian Dari Bawah Tanah (Marsinah: Lagu dari Underground), pada tahun 1994 setelah menjadi terobsesi dengan kasus ini. Hal ini diikuti oleh beberapa karya bermuatan politis lainnya, beberapa di antaranya dilarang atau dibatasi oleh pemerintah.Semakin kecewa dengan tindakan otokratis pemerintah Orde Baru Soeharto, selama 1997 pemilu legislatif Sarumpaet dan rombongan nya memimpin protes pro-demokrasi. Untuk satu ini, pada bulan Maret 1998, dia ditangkap dan dipenjara selama tujuh puluh hari untuk menyebarkan kebencian dan menghadiri sebuah "anti-revolusioner" pertemuan politik.

Setelah pembebasannya, Sarumpaet terus berpartisipasi dalam gerakan pro-demokrasi; tindakan ini menyebabkan dia melarikan diri Indonesia setelah mendengar desas-desus bahwa ia akan ditangkap karena perbedaan pendapat. Ketika ia kembali ke Indonesia, Sarumpaet terus menulis stageplays bermuatan politik.Dia menjadi kepala Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2003; dua tahun kemudian ia didekati oleh UNICEF dan diminta untuk menulis sebuah drama untuk meningkatkan kesadaran perdagangan anak di Asia Tenggara. Karya yang dihasilkan menjabat sebagai dasar untuk debut film nya 2009, Jamila dan Sang Presiden (Jamila dan Presiden). Film ini telah disampaikan kepada 82 Academy Awards untuk Film Berbahasa Asing Terbaik tetapi tidak dicalonkan. Tahun berikutnya, ia merilis novel pertamanya, Maluku, Kobaran Cintaku (Maluku, Flame of Love My).

Rumah yang terletak di kawasan Kampung Melayu Kecil, Tebet, Jakarta Selatan itu nampak asri dan sejuk. Pepohonan besar dan berbagai tanaman hias menghiasi setiap sudut rumah bernomor 24 tersebut. Sang empunya rumah memang memiliki hobi memelihara tanaman. Tepat di belakang rumah, terdapat sebidang lahan yang kerap dijadikan tempat untuk berlatih teater. Selain dihiasi dengan tanaman, beberapa topeng kayu menempel di dinding rumahnya. Panas terik yang menyengat Jakarta seperti tak terasa setelah berada di rumah yang juga dijadikan kantor Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC) tersebut.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya wanita bernama lengkap Ratna Sarumpaet, keluar dari sebuah ruangan dan langsung menyapa realita dengan ramah. Senyumnya mengembang, mencairkan suasana pada Rabu (3/6) siang itu. Menjelang usia 60 tahun pada Juli mendatang, Ratna-panggilan akrabnya-nampak segar bugar.

Kerutan di wajah, ditambah lagi dengan semakin banyaknya helai demi helai rambut putih di kepalanya, sama sekali tak membuat langkah Ratna di dunia seni dan sosial, terhenti. Bahkan, ia sempatmembuat film layar lebar berjudul Jamila dan Sang Presiden yang diangkat dari naskah yang dibuatnya pada tahun 2006 lalu. Selain itu, Ratna juga kerap mendampingi beberapa kasus yang menjadikan wanita sebagai korban. Di sela-sela kesibukannya itulah, wanita asli Tarutung, Sumatera Utara ini masih menyempatkan berbagi cerita dengan realita. Sembari duduk di halaman belakang rumahnya yang asri, Ratna pun memulai perbincangan dengan begitu bersemangat.

Didikan Keras. Lahir dari sebuah keluarga Batak, membuat Ratna hidup dalam lingkungan yang selalu mengedepankan kedisiplinan. Didikan yang keras dari kedua orangtuanya, Saladin Sarumpaet dan Yulia Hutabarat. Sang ayah merupakan seorang pejuang kemerdekaan dan pernah menjabat sebagai Menteri Pertanian pada masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Saladin juga sangat aktif di dunia politik, dengan mendirikan sebuah partai bernama Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Tak berbeda jauh dengan sang ayah, ibunya juga dikenal sebagai tokoh penting pergerakan perempuan Tapanuli yang kerap memperjuangkan kedudukan perempuan dalam tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang cenderung didominasi oleh kaum laki-laki. Ibunya yang juga sahabat karib proklamator, Mohammad Hatta, pernah menjabat ketua Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Sumatera Timur.

“Didikan dari orangtua memang keras khas orang Batak,” kenang Ratna. Hal itu nampak dari kebiasaan Ratna kecil bersama delapan saudara kandung lainnya yang diharuskan sudah mandi dan rapi sebelum pukul 6 pagi, waktu yang ditentukan untuk sarapan pagi. Dua kamar mandi dalam rumahnya terpaksa harus menjadi rebutan bagi keluarga besar Ratna setiap paginya. “Yang bangun pagi duluan, pasti akan dapat kamar mandi terlebih dahulu,” ujar anak kelima dari sembilan bersaudara ini. Ratna lahir dan dibesarkan di daerah Tarutung, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga besar dan sederhana. Selain didikan keras, Ratna juga dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Sang ayah selain aktif di dunia politik, juga merupakan salah satu pejabat penting Dewan Gereja Indonesia. Ratna kecil mengenyam pendidikan di SD Negeri di daerah Tarutung. Selepas SD, ia bersama keluarga pindah ke kota Yogyakarta dan melanjutkan sekolahnya di SMP BOPKRI, Yogyakarta. Setelah tiga tahun tinggal di kota pelajar, Ratna kemudian pindah ke Jakarta dan bersekolah di SMA PSKD I.

Selepas SMA, Ratna sempat melanjutkan ke bangku kuliah dengan mengambil jurusan arsitektur, Universitas Kristen Indonesia (UKI). Namun, setelah hampir enam semester bergelut dengan pendidikan arsitektur, tiba-tiba ia memutuskan untuk berhenti kuliah. Kala itu, sang ayah marah besar karena keputusan Ratna tersebut. Kebimbangan Ratna bermula setelah berusaha untuk jujur pada dirinya sendiri. Perasaan itu pulalah yang kemudian mendorongnya untuk cuti dari kuliah. Pada saat cuti, Ratna sempat mengunjungi Taman Ismail Marzuki (TIM). Kebetulan, kala itu TIM baru resmi dibuka dan mengadakan pertunjukkan WS Rendra. “Ini hidup saya,” ujar Ratna sesaat setelah menikmati pertunjukan seniman yang berjuluk Si Burung Merak tersebut.

Berhenti Kuliah. Sekembalinya ke rumah, tanpa berpikir panjang, wanita kelahiran 16 Juli 1949 ini langsung mengungkapkan keinginannya untuk berhenti kuliah. Ia memutuskan untuk belajar dunia seni dan teater. Lagi-lagi, sang ayah marah besar dan tak menerima keputusan anaknya itu. Kendati begitu, Ratna tetap bersikukuh mengambil keputusan yang mutlak. “Apa yang kamu lakukan untuk masyarakat dengan bergelut di dunia teater?” begitu pertanyaan sang ayah sesaat setelah Ratna mengungkapkan keinginannya. Pertanyaan tersebut terlontar beberapa kali dari mulut sang ayah. Alhasil, Ratna merasa berhutang kepada ayahnya itu karena ia harus melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas melalui dunia teater yang ia geluti. “Dari situ, saya langsung memantapkan cita-cita saya menjadi seorang sutradara,” ujar wanita yang sempat mengikrarkan menjadi calon presiden ini.Ratna kemudian belajar dunia teater dan seni secara otodidak. Guru pertamanya adalah WS Rendra. “Saya belajar ilmu dasar drama banyak dari Rendra,” kenang saudara kandung sutradara handal, Sam Sarumpaet ini. “Tapi saya belajar soal pemikiran, itu dari Asrul Sani,” lanjutnya singkat. Hasil pembelajarannya itu kemudian diterapkan pada debut pementasannya berjudul Rubayyat Omar Kayyam. Sejak saat itu, banyak film dan pementasan teater hasil karyanya melalui kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya sejak tahun 1974.

Berbagai naskah dan karya yang dibuatnya sedari dulu memang terinspirasi dari bermacam-macam persoalan yang terjadi di negeri ini. Salah satunya yang kemudian telah mengubah pola pikir Ratna terhadap kehidupan adalah peristiwa terbunuhnya buruh wanita bernama Marsinah beberapa tahun lalu. “Kejadian Marsinah seakan-akan telah menghantui saya di setiap kegiatan yang saya lakukan,” aku Ratna. “Saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk menolong Marsinah,” lanjutnya singkat. Namun, kala itu ia masih kebingungan dengan apa yang akan dilakukan untuk membantu proses pengungkapan kasus Marsinah. “I have to do something,” tekad Ratna kala itu.

0 Comments

Post a Comment