Sejarah Tragedi Trisakti Mei 1998 - Mahasiswa sebagai agent of change dan social control dalam kehidupan bermasyarakat menempatkan mahasiswa sebagai basis intelektual menuju perubahan yang lebih baik dan dalam praktiknya dilakukan dengan membentuk suatu gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya (wikipedia.com).
Fenomena sejarah pun berulang pada rezim Soeharto tahun 1998. Gerakan mahasiswa pun dapat membuat Soeharto mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai presiden. Terutama peristiwa yang menjadi klimaks dari pengunduran diri Soeharto yaitu pada tanggal 12 Mei 1998 yang di kenal Tragedi Trisakti. Berdasarkan permasalahan diatas, maka kami akan membahas mengenai “Peristiwa Trisakti Mei 1998 Sebagai Tonggak Perpindahan Kekuasaan Dari Orde Baru Ke Reformasi”.
A. Sejarah Terjadinya Tragedi Trisakti Mei 1998
Dalam sejarah panjang Republik Indonesia kita mengenal masa Orde Baru dimana selama hampir 32 tahun Soeharto menjabat sebagai Presiden. Banyak prestasi yang ditorehkan, namun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa masa Orde Baru juga menyimpan banyak “kejelekan” pula. Terutama diakhir masa pemerintahannya kita banyak mendengar terjadi demontrasi dimana-mana.
Bulan Juli 1997 pecah krisis moneter di Thailand yang ternyata menjalar ke wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia (Asvi Warman Adam, 2009:53). Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.
Bukan hanya krisis ekonomi yang menyebabkan ketidakpuasan mahasiswa dan masyarakat untuk melakukan demontrasi, namun krisis multidimesional juga sangat mempengaruhi, diantara lain :
a. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya terhadap institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidakpercayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori oleh kalangan mahasiswa yang didukung oleh para dosen serta para rektornya mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshulffe cabinet, dan menggelar Sidang Istimewa MPR dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN. Gerakan Reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya:
1. UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum.
2. UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR.
3. UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
4. UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.
5. UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Namun, setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei 1997, situasi politik dalam negeri Indonesia mulai memanas. Pemerintah Orde Baru yang didukung oleh Golongan Karya (Golkar) berusaha untuk memenangkan secara mutlak seperti pada pemilu sebelumnya. Sementara itu, tekanan-tekanan terhadap pemerintah Orde Baru di masyarakat semakin berkembang baik dari kalangan politisi, cendikiawan, maupun kalangan kampus.
Keberadaan partai-partai politik yang ada di legislatif seperti Parta Persatuan Pambangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dianggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Krisis politik sebagai factor penyebab terjadinya gerakan reformasi itu, menyebabkan munculnya tuntutan masyarakat yang menghendaki reformasi baik dalam kehidupan masyarakat, maupun pemerintahan di Indonesia. Masyarakat juga menginginkan agar dilaksanakan demokratisasi dalam kehidupan social, ekonomi, dan politik. Di samping itu, masyarakat juga menginginkan aturan hukum ditegakkan dengan sebenar-benarnya serta dihormatinya hak-hak asasi manusia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah terhadap oposisi sangat besar, terutama terlihat dari perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.
b. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pamerintah (ekskutif). Namun, pada kenyataanya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim harus melayani kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Seringkali terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa, keluarga kerabat atau para pejabat Negara. Sejak gerakan reformasi muncul, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya. Reformasi hukum harus secepatnya dilakukan karena merupakan tuntunan agar siap menyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
c. Krisis Ekonomi
Jelas seperti yang sudah disinggung diatas, krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan likuidasinya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Dalam perkembangan berikutnya, nilai rupiah melemah dan menembus angka Rp 10000,- per dollar AS. Kondisi ini semakin diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri yang memanfaatkan keuntungan sesaat, sehingga kondisi ekonomi nasional semakin bartambah buruk. Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi lainnya. Banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang luar negerinya yang telah jatuh tempo. Bahkan, banyak perusahan yang mengurangi atau menghentikan sama sekali kegiatannya.
Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas hidup masyarakat pun semakin bertambah rendah. Kondisi perekonomian semakin memburuk karena pada akhir tahun 1997 persediaan sembilan bahan pokok (sembako) di pasaran mulai menipis. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat, seperti di Irian Barat, Nusa Tenggara Timur, dan termasuk di beberapa daerah di Pulau Jawa. Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, penyimpangan terhadap Pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.
d. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Berbagai aksi damai dilakukan para mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa itu semakin bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggl 4 Mei 1998.
Tuntutan akan reformasi semakin meningkat seiring semakin memburuknya krisis ekonomi yang meluas menjadi krisis multidimensional dan semakin jelas bahwa Rezim (Orde Baru) tidak mampu mereformasikan diri. Amien Rais dan Muhammadiyah merupakan salah satu pengecam paling menonjol pada tahap ini. Demonstrasi mahasiswa semakin marak. ABRI membiarkan selama demonstrasi dilakukan di dalam kampus (Ricklefs, 2008: 689).
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat.
Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlangsung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam. Mahasiswa-mahasiswa yang gugur sebagai pahlawan reformasi pada saat terjadinya Tragedi Trisakti adalah Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, Hery Hartanto.
B. Tragedi Trisakti Mei 1998
Dengan berbagai demontrasi yang terjadi pada bulan Mei 1998 tentunya memberikan pukulan telak bagi rezim Soeharto. Bagimana tidak dengan adanya penembakan terhadap mahasiswa Trisakti yang dilakukan oleh penembak jitu menambah kacau suasana di ibukota. Ricklefs dalam bukunya menyatakan :
“pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik. Kematian mereka, bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi, telah memporak-porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial. Kerusuhan masal terjadi diberbagai tempat, dengan Jakarta dan Surakarta sebagai yang terparah (Riclefs, 2008:689)”.
Kerusuhan masal yang kemudian dengan sebutan Peristiwa Mei 1998 itu pecah dengan ganas dan mencekam setelah terjadinya pembakaran terhadap mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998.
Berikut Kronologi Insiden Trisakti yang didapatkan dari Pers Senat Mahasiswa Trisakti dan Arsip berita Kompas 13 Mei 1998 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti {online} :
Ø 10.30 -10.45
Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
Ø 10.45-11.00
Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
Ø 11.00-12.25
Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
Ø 12.25-12.30
Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
Ø 12.30-12.40
Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
Ø 12.40-12.50
Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
Ø 12.50-13.00
Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
Ø 13.00-13.20
Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
Ø 13.20-13.30
Tim negoisasi kembali dan menjelaskan hasil negoisasi di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Dilain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
Ø 13.30-14.00
Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
Ø 14.00-16.45
Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus. Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
Ø 16.45-16.55
Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
Ø 16.55-17.00
Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
Ø 17.00-17.05
Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
Ø 17.05-18.30
Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
Ø 18.30-19.00
Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
Ø 19.00-19.30
Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper(penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
Ø 19.30-20.00
Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar dari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
Ø 20.00-23.25
Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang. Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi
Ø 01.30
Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.
Sementara Soeharto pergi ke Kairo untuk menghadiri konfrensi puncak pada tanggal 7 Mei 1998, namun segera kembali tanggal 15 Mei 1998 (Ricklefs, 2008:690). Dan setibanya di Jakarta demonstrasi semakin merajalela setelah kejadian pembunuhan mahasiswa Trisakti. Penjarahan dan pembakaran terjadi hampir di seluruh sudut kota Jakarta dan kota-kota lainnya. Yang menjadi objeknya kebanyakan adalah toko warga masyarakat etnis Tiongkhoa. Lebih dari seribu orang tewas di Jakarta karena kerusuhan yang terjadi antara 13-15 Mei. Asvi Warman Adam dalam bukunya mengatakan “waktu pembakaran hampir pada waktu yang bersamaan pada titik-titik yang jauh jaraknya. Terkesan bahwa peristiwa itu direkayasa sungguh pun tidak terbukti siapa provokatornya (Asvi Warman Adam, 2009:54).”
Pada tanggal 18 Mei, Harmoko, ketua MPR, terang-terangan meminta Soeharto untuk mengundurkan diri demi kepentingan Nasional. Pada tanggal 19 Mei, Soeharto bertemu dengan sembilan pemimpin Islam terkemuka termasuk Abdurahman Wahid dan Nurholish Madjid, namun tidak mengikutsertakan Amin Rais. Soeharto meminta pendapat mereka apakah dia memang seharusnya turun jabatan (Ricklefs, 2008:691).
Pada tanggal 20 Mei direncanakan rapat akbar dilapangan Monas Jakarta. Subuh hari, Amin Raies mengatakan rapat itu batal. Mahasiswa yang sudah pergi ke Monas mengalihkan rute demontrasinya ke Gedung MPR/DPR yang waktu itu tidak begitu mendapatkan penjagaan yang ketat karena aparat keamanan bersiap di Monas. Gedung MPR/DPR berhasil dikuasai mahasiswa. Siang harinya, 14 Mentri menyatakan tidak bersedia duduk dalam kabinet baru yang dibentuk Soeharto. Ini tikaman terakhir dari pembantu dekat Soeharto (Asvi Warman Adam, 2009:54-55).
Akhirnya, pada pagi hari tanggal 21 Mei 1998, awak televisi dipanggil ke istana negara untuk mengabadikan momen pengunduran diri Soeharto (Ricklefs, 2008:691). Dalam waktu yang bersamaan pula wakil presiden yaitu B.J Habibie dilantik menjadi Presiden.
C. Dampak Tragedi Trisakti Mei 1998
Dalam Tragedi Trisakti Mei 1998, kita dapat melihat bagaimana perjuangan mahasiswa di Indonesia dengan turun kejalan. Mahasiswa bergerak dari kampus-kampus bukan hanya di Jakarta saja, hingga akhirnya suara Reformasi dapat lahir. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa Trisakti 1998 dengan terbunuhnya 4 mahasiswanya menjadi kasus beli bagi munculnya gerakan mahasiswa yang jauh lebih besar lagi. Dampak yang ditimbulkan dari Tragedi Trisakti Mei 1998 bukan hanya berdampak bagi kampus Trisakti tetapi juga berimbas kepada hal lainnya.
1. Dampak Insiden Trisakti 1998 Terhadap Pemerintahan Orde Baru
Berikut dipaparkan dalam bagian ini mengenai dampak insiden Trisakti terhadap pemerintah berdasarkan kronologi :
a. Sabtu, 16 Mei 1998
Menurut penulis skripsi (Siti Jubaedah, 2010:122) pukul 09.00 Presiden Soeharto menerima delegasi guru besar Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Rektor UI Usman Budisantoso di Jl. Cendana. Pada kesempatan tersebut, Kepala Negara menegaskan bahwa menjadi Presiden bukan keinginannya tetapi sebagai wujud rasa tanggung jawab sebagai mandataris MPR (Pambudi, 2009:12).
Pukul 11.00 presiden menerima pimpinan DPR untuk mengadakan rapat konsultasi. Pada saat itu yang hadir adalah Harmoko (Ketua), Ismail Hasan Matareum (Wakil), Syarwan Hamid (wakil), Abdul Gafur (wakil), dan Sekjen DPR RI Afif Mafoef (Pambudi, 2009:12). Dalam kesempatan itu Presiden soeharto menegaskan tiga hal yaitu :pertama, mempersiapkan kelanjutan jalannya reformasi, kedua, memperbaiki kinerja pemerintah dengan melakukan reshuffle cabinet. Dan terakhir, Presiden akan menggunakan wewenang untuk melindungi keamanan rakyat dengan Tap MPR No.5/1998(Pambudi, 2009:13).
b. Minggu, 17 Mei 1998
Rapat menteri bidang Polkam digelar untuk menanggapi meluasnya gejolak unjuk rasa. Disamping itu pemerintah asing mulai memerintahkan evakuasi terhadap warganya yang masih berada di Indonesia, serta melarang warganya untuk berkunjung ke Indonesia. Perintah tersebut datang dari pemerintahan Amerika Serikat, Jerman, Taiwan, China, Australia, dan Filipina (Pambudi, 2009:14). Travel Warning yang diberikan beberapa negara terhadap Indonesia memang sangat masuk akal karena yang menjadi sasaran anarkis masa tidak dapat ditebak. Segala hal bisa menjadi korban luapan kemarahan masa.
c. Senin, 18 Mei 1998
Pada hari ini juga, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 16/1998 yang memberikan kewenangan untuk mengatasi segala tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini diberikan kepada Pangab Jenderal Wiranto (Pambudi, 2009:15). Intruksi Presiden No.16 Tahun 1998 yaitu mengenai pembentukan sebuah badan yang bernama Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional (KOPKKN) dan Panglima ABRI ditunjuk sebagai panglimanya (Subroto, 2009:5).
Mengutip penulis skripsi yang dikutip dari buku Kontroversi Kudeta Prabowo, dibawah ini adalah pernyataan ketua MPR/DPR Harmoko yang dibacakan saat memberikan keterangan pers.
“… Pimpinan dewan, baiknya ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”.
Pukul 19.50 sebagai reaksi atas keterangan pers pimpinan DPR/MPR , Jenderal TNI Wiranto menyampaikan pernyataan pers. Isinya antara lain:
“… Memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR RI agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum (Pambudi, 2009:15)”.
Sementara itu ribuan masa berhasil masuk Gedung DPR/MPR RI untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap MPR agar Soeharto turun dari jabatannya. Pendudukan gedung MPR/DPR RI adalah peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung MPR/DPR.
d. Selasa, 19 Mei 1998
Penjelasan Presiden Soeharto di depan pers disambut kekecewaan oleh para pejabat dan Staf Wapres, bahkan asisten Wapres Ahmad Watik Pratinya mengatakan “Pak Harto telah menghianati BJ. Habibie sekaligus mengabaikan berlakunya pasal 8 UUD 1945, karena tidak mempercayai Wakil Presiden dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat bahwa presiden sanksi apakah Wakil Presiden dapat melanjutkan tugas-tugasnya, apakah nanti tidak menjadi sasaran demonstrasi, apakah nanti juga harus mengundurkan diri (Baharuddin, 2006:28)”.
e. Rabu, 20 Mei 1998
Berdasarkan pada buku Kontroversi Kudeta Prabowo halaman 21 setelah diskusi hangat, maka pada pukul 22.45 WIB dicapai kesimpulan yaitu :
a. Susunan kabinet diterima sebagai kenyataan.
b. Menyetujui keputusan presiden ditandatangani Pak Harto.
c. Pelantikan dilaksanakan oleh Pak Habibie.
Untuk melaporkan hasil sidang ad Hoc itu, BJ Habibie mencoba menghubungi Presiden Soeharto tetapi Presiden Soeharto tidak bersedia berbicara dengan BJ Habibie. Presiden Soeharto malah menugaskan Mensesneg Saadillah Mursyid untuk menyampaikan bahwa esok harinya (21 Mei 1998) pukul 10.00 WIB Pak Harto akan mengundurkan diri sebagai Presiden. Sesuai UUD 45’ Presiden menyerahkan kekuasaan dan tanggung jawab kepada wakil presiden di Istana Merdeka (Bahruddin, 2006:41).
f. Kamis, 21 Mei 1998
Susunan kabinet baru akan diumumkan esok harinya. Setelah upacara pelantikan, Presiden BJ Habibie kembali ke kediamannya di Kuningan Jakarta untuk memantau perkembangan situasi terbaru lewat internet. Pukul 22.00 diadakan pertemuan untuk membentuk Kabinet reformasi pembangunan. Letjen Prabowo bersama Mayjen Muchdi PR menghadap Habibie pukul 23.00 di Kuningan dengan membawa konsep susunan kabinet Habibie yang disiapkan oleh Mayjen Kivlen Zen, Fadli Zon dan Din Samsuddin. Hal ini berani dilakukan Letjen Prabowo karena kedekatannya dengan Habibie selama ini. Prabowo punya andil mendukung Habibie menjadi Wakil Presiden (Zen, 2004:89-90). Akhirnya pada pukul 01.30 kabinet reformasi pembangunan terbentuk. Pukul 01.45 pertemuan ditutup (Pambudi, 2007:22).
Pada tahun 1998, Rezim Soeharto runtuh ditengah-tengah suasana yang mirip dengan suasana kelahirannya di tahun 1965-1966, yaitu ditengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah dijalan (Ricklef, 2008:659). Soeharto telah mundur dari kursi presiden RI. ABRI meminta para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR RI untuk pulang dan pada tanggal 23 Mei, para mahasiswa pun menuruti perintah itu (Ricklef, 2008:692).
2. Dampak Tragedi Trisakti Mei 1998 Terhadap Kampus Trisakti
Menurut penulis skripsi (Siti Jubaedah, 2006:130) Dampak gerakan mahasiswa Trisakti pada Mei 1998 menyebabkan banyak persoalan bagi Universitas Trisakti. Selain harus kehilangan empat mahasiswanya karena ditembaki aparat, pengusutan kasus penembakan tersebut belum selesai hingga sekarang. Pernyataan yang paling penting adalah sebenarnya siapakah yang paling harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? namun jawaban itu belum pasti karena pengusutannya pun belum tuntas hingga saat ini.
Majalah time edisi Asia juga termasuk yang secara detail menggambarkan suasana penembakan mahasiswa Trisakti. Sejak awal majalah ini menuliskan bahwa para penembak adalah satuan dari polisi. Time bahkan menyaksikan dua polisi yang menembak secara sporadis sementara seorang dibelakangnya mengambil jaket-jaket peluru yang jatuh ke aspal (Zon, 2009:68).
Gedung M. Sjarief Thayeb kampus Universitas Trisakti, Jakarta menjadi saksi bisu, bagaimana aparat keamanan melalui selongsongan peluru yang membubarkan barisan mahasiswa, saat melakukan aksi mimbar bebas 12 Mei 1998 lalu. Peristiwa ini juga mengakibatkan gedung-gedung maupun pertokoan rusak dan hancur oleh kekacauan amukan mahasiswa yang demonstrasi pada pemerintahan. Begitu banyak korban yang harus dirawat di Rumah Sakit. Polisi maupun Brimob yang mengurusi keamanan akhirnya tidak bisa dikendalikan dengan baik yang kemudian terpaksa dengan menembaki mahasiswa dan masyarakat.
Mahasiswa yang gugur sebagai pahlawan reformasi pada saat terjadinya Tragedi Trisakti adalah:
a. Elang Mulya Lesmana
Lahir 5 Juli 1978, anak kedua dari 3 bersaudara. Ia gemar melukis. Itulah yang mendasarinya memilih jurusan arsitektur. Elang tercatat sebagai mahasiswa angkatan tahun 1996. Elang, yang tertembak dihalaman gedung Dr. Sjarief Thayeb, bukanlah aktivis dan tidak aktif di senat mahasiswa (wawancara John Mohammad/3/8/2010).
b. Hafidin Royan
Yang kerap dipanggil Idhin adalah mahasiswa jurusan Teknik Sipil, kelahiran Bandung 28 September 1976. Idhin yang dijuluki Ustad oleh teman-temannya, seorang aktivis yang vocal. Beberapa hari sebelum berpulang, ibunya sempat bertanya kapan ia akan mudik ke Bandung. Idhin menjawab, akan pulang Rabu, 13 Mei 1998. Dan ia memang pulang, tapi sudah dalam keadaan terbujur kaku (wawancara John Mohammad/3/8/2010).
c.Hendriawan Sie
Mahasiswa jurusan Manajemen, perantau asal Balikpapan, Kalimantan Timur. Hendri adalah putra tunggal dari pasangan Hendrik Sie dan Karsiyah, kelahiran 3 Mei 1998. Kepada kakeknya, ia selalu mengatakan akan selalu berada digaris depan dalam setiap aksi demonstrasi (wawancara John Mohammad/3/8/2010).
d. Hery Hartanto
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Trisakti angkatan 1995. Ia dikenal dengan getol berwirausaha. Sebelum nyawanya terenggut, Heri sempat mengajukan pinjaman kredit sebesar Rp. 200 juta untuk usahanya. Sebagai usaha yang tak pernah ia wujudkan (wawancara John Mohammad/3/8/2010).
Kini, museum tragedi itulah yang menyampaikan aspirasi, perjuangan pengorbanan mereka hingga titik darah penghabisan. Berbagai barang kenangan almarhum juga terpajang disebuah meja kaca. Catatan kuliah, sepatu, pakaian, dan topi. Saksi bisu perjuangan mereka, yang hidupnya diakhiri sebuah peluru.
Monumen Tragedi Trisakti adalah sebuah monument yang dibangun sebagai penghargaan bagi keempat mahasiswa Trisakti yang meninggal di dalam kampus sebagai pahlawan reformasi. Monument Trisakti dibangun empat pilar utama yang mencirikan empat orang mahasiswa yang tewas ketika peristiwa 12 Mei 1998. Dalam setiap pilar terdapat satu bentuk cekungan sebagai symbol tembakan yang diterima oleh para korban, apabila cekungan tersebut berada diatas hal tersebut seolah menjelaskan bahwa tembakan yang diterima di bagian kepala (Siti Jubaedah, 2006:134 dalam wawancara John Mohammad/3/8/2010).
Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR atau MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaituLukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Yang kemudian akan disusul peristiwa semanggi 1 dan semanggi 2 yang mengakibatkan peristiwa ini, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya)
3. Dampak gerakan mahasiswa Trisakti 1998 terhadap perubahan sosial di Masyarakat Indonesia
Mengutip dari Skripsi Siti Jubaedah Halaman 139-141 mengatakan bahwa Proses reformasi pada tahun 1998 telah berdampak besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia secara umum. Pertama, yang paling dapat dirasakan dan dapat dilihat dengan jelas adalah jatuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Selama berkuasa, Rezim Orde Baru telah menjadi orde kekerasan, yang selalu mengedapankan tindakan represif dalam menjaga kelanggengan kekuasaannya. Mundurnya Presiden Soeharto sebagai symbol dari Orde Baru telah menjadi tolak ukur dari perubahan tersebut.
Kedua, seiring dengan jatuhnya Rezim Orde Baru maka berdampak pada struktur pemerintah. Ketiga, perubahan system politik di Indonesia. Walaupun sering dikatakan bahwa paham yang dianut oleh system politik di Indonesia adalah demokrasi, ini jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Perbedaan pendapat kerap kali dianggap mengganggu stabilitas nasional, menjadi hal yang dilarang pada masa Orde Baru. Perubahan sosial juga mempengaruhi sistem nilai, sikap, dan perilaku dalam sistem masyarakat di Indonesia. Dalam konteks Reformasi pada tahun 1998 terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengekangan yang dulu dilakukan pada masa Rezim Orde Baru diberbagai bidang berangsur-angsur sudah mulai dihilangkan. Sebagai salah satu contohnya kebebasan berpendapat yang dilarang sekarang sudah mulai terbuka. Kemudian, mulai dilindungi Hak Asasi Manusia menjadi salah satu indikator perubahan sosial di Indonesia setelah jatuhnya Orde Baru.
Referensi
http://sejarah242.blogspot.com/2017/02/sejarah-tragedi-trisakti-mei-1998.html
0 Comments
Post a Comment