Egy Maulana Vikri, pemain sepak bola muda Indonesia yang bermain di klub Lechia Gdansk menyebabkan kehebohan di Polandia. Kehadiran Egy Maulana Vikri, tidak hanya mengusik suporter sepak bola di Polandia, tetapi juga para pemain sepak bola Polandia di dalam negeri maupun di luar negeri. Suporter sepak bola Polandia menjadi tampak kekanak-kanakan. Mereka merasa hebat, dan menganggap Egy Maulana Vikri datang dari sepak bola dunia ketiga.
'Egy Effect' di Atmosfir Dunia Sepak Bola Eropa
Sikap anggap remeh ini, tidak hanya muncul dari suporter Lechia Gdansk, klub Egy Maulana Vikri, juga dari suporter yang menjadi lawan-lawan Lechia Gdansk. Yang tidak diduga sikap itu juga muncul dari mantan-mantan pemain dan pelatih klub tersebut. Tidak hanya itu, ternyata beberapa pemain sepak bola Polandia yang bermain di luar negeri juga terkesan meremehkan. Hanya petinggi klub Lechia Gdansk yang sadar perekrutan Egy Maulana Vikri sebagai keputusan yang tepat: keputusan teknis dan keputusan ekonomis.
Egy Maulana Vikri sendiri adalah bagian dari dunia sepak bola modern di era milenial. Hal ini tampaknya kurang dipahami oleh para suporter Poandia. Ketika, mereka coba menyinggung perasaan suporter Indonesia, baru mereka paham atmosfir dunia sepak bola telah berubah. Hal ini berbeda dengan publik sepak bola di Prancis, yang lebih elegan. Bahkan orang Prancis sedari dulu justru ingin tahu Indonesia ketika pemain sepak bola Indonesia berlaga di Prancis pada Piala Dunia 1938.
Baca Juga Si Sexy Dinar Candy
‘Egy Effect’: Pengaruh Egy Maulana Vikri Sedang Bekerja di Eropa
Egy Maulana Vikri, bukanlah pemain sepak bola kelas biasa. Egy Maulana Vikri adalah seorang pemain sepak bola Indonesia yang bahkan telah mengubah cara pandang orang Polandia. Egy Maulana Vikri dengan sadar direkrut oleh top manajemen klub Lechia Gdansk. Hasilnya langsung moncer. Popularitas klub biasa Lechia Gdansk langsung berada pada level tinggi di Polandia. Popularitas Lechia Gdansk tidak hanya terangkat di Polandia juga di Indonesia. Satu sisi ini telah dimenangkan oleh Egy Maulana Vikri di Polandia. Padahal, sejatinya, Egy Maulana Vikri baru efektif bermain empat bulan ke depan, pada bulan Juli 2018. Inilah ‘Egy Effect’ gelombang pertama.
Bendera Indonesia dan Bendera Polandia
Secara teknis, Egy Maulana Vikri adalah pemain sepak bola andal. Ini dibuktikan sebagai peraih gelar trofi Jouer Revelation, dalam turnamen Toulon di Prancis, 2017. Gelar serupa ini pernah diraih Zinedine Zidane (1991) dan Cristiano Ronaldo (2003) pada turnamen yang sama. Tahun sebelumnya, 2016 Egy Maulana Vikri juga meraih predikat top skor dengan koleksi 28 gol di turnamen Gothia Cup (Piala Dunia Mini) di Swedia.
Kehadiran Egy Maulana Vikri di Polandia telah menyita perhatian publik sepak bola Poandia. Sepak bola seakan terkena strum Egy Maulana Vikri. Terjadi ‘sock effect; di dalam atmosfir sepak bola Polandia. Situasi ‘Egy Effect’ ini membuat sebagian suporter dan pemain sepak bola Polandia terasa panik. Diantara mereka yang tidak sabar langsung melayangkan hujatan, hinaan dan juga menganggap remeh Egy Maulana Vikri yang dianggap datang dari dunia ketiga. Akibat hinaan yang ditujukan kepada Egy Maulana Vikri dan suporter Indonesia yang diduga dari suporter klub Lech Poznan (lawan Lechia Gdansk) langsung mendapat serangan cyber ke akun Lech Poznan. Serangan ini tidak hanya dilakukan ratusan suporter Indonesia, tetapi ratusan ribu Netizen sepak bola Indonesia. ‘Egy Effect’ terus berlangsung di Polandia. Hinaan itu, awalnya diduga hanya iseng, tetapi serangan Netizen sepak bola Indonesia seakan membalikkan keadaan. Ini satu keuntungan dari sisi sepak bola Indonesia. Suporter sepak bola Indonesia langsung mencuat ke permukaan sebagai suporter melek informasi tertinggi di dunia pada era milenial. Tingkat melek informasi suporter Indonesia jauh di depan suporter Polandia.
Bintang Polandia (9) dan Bintang Indonesia (10)
Anehnya, suporter, pemain dan mantan pelatih di Polandia menganggap Indonesia berada di ujung dunia dari dunia ketiga. Padahal terminologi ‘ujung dunia; dan terminologi ‘dunia ketiga’ sudah sejak lama tidak berlaku dan terminologi itu tidak pernah muncul lagi dalam beberapa dasa warsa terakhir. Atlantik dan Eropa menjadi masa lalu (era zaman old), Pasifik dan Asia menjadi masa kini (era zaman now). Tampaknya ada kurikulum pendidikan yang tertinggal di Polandia sehingga mereka masih menganggap baku terminologi ‘ujung dunia’ dan ‘dunia ketiga’. Ini berbeda dengan warga Amerika (yang lebih modern dari warga Eropa), bahwa orang Amerika tidak pernah meremehkan Indonesia, bahkan sejak era Presiden Soekarno. Padahal dalam urusan sepak bola sendiri, orang-orang Indonesia lebih dulu memahami sepak bola jika dibandingkan Polandia. Klub-klub di Indonesia lebih dulu ada dibandingkan klub-klub di Polandia dan lebih awal memulai kompetisi daripada di Polandia. Timnas dari Indonesia debut di Piala Dunia 1938 di Prancis. Piala Dunia 1938 ini juga menjadi kali pertama (debut) Polandia. Memang kala itu Indonesia berada di ‘ujung dunia’, tetapi bukan ‘dunia ketiga’ dalam urusan sepak bola. Kini, peringkat ekonomi Indonesia masuk peringkat keempat terkuat, sementara Polandia berada di peringkat entah ke berapa. Daya saing ekonomi Indonesia masih menang jika dibandingkan Polandia. Indonesia berada di depan pada peringkat ke-36, Polandia sendiri berada di posisi ke-39. Oleh karenanya, terminologi ‘ujung dunia’ yang pernah ada dulu sudah lama berlalu. Dunia sepak bola telah berubah drastis: Tidak hanya dilihat dari segi teknis saja (game), tetapi sudah pada level ekonomis (industri). Soal ekonomis inilah yang menjadi keputusan top manajemen Lechia Gdansk merekrut Egy Maulana Vikri, sementara suporter sepak bola dan pemain sepak bola Polandia bahkan tidak pernah menyadarinya. Seharusnya suporter Polandia berbicara peringkat sepak bola Poalandia kepada Inggris dan Italia (yang keduanya sama-sama terpuruk), tetapi bukan ke negara Egy Maulana Vikri. Indonesia sudah menunjukkan levelnya diantara negera-negasa Asia Tenggara. Suporter Polandia seharisnya mampu berbicara apa kepada siapa di negara mana. Itu baru disebut cerdas dalam era teknologi informasi.
Tingkat melek informasi suporter menjadi mudah dipahami. Suporter Indonesia termasuk suporter fanatik dalam sepak bola. Ini semua karena warisan sepak bola Indonesia yang sudah cukup lama ada. Meski fanatik, suporter Indonesia sudah sangat berpengalaman. Suporter Indonesia sudah lama bisa membedakan antara anarkis dan bukan anarkis. Sementara suporter Polandia masih mengusung perilaku anarkis dan rasis. Padahal semua itu ada aturannya di bawah payung hukum dan SOP badan sepak bola dunia FIFA. Tingkat melek informasi suporter Polandia yang rendah inilah yang diduga mengapa perilaku anarkis dan rasis masih ada di Polandia. Suporter Indonesia masih terkendali, tetapi suporter Polandia nyaris tak terkendali. Suporter Indonesia sudah pandai melihat sepak bola sebagai industri, sementara suporter Polandia masih melihat pertandingan sepak bola hanya sebagai tontonan dalam pertarungan antara singa lapar dan banteng marah.
Mungkin suporter Polandia dengan menghina dan meremehkan merasa sudah menjadi kemenangan, tetapi itu mereka tidak menyadarinya. Sebaliknya, suporter Indonesia yang tidak kalah fanatik dengan suporter Polandia, dalam tempo beberapa jam ratusan ribu menyerbu akun-akun Polandia. Sikap anarkis dan rasis dari suporter Polandia tidak dapat diterima FIFA, tetapi serangan Netizen sepak bola Indonesia di Polandia bukan urusan FIFA. Serangan sporadis Netizen sepak bola di satu sisi harus dipandang sebagai tim komando untuk mengentaskan perilaku anarkis dan rasis dan ikut menjunjung tinggi Fair Play dalam sepak bola. Itu berarti telah turut membantu misi FIFA. Kali ini suporter Polandia kena batunya. Dunia sepak bola telah berubah, namun suporter Polandia tetap tidak menyadarinya. Egy Maulana Vikri tidak sendiri di Polandia, tetapi di belakangnya jutaan suporter sepak bola Indonesia. Ini juga termasuk ‘Egy Effect’ yang terdapat dalam pikiran dan perasaan suporter Indonesia. Dalam kasus rasis dan Egy Maulana Vikri ini supoter sepak bola dunia tersadar dan mulai memicingkan mata bagi suporter Polandia dan sebaliknya mulai membuka mata untuk memperhatikan suporter Indonesia. Sebab, dalam era modern, suporter sepak bola adalah bagian terpenting dalam industri sepak bola. Perilaku anarkis dan rasis kepada suporter Indonesia adalah kesalahan besar suporter Polandia dan akan merugikan negara Polandia. Hati suporter Indonesia telah terluka. Karena itu, bukan tak mungkin: kaos bernomor 10 EGY MV buatan Polandia tidak laku di pasar Indonesia, yang laris manis justru kaos EGY MV 10 buatan Indonesia di pasar Indonesia.
Dari kasus Lechia Gdansk vs Lech Poznan di Polandia ini akan banyak hal yang muncul. Dalam kasus ini sosok Egy Maulana Vikri dan sepak bola Indonesia akan berada di atas angin di atmosfir sepak bola Eropa.
Sepak Bola Indonesia di Prancis 1938: Mendapat Apresdiasi Tinggi dan Diterima dengan Sopan Santun
Pada masa ini, kecenderungan (path) pembangunan sepak bola di setiap negara adalah berbasis klub (liga). Sementara pada masa lampau lebih memprioritaskan dalam pembentukan tim nasional (Timnas). Dalam era modern sekarang, kedua tujuan tersebut harus disinergikan. Liga menghasilkan Timnas yang unggul dan Timnas yang unggul merefleksikan liga yang baik.
Itu syarat perlunya, tetapi tidak cukup. Syarat cukupnya adalah liga yang baik menghasilkan keuntungan (profit) bagi klub, dan pemain-pemain Timnas memiliki nilai pasar (transfermarkt) yang tinggi. Nilai profit (investor) dan niilai transfermarkt (labor) adalah kontribusi langsung sektor sepak bola (industri) dalam perekonomian nasional.
Tentu saja pada masa lampau terbentuknya Timnas masih berbasis liga-liga yang masih amatir. Jika pun liganya dianggap profesional, seperti di Eropa dan Amerika Latin, itu takarannya masih semi pro. Hal ini karena pemain tidak diukur dalam nilai transfer (transfermarkt) tetapi mempekerjakan si pemain di perusahaan pendukung klub. Pada era inilah Timnas Indonesia (baca: Hindia Belanda) sangat kuat di Asia sehingga berhasil memenuhi kualifikasi dan berpartisipasi dalam Piala Dunia di Pranscis pada tahun 1938.
Pada masa ini, perusahaan pendukung klub disebut sponsorship. Para sponsor tidak terlibat soal pemain, tetapi sponsor dengan klub hanya sekadar menjalin kerjasama saling menguntungkan. Nilai sponsor bagi klub, dan nilai marketing value bagi sponsor. Sekali lagi, itu juga belum cukup. Mempromosikan pemain di dalam klub sebagai kreator pencipta nilai baru (selain sponsor) dalam pemasaran. Inilah yang terjadi hubungan sinergi antara klub Lechia Gdansk, Polandia dengan pemain nasional Indonesia, Egy Maulana Vikri.
Dalam konteks inilah kasus Egy Maulana Vikri mencuat ke permukaan di dunia sepak bola Eropa. Kasus Egy Maulana Vikri adalah kecenderungan baru dalam dunia sepak bola modern (era milenial). Namun sangat disayangkan, terdapat perbedaan persepsi antara manajemen klub dan para suporter Lechia Gdansk. Manajemen klub sadar dan merencanakan ke arah mana klub bisa berkembang (survive) tetapi para suporter justru menganggap remeh kehadiran Egy Maulana Vikri. Tidak hanya itu, klub-klub lain yang menjadi lawan Lechia Gdansk turut meremehkan dan bahkan melecehkan dan menghina Egy Maulana Vikri.
Ini menjadi kontraporuktif. Padahal manajemn telah merencanakan Egy Maulana Vikri agar turut mendongkrak value klub baik di dalam maupun di luar negeri. Egy Maulana Vikri memenuhi semua syarat yang diperlukan: kemampuan teknis (skill), nilai jual (transfermarkt) dan nilai marketing internasional (global value). Tapi sekali lagi: suporter Polandia dan suporter Lechia Gdnask belumu menyadari itu sepenuhnya.
Kasus Egy Maulana Vikri, klub Lechia Gdansk di Polandia berbeda dengan yang dialami oleh Timnas Indonesia dan para skuadnya pada di Prancis dalam mengikuti Piala Dunia 1928. Media-media Prancis mempertanyakan kehadiran pemain dan Timnas Indonesia tetapi bukan untuk melecehkannya tetapi justru ingin tahu dan untuk mengetahui lebih lanjut agar tingkat pemahaman warga Prancis semakin tinggi khususnya warga Rheim (venue dimana Timnas Indonesia bertanding melawan Timnas Hungaria).
Media-media Prancis dan khususnya media Rheim yang bersifat sportif dalam menilai olaharga dan yang bersifat beradab dalam memahami geografis dunia membuat Wali Kota Rheim tersentuh. Esoknya, setelah Timnas Indonesia tiba di Rheim, wali kota mengundang jamuan makan malam di balai kota seluruh offisial, pemain dan jurnalis dari Ibndonesia. Penyambutan malam itu sangat luar biasa. Lalu dapat ditebak, surat kabar esoknya memberitakan jamuan Timnas Indonesia dan juga menampilkan ulasan dan deskripsi tentang eksotiknya negara kepulauan Indonesia. Koran pagi, belum waktunya sold out. Akhirnya, apa yang bisa dilihat di stadion, warga Prancis dan khsusnya warga Rheim berbondong-bondong datang ke stadion memenuhi semua bangku. Inilah kejeniusan yang dilandasi kearifan berpikir orang Prancis dalam menyambut tamu yang diprediksi akan menguntungkan. Untuk sekadar diketahui, penyambutan itu juga berlaku untuk Timnas Hungaria tetapi tensi pemberitaan didominasi oleh Indonesia, yang secara geografis berada di ujung dunia. Sementara itu, klub kota Rheim bernama Stade de Rheim adalah juara nasional liga Prancis tahun 1935 (lihat De Telegraaf, 27-05-1935).
Memang Timnas Indonesia kalah kelas melawan Timnas Hungaria dengan skor 0-6. Akan tetapi penonton yang hadir di stadion sangat terhibur karena pemain-pemain Indonesia sangat militan meski bertumbuh kecil. Disebutkan pemain-pemain Indonesia sangat lincah dan mampu memperagakan sepak bola yang menghibur dengan gocekan yang melewati pemain-pemain Hungaria yang bertubuh kekar dan tinggi. Dalam pertandingan itu, pemain-pemain Hungaria sangat sportif dan bermain dengan kualitas dan tensi tinggi tanpa ada rasa anggap remeh dari pemain-pemjain Hungaria. Ini juga tampak dari sapaan akrab kapten Timnas Hungaria kepada kapten Timnas Indonesia sebelum kock off dimulai. Kebetulan kedua kapten sama-sama berprofesi sebagai dokter. Dokter Achmad Nawir adalah kapten Timnas Indonesia dan dokter Sarosi adalah kapten Timnas Hungaria.
Sejak itulah sepak bola Indonesia dikenal di Prancis. Sejak itu pula nama Indonesia dicatat di dalam agenda FIFA sebagai negara Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia. Ternyata 18 tahun kemudian, tepatnya beripada tahun 1956 klub Stade de Rheims melawat ke Medan untuk melawan PSMS Medan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 18-06-1956). Sebagaimana kita tahu, Egy Maulana Vikri berasal dari Medan, kota yang menjadi homebase PSMS. Begitulah cara berpikir elegan orang-orang Prancis: sangat berwarna dan sangat mendunia. Dengan tangan terbuka menyambut Timnas Indonesia (1938), dengan suka cita melawat ke Medan Indonesia (1956) dan tanpa malu-malu memberikan gelar terbaik kepada Egy Maulana Vikri di turnamen Toulon, Prancis (2017).
Pada masa kini, Prancis telah memunculkan nama Egy Maulana Vikri melalui turnamen Toulon tahun lalu (2017). Dari turnamen inilah nama Egy Maulana Vikri lebih dikenal di Eropa. Sebab prestasi Egy Maulana Vikri di turnamen ini menyamai prestasi yang pernah diraih oleh Zinedine Zidane dan Cristiano Ronaldo. Lantas, apa yang akan kemungkinan terjadi dengan kiprah Egy Maulana Vikri di liga utama Polandia, Ekstraklasa yang akan membela klub Lechia Gdansk. Kita tunggu saja.
Mantan Pelatih Polandia Melecehkan Indonesia?
Soal anarkis dan rasis ada tingkatannya. Ketika suporter Lech Poznan membentangkan spanduk berbunyi: ‘Lechia Gdansk Sial Pelacur’ dapat ditafsirkan berbeda. Dari sudut suporter Lech Poznan itu ditujukan kepada suporter Lechia Gdansk. Sebaliknya, dari sisi suporter Lechia Gdansk, spanduk itu ditujukan kepada mereka. Oleh karena bunyi spanduk itu dibuat dalam bahasa Indonesia dan lukisan wajah Asia, seakan ditujukan kepada suporter Indonesia. Itulah pangkal perkaranya, sehingga suporter Indonesia melakukan serangan cyber ke situs Lech Poznan.
Okelah. Itu urusan antar suporter. Para suporter adakalanya tidak bisa dikendalikan dimana pun itu berada. Tidak hanya di Polandia, juga di Inggris, Italia dan tentu saja di Indonesia. Namun bunyi spanduk suporter Polandia tetap terasa mengganggu siapa pun orang Indonesia yang membacanya. Sekali lagi, suporter ya suporter.
Rasis yang sesungguhnya adalah pernyataan mantan asisten pelatih Polandia 2006-2009 (yang juga pernah menjadi pelatih Lechia Gdansk, 1989-1992), Boguslaw Kaczmarek. Sepintas biasa saja tetapi esensinya sangat melecehkan. Apa yang dikatakannya? Simak: ‘Sangat menyedihkan Lechia Gdansk mendatangkan pemain dari dunia ketiga sepak bola dibandingkan mempromosikan talenta muda setempat’.
Apa memang ada terminologi ‘dunia ketiga’ dalam dunia sepak bola? Bukankah FIFA telah memberikan kesempatan kepada semua negara anggota FIFA untuk mengikuti kompetisi seperti Piala Dunia? Artinya, FIFA tidak membeda-bedakan negara melainkan setiap negara didorong untuk meraih prestasi. Negara Islandia yang tidak pernah diperhitungkan di Eropa mampu ke jenjang Piala Dunia 2018. Bandingkan dengan Italia, Belanda, Amerika Serikat dan lainnya. Apa yang salah dengan Indonesia disebut negara ‘dunia ketiga’ dalam sepak bola?
Boguslaw Kaczmarek sebagai palatih profesional bersertifikat tidak pantas mengklassifikasi Indonesia sebagai negara 'dunia ketiga’ sepak bola. Sebab terminologi tersebut tidak ada dalam kamus FIFA. Terminologi tersebut dalam dunia politik juga telah lama ditinggalkan, kecuali orang-orang yang masih senang mengumbar terminologi tersebut sebagai ungkapan untuk merendahkan semata. Apakah Boguslaw Kaczmarek masuk dalam barisan orang-orang yang cenderung merendahkan negara lain? Itulah esensinya. Dalam hal ini Boguslaw Kaczmarek tidak hanya melukai perasaan orang Indonesia yang bermartabat, tetapi juga telah mencederai keinginan manajemen Lechia Gdansk untuk merekrut talenta terbaik Indonesia di bawah hubungan baik antar negara Polandia dan Indonesia.
Referensi
http://poestahadepok.blogspot.com/2018/03/indonesia-di-piala-dunia-2-egy-maulana.html
0 Comments
Post a Comment