Dari sekian banyak musik yang kita kenal di dunia ini, apakah sobat tau dan kenal siapa pencipta musik yang pertama di dunia??
Sungguh tak terduga, ternyata seorang Muslim.
siapakah beliau??
Penemu musik pertama kali adalah Al Farabi dengan nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al Farabi. Beliau adalah seorang maestro musik ataupun pakar musik. Dialah yang menemukan not musik. Beliau lahir di Desa Wasij, Transoxiana pada tahun 870 M.
Di dalam dunia musik, beliau sangat mahir memainkan alat musik dan menciptakan berbagai instrumen musik dan nada musik arab yang ada sampai saat ini. Dialah penemu not musik. Temuan ini ia tulis di dalam kitab al-Musiq al-Kabir yaitu buku besar tentang musik. Buku yang membahas ilmu dasar musik yang telah menjadi rujukan musik bagi perkembangan musik klasik barat.
Al-Farabi menulis bahwa musik dapat menciptakan suatu perasaan tenang dan nyaman. Musik juga mampu mempengaruhi moral, mengendalikan emosi, dan menyembuhkan penyakit. Seperti disaat kita sedih atau hal lainnya,mendengarkan musik adalah hal yang paling menghibur.
Karena itu bagi al-Farabi musik bisa menjadi alat terapi. Sebab musik adalah suatu yang muncul dari hati manusia dalam menangkap suara yang indah.
Al-Farabi juga mempunyai beberapa karya antara lain :
Buku teori musik yg berjudul Kitab Musiq al - kabir (Buku besar tentang musik) Buku Filsafat dan Logika Metode psikologi sosial pertama tentang "Social Psychology & Model City"
Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada 970 M. Jasadnya dimakamkan di Bab as-Saghir dekat dengan makam Mu'awiyah, pendiri dinasti Ummayyah
Di era modern sekarang ini musik sudah sangat berkembang,sudah berbagai macam jenis nada/not yang sudah berkembang.
Biografi Lengkap Penemu Musik
Biografi Al Farabi Masa Kecil Al Farabi adalah salah satu ilmuwan dan filsuf Islam, selain itu beliau juga dikenal sebagai fisikawan, kimiawan, ahli logika, ilmu jiwa, metafisika, politik, musik, dll. Al Farabi yang mempunyai nama lengkap Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-farabi lahir di Wasij di Distrik Farab (juga dikenal dengan nama Utrar), sekarang di wilayah Uzbekistan, tahun 257 H/ 870 M dan meninggal di Damaskus tahun 950 M (berumur sekitar 80 tahun). Di dunia barat Al Farabi dikenal dengan nama Alpharabius atau Abunasir (Avennaser).
Ibunya berasal dari Turki dan ayahnya berasal dari Persia (Suriah). Ayah beliau adalah seorang opsir keturunan Persia yang mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah. Diprediksi masuknya keluarga Farabi ke dalam islam terjadi pada masa hidup kakek beliau, Tarkhan. Peristiwa itu terjadi kira-kira bersamaan dengan peristiwa penaklukan dan islamisasi atas Farab oleh Dinasti Samaniyyah pada tahun 839-840 M. Kenyataan bahwa Al-Farabi adalah putra seorang militer menjadi cukup penting karena hal itu memisahkan dirinya dari filsuf-filsuf islam abad pertengahan lainnya. Tidak seperti Ibnu Sina yang ayahnya bekerja dalam birokrasi Samaniyyah atau Al Kindi
yang ayahnya adalah gubernur Kufah. Al Farabi tidak termasuk dalam kelas katib, suatu kelas yang memainkan peranan administratif yang besar bagi pengusaha-pengusaha Abbasiyyah dan satelit-satelit mereka. Ketika kecil, beliau dikenal rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas, belajar agama, bahasa Arab, Bahasa Turki, dan bahasa Parsi di kota kelahirannya, Farab. Selain itu beliau juga mempelajari Al Qur'an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqih, tafsir, dan ilmu
hadits) dan aritmatika dasar. Al Farabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem madrasah di Seljuk, menuntut ilmu dilakukan di lingkungan-lingkungan pengajaran yang diadakan oleh berbagai individu, baik di rumah mereka maupun di masjid. Ada juga perpustakaan besar yang menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi. Ada dikotomi tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadits, fiqih, serta ushul (prinsip-prinsip dan sumber-sumber agama) dan studi tambahan seperti studi bashasa Arab dan kesusasteraan dan ilmu-ilmu
asing, yaitu ilmu-ilmu Yunani yang memasuki dunia Islam melalui penerjemahan dari orang-orang Kristen Nestorian seperto Hunain Ibn Ishaq dan mahzabnya. Lembaga pendidikan pada awalnya bersifat tradisional yang mendapatkan dukungan finansial dari wakaf, sedangkan ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan di rumah atau di Dar Al-Ilm'. Baghdad Kurang puas dengan pendidikan yang ada di sana, Ibnu Farabi pindah ke Baghdad yang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu. Di Baghdad beliau bertemu dengan orang-orang terkenal dari beragam disiplin ilmu pengetahuan. Al Farabi belajar bahasa dan sastra Arab dari Abu Bakr al-Sarraj; belajar logika dan filsafat dari Abu Bisyr Mattius (seorang Kristen Nestorian) yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani dan Yuhana
bin Hailam (seorang filsuf Kristen). Al-Farabi unggul dalam ilmu logika. Beliau banyak memberikan sumbangsih dalam penempaan sebuah bahasa filsafat baru dalam bahasa Arab meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Arab dan Yunani. Harran Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, kira-kira pada tahun 920 M, Al Farabi mengembara ke kota Harran yang terletak di Utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Daerah Harran ini dikenal pula sebagai tempat nabi Ibrahim as lahir dan dibesarkan sekaligus menjadi tempat lahir bapak para nabi itu. Di Harran beliau belajar pada seorang filsuf kristen yang bernama Yuhanna bin Jilad. Baghdad Al Farabi kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menulis. Beliau adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan, dan sejauh mungkin
menyelaraskan filsafat Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Beliau berhasil menyusun sistematika konsepsi filsafat secara meyakinkan. Posisinya mirip dengan Plotinus (204-270 M) yang menjadi peletak filsafat pertama di dunia barat. Jika orang Arab menyebut Plotinus sebagai Syaikh al-Yunani (guru besar dari Yunani) maka mereka menyebut al Farabi sebagai al-Mu'allim al-Tsani (guru kedua). 'Guru pertama' disandang oleh Aristoteles. Julukan 'guru kedua' diberikan pada al Farabi karena beliau adalah filsuf muslim pertama yang berhasil menyingkap misteri kerumitan yang kontradiktif antara pemikiran filsafat Aristoteles dan Plato (guru Aristoteles). Karya Al Farabi yang berjudul al-Ibanah 'an Ghardh
Aristhu fi Kitab Ma Ba'da al-Thabi'ah (Penjelasan Maksud Pemikiran Aristoteles tentang Metafisika) banyak membantu para filsuf sesudahnya dalam memahami pemikiran filsafat Yunani. Konon Ibnu Sina (filsuf besar sesudah Al Farabi) sudah membaca 40 kali buku metafisika Aristoteles, bahkan beliau menghapalnya, tapi diakui bahwa beliau belum juga mengerti. Namun setelah membaca kitab karya Al farabi yang khusus menjelaskan maksud dari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku mulai paham pemikiran metafisik Aristoteles. Setelah melakukan petualangan cukup lama di Baghdad sekitar 20 tahun, pada tahun 942 M situasi di ibukota semakin buruk karena adanya pemberontakan yang dipimpin seorang mantan kolektor pajak Al-Baridi, kelaparan dan wabah
merajalela. Khalifah Al-Muttaqi meninggalkan Baghdad dan berlindung di Istana pangeran Hamdaniyyah, Hasan (yang kemudian mendapat sebutan Nashr Al-Daulah) di Mosul. Saudara Nashir, Ali, bertemu khalifah di Tarkit. Ali memberi khalifah makanan dan uang agar khalifah dapat sampai ke Mosul. Kedua saudara Hamdaniyyah ini kemudian kembali bersama khalifah ke baghdad untuk mengatasi pemberontakan. Sebagai rasa terima kasih khalifah menganugerahi Ali gelar Saif Al-Daulah. Al Farabi sendiri pergi ke Damaskus. Damaskus Menurut Ibn Abi Usaibi'ah di Damaskus Al-Farabi bekerja siang dan malam sebagai tukang kebun dan malam hari belajar teks-teks filsafat
dengan memakai lampu jaga. Al-Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Beliau tidak terlalu mementingkan hal-hal keduniawiaan. Al Farabi membawa manuskripnya yang berjudul Al-Madinah Al-Fadhilah, manuskrip yang mulai ditulisnya di Baghdad. Di Damaskus manuskrip tersebut berhasil diselesaikan pada tahun 942/3 M. Sekitar masa-masa ini Al Farabi melakukan perjalanan ke Mesir yang pada saat itu diperintah oleh Ikhsyidiyyah. Menurut Ibn Khallikan, di Mesir inilah Al Farabi menyelesaikan Siayasah Al-Madaniyyah yang mulai ditulis di Baghdad. Setelah meninggalkan Mesir, Al Farabi bergabung dengan lingkungan cendekiawan cemerlang filosof, penyair, dan sebagainya yang berada di sekitar Pangeran Hamdaniyyah yang bernama Said Al-Daulah. Sultan memberi Al Farabi jabatan sebagai ulama istana dengan banyak fasilitas kerajaan yang mewah.
Namun fasilitas mewah itu ditolaknya dan hanya mau menerima 4 dirham/hari untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya secara sederhana. Sisa dari gaji yang diterima dari istana digunakan Al Farabi untuk kepentingan sosial dan dibagi-bagikan pada kaum fakir miskin di sekitar Aleppo dan Damaskus. Pada tahun 950 M, Al Farabi wafat dengan usia sekitar 80 tahun. Ada satu legenda di kemudian hari yang tidak terdapat pada sumber awal dan karena hal itu maka diragukan bahwa Al farabi dibunuh oleh pembegal-pembegal jalan setelah berani mempertahankan diri. Al Qifti mengatakan bahwa Al Farabi meninggal ketika perjalanan ke Damaskus bersama Said Al-Daulah. Saif al-Daulah dan beberapa anggota lainnya melakukan upacara pemakaman untuk Al Farabi. Buah
Pemikiran Filasafat Al Farabi Al Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan), yaitu keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wajib al-Wujud (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya sehingga Wajib al-Wujud juga diartikan 'Tuhan yang Berpikir'.
0 Comments
Post a Comment