Candi Borobudur dibangun pada masa dinasti Syailendra oleh Raja Smaratunga pada abad 8, borobudur berasal dari bahasa sangsekerta yaitu dari kata Bara Yang artinya komplek candi atauBiara dan Buduhur artinya yang diatas jadi arti adalah komplek candi yang berada diatas bukit.
Cara penyusunan candi Borobudur menyerupai bunga teratai bila ini dilihat dari atas dengan maksud dari simbul simbol-simbol yang dipakai dalam penghormatan (puja) agama Buddha, melambangkan kesucian, mengingatkan umat Buddha untuk senantiasa menjaga pikiran dan hati tetap bersih meski berada di lingkungan yang tidak bersih.
Kalau kita lihat dari kejauhan, Borobudur akan tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa. Berbeda dengan piramida raksasa di Mesir dan Piramida Teotihuacan di Meksiko Candi Borobudur merupakan versi lain bangunan piramida. Piramida Borobudur berupa kepunden berundak yang tidak akan ditemukan di daerah dan negara manapun.
Tahun 1930-an W.O.J. Nieuwenkamp pernah memberikan khayalan ilmiah terhadap Candi Borobudur. Didukung penelitian geologi, Nieuwenkamp mengatakan bahwa Candi Borobudur bukannya dimaksud sebagai bangunan stupa melainkan sebagai bunga teratai yang mengapung di atas danau. Danau yang sekarang sudah kering sama sekali, dulu meliputi sebagian dari daerah dataran Kedu yang terhampar di sekitar bukit Borobudur. Foto udara daerah Kedu memang memberi kesan adanya danau yang amat luas di sekeliling Candi Borobudur.
Bahan dasar penyusun Candi Borobudur adalah batuan yang mencapai ribuan meter kubik jumlahnya. Sebuah batu beratnya ratusan kilogram. Hebatnya, untuk merekatkan batu tidak digunakan semen. Antarbatu hanya saling dikaitkan, yakni batu atas-bawah, kiri-kanan, dan belakang-depan. Bila dilihat dari udara, maka bentuk Candi Borobudur dan arca-arcanya relatif simetris. Kehebatan lain, di dekat Candi Borobudur terdapat Candi Mendut dan Candi Pawon. Ternyata Borobudur, Mendut, dan Pawon jika ditarik garis khayat, berada dalam satu garis lurus.
Candi Borobudur merupakan candi Budha, terletak di desa Borobudur kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat, berukuran 123 x 123 meter. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat.
Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
* Kamadhatu, bagian dasar Borobudur, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu.
* Rupadhatu, empat tingkat di atasnya, melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka.
* Arupadhatu, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang lubang. Melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk.
* Arupa, bagian paling atas yang melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief yang akan terbaca secara runtut berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana, ada pula relief-relief cerita jātaka. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut “The Lamp for the Path to Enlightenment” atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.
Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikelilingii rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Hal tersebut berdasarkan prasasti Kalkutta bertuliskan ‘Amawa’ berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi, kemungkinan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo terdapat aktivitas warga membuat kerajinan. Selain itu, puncak watu Kendil merupakan tempat ideal untuk memandang panorama Borobudur dari atas. Gempa 27 Mei 2006 lalu tidak berdampak sama sekali pada Borobudur sehingga bangunan candi tersebut masih dapat dikunjungi.
Pra-Pembangunan
Pada abad ke-3 sampai abad ke-5 M, agama Hindu dan Buddha mulai menyebar di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara. Zaman prasejarah di Indonesia pun berakhir kala prasasti pertama ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta oleh berbagai kerajaan Hindu di Indonesia. Pada tahun 732 M, menurut prasasti Canggal, Raja Sanjaya yang beragama Hindu-Siwa mendirikan Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Mereka membangun banyak candi, lingga, tempat pemujaan bercorak India-Jawa. Kemudian, pengaruh agama Buddha mulai memasuki zaman keemasannya di Nusantara. Raja-raja Medang berikutnya memeluk agama Buddha. Mereka menamakan diri sebagai Wangsa Syailendra.PembangunanCandi Borobudur dibangun di daerah Kedu pada tahun 750-825 M oleh Wangsa Syailendra. Pembangunannya dimulai dari masa pemerintahan Rakai Panangkaran dan dituntaskan pada masa pemerintahan Smaratungga. Pembangunan Borobudur memakan waktu 75 tahun. Periode pembangunan candi ini hampir bersamaan dengan pembangunan Candi Sewu di Dataran Prambanan bersama dengan candi-candi Hindu lainnya, yang menunjukkan kerukunan hidup di antara umat beragama pada zaman itu.
Menurut legenda, arsitek Candi Borobudur bernama Gunadharma, yang berasal dari India. Figur wajah Gunadharma konon bisa dilihat dari lekuk Bukit Menoreh tak jauh dari Candi Borobudur. Arsitektur Borobudur merupakan perpaduan budaya India dan Jawa yang harmonis dan merupakan mahakarya dunia. Candi Borobudur merupakan salah satu dari rangkaian tri candi Mendut-Pawon Borobudur yang dibangun dalam satu garis lurus jika dilihat dari angkasa. Ini melambangkan urutan prosesi ritual dari Mendut menuju Pawon lalu menuju Borobudur. Ketiga candi ini memang memiliki arsitektur, seni pahat, kisah relief, serta unit bangun yang senada.
Pada tahun 792 M, Raja Smaratungga mendirikan wihara Buddhis bernama Abhayagiri di puncak bukit situs yang saat ini dikenal dengan nama Kompleks Ratu Boko. Raja dibantu oleh para biksu Sri Lanka dari wihara Abhayagiri di Sri Lanka.
Pada tahun 824 M, Raja Smaratungga dan putrinya Pramodawardhani memasang citra dewa-dewi di wihara Buddhis bernama Weluwana (Hutan Bambu) yang diperkirakan ada di sekitar Borobudur, yakni lokasi yang kini dikenal sebagai Candi Mendut.
Tahap Pembangunan
Pembangunan Borobudur berlangsung selama 75 tahun dengan upaya kolosal. Pembangunan candi ini tidak dibangun secara terus-menerus dan mulus, namun melalui berbagai tahapan pembangunan serta berbagai rintangan sehingga mengubah struktur candi menjadi bangunan seperti sekarang.
1. Tahap pertama: Candi Borobudur dibangun dengan menggunakan tanah padat bukit sebagai pondasinya, Sehingga tidak seluruhnya menggunakan batu andesit sehingga membentuk cangkang batu andesit. Pada tahap awal, bagian atas bukit disiangi dan diratakan, kemudian pelataran datar diperluas. Struktur candi sampai galeri tingkat kedua telah dibuat sehingga masih tampak seperti piramida berundak.
2. Tahap kedua: Terjadi pemugaran bangunan secara penuh, penambahan material batu baru, mulai dari tingkat kedua. Terjadi longsor di bagian utara candi. Lalu teras lingkar atau bagian puncak candi mulai dibangun namun masih tanpa stupa.
3. Tahap ketiga: Kaki candi dibangun untuk menghentikan longsor, sehingga menutupi relief Mahakarmawibhanga. Kaki candi yang besar dan lebar dibangun untuk memperkuat struktur candi yang terlalu ramping. Di teras lingkar puncak dibangun tiga teras lingkar dengan stupa-stupa kecil.
4. Tahap keempat dan kelima: Perbaikan monument tanpa perubahan terhadap rancang bangun. Pelebaran kaki candi, renovasi, penambahan relief baru di lantai pertama. Renovasi candi masih dilakukan sampai abad ke-13.
Pasca-Pembangunan
Pada tahun 832, Rakai Pikatan yang beragama Siwa, bertakhta setelah menikahi Ratu Syailendra bernama Sri Kahulunan. Rakai Pikatan memberikan sumbangan ke berbagai candi dan wihara Buddhis, termasuk untuk pembangunan Candi Plaosan, namun mengerahkan sebagian besar sumber daya kerajaan untuk membangun kompleks Candi Prambanan.Pemerintahan Rakai Pikatan tidak sepenuhnya damai. Catatan prasasti menyiratkan perang saudara melawan Pangeran Syailendra bernama Balaputradewa. Pada tahun 850-an, Rakai Pikatan menang dan menguasai pulau Jawa. Balaputradewa menyingkir ke Sumatra dan menjadi Raja Sriwijaya. Terkubur Dalam Waktu Peradaban Jawa Tengah sendiri tidak lagi subur. Tiada prasasti lainnya yang dipahat setelah tahun 928 M ataupun ada sisa wihara lainnya baik Buddhis maupun Hindu yang dibangun di daerah Kedu. Penyebab berhentinya peradaban yang tinggi ini sampai sekarang tidak diketahui.
Peradaban lainnya berangsur-angsur muncul di Jawa Timur, namun tidak lagi membangun monumen atau candi dengan skala yang pernah dilakukan di Jawa Tengah sampai abad ke-9. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur. Penggalian dan temuan arkeologi di Borobudur menunjukkan bahwa Candi Borobudur masih dirawat dan dikunjungi sampai abad ke-15. Namun sejak saat itu sebagian besar tertutup sampai ditemukan kembali pada abad ke-19.
Dua kisah Babad Jawa yang ditulis pada abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi, monumen ini menjadi menjadi tempat pertahanan Ki Mas Dana, pemberontak Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada tahun 1709. Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.
Dalam Babad Mataram, monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada tahun 1757. Sang pangeran datang dan mengunjungi kesatria yang terpenjara di dalam kurungan (arca Buddha yang terdapat di dalam stupa berlubang). Setelah kembali ke keraton, sang pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian.
Penemuan Kembali
Sejak tahun 1811 sampai 1816 Jawa dikuasai oleh Inggris. Kepala administrasi kolonial saat itu adalah Sir Thomas Stamford Raffles, yang berkedudukan di Jakarta. Namun Raffles sering bepergian ke seluruh pulau karena minat besarnya terhadap sejarah Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat Desa Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur elanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini.Dalam kurun dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan seluruh bangunan. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles, termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah terkubur ini.
Sejak tahun itu diadakan beberapa penggalian skala kecil yang hasilnya tak pernah dicatat. Pada tahun 1835, mulai nyata bahwa monumen itu bukan hanya bagian atas bukit saja, namun struktur besar yang berdiri di puncak bukit. Orang yang berjasa menggali semua bagian candi hingga terlihat ini adalah C.L. Hartmann, seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda di Karesidenan Kedu.
Pada tahun 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama dan menemukan isi dalamnya sudah kosong. Sebelumnya Cornelius telah menginformasikan bahwa ada lubang besar di bagian timur stupa utama, yang mungkin dibuat para penjarah harta. Konon Hartmann menemukan arca Buddha dalam stupa utama. Arca Buddha itu seukuran arca lainnya di Candi Borobudur, namun tidak rampung, buruk, dan salah satu lengannya lebih pendek dari yang lainnya. Namun ketidaksempurnaan ini justru melambangkan Adhi Buddha yang kesempurnaannya melampaui semua penggambaran.
Berkat terkuaknya Candi Borobudur, banyak yang datang mengunjungi obyek megah ini. Bahkan sebuah kedai teh dibangun di stupa puncak. Penjagaan yang tidak terlalu ketat juga menyebabkan penduduk desa mengambil batu lepasan yang mereka inginkan untuk dijadikan batu pondasi rumah mereka. Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur teknik angkatan bersenjata Belanda untuk menggambar seluruh relief dan struktur Borobudur. Ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada tahun 1859.
Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada tahun 1873, monografi pertama dan penelitian lebih rinci mengenai Candi Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada tahun 1873 oleh ahli fotografi Belanda, Isidore van Kinsbergen. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, publikasi umum mengenai Candi Borobudur akhirnya diabadikan di atas kertas setelah 28 tahun upaya pengerjaan.
Pada tahun 1873 pula kondisi Candi Borobudur dalam kondisi rusak serius. Penjaga Candi Borobudur yang ditugasi Pemerintah tidak terlalu serius merawat candi. Sehingga Van Kinsbergern, fotografer candi harus membersihkan dan menggali beberapa teras agar bisa menghasilkan foto yang layak. Atas desakan banyak suara yang menuntut pelestarian candi, pada tahun 1882 diajukan usulan membongkar seluruh struktur dan melepas semua reliefnya ke suatu museum yang dibangun khusus untuk tujuan itu. Namun penyelidikan langsung setahun berikutnya menyatakan bahwa kerusakannya tidak separah yang dilaporkan sehingga langkah pembongkaran tidak dilaksanakan.
Pada tahun 1885, J.W. Yzerman, presiden organisasi arkeologi Yogyakarta, mengumumkan temuannya bahwa kaki candi yang lebar menyembunyikan kaki candi asli. Lalu kaki candi asli itu memuat panel relief yang tersembunyi. Pada tahun 1890 bagian kaki candi dibuka sementara untuk keperluan pemotretan relief tersembunyinya, sebelum ditutup kembali.
Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn, mengunjungi Jawa di Hindia Belanda dan menyatakan minatnya memiliki beberapa artefak Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur.
Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain: lima arca Buddha bersama tiga puluh batu berukir relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi - beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.
Pemugaran Van Erp
Pada tahun 1900, Pemerintah membentuk komisi yang terdiri dari tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur angkatan bersenjata Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum. Pada tahun 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada Pemerintah. Pertama, struktur candi yang miring memiliki bahaya roboh. Karena itu, sudut-sudut bangunan diperkuat, menegakkan dinding miring di teras pertama, memperbaiki gerbang, relung, dan stupa, termasuk stupa utama. Kedua, kondisi yang dipugar harus dipelihara oleh pengawasan dan perawatan intensif, memperbaiki sistem drainase ke lantai teras dan saluran pembuangan. Ketiga, menampilkan candi yang bersih dan tidak rusak, sehingga batu yang longgar harus dilepas, dibersihkan dari tanah, dan semua struktur tambahan dirobohkan. Juga penting memasang kembali stupa utama. Jumlah biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 gulden.Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, dipimpin Theodoor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk melakukan penggalian di sekitar candi untuk mengumpulkan batu candi. Penggalian juga menemukan banyak arca dan potongan relief. Melihat banyaknya batu candi yang ditemukan dalam proses penggalian,
Van Erp mengajukan pemugaran dengan skala lebih besar pada tahun 1908, dan mendapat persetujuan dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Dengan anggaran ini, Van Erp tidak sekadar memperbaiki sebagian, namun bisa memperbaiki tembok luar teras pertama, pipa pembuangan air ke lereng bukit, tangga di teras galeri, beberapa gerbang, dan sebagian besar relung arca dengan stupa yang cocok. Van Erp juga membongkar dan menyusun ulang teras lingkar berisi 72 stupa berlubang, berikut juga rekonstruksi stupa utama dengan mahkotanya. Ia juga memperbaiki struktur candi dengan memperkuat lereng bukit dan menutupi lantai galeri dan tingkat lebih rendah dengan semen. Ia juga melakukan dokumentasi fotografi yang menunjukkan keadaan candi sebelum dan setelah pemugaran.
Pada tahun 1911, Van Erp menyelesaikan rekonstruksinya. Candi Borobudur kini telah bangkit kembali, namun dalam periode selanjutnya Candi Borobudur terus mengalami kerusakan karena faktor cuaca, perubahan suhu, air, lumut, serta aksi vandalisme dan pencurian. Survei dan pengawasan terhadap pelestarian Candi Borobudur terus dilakukan, namun terhambat depresi ekonomi dunia dan Perang Dunia II. Perang Kemerdekaan dari tahun 1945-1949 pun menunda aksi pelestarian dan penyelamatan Candi Borobudur.
Pemugaran UNESCO
Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada tahun 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 sampai tahun 1982.Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Candi Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia No. 592 pada tahun 1991.
Setelah pemugaran besar-besaran pada tahun 1973 yang didukung oleh UNESCO, Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei, umat Buddha di Indonesia memperingati hari trisuci Waisak, yang memperingati kelahiran, pencerahan, dan kemangkatan Buddha Gautama. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.
Peristiwa Terkini
Pada tanggal 21 Januari 1985, sembilan stupa mengalami kerusakan akibat serangan bom yang didalangiHusein Ali Al Habsyie, seorang penceramah tunanetra yang ekstrem. Pada tahun 1991, ia dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dasawarsa 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut "Java World".
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala Richter mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh. Pada bulan November 2010, Gunung Merapi meletus. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 centimeter menutupi bangunan candi pada letusan 3-5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 9 November 2010 untuk membersihkan hujan debu. Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO menyumbangkan dana sebesar3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
0 Comments
Post a Comment