Sejarah Gerhana Matahari

Sejarah Gerhana Matahari  Kekuatan Matahari dan Bulan membuat muncul keyakinan, menganggap dewa dan dewi yang memengaruhi nasib manusia. Keduanya sumber inspirasi pelukis goa pada masa prasejarah, pembaca mantra, penulis, pelukis, hingga sineas modern. Keteraturan kemunculannya jadi dasar perhitungan waktu. Mereka pula sumber romantisme dan inspirasi penggugah semangat nasionalisme sejumlah bangsa.  Namun, saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar. Untuk menyasikan gerhana matahari, dianjurkan untuk mengenakan kacamata pelindung khusus.  Catatan awal gerhana dari Tiongkok. Norma Reis dalam kumpulan tulisan di Famous Eclipses in History di astronomytoday.com menyebut raja menghukum dua astronom, Ho dan Hi, yang gagal memprediksi Gerhana Matahari total (GMT) pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM) karena terlalu mabuk. Akibatnya, raja tak bisa menyiapkan penabuh tambur dan pemanah untuk mengusir naga tak terlihat yang memakan Matahari.  Adapun catatan tertulis gerhana tertua ditemukan di lempeng tanah bangsa Babilonia di Ugarit, Suriah kini. Para peneliti menyebut gerhana terjadi 3 Mei 1375 SM. Namun, penelitian T de Jong dan WH van Soldt di Nature, 16 Maret 1989, menunjukkan 5 Maret

Kekuatan Matahari dan Bulan membuat muncul keyakinan, menganggap dewa dan dewi yang memengaruhi nasib manusia. Keduanya sumber inspirasi pelukis goa pada masa prasejarah, pembaca mantra, penulis, pelukis, hingga sineas modern. Keteraturan kemunculannya jadi dasar perhitungan waktu. Mereka pula sumber romantisme dan inspirasi penggugah semangat nasionalisme sejumlah bangsa.

Namun, saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar. Untuk menyasikan gerhana matahari, dianjurkan untuk mengenakan kacamata pelindung khusus.


Catatan awal gerhana dari Tiongkok. Norma Reis dalam kumpulan tulisan di Famous Eclipses in History di astronomytoday.com menyebut raja menghukum dua astronom, Ho dan Hi, yang gagal memprediksi Gerhana Matahari total (GMT) pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM) karena terlalu mabuk. Akibatnya, raja tak bisa menyiapkan penabuh tambur dan pemanah untuk mengusir naga tak terlihat yang memakan Matahari.

Adapun catatan tertulis gerhana tertua ditemukan di lempeng tanah bangsa Babilonia di Ugarit, Suriah kini. Para peneliti menyebut gerhana terjadi 3 Mei 1375 SM. Namun, penelitian T de Jong dan WH van Soldt di Nature, 16 Maret 1989, menunjukkan 5 Maret 1223 SM. Catatan itu tak hanya akurat, tetapi juga mencatat pengulangan gerhana yang dikenal siklus Saros.

Di Tanah Air, catatan gerhana muncul belakangan. Catatan relatif banyak untuk gerhana Bulan, tetapi sangat jarang untuk Gerhana Matahari.

Trigangga dalam “Kajian Astronomi: Melacak Peristiwa Gerhana Bulan dalam Sumber Tertulis” dalam Aksara dan Bahasa, Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia, 2001, menyebut catatan tertua gerhana Bulan ditemukan di Prasasti Sucen di Temanggung, Jawa Tengah, yakni gerhana 19 Maret 843.

Mitologi

Bersamaan pencatatan itu, manusia berusaha memahami gerhana sesuai dengan kemampuan pikir dan zamannya. Usaha manusia memahami semesta dan dinamikanya itu melahirkan mitos. “Mitos berkembang atau dikembangkan untuk menjawab pertanyaan mendasar manusia tentang diri dan lingkungannya,” kata ahli mitologi Universitas Indonesia, Dwi Woro Retno Mastuti, Kamis (28/1).

Jika masyarakat Tionghoa dulu menjadikan naga sebagai pemakan Matahari atau Bulan saat gerhana, bangsa Indian Amerika Utara menggunakan coyote. Orang Indian di Amerika Tengah dan Latin memilih jaguar.

Di Indonesia, beberapa etnis yang terpengaruh kuat budaya India menggunakan Bathara Kala atau Rahu sebagai pencaplok Matahari dan Bulan. Beberapa etnis dengan pengaruh budaya Tiongkok tetap naga.

Gerhana matahari total pada 22 Juli 2009 saat membentuk “cincin berlian”, Kamera Canon 50D, ISO 2500, rana 1/1600 detik. diafragma 8, lensa pada 420 milimeter, tanpa krop sama sekali. Arsip Hartono Halim, pernah dimuat Kompas, 4/8/2009.

Mitos berkembang mewakili bentuk pemikiran manusia yang paling sederhana. Mitos punya logika tersendiri sesuai dengan logika masyarakat pada masa tertentu. Karena itu, meski mitos memiliki kemampuan bertahan lama dan tidak mudah terkuburkan, ia akan berubah sepanjang waktu.

Kehadiran agama memunculkan pemahaman baru manusia bahwa gerhana adalah ciptaan dan tanda keagungan Tuhan. Meski agama mengabarkan gerhana sebagai peristiwa alam biasa, tak terkait pertanda buruk, upaya manusia menjadikan gerhana sebagai penanda tak hilang begitu saja.

“Gerhana dimaknai bukan hanya penanda bencana, tetapi juga datangnya keberkahan seiring terbitnya cahaya terang usai gerhana,” kata ahli astronomi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bambang Hidayat.

                                   Sejarah Gerhana Matahari  Kekuatan Matahari dan Bulan membuat muncul keyakinan, menganggap dewa dan dewi yang memengaruhi nasib manusia. Keduanya sumber inspirasi pelukis goa pada masa prasejarah, pembaca mantra, penulis, pelukis, hingga sineas modern. Keteraturan kemunculannya jadi dasar perhitungan waktu. Mereka pula sumber romantisme dan inspirasi penggugah semangat nasionalisme sejumlah bangsa.  Namun, saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar. Untuk menyasikan gerhana matahari, dianjurkan untuk mengenakan kacamata pelindung khusus.  Catatan awal gerhana dari Tiongkok. Norma Reis dalam kumpulan tulisan di Famous Eclipses in History di astronomytoday.com menyebut raja menghukum dua astronom, Ho dan Hi, yang gagal memprediksi Gerhana Matahari total (GMT) pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM) karena terlalu mabuk. Akibatnya, raja tak bisa menyiapkan penabuh tambur dan pemanah untuk mengusir naga tak terlihat yang memakan Matahari.  Adapun catatan tertulis gerhana tertua ditemukan di lempeng tanah bangsa Babilonia di Ugarit, Suriah kini. Para peneliti menyebut gerhana terjadi 3 Mei 1375 SM. Namun, penelitian T de Jong dan WH van Soldt di Nature, 16 Maret 1989, menunjukkan 5 Maret

Namun, ketidakmampuan manusia memahami gerhana terkadang justru dimanfaatkan orang untuk mengambil keuntungan dari masyarakat.

Kolumnis space.com, Joe Rao dalam How a Lunar Eclipse Saved Columbus, 8 Februari 2008 menyebut, Christopher Columbus yang mengetahui akan terjadi gerhana Bulan pada 29 Februari 1504 memaksa rakyat Jamaika memberi makanan bagi timnya yang terdampar. Pengetahuan soal gerhana itu dari almanak astronomi 1475-1506 buatan astronom Jerman, Johannes Müller von Königsberg atau Regiomontanus, bawaan pelaut masa itu.

Seiring perkembangan pemikiran manusia dan diketahuinya sistem gerak benda langit, pemahaman manusia tentang gerhana mulai berubah. Gerhana tak lagi dimaknai keganjilan, tetapi peristiwa alam biasa yang jarang terjadi.

Perubahan pemahaman itu, kata Norma, berkembang 500 tahun terakhir saat teleskop ditemukan awal abad ke-17. Gerhana yang semula ditakuti kini diburu, khususnya astronom, ilmuwan, dan pemburu gerhana.

Perburuan gerhana itu mendorong munculnya berbagai penelitian ilmiah tentang gerhana. Pengamatan saintifik pertama GMT dilakukan Johannes Kepler pada 1605. Berikutnya GMT pada 3 Mei 1715, Edmund Halley mampu memprediksi waktu dan jalur terjadinya gerhana dengan baik. Dari terjadinya GMT 16 Agustus 1868, astronom Juless Jansen dari Perancis dan Norman Lockyer dari Inggris berhasil menemukan helium, unsur kedua teringan dan terbanyak di alam.

Penelitian gerhana pun meluas. Pada GMT 29 Mei 1919, astronom Inggris, Sir Arthur Eddington, membuktikan keberadaan pembelokan cahaya bintang di belakang Matahari akibat gravitasi Matahari sesuai teori relativitas umum Einsten. Tak hanya itu, penelitian dalam bidang ilmu kebumian, meteorologi, biologi, dan zoologi selama terjadi gerhana juga turut berkembang.

Seiring kemajuan telekomunikasi, perburuan gerhana bukan lagi menjadi domain ilmuwan. Masyarakat awam pun kini bisa turut berburu gerhana. Mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mendatangi berbagai tempat eksotis di Bumi yang nyaris tak terjamah, seperti Antariksa ataupun menerbangi stratosfer Bumi demi melihat gerhana.

Di Yunani kuno, paradigma kalau bumi itu bulat telah dimulai semenjak abad ke-enam sebelum masehi oleh Pitagoras. Sebelum Pitagoras, kepercayaan di Yunani kuno adalah bumi itu datar. Aristoteles tahun 330 SM menerima pendapat Pitagoras kalau bumi ini bulat dan ia sudah memiliki banyak bukti empiris yang menunjukkan demikian. Semenjak itu pengetahuan mengenai bulatnya bumi telah menyebar di kalangan intelektual Yunani kuno.

Dewa Matahari dan Keretanya


Sejarah Gerhana Matahari  Kekuatan Matahari dan Bulan membuat muncul keyakinan, menganggap dewa dan dewi yang memengaruhi nasib manusia. Keduanya sumber inspirasi pelukis goa pada masa prasejarah, pembaca mantra, penulis, pelukis, hingga sineas modern. Keteraturan kemunculannya jadi dasar perhitungan waktu. Mereka pula sumber romantisme dan inspirasi penggugah semangat nasionalisme sejumlah bangsa.  Namun, saat keteraturan dan sumber kehidupan itu terganggu, manusia masa lalu memaknai rusaknya tatanan kehidupan langit yang berdampak pada keharmonisan kehidupan Bumi. Kebetulan, gerhana sering menyertai berbagai peristiwa besar. Untuk menyasikan gerhana matahari, dianjurkan untuk mengenakan kacamata pelindung khusus.  Catatan awal gerhana dari Tiongkok. Norma Reis dalam kumpulan tulisan di Famous Eclipses in History di astronomytoday.com menyebut raja menghukum dua astronom, Ho dan Hi, yang gagal memprediksi Gerhana Matahari total (GMT) pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM) karena terlalu mabuk. Akibatnya, raja tak bisa menyiapkan penabuh tambur dan pemanah untuk mengusir naga tak terlihat yang memakan Matahari.  Adapun catatan tertulis gerhana tertua ditemukan di lempeng tanah bangsa Babilonia di Ugarit, Suriah kini. Para peneliti menyebut gerhana terjadi 3 Mei 1375 SM. Namun, penelitian T de Jong dan WH van Soldt di Nature, 16 Maret 1989, menunjukkan 5 Maret

Sebagaimana ditentukan dengan alat modern, bumi berbentuk bulat namun tidak sempurna. Ketidak sempurnaan ini karena rotasi bumi pada porosnya yang membuat bagian tengah bumi sedikit lebih menggelembung dari kutub. Pengukuran dari satelit malah menunjukkan kalau bumi sedikit berbentuk seperti buah pir.

Karena pengamat di Bumi hanya dapat melihat sedikit sekali potongan bulatan bumi dalam satu waktu, tidaklah mungkin mengetahui lewat pengamatan langsung kalau bumi ini cakram atau bola. Pitagoras mendasarkan keyakinannya pada pengamatan mengenai ketinggian bintang yang bervariasi di berbagai tempat di Bumi. Ia juga mendapat dukungan dari pengamatan bagaimana kapal lenyap di cakrawala saat ia pergi dari pelabuhan. Saat kapal datang ke pelabuhan, yang pertama terlihat adalah ujung atas layar kapal, kemudian layarnya dan akhirnya badan kapal perlahan terlihat. Aristoteles menambah bukti dari bagaimana bayangan Bumi terlihat di bulan saat gerhana matahari. Saat cahaya menyinari sebuah bola, ia menunjukkan bayangan yang sama. Para intelektual yunani lalu menghitung ukuran dan bentuk bumi. Mereka juga membuat sistem kisi terdiri dari lintang dan bujur sehingga hanya diperlukan dua koordinat untuk satu lokasi di bumi ini. Filsuf Yunani juga menyimpulkan Bumi bulat karena menurut pendapat mereka, inilah bentuk yang paling sempurna.

Kenapa bentuk seperti ini tidak mungkin?

Erastothenes pada abad ke 3 SM juga memberikan bukti tambahan. Beliau saat itu bekerja di Mesir dan menemukan kalau sinar matahari memberikan bayangan yang berbeda di dua kota berbeda pada saat yang sama. Di kota Syene ia melihat sinar matahari tegak lurus pada jam X. Tapi di kota Iskandariah ia melihat sinar matahari tidak tegak lurus, padahal jamnya sama. Bukan hanya jamnya yang sama, tapi tanggalnya juga sama, walaupun terpisah satu tahun lamanya. Ia menyuruh orang mengukur jarak antara kedua kota tersebut dan kemudian dengan bayangan kalau bumi itu bulat, ia mengukur sudutnya dan memperkirakan diameter dan keliling bumi dengan rumus bola. Ia menghitung kalau Bumi berbentuk bulat dengan keliling 40 ribu kilometer. Nilai yang nyaris tepat dan sesuai dengan ukuran bumi berdasarkan perhitungan modern, yaitu 40075.16 km untuk keliling di khatulistiwa. Banyangkan betapa hebatnya matematika sehingga hanya dengan tongkat dan otaknya, Erastothenes mampu menghitung keliling bumi dan hanya meleset 75 kilometer saja.

Jadi ada banyak cara mudah mengetahui bumi bulat bagi orang kuno:

1. Menganggap kalau bulatnya bola adalah bentuk paling sempurna

2. Menganggap kalau bumi seperti bulan dan bulan mengalami fase-fase yang menunjukkan ia bulat

3. Pengamatan bedanya ketinggian bintang di berbagai lokasi

4. Pengamatan bedanya bayangan benda di berbagai lokasi

5. Pengamatan bayangan bumi saat gerhana matahari dan bulan

6. Pengamatan kapal yang datang dan pergi di cakrawala pelabuhan

Kamu tidak perlu ke luar angkasa memotret bumi seperti para astronot atau melakukan perjalanan mengitari bumi seperti Magellan. Dengan demikian, wajar kalau India kuno juga menemukan hal yang sama tak lama kemudian. Sebagai contoh, Rig Weda menulis tentang kemungkinan bumi berbentuk bulat. Teks ini kemungkinan besar dibuat pada abad ketiga SM. Sementara itu matematikawan India, Aryabhata pada 500 masehi membuat perhitungan keliling bumi sebesar 39,968 km. Sama dengan yang ditemukan Erastothenes dan sains modern. Begitu juga perhitungan Abu Rayhan al Biruni pada tahun 1000 Masehi.

0 Comments

Post a Comment