Ia mendirikan jong Idonesia, kemudian menjadi Pemuda Indonesia. Pada masa jepang ia melakukan perlawanan rahasia bersama mahasiswa. Pada orde lama, Syahrir ditangkap karena dituduh berkomplot untuk membunuh Presiden Soekarno. Saat itu, ia aktif membina partai sosialis Indonesia. Sutan syahrir meninggal di Swiss pada 9 April 1966, untuk berobat sakit lumpuhnya. Ia dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan surat keputusan presiden Ri No. 76/1966 pada 19 april 1966.
Ayahnya penasehat Sultan Deli dan Kepala Jaksa (landraad) di Medan, status ayahnya mendorongnya bersekolah di sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) kemudian sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Disana aktif di berbagai kegiatan sosial seperti mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat bagi anak anak dari keluarga tak mampu.
Aktifitasnya kemudian mengarah politik, Sjahrir termasuk sepuluh orang penggagas pendirian Himpunan Pemuda Nasionalis, Jong Indonesi (20 Februari 1927) ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan kedaerahan. Perhimpunan itu menjadi Pemuda Indonesia yang menggerakkan Kongres Pemuda dan mencetuskan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 di Jakarta. Saat itu, usianya masih muda (19 tahun) dibanding pemuda lainnya seperti Muh. Yamin (Jong Sumatera), Soegondo Djojopoespito (Jong Java) atau Mr Sunario (utusan Kepanduan). Sjahrir mewakili Jong Indonesie (Pemuda Indonesia) diakui sangat cerdas dan ikut memperjuangkan berdirinya negara Indonesia. Disitu, ia bertemu dengan Amir Sjarifoeddin (Jong Batak) untuk pertama kalinya.
Bersama kawan sekolahnya, ia mendirikan perkumpulan sandiwara Batovis. Setiap bulan melakukan pementasan berbahasa Belanda di gedung Concordia, disaksikan orang Belanda. Di dalam ceritanya sering disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan kolonial. Sjahrir pada dasarnya tidak membenci orang Belanda namun menentang kolonialisme. Bersama kawan-kawanya mendirikan pula kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi dan debat politik kalangan pemuda dan pelajar mengenai ide kebangsaan, disini ia mengasah kemampuan berdebatnya.
Ia melanjutkan kuliah ke Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam kemudian pindah ke Leiden School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu mengajar. Disana bergabung dengan Perhimpunan Indonesia dan kelompok diskusi De Socialist dimana Hatta sebagai ketuanya. Ia mendalami sosialisme serta mengupas pemikiran para filsuf sosialis seperti Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man serta Marx dan Engels. Ia segera akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat dan istrinya Maria Duchateau, kelak ia nikahi meskipun tidak berlangsung lama, pernah pula ia tinggal di rumah Solomon Tas. Ketika uang kirimannya berhenti, ia bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional selain mendapatkan uang saku ia bisa mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat. Pada tahun 1931, Hatta mendorong Syahrir kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan perjuangan Indonesia merdeka.
Keadaan genting terjadi di Indonesia, pemerintah kolonial menangkap Sukarno dan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Penangkapan ini menyurutkan semangat pergerakan. Kemudian, Sjahrir kembali ke tanah air disusul oleh Hatta. Kongres di Yogyakarta pada Februari 1932 yang didorong oleh Golongan Merdeka, didirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dengan ketua terpilih Sukemi. Begitu ia tiba di Tanah Air, bergabung dan kongres Bandung (Juni 1932) ditunjuk menjadi ketua dan Sukemi wakilnya. Beberapa bulan sekembalinya Hatta kemudian mengambil alih kepemimpinan dan Syahrir sebagai wakilnya. PNI baru kemudian di pindah ke Jakarta, gerakannya lebih radikal meskipun tanpa aksi massa dan agitasi. Hatta dan Sjahrir mengambil alih PNI Baru agar pergerakan nasional terus berlanjut. Karena gerakannya yang radikal, pemerintah kolonial menangkap mereka dan diasingkan ke Boven Digul, Papua (1934) lalu ke Banda Neira (1936) dan ke Sukabumi (1942).
Saat Jepang masuk dan mengusir Belanda, Sukarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang sedangkan Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah. Ia yakin bahwa Jepang tak mungkin memenangkan perang pasifik sehingga kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan selama ia dalam pengasingan. Ia kemudian menyusun kekuatan sambil menunggu momentum perebutan kekuasaan dan kemerdekaan. Sekembalinya Sukarno dari pengasingan di Sumatera Juli 1942, Sukarno menemui Sjahrir dan Hatta di kediaman Hatta. Mereka bertiga sepakat untuk membuat rencana perjuangan yaitu Sukarno dan Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya yang berjuang melawan Jepang. Sedangkan, Sjahrir memilih memimpin gerakan bawah tanah.
Jepang akhirnya terdesak oleh pasukan Sekutu, Sjahrir mengetahuinya melalui stasiun radio bawah tanah. Berita tersebut segera ia sampaikan dan menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah. Sukarno dan Hatta yang belum mengetahui berita tersebut, tidak menanggapinya dan menunggu keterangan dari pihak Jepang. Sesuai prosedur, keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang, proklamasi direncanakan 24 September 1945.
Sjahrir yang telah mengerti kekalahan Jepang tersebut segera mempersiapkan proklamasi kemerdekaan. Ia mengumumkan berita tersebut ke seluruh daerah berbasis PNI Pendidikan, diantaranya Cirebon. Melalui dokter Soedarsono, tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon dibacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang disaksikan sekitar 150 orang. Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya karena khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Sukarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi yang berarti kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah Jepang. Ternyata harapannya tidak tercapai dan proklamasi tersebut tidak pernah diakui.
Kondisi revolusioner saat itu menimbulkan berbagai kecamuk, dua tokoh yang populer di kalangan pejuang yaitu Tan Malaka dan Syahrir bertentangan dalam bentuk perjuangan kemerdekaan. Syahrir menulis “Perjuangan Kita”, sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia serta analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Tulisannya tampak berseberangan dengan Sukarno yang menekankan pada persatuan. Dalam tulisannya "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan". Ia mengecam Nasionalisme Sukarno yang di bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: yang tak lain adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.
Para pemuda yang kecewa dengan sikap Sukarno dan Hatta, menganggap sikap tersebut menunjukkan Kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah dari Jepang. Pada 16 Agustus, Sukarno dan Hatta diculik para pemuda ke Rengasdengklok dipaksa untuk segera memproklamasikan kemerdekaan indonesia. Akhirnya, Sukarno dan Hatta menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pada 7 Oktober 1945, 40 anggota Komite Nasional menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno, menuntut Komite Nasional dijadikan badan legislatif bukan pembantu Presiden. Dengan suara bulat, rapat memutuskan kekuasaan Presiden dialihkan ke Komite. Sebagai landasan, pemerintah menerbitkan Maklumat Nomor X yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta. Terjadi penyerahan kekuasaan DPR kepada Komite Nasional, Sjahrir ditunjuk sebagai Ketua Badan Pekerja sementara Amir Sjarifoeddin sebagai wakil. Komite harus bersih dari unsur Jepang untuk menghadapi dunia internasional agar mendapat pengakuan kemerdekaan. Di sisi lain, Belanda merupakan bagian dari Sekutu, sangat ingin kembali menjajah Indonesia. Sekutu pun belum mengakui kemerdekaan Indonesia.
0 Comments
Post a Comment