Sejarah Pahlawan Pangeran Diponegoro

Sejarah Pahlawan Pangeran Diponegoro





Sejarah Pahlawan Pangeran Diponegoro | Dipanegara atau dikenal dengan gelar Pangeran Dipanegara (Bahasa Jawa: Diponegoro) (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya (Bahasa Jawa: Ontowiryo).

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.


Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.


Perang Diponegoro

Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.


Penangkapan dan Pengasingan Pangeran Diponegoro

16 Februari 1830 Pangeran Dipanegara dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia. 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu Citrawati Puteri Bupati Madiun Raden Rangga. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku.


Penghargaan sebagai Pahlawan


Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.

Perang Diponegoro (Perang Jawa)(1825-1830)


Perang Diponegoro ini berawal ketika Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegarejo. Saat itu, ia sudah muak dengan kelakuan yang tidak menghargai adat istiadat setempat yang dilakukan oleh Belanda, selain itu Belanda juga sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya merupakan perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat dari "perang sabil" yang dikobarkan Pangeran Diponegoro telah membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro ini didukung oleh Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya beliau ditangkap pada 1830. Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri, kavareli, dan artileri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal di kedua belah pihak yang berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makasar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa. Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton yogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Penghargaan sebagai Pahlawan



Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan. Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan dengan nama Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip Tembalang.

Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975 setelah kemerdekaan. Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973. Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya. Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
Biodata Tan Malaka

Biodata Tan Malaka


Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada umur 51 tahun[1]) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Biodata W.R. Soepratman

Biodata W.R. Soepratman

Biografi W.R. Soepratman   Lahir dan Masa Kecil  WR Soepratman atau Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada tanggal 9 Maret 1903 tepatnya hari Senin Wage, di Jatinegara Jakarta. Tapi ada pula versi yang menyebutkan kelahirannya adalah tanggal 19 Maret. Ia adalah anak dari seorang sersan di Batalyon VIII yang bernama Senen. WR Soepratman adalah tujuh bersaudara. Salah satu kakaknya yang juga ikut menorehkan sejarah kesuksesan beliau adalah Roekijem yang bersuamikan seorang Belanda yang bernama Willem van Eldik.  Ketika WR Soepratman berumur 11 tahun, ia ikut kakaknya Roekitjem yang berdomisili di Makassar. WR Soepratman kemudian disekolahkan oleh kakak iparnya. WR Soepratman kemudian mendalami bahasa Belanda selama 3 tahun yang kemudian berlanjut ke Normaalschool. Pada tahun 1923 yaitu ketika WR Soepratman telah menamatkan pendidikannya, ia lalu menjadi guru di Sekolah Angka 2. Pada tahun 1925, ijazah Klein Ambtenaar miliknya keluar. Setelah keluar dari guru di Sekolah Angka 2, WR Soepratman kemudian bekerja di sebuah perusahaan dagang yang di Ujung Pandang. WR Soepratman kemudian beralih profesi menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda di Bandung yang kemudian berpindah ke surat kabar Sin Poo di Jakarta. Pada saat itulah, WR Soepratman banyak bergaul dengan tokoh pergerakan nasional dan dirinya mulai tertarik dengan pergerakan nasional.  Dari hubungannya dengan tokoh-t


Lahir dan Masa Kecil


WR Soepratman atau Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada tanggal 9 Maret 1903 tepatnya hari Senin Wage, di Jatinegara Jakarta. Tapi ada pula versi yang menyebutkan kelahirannya adalah tanggal 19 Maret. Ia adalah anak dari seorang sersan di Batalyon VIII yang bernama Senen. WR Soepratman adalah tujuh bersaudara. Salah satu kakaknya yang juga ikut menorehkan sejarah kesuksesan beliau adalah Roekijem yang bersuamikan seorang Belanda yang bernama Willem van Eldik.

Ketika WR Soepratman berumur 11 tahun, ia ikut kakaknya Roekitjem yang berdomisili di Makassar. WR Soepratman kemudian disekolahkan oleh kakak iparnya. WR Soepratman kemudian mendalami bahasa Belanda selama 3 tahun yang kemudian berlanjut ke Normaalschool. Pada tahun 1923 yaitu ketika WR Soepratman telah menamatkan pendidikannya, ia lalu menjadi guru di Sekolah Angka 2. Pada tahun 1925, ijazah Klein Ambtenaar miliknya keluar. Setelah keluar dari guru di Sekolah Angka 2, WR Soepratman kemudian bekerja di sebuah perusahaan dagang yang di Ujung Pandang. WR Soepratman kemudian beralih profesi menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda di Bandung yang kemudian berpindah ke surat kabar Sin Poo di Jakarta. Pada saat itulah, WR Soepratman banyak bergaul dengan tokoh pergerakan nasional dan dirinya mulai tertarik dengan pergerakan nasional.
 Biodata Cut Nyak Dhien

Biodata Cut Nyak Dhien

Biografi Cut Nyak Dhien    Biodata  Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh Tahun Lahir : 1848 Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda Agama : Islam   Kehidupan Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati. Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.  Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim Lamnga suami dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum pada tanggal

Biodata

Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien

Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh

Tahun Lahir : 1848

Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda

Agama : Islam

Kehidupan


Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati. Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Biografi Bung Tomo

Biografi Bung Tomo

  Biografi Bung Tomo        Biografi Bung Tomo Blog tempatnya mengenal Tokoh dan Orang terkenal Pahlawan bangsa Indonesia. untuk menambah Ilmu pengetahuan kita juga memotivasi diri untuk mengambil sisi Positive dari seorang Tokoh dunia Sutomo atau di kenal dengan panggilan Bung Tomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2 November 2008 melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi M Nuh. Beliau adalah tokoh popoler pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya.Ia seorang orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah penghabisan, mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.  Untuk lebih dekat lagi pada Bung Tomo dengan membawa semangat nya untuk motivasi Kita jadi lebih baik lagi berikut adalah sedikit kisah Kehidupan bung tomo yang bisa silahkan anda cermati untuntuk mengambil sisi positip supaya kita juga termotivasi.Sutomo (Surabaya, 3 Oktober 1920 – Makkah, 7 Oktober 1981) atau Bung Tomo adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA dan berakhir dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.  Sutomo pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, ia menjadi staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kant

Biografi Bung Tomo Blog tempatnya mengenal Tokoh dan Orang terkenal Pahlawan bangsa Indonesia. untuk menambah Ilmu pengetahuan kita juga memotivasi diri untuk mengambil sisi Positive dari seorang Tokoh dunia Sutomo atau di kenal dengan panggilan Bung Tomo tercatat sebagai pahlawan nasional sejak 2 November 2008 melalui pengukungan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi M Nuh. Beliau adalah tokoh popoler pada peristiwa pertempuran 10 November di Surabaya.Ia seorang orator, pembakar semangat juang untuk bertempur sampai titik darah penghabisan, mempertahankan harga diri, tanah air dan bangsa yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
  Biografi D.I. Pandjaitan - Pahlawan Revolusi

Biografi D.I. Pandjaitan - Pahlawan Revolusi

   Biografi D.I. Pandjaitan - Pahlawan Revolusi     Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925 dan meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun. beliau adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Beliau mendapatkan pendidikan formal dari SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabatan sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.  Ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi beliau berhasil meraih posisi sebagai Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi Kepala Staf T&T II/Sriwijaya. Kepulangan Panjaitan ke Indonesia membuat suatu gebrakan besar, yakni dengan membongkar rahasia PKI akan pengiriman

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925 dan meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun. beliau adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Beliau mendapatkan pendidikan formal dari SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabatan sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Biografi Sopo Tresno dan Aisyiyah

Biografi Sopo Tresno dan Aisyiyah

 Biografi Sopo Tresno dan Aisyiyah        Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, lahir pada tahun 1872 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini adalah keturunan dari Muhammad Fadil, pemuka Agama Islam dan Penghulu resmi Keraton. Karena alasan adat yang ketat yang berlaku di lingkungan keraton ia menjadi puteri 'pingitan' hingga datang saatnya untuk menikah. Karena pingitan ini, pergaulannya pun sangat terbatas. Ia tidak menempuh pendidikan di sekolah formal. Dengan bimbingan orang tuanya, Siti Walidah belajar Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon). Ia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.  Pada 1889 Siti Walidah menikah dengan sepupunya, Muhammad Darwis nama kecil Kyai Ahmad Dahlan. Setelah menikah, ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh suaminya. Bahkan, ia kemudian mengikuti jejak KH Ahmad Dahlan menggerakkan Muhammadiyah, yang didirikan KH A Dahlan pada tahun 1912. Saat Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah saat itu, Nyai Ahmad Dahlan mengikuti suaminya dalam perjalanannya. Namun, karena beberapa dari pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap kali menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan yang dijadwalkan ke Banyuwangi, Jawa Timur mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif

Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, lahir pada tahun 1872 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini adalah keturunan dari Muhammad Fadil, pemuka Agama Islam dan Penghulu resmi Keraton. Karena alasan adat yang ketat yang berlaku di lingkungan keraton ia menjadi puteri 'pingitan' hingga datang saatnya untuk menikah. Karena pingitan ini, pergaulannya pun sangat terbatas. Ia tidak menempuh pendidikan di sekolah formal. Dengan bimbingan orang tuanya, Siti Walidah belajar Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon). Ia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Biografi Letkol Mochammad Sroedji

Biografi Letkol Mochammad Sroedji

 Biografi Letkol Mochammad Sroedji    Moch. Sroedji adalah putra dari pasangan Bapak H. Hasan dan Ibu Hj. Amni. Sroedji dilahirkan di Bangkalan-Madura, pada 1 Februari 1915. Istri Sroedji bernama Hj. Mas Roro Rukmini, yang lahir dari pasangan Mas Tajib Nitisasmito dan Siti Mariyam. Dari perkawinan tersebut terlahir 4 orang anak, diantaranya Drs. H. Sucahjo, Drs. H Supomo, Sudi Astuti, Pudji Redjeki Irawati.  Pendidikan   Moch. Sroedji bersekolah di Hollands Indische School atau lebih dikenal dengan HIS. Kemudian menimba ilmu di Ambacts Leergang. Ambacts Leergang adalah semacam sekolah pertukangan. Pemerintah Belanda sengaja mendirikan sekolah-sekolah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Diharapkan, alumni sekolah jenis ini dapat langsung memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidangnya.  Bidang pertukangan dibagi menjadi dua. Yang pertama, Ambacthsshool. Sekolah ini menerima lulusan dari HIS, HCS, dan sekolah Peralihan. Berikutnya, Ambachts Leergang, yang menerima lulusan Sekolah Bumiputra Kelas Dua dan vervolgschool. Keduanya memiliki masa pendidikan 3 tahun. Ambachts leergang mencetak tukang listrik, mebel, dan lain-lain, sedangkan Ambacthsshool mencetak mandornya. Moch. Sroedji menempuh pendidikan di Ambachts leergang.  Sesudah menjalani masa pendidikan formal, pada tahun 1938 sampai tahun 1943, Moch. Sroedji bekerja sebagai Pegawai Jawatan Kesehatan sebagai Mantri Malaria di RS Kreongan Jember (kini

Moch. Sroedji adalah putra dari pasangan Bapak H. Hasan dan Ibu Hj. Amni. Sroedji dilahirkan di Bangkalan-Madura, pada 1 Februari 1915. Istri Sroedji bernama Hj. Mas Roro Rukmini, yang lahir dari pasangan Mas Tajib Nitisasmito dan Siti Mariyam. Dari perkawinan tersebut terlahir 4 orang anak, diantaranya Drs. H. Sucahjo, Drs. H Supomo, Sudi Astuti, Pudji Redjeki Irawati.
Biografi Syafruddin Prawiranegara

Biografi Syafruddin Prawiranegara

 Biografi Syarifuddin Prawiranegara         Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911. Ia memiliki nama kecil Kuding, yang berasal dari kata Udin pada nama Syafruddin. Ia memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari ibunya. Ia masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten akibat Perang Padri. Syafruddin Prawiranegara menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin.  Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan melanjutkannya ke AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool. Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta , petugas pada Departemen Keuangan Belanda, serta pegawai Departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.  Syafruddin kecil pertama memasuki sekolah di Europeesche Lagere School (ELS) di Serang pada tahun 1924. Saat sekolah di ELS, Syafruddin sempat pindah ke Ngawi, karena mengikuti kepindahan tugas ayahnya. Ia menamatkan sekolah ELS pada tahun 1925. Di ELS, bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Meski demikian, Syafruddin tidak menemukan hambatan dalam

Syafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911. Ia memiliki nama kecil Kuding, yang berasal dari kata Udin pada nama Syafruddin. Ia memiliki darah keturunan Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari ibunya. Ia masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten akibat Perang Padri. Syafruddin Prawiranegara menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddin.
Biografi Pangeran Mangkubumi

Biografi Pangeran Mangkubumi

 Biografi Pangeran Mangkubumi     Orang Yogyakarta mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Pangeran Mangkubumi. Ya, sosok pahlawan nasional satu ini merupakan ikon yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Yogyakarta. Sebab, beliau-lah pendiri dari kota yang dijuluki kota Gudeg tersebut yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Berikut sekelumit biografi tokoh Indonesia ini.  Sri Sultan Hamengku Buwono I terlahir pada 6 Agustus 1717 dengan nama asli Raden Mas Sujana. Dia putra pasangan Amangkurat IV, raja dari Kasunanan Kartasura, dan Mas Ayu Tejawati. Baik Amangkurat IV dan Mas Ayu Tejawati berasal dari trah Brawijaya V.  Sejak dari kecil, Raden Mas Sujana senang dengan kegiatan yang mengandalkan fisik di masanya, seperti berkuda, keahlian memainkan beragam senjata, dan keprajuritan. Keterampilan dan keahliannya ini kelak membuat Susuhunan Pakubuwono II mengangkatnya sebagai pangeran lurah (seseorang yang dituakan) di antara anak-anak raja lainnya. Setelah dewasa, Raden Mas Sujana mendapat gelar Pangeran Mangkubumi.  Seorang pemimpin tidak muncul begitu saja, tetapi ia tumbuh dari benih yang baik dan mau berlatih dengan penuh kesungguhan dan ketekunan. Begitu juga dengan Mangkubumi yang dibesarkan di kalangan Istana Mataram Kartosuro yang penuh kemelut. Di bawah kekuasaan Pakubuwono II, Mangkubumi tumbuh sebagai pemuda yang


Orang Yogyakarta mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Pangeran Mangkubumi. Ya, sosok pahlawan nasional satu ini merupakan ikon yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Yogyakarta. Sebab, beliau-lah pendiri dari kota yang dijuluki kota Gudeg tersebut yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Berikut sekelumit biografi tokoh Indonesia ini.
Biografi Satsuit Tubun

Biografi Satsuit Tubun

   Biografi Satsuit Tubun   Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara. Sampai saat ini belum diketahui tanggal, bulan, dan tahun kelahirannnya yang pasti. Pendidikan umum diperoleh hanya sampai Sekolah Dasar dan tamat dalam tahun 1941. Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuitubun adalah salah seorang Pahlawan Revolusi yang menjadi korban dari peristiwa Gerakan 30 september pada tahun 1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena. Ketika Karel Satsuitubun telah dewasa, ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikn Polisi. Setelah lulus, ia ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan pangkat Agen Polisi Kelas Dua (sekarang Bhayangkara Dua Polisi). Kemudian ia ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu (sekarang Bhayangkara Satu Polisi).   Ketika Bung Karno mengumandangkan TRIKORA yang isinya menuntut pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda, seketika itu pula dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah Irian Barat berhasil dikembalikan, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri Dr. J. Leimena di Jakarta. Berangsur-angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.   Karena menganggap para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-citanya, maka PKI merencanakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap

Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara. Sampai saat ini belum diketahui tanggal, bulan, dan tahun kelahirannnya yang pasti. Pendidikan umum diperoleh hanya sampai Sekolah Dasar dan tamat dalam tahun 1941. Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuitubun adalah salah seorang Pahlawan Revolusi yang menjadi korban dari peristiwa Gerakan 30 september pada tahun 1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena. Ketika Karel Satsuitubun telah dewasa, ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikn Polisi. Setelah lulus, ia ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan pangkat Agen Polisi Kelas Dua (sekarang Bhayangkara Dua Polisi). Kemudian ia ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu (sekarang Bhayangkara Satu Polisi).
Biografi Urip Sumoharjo

Biografi Urip Sumoharjo

   Biografi Urip Sumoharjo      Biodata   Nama lahir : Muhammad Sidik  Lahir : 22 Februari 1893 Purworejo, Hindia Belanda  Meninggal : 17 November 1948 (umur 55) Yogyakarta, Indonesia  Dimakamkan : Taman Makam Pahlawan Kusumanegara  Lama dinas : 1914–1939, 1942, 1945–1948  Pangkat : Letnan Jenderal Jenderal (anumerta)  Perang : Revolusi Nasional Indonesia  Biografi   Urip Sumoharjo dilahirkan di desa Sindurjan, Purworejo pada tanggal 22 Februari 1893. Nama lahir dari Urip Sumoharjo adalah Muhammad Sidik. Ayahnya bernama Soemohardjo, seorang kepala sekolah turunan ulama Muslim di daerahnya dan ibunya adalah putrid Bupati Trenggalek Raden Tumenggung Widjojokoesoemo.  Urip Sumoharjo adalah enam bersaudara. Sejak kecil Urip Sumoharjo sudah menunjukkan bakat kepemimpinannya. Ia sering bergaul dengan anak-anak sebayanya dan mengkomandani mereka untuk bermain.  Suatu hari ia sedang bermain dengan teman-temannya. Ia memajat pohon dan kemudian terjatuh. Akibatnya ia kehilangan kesadaran untuk beberapa waktu. Karena kejadian inilah nama Muhammad Sidik (nama lahirnya) diganti dengan nama Urip Sumoharjo. Urip artinya hidup atau selamat.  Urip Sumoharjo kecil agak bandel, susah diatur. Ketika masuk masa sekolah, ia disekolahkan di Sekolah Putri Belanda (karena sekolah putra udah penuh saat itu). Urip Sumoharjo bukanlah murid yang cerdas, nilai akademisnya bahkan tergolong buruk.  Urip Sumoharjo Masuk KNIL   Ketika Urip Sumoharjo remaja, ia berkenalan


Biodata


Nama lahir : Muhammad Sidik

Lahir : 22 Februari 1893 Purworejo, Hindia Belanda

Meninggal : 17 November 1948 (umur 55) Yogyakarta, Indonesia

Dimakamkan : Taman Makam Pahlawan Kusumanegara

Lama dinas : 1914–1939, 1942, 1945–1948

Pangkat : Letnan Jenderal Jenderal (anumerta)

Perang : Revolusi Nasional Indonesia
Biografi Teuku Umar

Biografi Teuku Umar

 Biografi Teuku Umar        Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.  Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.  Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.  Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan

Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.
Biografi Dewi Sartika

Biografi Dewi Sartika

 Biografi Dewi Sartika   Raden Dewi Sartika adalah seorang tokoh wanita pelopor pendidikan yang ada di Indonesia. Ia berjuang keras dalam mewujudkan pendidikan yang layak bagi kaum wanita pada saat itu, yang di mana pada saat itu wanita masih belum mendapatkan pendidikan yang layak sehingga menyebabkan kaum wanita pada saat itu sering dipandang remeh oleh kaum laki-laki yang berpendidikan tinggi.  Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember di Bandung, Jawa Barat. Orang tuanya berasal dari priyayi Sunda, yang bernama Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Ayahnya merupakan pejuang kemerdekaan pada masa itu. Kedua orang tuanya bersikeras untuk menyekolahkannya Sartika di Sekolah Belanda walaupun hal tersebut bertentangan dengan budaya adat pada waktu itu.  Saat menjadi patih di Bandung, Raden Somanagara menentang Pemerintah Hindia-Belanda, yang menyebabkan istrinya dibuang di Ternate. Dewi diasuh oleh pamannya yang merupakan kakak dari ibunya, yang bernama Arya yang pada saat itu menjabat sebagai Patih di Cicalengka. Ia diasuh oleh pamannya lantaran ayahnya meninggal dunia dan juga ibunya yang telah diasingkan ke Ternate.  Setelah ayahnya tiada, pamannya yang merupakan patih Cicalengka mengambil Dewi Sartika untuk dirawat. Dari pamannya ini juga lah ia mendapatkan berbagai ilmu tentang kesundaan. Selain dari

Raden Dewi Sartika adalah seorang tokoh wanita pelopor pendidikan yang ada di Indonesia. Ia berjuang keras dalam mewujudkan pendidikan yang layak bagi kaum wanita pada saat itu, yang di mana pada saat itu wanita masih belum mendapatkan pendidikan yang layak sehingga menyebabkan kaum wanita pada saat itu sering dipandang remeh oleh kaum laki-laki yang berpendidikan tinggi.
Biografi Jendral A.H Nasution

Biografi Jendral A.H Nasution

 Biografi Jendral A.H Nasution      Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 - meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun). Dari pasangan H. A. Halim Nasution (ayah) dan Hj. Zaharah Lubis (Ibu) yang bekerja sebagai petani. A.H. Nasution menikah dengan Sunarti putri dari Gondokusumo pada 30 Mei 1947 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Hendriyanti Saharah dan Ade Irma Suryani.  Jendral A.H Nasution atau Jendral Abdul Haris Nasution adalah salah satu Jendral Besar yang ikut serta dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah salah satu saksi sejarah yang berhasil menyaksikan sendiri kemerdekaan Indonesia, kepemimpinan Orde Lama (Presiden Soekarno), kepemimpinan Orde Baru (Era Soeharto) dan masa reformasi.  Ayahnya adalah seorang aktivis Sarekat Islam di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Nasution kecil sangat gemar membaca. Buku-buku seperti biografi tokoh dunia, sejarah dan kisah Nabi Muhammad serta perang kemerdekaan Belanda dan Perancis telah mengisi hari-harinya.  Setelah lulus AMS-B (setingkat SMA PASPAL) di tahun 1938, Nasution bekerja sebagai guru di Bengkulu dan Palembang. Selepas itu, Nasution pun bergabung ke dalam Akademi Militer dan sempat terhenti pendiidkannya karena invasi Jepang pada tahun 1942. Saat itu, Belanda yang telah kuat armada militernya dapat diberangus

Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 - meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun). Dari pasangan H. A. Halim Nasution (ayah) dan Hj. Zaharah Lubis (Ibu) yang bekerja sebagai petani. A.H. Nasution menikah dengan Sunarti putri dari Gondokusumo pada 30 Mei 1947 dan dikaruniai 2 orang anak bernama Hendriyanti Saharah dan Ade Irma Suryani.
Biografi Pahlawan Nasional Dr. Johannes Leimena

Biografi Pahlawan Nasional Dr. Johannes Leimena

 Biografi Pahlawan Nasional Dr. Johannes Leimena  Dokter Johannes Leimena atau yang biasa dipanggil "Om Jo" sangat dikenal dikalangan kader GMKI. Beliau dilahirkan di Kota Ambon Maluku pada tanggal 06 Maret 1905. Pada tahun 1914, Leimena hijrah ke Batavia (Jakarta) dimana ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan pendidikannya ke MULO Kristen, kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya - cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.  Keprihatinan Leimena atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen terhadap nasib bangsa, merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif pada "Gerakan Oikumene". Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV yang didirikannya saat ia duduk pada tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) tahun 1950. Dengan keaktifannya di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Perhatian Leimena pada

Dokter Johannes Leimena atau yang biasa dipanggil "Om Jo" sangat dikenal dikalangan kader GMKI. Beliau dilahirkan di Kota Ambon Maluku pada tanggal 06 Maret 1905. Pada tahun 1914, Leimena hijrah ke Batavia (Jakarta) dimana ia meneruskan studinya di ELS (Europeesch Lagere School), namun hanya untuk beberapa bulan saja lalu pindah ke sekolah menengah Paul Krugerschool (kini PSKD Kwitang). Dari sini ia melanjutkan pendidikannya ke MULO Kristen, kemudian melanjutkan pendidikan kedokterannya STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), Surabaya - cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.