Haji Agus Salim adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto. Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884, lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Sebagai anak seorang jaksa, tentunya Agus Salim lebih beruntung dibanding anak yang lain karena dengankedudukan keluarganya yang terhormat ini, ia bisa bersekolah tinggi Belanda dengan tanpa hambatan. Agus Salim juga dikenal sangat pandai di sekolahnya. Ketika remaja, Agus Salim telah menguasai tujuh bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Karena kecerdasan Agus Salim itulah pada 1903 beliau berhasil lulus dengan predikat lulusan terbaik SMA atau HBS (Hogere Burger School) dimana saat itu masa belajar Sekolah Menengah adalah 5 tahun diusianya yang masih belia yaitu 19 tahun. Agus Salim menjadi lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Setelah lulus HBS maka Agus Salim menyampaikan minatnya untuk meneruskan sekolah ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Beliau kemudia mengajukan beasiswa. Namun entah kenapa beasiswa beliau ditolak.
Di lain pihak, RA Kartini yang hidup semasa dengan beliau melakukan hal yang sama dan beasiswanya diterima namun karena RA Kartini sudah menikah dan sesuai adat Jawa, perempuan yang sudah menikah tak boleh tinggal jauh dari suami maka Kartini mengurungkan niatnya untuk mengambil kedokteran di Belanda. Kartini kemudian mendengar kabar mengenai Agus Salim dan berniat ingin menggantikan beasiswanya kepada Agus Salim.
Hal ini sempat termaktub dalam sebuah surat Kartini kepada sahabat Belandanya yaitu Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini: “Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan.”
Pemerintah Hindia Belanda pun menyetujui usulan Kartini untuk menghibahkan beasiswa senilai 4800 gulden pada Agus Salim. Namun Agus Salim menolak dengan halus karena beliau beranggapan beasiswa Kartini itu bukan karena prestasinya melainkan karena permintaan Kartini yang seorang bangsawan sehingga bisa memohon langsung ke pemerintah. Bagi Agus Salim hal tersebut justru sangat menyinggung perasaannya karena telah diperlakukan demikian.
Akhirnya Agus Salim mengurungkan niatnya sekolah kedokteran ke Belanda. Dalam waktu yang bersamaan, beliau mendapat tawaran bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Ini terjadi kira-kira tahun 1906 hingga 1911. Beliau akhirnya menerima tawaran tersebut. Selain bekerja, beliau juga memperdalam ilmu agama Islamm beliau langsung pada Imam Masjidil Haram yang masih pamannya juga yang bernama Syech Ahmad Khatib. Beliau juga mempelajari ilmu diplomasi. Ketajaman ilmu agama dan ilmu politik Agus Salim benar-benar diasah di Arab Saudi. Hingga ketika pulang ke Indonesia, beliau telah mantab untuk bergabung dalam pergerakan nasional.
Beliau juga mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School). Dalam dunia politik, Agus Salim kemudian bergabung dengan Serikat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Awalnya SI memiliki perwakilan di pemerintah Hindia Belanda yaitu di Volksraad (semacam DPR/MPR). Di Volksraad, SI diwakili oleh kedua tokoh pimpinannya yaitu HOS Tjokroaminoto dan abdul Muis. Namun kedua tokoh ini mundur karena tak menyukai kebijakan Belanda. Akhirnya tempat itu digantikan oleh Agus Salim. Ternyata Agus Salim juga mengalami kekecewaan yang sama seperti yang dirasakan pendahulunya. Akhirnya Agus Salim berkesimpulan bahwa berjuang dari ‘dalam’ tak ada gunanya. Akhirnya Agus Salim keluar dari Volksraad dan fokus pada SI.
Di tahun 1923, SI mengalami perpecahan ideologi dimana beberpa tokoh SI seperti Semaun dan Darsono menghendaki agar SI condong ke ‘kiri’ sedang Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto tetap menghendaki SI lebih berhalauan ‘kanan’. Akhirnya SI pecah jadi dua yaitu SI kanan dan SI kiri yang kemudian berubah menjadi Sarekat Rakyat yang merupakan cikal bakal PKI. Agus Salim tetap setia dengan Serikat Islam. Kedudukan Agus Salim dalam SI sebenarnya biasa saja bahkan karena beliau pernah bekerja di pemerintahan dan tak pernah dipenjarakan seperti HOS Tjokroaminoto, beliau sempat dituduh mata-mata Belanda. Namun Agus Salim menepisnya melalui pidato-pidatonya yang sering mengkritik pemerintahan Belanda. Agus Salim bahkan didaulat sebagai pimpinan puncak SI ketika HOS Tjokroaminoto wafat pada 1934.
Kiprah Agus Salim tak hanya melalui SI. Beliau juga telah mendirikan Jong Islamieten Bond dimana beliau membuat perubahan baru untuk mengganti doktrin keagamaan yang kaku dengan meniadakan hijab kain pada duduk laki-laki dan perempuan dalam kongres Jong Islamieten Bond ke 2 di Yogyakarta tahun 1927. Tentunya hal ini sudah disetujui oleh seluruh pengurus organisasi. Pada saat Indonesia akan memproklamirkan kemerdekaannya, Agus Salim didaulat menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ketika Republik tercinta ini berhasil merdeka, Agus Salim diangkat sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Beliau juga diangkat menjadi Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Syahrir I dan II juga dalam Kabinet Hatta. Hal ini mengingat Agus Salim sangat pandai dalam berdiplomasi serta menguasai tujuh bahasa asing. Beliau juga ditunjuk menjadi penasehat Menteri Luar Negeri setelah Indonesia diakui kedaulatannya dimata dunia Internasional.
Agus Salim juga mendapat julukan “The Grand Old Man” . Hal ini karena kepiawaiannya dalam berdiplomasi yang belum ada tandingannya saat itu. Agus Salim memiliki perawakan yang kecil dan terbiasa dengan mengenakan sarung dan peci. Kesederhanaan hidupnya ini tidak menggambarkan kesederhanaan pemikirannya. Agus Salim memiliki jiwa yang bebas, beliau tak mau dikekang oleh batasan-batasan. Beliau berhasil mendobrak tradisi Minang yang cukup kolot.
Beliau selalu berpindah-pindah dan tak pernah memiliki rumah tetap. Surabaya, Yogya dan Jakarta adalah sebaran hidup beliau. Di kota-kota tersebut beliau hanya menyewa rumah kevil dan sangat sederhana. Beliau juga mengajar anaknya sendiri. Anaknya tak ada yang bersekolah di sekolah formal. Hanya anak bontotnya yang bersekolah di sekolah formal. Hal ini beliau lakukan karena beliau bisa memiliki keahlian ini semua bukan berasal dari sekolah formal melainkan dari otodidak ‘learning by doing’ dalam kehidupan nyata.
”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.
Haji Agus Salim menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 4 November 1954 di usia 70 tahun. Agus Salim adalah pahlawan nasional yang sangat langka. Beliau hampir sempurna dalam hal diplomasi. Latar belakang beliau yang anak dari seorang pejabat pemerintahan sekaligus dari keluarga religius turut mewarnai pribadi Agus Salim. Perjuangan dan pengorbanan beliau untuk Republik ini patut kita berucap trima kasih sebesar-besarnya. Tak hanya Agus Salim tapi juga bagi semua jasa pahlawan-pahlawan yang telah memberikan segenap hidup, jiwa, raga, harta, nyawa bahkan keluarganya demi tercpainya kemerdekaan Indonesia.
Kiprah Agus Salim tak hanya melalui SI. Beliau juga telah mendirikan Jong Islamieten Bond dimana beliau membuat perubahan baru untuk mengganti doktrin keagamaan yang kaku dengan meniadakan hijab kain pada duduk laki-laki dan perempuan dalam kongres Jong Islamieten Bond ke 2 di Yogyakarta tahun 1927. Tentunya hal ini sudah disetujui oleh seluruh pengurus organisasi. Pada saat Indonesia akan memproklamirkan kemerdekaannya, Agus Salim didaulat menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ketika Republik tercinta ini berhasil merdeka, Agus Salim diangkat sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Beliau juga diangkat menjadi Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Syahrir I dan II juga dalam Kabinet Hatta. Hal ini mengingat Agus Salim sangat pandai dalam berdiplomasi serta menguasai tujuh bahasa asing. Beliau juga ditunjuk menjadi penasehat Menteri Luar Negeri setelah Indonesia diakui kedaulatannya dimata dunia Internasional.
Agus Salim juga mendapat julukan “The Grand Old Man” . Hal ini karena kepiawaiannya dalam berdiplomasi yang belum ada tandingannya saat itu. Agus Salim memiliki perawakan yang kecil dan terbiasa dengan mengenakan sarung dan peci. Kesederhanaan hidupnya ini tidak menggambarkan kesederhanaan pemikirannya. Agus Salim memiliki jiwa yang bebas, beliau tak mau dikekang oleh batasan-batasan. Beliau berhasil mendobrak tradisi Minang yang cukup kolot.
Beliau selalu berpindah-pindah dan tak pernah memiliki rumah tetap. Surabaya, Yogya dan Jakarta adalah sebaran hidup beliau. Di kota-kota tersebut beliau hanya menyewa rumah kevil dan sangat sederhana. Beliau juga mengajar anaknya sendiri. Anaknya tak ada yang bersekolah di sekolah formal. Hanya anak bontotnya yang bersekolah di sekolah formal. Hal ini beliau lakukan karena beliau bisa memiliki keahlian ini semua bukan berasal dari sekolah formal melainkan dari otodidak ‘learning by doing’ dalam kehidupan nyata.
”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.
Haji Agus Salim menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 4 November 1954 di usia 70 tahun. Agus Salim adalah pahlawan nasional yang sangat langka. Beliau hampir sempurna dalam hal diplomasi. Latar belakang beliau yang anak dari seorang pejabat pemerintahan sekaligus dari keluarga religius turut mewarnai pribadi Agus Salim. Perjuangan dan pengorbanan beliau untuk Republik ini patut kita berucap trima kasih sebesar-besarnya. Tak hanya Agus Salim tapi juga bagi semua jasa pahlawan-pahlawan yang telah memberikan segenap hidup, jiwa, raga, harta, nyawa bahkan keluarganya demi tercpainya kemerdekaan Indonesia.
Karir Politik
Perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
0 Comments
Post a Comment