Latifah Herawati Diah lahir di Belitung, Hindia Belanda pada tanggal 3 April 1917. Ia adalah anak ketiga dari antara empat bersaudara pasangan Raden Latip, seorang dokter yang bekerja di Billiton Maatschappij (lulusan sekolah dokter Stovia tahun 1908, membuka praktek di pulau tetangga, sebagai ahli medis sebuah perusahaan tambang timah Belanda) dan Siti Alimah binti Djojodikromo.
Herawati berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Lepas dari Europeesche Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, ia bersekolah ke Jepang di American High School di Tokyo. Setelah itu, atas dorongan ibunya, Herawati berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar sosiologi di Barnard College yang berafiliasi dengan Universitas Columbia, New York dan lulus pada tahun 1941, dia menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri. Dia lalu menjalani studi di Barnard College, Universitas Columbia, New York, AS. Pada musim panas, dia belajar jurnalistik di Universitas Berkeley, California.
Pada tahun 1942, Herawati Diah pulang ke Indonesia dan kemudian bekerja sebagai wartawan lepas kantor berita United Press International (UPI). Kemudian ia bergabung sebagai penyiar di radio Hosokyoku. Ia menikah dengan B.M. Diah, yang saat itu bekerja di koran Asia Raja. Pada 1 Oktober 1945, B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Herawati juga terlibat dalam pengembangan harian tersebut.
Pada tahun 1955, Herawati dan suaminya mendirikan The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Koran itu diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, tahun 1955. The Indonesian Observer bertahan hingga tahun 2001, sedangkan koran Merdeka berganti tangan pada akhir tahun 1999.
Selain aktif di dunia pers, Herawati juga aktif di sejumlah organisasi seperti Yayasan Bina Carita Indonesia, Hasta Dasa Guna, Women's International Club, Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, Lingkar Budaya Indonesia, Yayasan Bina Carita Indonesia. Sederet penghargaan juga telah diraihnya, termasuk "Lifetime Achievement" atau "Prestasi Sepanjang Hayat" dari PWI Pusat.
Di usianya yang sudah senja, Herawati masih aktif menekuni hobinya bermain bridge dua kali seminggu. Bahkan, ia masih mengikuti turnamen bridge. Ia mengatakan, dengan bermain bridge, kemampuan otak akan terus terasah dan mencegah kepikunan.
0 Comments
Post a Comment