Melemahnya Empayar Sri Wijaya akibat serangan Raja Chola ke Pusat Sri Wijaya di Kedah dari koromandel, akhirnya timbul Empayar baru yang mewarisi kota kota Sri Wijaya selepas jatuhnya kedah di serang Chola dan Maharaja Sri Sangrama Vijayatunggavarman yang bersemanyam di Kedah.(Inskripsi Tanjore). Kerajaan Melayu yang berpusat di Dharmasraya telah menjadi sebuah pusat baru gabungan negeri negeri bekas wilayah Sri Wijaya selepas jatuhnya kerajaan Sriwijaya pada 1025. Selepas serangan dari Rajendra raja Chola dari Koromandel, pihak berkuasa dinastiSailendra ke atas pulau-pulau Sumatera dan Semenanjung Melayu menjadi semakin lemah. Ramai bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, Empayar yang di namakan Empayar Melayu yang bertukar pusat ke Dharmanisya dan Nama Melayu sebagai rakyat dan Bangsa Empayar Melayu. Sebagai waris Empayar Sri Wijaya. Setelah itu Pusat Empayar Melayu berpindah ke Melaka dan seterus nya ke Johor Riau Lingga. Jestru itu melayu adalah nama Empayar/kerajaan yang Meliputi Champa, Thailand, Indonesia dan Malaysia di mana Dharmasraya mengambil pupuk pimpinan dari Kedah.
Sesetengah waktu kemudian datang dinasti baru yang mengambil alih peranan Dinasti Sailendra, digelar dengan nama dinasti Mauli. Inskripsi yang mana nama Dharmasraya dan nama raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa bermuncul juga berasal dari abadi ke-13, ternyata inskripsi Padang Roco di keliling kepala perairan Batang Hari (kini Dharmasraya di Sumatera Barat), bertarikh 1286. Tetapi sebelum itu, pada 1183, dari inskripsi Grahi di Chaiya (Selatan Thailand), Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa nama raja Kerajaan Melayu juga muncul Jestru rakyat di bawah kerajaan Melayu yang mengambil alih sri wijaya membahasakan diri mereka sebagai rakyat Melayu.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri bhumi malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas. Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.
Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibukota dari negeri bhumi malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas. Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.
Jestru kerna ini lah sebahagian dari rakyat di kawasan ini dengan jelas memanggil diri mereka sebagai Melayu. Malayapura merupakan salah satu dari kata-kata yang dipahatkan pada Arca Amoghapasa oleh Adityawarman pada tahun 1347. Dari kaitan terjemahan teks dari manuskrip tersebut, Malayapura dirujuk menjadi nama kerajaan Melayu yang diproklamirkan oleh Adityawarman di
Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia Banyak pendapat yang bermunculan terkait dengan dari mana sejatinya asal usul nenek moyang bangsa Indonesia. Para ahli sejarah saling mengeluarkan argumenya disertai dalih pembenaran dari dugaannya masing-masing. Kendati begitu banyak pendapat tersebut, ada satu pendapat yang nampaknya memiliki bukit dan dasar pemikiran paling kuat. Dan pendapat tersebut berasa dari seorang sejarahwan asal Belanda, yaitu Von Heine Geldern. Migrasi Besar-besaran ke Austronesia Berdasarkan penelitiannya Von Heine Geldern berargumen jika asal usul nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Asia Tengah. Diterangkan olehnya bahwa semenjak tahun 2.000 SM sampai dengan tahun 500 SM (dari zaman batu Neolithikum hingga zaman Perunggu) telah terjadi migrasi penduduk purba dari wilayah Yunan (China Selatan) ke daerah-daerah di Asia bagian Selatan termasuk daerah kepulauan Indonesia. Perpindahan ini terjadi secara besar-besaran diperkirakan karena adanya suatu bencana alam hebat atau adanya perang antar suku bangsa. Daerah kepulauan di Asia bagian selatan ini oleh Geldern dinamai dengan sebutan Austronesia yang berarti pulau selatan (Austro = Selatan, Nesos = Pulau). Austronesia sendiri mencakup wilayah yang amat luas, meliputi pulau-pulau di Malagasi atau Madagaskar (sebelah Selatan) hingga Pulau Paskah(sebelah Timur), dan dari Taiwan (sebelah Utara) hingga Selandia Baru (sebelah Selatan). Pendapat Von Heine Geldern ini dilatarbelakangi oleh penemuan banyak peralatan manusia purba masa lampau yang berupa batu beliung berbentuk persegi di seluruh wilayah Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Peralatan manusia purba ini sama persis dengan peralatan manusia purba di wilayah Asia lainnya seperti Myanmar, Vietnam, Malaysia, dan Kamboja terutama di sekitar wilayah Yunan. Pendapat Von Heine Geldern juga didukung oleh hasil penelitian Dr. H. Kern di tahun 1899 yang membahas seputar 113 bahasa daerah di Indonesia. Dari penelitian itu Dr. H. Kern menyimpulkan bahwa ke semua bahasa daerah tersebut awalnya bersumber pada satu rumpun bahasa, rumpun bahasa yang dinamai bahasa Austronesia. Migrasi manusia purba dari daratan Yunan menurut Geldern bukan hanya terjadi satu kali. Ia menyebut gelombang migrasi terjadi juga di tahun 400 – 300 SM (zaman Perunggu). Orang-orang purba yang bermigrasi tersebut membawa bentuk-bentuk kebudayaan Perunggu seperti kapak sepatu dan nekara yang berasal dari dataran Dong Son.
0 Comments
Post a Comment