Sampai dengan tahun 1921 Sukabumi merupakan Kepatihan dari Kabupaten Cianjur. Pada tahun 1776 Bupati Cianjur yang ke enam yaitu Raden Noh (Wiratanudatar VI) mengangkat seorang patih yang membawahi distrik Gunungparang, distrik Cimahi, distrik Ciheulang, distrik Cicurug, distrik Jampangtengah, dan distrik Jampangkulon. Pusat pemerintahannya terletak di Cikole. Oleh karenanya kepatihan ini disebut kepatihan Cikole.
Dipilihnya Cikole sebagai pusat kepatihan, karena lokasi itu dipandang sangat strategis bagi komunikasi antara Priangan dan Jakarta. Selain itu, Cikole merupakan tempat yang nyaman untuk peristirahatan serta memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi, khususnya dibidang perkebunan. Oleh karena itu, atas usul para pemimpin bumi putra, pada tanggal 8 Januari 1815 nama “ Cikole “ diubah menjadi “ SUKABUMI “ yang berarti “tempat yang disukai”. Kepatihan Cikole berubah menjadi kepatihan Sukabumi, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Gunung Gede
Sebelah Selatan : Pantai Selatan
Sebelah Barat : Cigombong
Sebelah Timur : Gekbrong
Kepatihan Sukabumi ditetapkan sebagai Kabupaten Sukabumi terpisah dari Cianjur, berdasarkan besluit Gubernur Jendral tanggal 25 April 1921 Nomor 71, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 1921, sebagai bupati pertamanya diangkat patih yang terakhir, yaitu R.A.A. Soerianatabrata yang terkenal dengan sebutan Aom Dolih atau Dalem Gentong, karena bertempat tinggal di kampung Gentong Kecamatan Sukaraja.
Bupati R.A.A. Soerianatabrata memerintah dari tahun 1921 sampai 1930. Pada masa pemerintahannya tepatnya pada tahun 1923, Residentie Preanger Regenschappen dipecah menjadi 3 (tiga) Keresidenan, yaitu West Priangan (Priangan Barat) yang berkedudukan di Sukabumi, Midden Priangan (Priangan Tengah) yang berkedudukan di Bandung, dan Oost Priangan (Priangan Timur) yang berkedudukan di Tasikmalaya.
Bupati berikutnya adalah R.A.A. Soeriadanoeningrat, yang memerintah dari tahun 1930 sampai 1942. Pada masa pemerintahannya terjadi perubahan pembagian wilayah Jawa Barat ke dalam 5 (lima) Keresidenan, yaitu Keresidenan Banten, Keresidenan Batavia, Keresidenan Buitenzorg (Bogor), Keresidenan Priangan, dan Keresidenan Cirebon. Kabupaten Sukabumi termasuk Keresidenan Boitenzorg (Bogor).
Pada tahun 1942 bala tentara Jepang masuk ke Indonesia setelah menaklukan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Tanggal 5 Agustus 1942 panglima bala tentara dari Nippon mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah. Kabupaten disebut KEN dan dikepalai oleh KENCO. Desa disebut KU dan dipimpin oleh KUCO. Ken dan Ku merupakan badan-badan yang berhak mengurusi rumah tangga sendiri (otonom). Sebagai Kenco Sukabumi yang pertama adalah R.A.A. Soeriadanoeningrat, kemudian dilanjutkan oleh kenco yang kedua yaitu R. Tirta Soeyatna. Kedudukan Ken saat itu di jalan Cikole (jalan R. Syamsudin, SH Nomor 54 sekarang) bekas kantor Regenschap/Kabupaten.
Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, perjuangan bangsa Indonesia telah berhasil dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kejadian-kejadian yang bersifat Nasional dengan cepat bergema dan menyebar pula di Sukabumi. Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan cepat ditanggapi oleh para pejuang Sukabumi. Para pejuang Sukabumi khususnya yang sering berkumpul di jalan Cikiray 10b beserta tokoh-tokoh Peta, pada tanggal 21 Agustus 1945 tanpa menghiraukan kekuatan persenjataan tentara Jepang, bergerak mengambil alih gedung balai pertemuan umum, yang kemudian dijadikan markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR), sekarang menjadi Gedung Juang 45, serta mencetuskan kebulatan tekad untuk merebut kekuasaan dari tangan kekuasaan Jepang.
Untuk mengambil alih Pemerintahan Daerah dari tentara Jepang, para tokoh pejuang dan tokoh politik terkemuka antara lain Mr. Samsoedin, Dr. Abu Hanifah, Mr. Haroen, serta para pejuang kemerdekaan kelompok Cikiray 10b, melaksanakan pertemuan/musyawarah, yang hasilnya disepakati :
Menetapakan langkah-langkah untuk membebaskan semua tahanan politik yang masih ditahan oleh tentara jepang;
Mengibarkan bendera Merah Putih diseluruh kantor/jawatan pemerintah;
Mengganti kepala-kepala jawatan dan pimpinan instansi pemerintah yang masih diduduki orang-orang Jepang oleh Bangsa Indonesia;
Mengutus delegasi ke keresidenan Boogor untuk mendesak residen (Syukocan) untuk melaksanakan serah terima kekuasaan dari tangan Jepang kepada Republik Indonesia. Delegasi ke Bogor terdiri dari Ajengan Acun Basyoeni, R. Soekardi, dan R. Emo Harja;
Melaksanakan gerakan aksi massa, apabila usaha delegasi ke keresidenan Bogor gagal, aksi ditetapkan tanggal 1 Oktober 1945 dengan dipimpin oleh panitia lima, yaitu :
Sdr. Soeryana dari BKR
Sdr. Soekoyo dari Kepolisian
Sdr. S. Waluyo dari KNID
Sdr. Abdoerrohim dari alim ulama
Sdr. Ali Basri dari utusan daerah.
Akhirnya pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945 ba’da sembahyang Subuh berbondong-bondong massa rakyat, berbaris teratur dengan perlengkapan seadanya (golok, bambu runcing, tongkat kayu, dan lain-lain) menyerbu Kota Sukabumi dari 4 penjuru, dibawah pimpinan pejuang masing-masing desa. Kumandang Takbir “Allahu Akbar“ dengan diselingi pekik “Merdeka” menggema di seluruh Kota Sukabumi. Massa rakyat berkumpul di gedung dan halaman markas BKR, di lapangan Victoria (sekarang Gelanggang Merdeka Sukabumi), di alun-alun depan Mesjid Agung, di jalan-jalan sampai ke Pendopo Sukabumi. Mereka siap untuk mendengarkan laporan hasil delegasi ke keresidenan Bogor, serta siap menerima komando dari panitia 5 (lima) dengan semangat jiwa perjuangan yang tinggi.
Di dalam pidato laporannya kepada massa rakyat, Ajengan Acun Basyoeni menyatakan, bahwa serah terima pemerintahan dari tangan Jepang ke tangan Republik Indonesia baru dapat dilaksanakan sampai tingkat Keresidenan, sedangkan untuk di tingkat Kota dan Kabupaten pelaksanaannya ditangguhkan. Demikian pula keterangan dari sdr. R. Emo Harja menyatakan, bahwa perundingan dengan Syucokan di Bogor hasilnya gagal total. Menghadapi kenyataan demikian massa rakyat tidak bisa ditahan lagi dan secara spontan menyebar melaksanakan tugasnya masing-masing, yaitu :
mengurung kantor Kempetai (sekarang kantor Pelayanan Pajak dan kantor Badan Pertanahan Nasional), untuk membebaskan semua tahanan politik, diantaranya bapak R. A. Kosasih serta merampas seluruh senjata yang ada di sana;
menurunkan bendera Jepang, kemudian menggantinya dengan mengibarkan bendera Merah Putih secara resmi di lapangan Victoria (sekarang lapang merdeka Sukabumi);
merebut kekuasaan pemerintahan termasuk instansi lainnya, seperti Den Ki (PLN) , kantor telepon, kantor tambang emas Cikotok, kantor Barata, dan lain-lain.
Dalam beberapa hari saja, dengan disemangati gerakan heroik tanggal 1 Oktober 1945 seluruh wilayah Kabupaten Sukabumi telah dapat dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia. Para pejabat Kewedanaan dan Kecamatan yang tidak sejiwa dengan para pejuang kemerdekaan kemudian diganti dengan tokoh–tokoh masyarakat yang berjiwa pejuang kemerdekaan dengan aspirasi masyarakat yang tercetus pada peristiwa 1 Oktober 1945, Mr. Haroen diangkat menjadi Bupati Sukabumi yang pertama dalam masa Kemerdekaan Republik Indonesia wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Sukabumi pada saat itu meliputi wilayah Sukabumi Ken pada masa pemerintahan pendudukan Jepang. Tetapi peristilahan Jepang diganti ke dalam sebutan Indonesia, seperti Ken, Gun, Son, dan Ku, dirobah menjadi Kabupaten, Kewedanaan, Kecamatan, dan Desa.
Demikian sekilas mengenai sejarah perjuangan rakyat Sukabumi mengambil alih kekuasaan pemerintahan daerah dari tangan pemerintah Jepang, sehingga tanggal 1 Oktober 1945 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sukabumi.*** ( Diambil dari berbagai Sumber )
Dipilihnya Cikole sebagai pusat kepatihan, karena lokasi itu dipandang sangat strategis bagi komunikasi antara Priangan dan Jakarta. Selain itu, Cikole merupakan tempat yang nyaman untuk peristirahatan serta memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi, khususnya dibidang perkebunan. Oleh karena itu, atas usul para pemimpin bumi putra, pada tanggal 8 Januari 1815 nama “ Cikole “ diubah menjadi “ SUKABUMI “ yang berarti “tempat yang disukai”. Kepatihan Cikole berubah menjadi kepatihan Sukabumi, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Gunung Gede
Sebelah Selatan : Pantai Selatan
Sebelah Barat : Cigombong
Sebelah Timur : Gekbrong
Kepatihan Sukabumi ditetapkan sebagai Kabupaten Sukabumi terpisah dari Cianjur, berdasarkan besluit Gubernur Jendral tanggal 25 April 1921 Nomor 71, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 1921, sebagai bupati pertamanya diangkat patih yang terakhir, yaitu R.A.A. Soerianatabrata yang terkenal dengan sebutan Aom Dolih atau Dalem Gentong, karena bertempat tinggal di kampung Gentong Kecamatan Sukaraja.
Bupati R.A.A. Soerianatabrata memerintah dari tahun 1921 sampai 1930. Pada masa pemerintahannya tepatnya pada tahun 1923, Residentie Preanger Regenschappen dipecah menjadi 3 (tiga) Keresidenan, yaitu West Priangan (Priangan Barat) yang berkedudukan di Sukabumi, Midden Priangan (Priangan Tengah) yang berkedudukan di Bandung, dan Oost Priangan (Priangan Timur) yang berkedudukan di Tasikmalaya.
Bupati berikutnya adalah R.A.A. Soeriadanoeningrat, yang memerintah dari tahun 1930 sampai 1942. Pada masa pemerintahannya terjadi perubahan pembagian wilayah Jawa Barat ke dalam 5 (lima) Keresidenan, yaitu Keresidenan Banten, Keresidenan Batavia, Keresidenan Buitenzorg (Bogor), Keresidenan Priangan, dan Keresidenan Cirebon. Kabupaten Sukabumi termasuk Keresidenan Boitenzorg (Bogor).
Pada tahun 1942 bala tentara Jepang masuk ke Indonesia setelah menaklukan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Tanggal 5 Agustus 1942 panglima bala tentara dari Nippon mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah. Kabupaten disebut KEN dan dikepalai oleh KENCO. Desa disebut KU dan dipimpin oleh KUCO. Ken dan Ku merupakan badan-badan yang berhak mengurusi rumah tangga sendiri (otonom). Sebagai Kenco Sukabumi yang pertama adalah R.A.A. Soeriadanoeningrat, kemudian dilanjutkan oleh kenco yang kedua yaitu R. Tirta Soeyatna. Kedudukan Ken saat itu di jalan Cikole (jalan R. Syamsudin, SH Nomor 54 sekarang) bekas kantor Regenschap/Kabupaten.
Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, perjuangan bangsa Indonesia telah berhasil dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kejadian-kejadian yang bersifat Nasional dengan cepat bergema dan menyebar pula di Sukabumi. Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan cepat ditanggapi oleh para pejuang Sukabumi. Para pejuang Sukabumi khususnya yang sering berkumpul di jalan Cikiray 10b beserta tokoh-tokoh Peta, pada tanggal 21 Agustus 1945 tanpa menghiraukan kekuatan persenjataan tentara Jepang, bergerak mengambil alih gedung balai pertemuan umum, yang kemudian dijadikan markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR), sekarang menjadi Gedung Juang 45, serta mencetuskan kebulatan tekad untuk merebut kekuasaan dari tangan kekuasaan Jepang.
Untuk mengambil alih Pemerintahan Daerah dari tentara Jepang, para tokoh pejuang dan tokoh politik terkemuka antara lain Mr. Samsoedin, Dr. Abu Hanifah, Mr. Haroen, serta para pejuang kemerdekaan kelompok Cikiray 10b, melaksanakan pertemuan/musyawarah, yang hasilnya disepakati :
Menetapakan langkah-langkah untuk membebaskan semua tahanan politik yang masih ditahan oleh tentara jepang;
Mengibarkan bendera Merah Putih diseluruh kantor/jawatan pemerintah;
Mengganti kepala-kepala jawatan dan pimpinan instansi pemerintah yang masih diduduki orang-orang Jepang oleh Bangsa Indonesia;
Mengutus delegasi ke keresidenan Boogor untuk mendesak residen (Syukocan) untuk melaksanakan serah terima kekuasaan dari tangan Jepang kepada Republik Indonesia. Delegasi ke Bogor terdiri dari Ajengan Acun Basyoeni, R. Soekardi, dan R. Emo Harja;
Melaksanakan gerakan aksi massa, apabila usaha delegasi ke keresidenan Bogor gagal, aksi ditetapkan tanggal 1 Oktober 1945 dengan dipimpin oleh panitia lima, yaitu :
Sdr. Soeryana dari BKR
Sdr. Soekoyo dari Kepolisian
Sdr. S. Waluyo dari KNID
Sdr. Abdoerrohim dari alim ulama
Sdr. Ali Basri dari utusan daerah.
Akhirnya pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945 ba’da sembahyang Subuh berbondong-bondong massa rakyat, berbaris teratur dengan perlengkapan seadanya (golok, bambu runcing, tongkat kayu, dan lain-lain) menyerbu Kota Sukabumi dari 4 penjuru, dibawah pimpinan pejuang masing-masing desa. Kumandang Takbir “Allahu Akbar“ dengan diselingi pekik “Merdeka” menggema di seluruh Kota Sukabumi. Massa rakyat berkumpul di gedung dan halaman markas BKR, di lapangan Victoria (sekarang Gelanggang Merdeka Sukabumi), di alun-alun depan Mesjid Agung, di jalan-jalan sampai ke Pendopo Sukabumi. Mereka siap untuk mendengarkan laporan hasil delegasi ke keresidenan Bogor, serta siap menerima komando dari panitia 5 (lima) dengan semangat jiwa perjuangan yang tinggi.
Di dalam pidato laporannya kepada massa rakyat, Ajengan Acun Basyoeni menyatakan, bahwa serah terima pemerintahan dari tangan Jepang ke tangan Republik Indonesia baru dapat dilaksanakan sampai tingkat Keresidenan, sedangkan untuk di tingkat Kota dan Kabupaten pelaksanaannya ditangguhkan. Demikian pula keterangan dari sdr. R. Emo Harja menyatakan, bahwa perundingan dengan Syucokan di Bogor hasilnya gagal total. Menghadapi kenyataan demikian massa rakyat tidak bisa ditahan lagi dan secara spontan menyebar melaksanakan tugasnya masing-masing, yaitu :
mengurung kantor Kempetai (sekarang kantor Pelayanan Pajak dan kantor Badan Pertanahan Nasional), untuk membebaskan semua tahanan politik, diantaranya bapak R. A. Kosasih serta merampas seluruh senjata yang ada di sana;
menurunkan bendera Jepang, kemudian menggantinya dengan mengibarkan bendera Merah Putih secara resmi di lapangan Victoria (sekarang lapang merdeka Sukabumi);
merebut kekuasaan pemerintahan termasuk instansi lainnya, seperti Den Ki (PLN) , kantor telepon, kantor tambang emas Cikotok, kantor Barata, dan lain-lain.
Dalam beberapa hari saja, dengan disemangati gerakan heroik tanggal 1 Oktober 1945 seluruh wilayah Kabupaten Sukabumi telah dapat dikuasai oleh Pemerintah Republik Indonesia. Para pejabat Kewedanaan dan Kecamatan yang tidak sejiwa dengan para pejuang kemerdekaan kemudian diganti dengan tokoh–tokoh masyarakat yang berjiwa pejuang kemerdekaan dengan aspirasi masyarakat yang tercetus pada peristiwa 1 Oktober 1945, Mr. Haroen diangkat menjadi Bupati Sukabumi yang pertama dalam masa Kemerdekaan Republik Indonesia wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Sukabumi pada saat itu meliputi wilayah Sukabumi Ken pada masa pemerintahan pendudukan Jepang. Tetapi peristilahan Jepang diganti ke dalam sebutan Indonesia, seperti Ken, Gun, Son, dan Ku, dirobah menjadi Kabupaten, Kewedanaan, Kecamatan, dan Desa.
Demikian sekilas mengenai sejarah perjuangan rakyat Sukabumi mengambil alih kekuasaan pemerintahan daerah dari tangan pemerintah Jepang, sehingga tanggal 1 Oktober 1945 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sukabumi.*** ( Diambil dari berbagai Sumber )
0 Comments
Post a Comment