Biodata Prof Marsudi Tanggapi Pakar TI Kubu Prabowo dan Robot Ikhlas


Jakarta, Beritasatu.com - Guru Besar Ilmu Komputer Profesor Marsudi Wahyu Kisworo mengatakan tidak terlalu terkesan dengan presentasi seorang "pakar" teknologi informasi (TI) lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengaku membuat "Robot Ikhlas" dengan tugas memotret dan memantau sistem informasi penghitungan suara (situng) di situs Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pencipta robot itu adalah Hairul Anas Suaidi, pria kelahiran Pamekasan Madura, 42, lulusan Teknik Elektro ITB. Dalam presentasi di hadapan calon presiden Prabowo Subianto dan para pendukungnya di Jakarta, Selasa (14/5/2019) lalu, Hairul mengatakan robot yang dia buat bekerja nonstop memotret layar situng setiap menitnya, dan bisa dilihat hasilnya kapan saja dibutuhkan untuk mengecek kalau ada kecurangan atau kesalahan input data. Dia juga mengatakan data itu bisa diakses siapa saja, kecuali oleh para "kecebong".

Menurut Marsudi, tidak ada yang istimewa dengan robot ciptaan Hairul tersebut.Selain itu, Marsudi mengingatkan bahwa situng KPU memang sengaja dicantumkan di situs yang terbuka untuk umum agar siapa saja bisa mengawasi dan memberi masukan kalau ada kesalahan."Terus terang saja, hasil karya Hairul Anas Suaidi itu biasa saja dan cenderung menyesatkan publik," kata Marsudi dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (16/5/2019).

"Seperti saya jelaskan sebelumnya bahwa situng KPU adalah sistem terbuka. Jadi mau diunduh per hari, per jam, per menit, per detik, atau real time, ya mudah saja karena oleh KPU memang dibuat sedemikian transparan seperti itu. Bahkan mahasiswa yang semesternya agak tinggi sedikit bisa membuat salinan (mirroring) dari database Situng dengan mudah."

Marsudi sendiri adalah lulusan Fakultas Teknik Elektro, Jurusan Ilmu Komputer ITB tahun 1978. Menurut dia, robot yang dapat memantau situng KPU bukanlah sebuah karya yang fenomenal bagi masyarakat TI."Tidak perlu menjadi seorang pakar untuk membuat aplikasi seperti itu," tulisnya.

Urgensi dari robot itu juga dipertanyakan oleh Marsudi, karena meskipun seandainya robot tersebut mampu menemukan kecurangan dalam situng, dampaknya terhadap hasil Pemilu 2019 tidak ada."Menurut UU Pemilu, satu-satunya hasil penghitungan suara yang sah adalah hasil penghitungan suara berjenjang yang dilakukan secara manual, mulai dari tingkat TPS sampai pleno KPU Pusat," terangnya.

"Sedangkan situng hanya untuk mengonfirmasi hasil perhitungan suara manual berjenjang tersebut, sebagai alat kontrol publik agar transparan dan dapat diakses siapa pun."

Meskipun demikian, Marsudi menilai kehadiran situng tersebut tetap penting sebagai alat pengawasan oleh publik."Menghentikan situng berarti menutup akses partisipasi dan kontrol publik terhadap penghitungan suara manual berjenjang," tegasnya.

"Karena itu menurut saya biarkan saja situng berjalan seperti sekarang, tidak usah diributkan apalagi oleh pakar IT abal-abal. Karena jika pakar yang benar-benar pakar, dengan penelitian dan karya-karya yang mendunia, pasti tahu bahwa situng KPU tidak digunakan sebagai alat penghitungan suara yang sah, tetapi hanya alat kontrol saja. Yang sah adalah sistem penghitungan suara manual berjenjang."

Marsudi menambahkan dia menjadi anggota tim yang sejak awal ikut merancang grand design sistem TI Pemilu sejak 2004 dan dipakai hingga sekarang.

"Dalam grand design, situng yang tampil adalah hasil virtualisasi dari salah satu server di KPU. Karena merupakan virtualisasi maka situng dibuat terbuka, siapa pun bisa dan diberikan kemudahan untuk mengakses," jelasnya. "Namun hal ini punya dampak sampingan yang buruk, yaitu situng dengan mudah dapat diretas, bahkan oleh anak-anak SMA. Hal ini tidak terlalu menjadi masalah, karena sebagai virtualisasi dari server, pihak KPU dapat dengan mudah mengembalikan ke status sebelum diretas, karena server yang sesungguhnya tidak tersambung ke Internet."

0 Comments

Post a Comment