Seringkali dikaitkan dengan sosok laksamana besar dari Dinasti Ming yaitu Cheng Ho. Selain seorang pelaut dan negosiator ulung, Cheng Ho juga seorang muslim yang saleh dan giat melakukan syiar. Amen Budiman dalam bukunya “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia” menuliskan bahwa pada awal abad 15, armada Cheng Ho pernah singgah di Semarang, tepatnya di sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Gedong Batu. Di sana Cheng Ho bersama pembantu utamanya, Wangji Hong, mengajar agama Islam kepada masyarakat sekitar dan mendirikan sebuah masjid dengan gaya arsitektur mirip klenteng tionghoa.
Namun teori sejarah bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang tampaknya sangat lemah. karena dalam buku “Riwayat Semarang” karya Liem Thian Joe tahun 1931, tidak pernah dinyatakan Cheng Ho pernah singgah di Semarang. Armada yang singgah di Semarang bukan dipimpin oleh Cheng Ho tetapi oleh Sam Poo Kong. Oleh sebab itu di Semarang ada Kelenteng dan Masjid Sam Poo Kong. Tampaknya kemudian tradisi yang berkembang di masyarakat mencampuradukkan sosok Sam Poo Kong dengan Cheng Ho, padahal sebenarnya dua nama ini memang adalah tokoh yang berbeda.
Dalam Harian KOMPAS edisi 7 Apil 2008 “Antara Fakta Sejarah dan Legenda Sang Laksamana”, dinyatakan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang pada tahun 1405, karena Semarang pada awal abad ke-15 adalah daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum tampil dan Majapahit masih menjadi bermahadiraja. Sebaliknya dalam tradisi Jawa, dikenal tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang. Selain itu satu-satunya kota di Jawa yang disebut dalam sumber China dan catatan Melayu adalah Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah, sekitar 78 km dari Semarang. Pada masa itu (abad ke-15) Jepara telah menjadi pelabuhan internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula situs peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan Portugis, diperkirakan pada abad ke-15.
Hipotesa yang dapat dibuat adalah bahwa kedatangan armada China di Jawa sangat erat kaitannya dengan penyebaran Islam awal di Jawa. Namun kedatangan armada China ini tidak terjadi dalam satu waktu, tetapi terjadi beberapa kali dan pada titik-titk pelabuhan yang berbeda. Dalam pesinggahan armada China di Jawa tersebut sangat mungkin didahului dengan persinggahan di pelabuhan-pelabuhan sebelumnya, termasuk Kerajaan Champa yang mayoritas menganut agama Islam aliran Hanafi. Oleh karena itu distribusi ulama-ulama Champa sangat mungkin terjadi dalam proses tersebut.
Sejarah Wali Songo
Muldjana memaparkan dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” bahwa Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Cina. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jim bun dalam salah satu dialek Cina berarti “orang kuat”. Maka sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang ada di sana, sebagian sudah berusia 400 tahun-sebanyak tiga pedati. Arsip Poortman ini dikutip Parlindungan dalam bukunya “Tuanku Rao”.
Bila mengacu pada teori Prof Muldjana, ada dugaan kuat bahwa penyebaran awal Islam dilakukan oleh para ulama dari China, khususnya Champa, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan “Wali Songo”. Perdagangan dan hubungan diplomatik Majapahit dengan China (Tiongkok) sudah dibangun kembali pada masa Ratu Suhita pada awal abad 15 Masehi. Pelabuhan Tuban menjadi sentra ekspor impor yang digawangi oleh utusan negeri Champa, yaitu Gan Eng Cu. Selain piawai dalam perdagangan, Gan Eng Cu juga seorang Islam Hanafi yang bersemangat menyebarkan syiar damai dan sangat menghormati kekuasaan Majapahit. Berdasarkan kronik Tionghoa di Klenteng Sam Poo Kong, berkat jasa Gan Eng Cu dalam bidang ekonomi, Ratu Suhita memberikan gelar Arya. Muldjana menduga bahwa Gan Eng Cu ini adalah Tumenggung Arya Wilwatikta, adipati Tuban, yang tidak lain adalah ayah dari Raden Said atau yang nama aslinya adalah Gan Si Ciang. Beliau nantinya bergelar Sunan Kalijaga, salah satu wali (ulama) yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.
Muldjana banyak menyitir buku karangan Parlindungan dan menyimpulkan, Bong Swi Hoo-yang datang di Jawa tahun 1445 Ms tidak lain adalah Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh.
Akhirnya Muldjana menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Muldjana adalah Toh A bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su. Namun teori Muldjana perihal Sunan Kalijaga disangkal oleh budayawan muda Damar Shashangka, dengan menyatakan bahwa Prof. Muldjana mencoba merangkai data dari kronik Tionghoa, serat kanda, dan Babad Tanah Jawi, tapi melupakan babad Tuban. Dalam babad Tuban dikisahkan bahwa penguasa Tuban sekitar tahun 1400 awal adalah Adipati Arya Adikara. Adipati Arya Adikara memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Raden Ayu Teja dan yang bungsu bernama Dewi Retna Dumilah. Putri sulung ini, dinikahkan dengan seorang ulama muslim bernama Syeh Abdurrahman yang tidak lain adalah Gan Eng Cu. Sedangkan putri bungsu dinikahi oleh bangsawan Majapahit bernama Wilwatikta, yaitu ayah dari Raden Said. Jadi Raden Said adalah keponakan Gan Eng Cu, dan tidak memiliki darah Tionghoa sama sekali.
Dr. Said Aqil, sesepuh NU menyatakan bahwa dalam silsilah pengembangan Islam di Asia dan Indonesia ada pihak-pihak yang perlu diperhatikan yakni Achmad bin Isa, bin Ali Uraidi bin Ja’far Sadiq bin Muhammad Bakir bin Ali bin Abidin, bin Husain bin Ali bin Fatimah binti Rasullullah. Achmad bin Isa pindah ke negeri Campa dan kawin dengan wanita Tionghoa dan mempunyai anak Abdul Qodir (Tan Kim Han). Dia ini gugur melawan Mojopahit dan dimakamkan di Desa Tuloyo, Mojokerto. Tan Kim Han, menurut Said Aqil, menurunkan anak bernama Raden Rachmad Sunan Ampel, lalu menurunkan KH. Hasim Asy’ari, dan selanjutnya menurunkan KH Wahid Hasyim dan punya anak bernama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kata Walisanga yang selama ini diartikan sembilan (sanga) wali, ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa kata ’sanga’ berasal dari kata ‘tsana’ dari bahasa Arab, yang berarti mulia. Pendapat lainnya menyatakan kata ’sanga’ berasal dari kata ’sana’ dalam bahasa Jawa yang berarti tempat. Sedangkan kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisanga, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yang berarti guru. Disebut guru, karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.
0 Comments
Post a Comment