Sejarah Kabupaten Bondowoso


Kabupaten Bondowoso dapat dibagi menjadi tiga wilayah: Wilayah barat merupakan pegunungan (bagian dari Pegunungan Iyang), bagian tengah berupa dataran tinggi dan bergelombang, sedang bagian timur berupa pegunungan (bagian dari Dataran Tinggi Ijen). Bondowoso merupakan satu-satunya kabupaten di daerah Tapal Kuda yang tidak memiliki garis pantai.

Kabupaten Bondowoso adalah salah satu kabupaten dalam Propinsi Jawa Timur yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa. Dikenal dengan sebutan daerah tapal kuda. Ibukotanya adalah Bondowoso. Kabupaten Bondowoso memiliki luas wilayah 1.560,10 km2 yang secara geografis berada pada koordinat antara 113°48′10″ - 113°48′26″ BT dan 7°50′10″ - 7°56′41″ LS.

Kabupaten Bondowoso memiliki suhu udara yang cukup sejuk berkisar 15,40 0C – 25,10 0C, karena berada di antara pegunungan Kendeng Utara dengan puncaknya Gunung Raung, Gunung Ijen dan sebagainya di sebelah timur serta kaki pengunungan Hyang dengan puncak Gunung Argopuro, Gunung Krincing dan Gunung Kilap di sebelah barat. Sedangkan di sebelah utara terdapat Gunung Alas Sereh, Gunung Biser dan Gunung Bendusa.

Letak Kabupaten Bondowoso tidak berada pada daerah yang strategis. Meskipun berada di tengah, namun Kabupaten Bondowoso tidak dilalui jalan negara yang menghubungkan antar propinsi. Bondowoso juga tidak memiliki lautan. Ini yang menyebabkan Bondowoso sulit berkembang dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur.

Batas Wilayah

Secara geografis, Kabupaten Bondowoso mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara : Kabupaten Situbondo,

Sebelah timur : Kabupaten Situbondo dan Banyuwangi,

Sebelah selatan : Kabupaten Jember,

Sebelah barat : Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo.

Sejarah

Raden Bagus Asrah pendiri Bondowoso.

Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus mengusulkan agar Raden Bagus Asrah atau Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.

Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan sekitar Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Seketeng”. Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan dengan membangun pondok peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang.

Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, Tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai “Kabupaten Lama” Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.

Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi demang dengan gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya adalah “Demang Blindungan”. Pembangunan kotapun dirancang, rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan ternak. lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai alun-alun kota. Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh (gemek), sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan sapi guna menghibur para pekerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara berkala dan menjadi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Atas jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.

Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden Bagus Asrah atau Mas Ngabehi Astrotruno dianggkat sebagi patih berdiri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi Kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso.

Adapun tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagai ubahan perkataan Wana Wasa.

Maknanya kemudian dikaitkan dengan perkataan Bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan keras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.

Meskipun Belanda telah bercokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kekuasaannya, namun dalam kenyataannya pengangkatan personel praja masih wewenang Ronggo Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengklaim lahirnya kota baru Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai akhir hayat Sri Bupati di Besuki.

Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta dengan predikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan eksistensi formal Bondowoso sebagai wilayah kekuasaan mandiri di bawah otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara 1829-1830.

Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekuasaannya diserahkan kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858 dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan di Blindungan sekarang atau jalan S Yudodiharjo (jalan Ki Ronggo) yang dikenal masyarakat sebagi “Kabupaten lama”.Setelah mengundurkan diri, Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebun Dalem Tanggul Kuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19 Rabi’ulawal 1271 H atai 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun. jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih. Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai “Makam Ki Ronggo”.

Di kabupaten Bondowoso terdapat sejumlah situs megalitik, tepatnya 12 situs, dimana ditemukan dolmen, punden berundak, menhir, sarkofagus, kubur batu, batu kenong, pelinggih dan stunchambers (batu ruang).

Ada juga Goa Buto, Ekopak, Abris Saus Roche dan Area Batu.

Keagamaan

Pariwisata

1.Kawasan Wisata Terpadu Kawah Ijen di Kecamatan Sempol dan Sumberwringin, dengan obyek wisata : a.Wisata Kawah Ijen, Kawah Telaga Weru dan Kawah Wurung b.Wisata Air Terjun Blawan dan Gua Stalagtit c.Wisata Pemandian Air Panas Blawan dan Pemandian Damarwulan d.Wisata Agro Kopi Kalisat e.Wisata Air Terjun Puloagung - Sukorejo

2.Kawasan Wisata Terpadu Lereng Argopuro di Kecamatan Pakem, dengan obyek wisata : a.Wisata Agro Pusat Penelitian Kopi dan Kakao b.Wisata Air Terjun Tancak Kembar c.Wisata Pendakian Pegunungan Hyang (Gunung Argopuro)

3.Kawasan Wisata Pemandangan Arak-arak

4.Kawasan Wisata Pendakian Gunung Raung di Kecamatan Sumberwringin; 5.Kawasan Wisata Panjat Tebing Alam Patirana di Kecamatan Grujugan; 6.Kawasan Wisata Pemandian Tasnan di Kecamatan Grujugan;

7.Kawasan Wisata Sejarah Sarkopage di Kecamatan Grujugan, Maesan, Wringin, Tegalampel, Bondowoso, Wonosari, Tamanan, Jambesari Darussholah, Prajekan, Tlogosari dan Sempol;

8.Kawasan Wisata Rekreasi Alun-alun Bondowoso;

9.Kawasan Wisata Ziarah Makam Ki Ronggo di Kecamatan Tegalampel; 10.Kawasan Wisata Budaya Pedepokan Gema Buana di Kecamatan Prajekan; 11.Kawasan Wisata Kerajinan Kuningan Cindogo di Kecamatan Tapen; 12.Kawasan Wisata Bendung Sampean Baru di Kecamatan Tapen;

13.Kawasan Wisata Budaya Upacara Adat Desa Blimbing di Kecamatan Klabang; 14.Kawasan Wisata Arung Jeram Bosamba di Kecamatan Taman Krocok dan Tapen.

15.kawasan wisata aduan sapi yang ada di kecamatan tapen Dalam mendukung pariwisata, di Kabupaten Bondowoso juga disediakan sarana akomodasi penginapan yang memadai bagi wisatawan. Pada tahun 2008 ini jumlah hotel di Kabupaten Bondowoso terdiri dari 11 hotel. Satu hotel bintang 3 yaitu Hotel Ijen View di Jalan KIS Mangunsarkoro. Sedangkan lainnya yaitu hotel melati. Enam hotel di Kota Bondowoso yaitu Palm, Anugerah, Baru, Slamet, Kinanti dan Grand serta 4 hotel di luar Kota Bondowoso yaitu Arabica, Catimore, Jampit, dan Wisata Asri.

Makanan khas


Makanan khas Bondowoso adalah tape manis Bondowoso, yang umumnya dikemas dalam bèsèk (anyaman dari bambu berbentuk kotak). tape ini terbuat dari singkong , wisatawan mancanegara menyebutnya fermented of cassava, mirip seperti peyeum di Jawa Barat. Tapi rasa tape manis bondowoso lebih khas. banyak wistawan dari luar bondowoso yang rela datang ke bondowoso hanya untuk membeli tape manis ini merk tape manis yang terkenal antara lain Tape manis 82, tape manis 31,Mana Lagi, 66, 17, dll. Toko penjual tape manis Bondowoso pada umumnya terkonsentrasi di Jalan Jendral Sudirman dan Teuku Umar atau lebih dikenal daerah Pecinan. Jl jendral sudirman. Selain Tape, makanan khas turunan dari tape juga banyak dijual di Bondowoso seperti Suwar-suwir, dodol Tape, Tape bakar dll.

GERBONG MAUT

Ringkasan Cerita tentang kenapa Bondowoso dikenal dengan “Gerbong Mautnya”

Masih inget tentang film “kereta Api Terakhir” yang dibintangi Gito Rollies sebagai Sersan Tobing, dimana juga ada peran Kolonel Gatot

Subroto yang dibintangi Sundjoto Adibroto dengan brilian. Dan ada

kata-kata terkenal dari Gatot Subroto pada adegan itu : “Bacakansurat itu, kamu tahu aku kan buta huruf!!,…aku tidak bisa baca!!”

Film Kereta Api Terakhir sebenarnya diilhami kejadian Gerbong Maut di

Bondowoso, yang ceritanya jauh lebih mengerikan…begini ceritanya :

Belanda melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, lasjkar, gerakan bawah tanah dan orang-orang tanpa menghiraukan apakah yang bersangkutan berperan atau tidak dalam kegiatan perjuangan. Sehingga dalam waktu singkat penjara Bondowoso tidak mampu lagi menampung tahanan yang pada waktu itu mencapai ± 637 orang. Belanda bermaksud memindahkan tahanan yang termasuk “pelanggaran berat” dari penjara Bondowoso ke penjara Surabaya. Untuk mengangkut para tahanan tersebut digunakan sarana kereta api.

Setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pemindahan pertama dan kedua berjalan dengan baik karena gerbong yang mengangkut tahanan diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Namun saat pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanan rakyat tidak boleh mendekati gerbong. Akibatnya, semua tahanan dalam gerbong menderita kelaparan dan kehausan. Pemindahan tahap ketiga inilah

Yang Dikenal dengan Sebutan

“Gerbong Maut”.

Setelah mendapat perintah langsung dari Komandan J Van den Dorpe, Kepala Penjara mengumpulkan semua tahanan yang telah tercatat namanya. Pada Sabtu, 23 November 1947, jam 04.00 WIB, tahanan yang tercatat dibangunkan secara kasar lalu dikumpulkan di depan penjara. Rincian tahanan adalah sebagai berikut: rakyat desa (20 orang), kelaskaran rakyat dan gerakan bawah tanah(30 Orang), anggota TRI (30 orang), dan tahanan rakyat serta polisi (20 orang). Pada jam 05.30

WIB tahanan tiba di Stasiun Kereta Api Bondowoso. Sebanyak 32 orang masuk gerbong pertama yang bernomor GR 5769; 30 oarang ke gerbong kedua yang bernomor GR 4416, sisanya berebutan masuk ke gerbong yang terakhir bernomor GR 10152 karena panjang dan masih baru.

Pada jam 07.00 WIB kereta dari Situbondo datang. maka, saat itu juga gerbong digandeng. Menurut Ru Munawar yang masuk gerbong pertama, setelah gerbong dikunci, keadaan menjdi gelap gulita dan udara tersa panas walaupun masih pagi. Jam 07.30 kereta bergerak menuju Surabaya. tepat di Satsiun Taman, mulai terjadi peristiwa memilukan, Kiai Samsuri 50 Tahun, membanting-bantingkan tubuhnya sambil berteriak kepanasan. Jangankan diisi 30 Orang, 10 orang saja sudah terbayang panasnya. gedoran-gedoran para tahanan sudah tidak digubris bahkan dijawab dengan bentakan pedas; “Biar kalian mapus semua, hai anjing ekstrim!, atau “Di sini tidak ada makanan dan air minum, yang ada cuma peluru”.

Ketika tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam terik matahari. Akhirnya pada jam 10.30 WIB kereta baru berangkat dari Jember ke Probolinggo. Setelah meningglkan Jember di siang hari, suasana gerbong bagaikan didalam neraka karena atap dan dinding gerbong terbuat dari plat baja.Banyak terjadi peristiwa diluar batas kemanusiaan, misalnya guna mempertahankan hidup dari kehausan sebagian para tahanan terpaksa meminum air kencing tahanan yang lainnya.

Mendekati Stasiun Jatiroto, Allah SWT menebarkan rahmat-NYA. Hujan yang cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat tetesan air yang berasal dari lubang-lubang kecil.Tidak demikian halnya dengan gerbong ketiga GR10152. karena masih baru, para tahanan tidak mendapatkan tetesan air sedikitpun. Ketika sampai di Surabaya, dalam gerbong ketiga (GR10152) tidak ada satupun yang hidup.

Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Gerbong Maut sampai di Stasiun Wonokromo. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Setelah didata, di gerbong I No. GR 5769 sebanyak 5 sakit keras, 27 orang sehat tapi kondisi lemas lunglai, Gerbong II No. GR.4416 sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat, dan di Gerbong III No. GR. 10152 seluruh tawanan sebanyak 38 orang meninngal semua.

Para tahanan yang sehat dipaksa menganggkut temannya yang sudah meninngal. Semua jenazah diletakkan secara sejajar. Setelah dievakuasi, lalu diangkut ke truk yang telah disediakan. Jenazah harus diangkut dengan sangat hati-hati sebab kalau tidak maka daging jenazah akan mengelupas akibat kepanasan.

Adapun tambahan ceritanya dari saksi hidup Mas Suhadi :

DI JAWA TIMUR, PERISTIWA GERBONG MAUT BANYAK DIBICARAKAN ORANG, KHUSUSNYA PADA SAAT HARI-HARI BESAR NASIONAL. APA SEBETULNYA PERISTIWA GERBONG MAUT ITU? MAS SOEHADI (82 TAHUN), PELAKU SEJARAH, MENUTURKAN KESAKSIANNYA KEPADA SAYA DI SIDOARJO.

Oleh

MAS SOEHADI, yang tinggal di RT 3/RW 1 Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo,

termasuk salah satu dari 100 penumpang ‘gerbong maut’ dari Bondowoso

ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.Belanda berusaha memperhalus kekejamannya dengan istilah ‘aksi polisionil’.

Dus, tindakan kepolisian untuk menertibkan para pelaku kejahatan. “Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api,” kenang pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 ini.

Tentara Belanda sangat ngawur. Siapa saja dirazia, khususnya para pemuda yang punya potensi memberontak. Nah, MAS SOEHADI, waktu itu 20-an tahun dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso, ikut ditangkap. Di tengah teror mental yang luar biasa, mereka dimasukkan ke dalam TIGA GERBONG.

“Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan, pengap sekali. Anak-anak, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu,” kata MAS SOEHADI.

Eyang SOEHADI menduga, kebijakan mengurung 100 tawanan itu dilakukan

untuk menghindari intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam.

“Gerbongnya hanya dibuka sebentar di stasiun, terus tutup lagi,” kata ayah tiga anak ini.

Pengapnya udara, akumulasi gas karbondioksida, ditambah desak-desakan

yang ekstrem, tak ayal membuat sebagian tawanan meregang nyawa. Satu per satu tawanan, ya, kawan-kawan Eyang Soehadi, meninggal di dalam gerbong. Mati lemas! Sampai di Surabaya–mula-mula di Stasiun Wonokromo, Surabaya, baru diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, Eyang Soehadi termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.

“Saya sendiri heran, kok bisa selamat. Mungkin, takdir saya belum sampai,” katanya. Gaya bahasa dan pola pikir pria sepuh ini masih runtut dan sistematis.

Eyang Soehadi dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di

Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, Eyang Soehadi mendekam di dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan sedikit pun. Ketahuan kalau ‘Aksi Polisional’ I itu hanya akal-akalan Belanda untuk merampok kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, Eyang Soehadi dan kawan-kawan dibebaskan. “Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,” tutur Mas Soehadi.

NYARIS MATI LEMAS DALAM KASUS ‘GERBONG MAUT’ PADA 28 DESEMBER 1947, MAS SOEHADI TAK MENDAPAT APA-APA. TANDA JASA NIHIL. PENGHARGAAN SEBAGAI VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN PUN TAK. TAPI, SOEHADI MERASA BANGGA KARENA DITAKDIRKAN TUHAN MENJADI SALAH SATU PELAKU SEJARAH DI REPUBLIK INI.

“NAK, umur kami-kami ini sudah sedikit. Sebentar lagi juga habis. Mau minta apa lagi?” ujar Soehadi kepada saya.

Bahwa ia selamat, padahal 46 orang pejuang tewas di dalam gerbong karena kehabisan oksigen, sudah menjadi hadiah tersendiri dalam hidupnya. Eyang mengaku peristiwa tragis puluhan tahun silam itu sering muncul di benaknya.

“Kok bisa-bisanya saya selamat? Ini pasti karena kehendak Gusti Allah,” kata pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 itu.

Kini, generasi ’45 macam Eyang Soehadi surut satu per satu. Tugas mengisi kemerdekaan–yang tak kalah berat dibanding merebut kemerdekaan–diteruskan oleh generasi baru.

“Cerita Gerbong Maut ini membuktikan bahwa Belanda sama sekali belum sadar dan tidak merasa berdosa. Belum ada permintaan maaf Belanda terhadap kasus ini. Ini sudah kejahatan internasional dan mustinya secara resmi Belanda meminta maaf apa yang terjadi di Indonesia”

Referensi


http://taandika1.blogspot.com/2017/12/sejarah-kabupaten-bondowoso.html

http://wahedfarhan11.blogspot.com/2015/09/sejarah-sejarah-bondowoso.html

0 Comments

Post a Comment