Kisah Kiai Pencipta Shalawat Badar Yang Ditemui Nabi



Tahun 1950-an akhir, KH. Ali Mansur Banyuwangi sudah mempunyai niat yang menancap kuat dalam hatinya untuk menuliskan shalawat. Kiai Ali Mansur resah dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih terjadi konflik dan pertentangan antar kelompok. Ada keresahan luar biasa, karena Indonesia yang masih di masa transisi justru terjebak dalam ruangan konflik yang menyandera kemajuan bangsa.


Sosok KH. Ali Mansur Banyuwangi merasa gelisah, terasa dalam dirinya akan hadirnya bahaya yang membahayakan persatuan bangsa. Akhirnya, dalam suatu malam, dalam mimpi itu Rasulullah SAW datang dengan penuh senyum kepada Kiai Ali Mansur. Rasulullah SAW datang bersama para sahabat ahli badar. Itu terjadi tahun 1960.

Kaget! Kiai Ali Mansur terbangun. Betapa gembira bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tak terasa, jari jemari Kiai Mansur dengan penuh syukur bisa menulis untaian syair berbahasa Arab yang kemudian masyhur dengan nama SHALAWAT BADAR.


Kiai Ali Mansur Banyuwangi


Ternyata, peristiwa menakjubkan yang dialami Kiai Ali Mansur ini diketahui para wali besar saat itu, yakni Habib Hadi Al-Haddad Banyuwangi, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang Jakarta, dan Habib Ali bin Husein Al-Athas Bungur Jakarta. Kiai Ali Mansur akhirnya mendapatkan penghargaan dari Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar NU 1989 di Krapyak Yogyakarta.


Hampir bisa dipastikan semua orang Nahdlatul Ulama kenal dengan shalawat ini – Shalawat Badar. Shalawat ini adalah shalawat yang banyak sekali faedahnya, menjadi sumber kekuatan dan pertolongan dan wasilah kepada Rasulullah SAW. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa shalawat ini diilhamkan kepada seorang Kyai asli Indonesia dari NU, yakni Kyai Ali Mansur, yang semasa hidupnya menjabat sebagai pengurus NU Banyuwangi, Jatim.

Saat itu sekitar tahun 1960-an. Kyai Mansur gelisah karena memikirkan pergolakan politik yang makin kacau; orang-orang PKI makin kuat di daerah pedesaan, sedangkan warga NU terdesak. Pada suatu malam beliau bermimpi didatangi sekelompok Habaib berpakaian putih-hijau, dan pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau menanyakan mimpi ini kepada seorang Habib ahli kasyaf, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi. Oleh Habib dijawab bahwa itu adalah para pahlawan perang Badar.

Dua mimpi istimewa suami-istri ini menjadikan dirinya memperoleh ilham untuk menulis syair dan shalawat. Yang lebih aneh, esok harinya tetangga berdatangan membawa banyak bahan makanan, seolah-olah akan ada acara besar. Para tetangga ini bercerita bahwa pagi-pagi buta rumah mereka diketuk oleh orang-orang berjubah putih yang memberi tahu bahwa Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Kyai Ali Mansur bingung karena tak punya hajatan besar apapun; namun para tetangga bergotong royong memasak di dapur sampai malam, siap-siap menyambut kedatangan tamu esok pagi.

Pagi hari, Kyai Ali Mansur duduk di rumahnya sambil bertanya-tanya siapa tamunya.. Lalu menjelang matahari muncul datanglah serombongan habaib dipimpin oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta.

Setelah mereka berbincang, Habib Ali Kwitang bertanya kepada Kyai Mansur “mana syair yang ente buat kemarin? Mohon bacakan dan lagukan di depan kami semua.” Kyai Ali Mansur kaget karena Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya kemarin malam, padahal beliau belum bercerita kepada siapapun dan lagipula baru kali ini Habib Ali Kwitang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Banyuwangi.

Kyai Ali Mansur kemudian membacakan syair itu sambil dilagukan. Dan memang Kyai yang satu ini suaranya sangat bagus. Para habaib mendengarkan, dan tak lama kemudian mereka menangis. Selesai dibaca, Habib Ali Kwitang berdiri dan berkata, “Ya Akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Shalawat Badar!” Kemudian Kyai Ali Mansur diundang ke Kwitang untuk mempopulerkan Shalawat Badar di sana.

Karena itulah bacaan Shalawat Badar ini sering dipakai dalam istigotsah dan sering diamalkan para santri yang sedang menghadapi berbagai kesulitan. Meski sebagian kalangan non-NU menganggap shalawat ini bid’ah, namun dalam kenyataannya, para Wali Allah tak menganggapnya bid’ah dan bahkan mengakui dan mengamalkannya, seperti dicontohkan oleh ulama besar Habib Ali Kwitang.

Mudah2an kita diberi kelapangan dan kemampuan oleh Allah untuk mengamalkannya, membebaskan segala duka cita kita lantaran berkah Rasul dan para pahlawan badar…

Ilahi sallimil ummah minal aafati wan niqmah
wa min hamin wamin ghummah, bi ahlil badri yaa Allah….

wa Allahu a’lam


Referensi

http://rumahcahaya.blogspot.com/2009/07/sejarah-shalawat-badar.html

0 Comments

Post a Comment