Satu ancaman manusia tempo doeloe sudah punah di Soekaboemi yakni macan. Namun masih ada satu hal lagi yang terus mengancam kehidupan di Soekaboemi yang sudah kerap muncul sejak dari doeloe yakni banjir dan gempa. Ancaman banjir boleh jadi sudah dapat ditangani tetapi tidak dengan gempa. Peristiwa gempa kejadiannya adakalanya tidak terduga dan kejadiannya dapat berulang (bahkan hingga ke masa depan).
Dampak gempa di Sukabumi (De Volkskrant, 12-02-1975)
Gempa terjadi karena disebabkan dua hal: proses vulkanik dan proses geologi atau proses tektonik (pergeseran lempengan bumi). Gempa akibat proses vulkanik di Soekaboemi sudah lama terjadi yakni meletusnya gunung Salak (1699) dan meletusnya gunung Gede (1834). Namun gempa akibat proses tektonik masih kerap terjadi bahkan belum lama ini dirasakan dan sempat menimbulkan kepanikan di Sukabumi.
Upaya kita warga Sukabumi untuk merespon gempa adalah dengan cara mengantisipasinya agar dampak yang ditimbulkan minimal--tidak tidak ada korban jiwa. Peristiwa gempa sebagai kejadian yang berulang menjadi penting untuk mencatat kembali kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampau. Informasi ini selain dapat memperkaya data badan/instansi terkait, catatan sejarah ini paling tidak sebagai pengingat agar kita tetap waspada terhadap ancaman gempa bumi. Untuk itu mari kita catat kejadian-kejadian gempa yang pernah terjadi di Soekabimi berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Gempa Vulkanik Gunung Gede di Soekaboemi
Kejadian gempa yang terbilang kuat di Soekaboemi baru mulai tercatat pada tahun 1880 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1880). Disebutkan pada tanggal 20 Maret yang lalu pada pukul 5 pagi lewat 10 menit terjadi guncangan horizontal yang cukup parah di ibu kota Sukabumi, yang berlangsung sekitar 40 detik; Arah gempa itu dari barat ke timur. Kejadian gempa pada waktu yang sama juga terjadi di ibu kota Tasikmalaja pada tingkat yang lebih rendah.
Java-bode voor Nederlandsch-Indie, 15-04-1880
Ukuran gempa belum dicatat menurut skala metrik (skala Richter). Ukuran gempa dicatat secara kualitatif dengan mendeskripsikan kapan dan dimana terjadi, bagaimana gempa berlangsung (arah dan lamanya), seberapa besar goncangannya dan seberapa luas dan seerapa banyak korban barang dan jiwa yang ditimbulkannya. Ukuran-ukuran kualitatif ini dapat disatukan dan disimpulkan seberapa kuat gempa tersebut.
Kejadian gempa di ibu kota Soekaboemi karena arahnya dari barat haruslah dilihat bahwa goncangan gempa itu sudah barang tentu terjadi di Tjibadak dan Palaboehan Ratoe yang boleh jadi kekuatannya lebih besar dibandingkan di kota Soekaboemi. Seperti disebutkan di dalam berita itu bahwa gempa yang terjadi cukup parah. Namun tidak dijelaskan seberapa besar dampaknya apakah ada korban luka atau meninggal atau berapa buah rumah rusak berat dan rusak ringan.
Sumatra-courant, 04-03-1886
Sumatra-courant: nieuws en advertentieblad, 04-03-1886: ‘Diumumkan oleh Residen Preanger bahwa pada pagi hari tanggal 14 Februari, gunung api Gedeh membuat gemuruh yang berat berulang-ulang dan pada sore hari pukul 2 lewat 8 menit di disttict Tjitjoeroeg, sebuah goncangan gempa horizontal yang cukup keras dari gempa bumi yang berhasil diamati yang berlangsung sekitar 5 hingga 6 detik yang arahnya dari timur ke barat. Goncangan itu juga terasa di Sukabumi namun arah yang benar tidak dapat ditentukan di lokasi itu.
Pada tanggal 14 Februari 1886 pada sore hari sekitar pukul dua penduduk di district Tjitjoeroek dikagetkan oleh adanya goncangan gempa yang cukup keras. Goncangan ini diduga kuat diakibatkan oleh gemuruh gunung Gede. Goncangan gunung Gede ini juga dirasakan di kota Soekaboemi (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 04-03-1886). Pada hari dan jam yang sama juga diperoleh berita dari Residen Bantam bahwa guncangan vertikal yang cukup parah dari gempa dirasakan di Goenoeng Kentjana (Afdeeling Lebak) yang berlangsung selama 2 hingga 3 detik (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 29-03-1886).
Catatan panjang kejadian gempa di Soekaboemi
Aktvitas gunung Gede pernah terjadi pada tanggal 10 Oktober 1834 yang menyebabkan terjadi gempa besar. Gempa ini menghancurkan Istana Buitenzorg. Gempa yang berpusat di Mega Mendoeng, telah menimbulkan beberapa kawah di atas gunung Gede. Gempa yang sangat dahsyat ini bahkan dirasakan hingga ke Lampoeng (Soematra) di sebelah barat dan Tagal di sebelah timur. Bangunan yang terbuat dari batu hancur, rumah yang terbuat dari kayu dan bambu terjungkal, jalan pos antara Buitenzorg dan Tjiandjoer di sana sini mengalami keretakan parah yang menimbulkan longsor. Demikian berita resmi dari pemerintah setelah sebulan kejadian sebagaimana dilaporkan surat kabar Javasche courant, 22-11-1834. Di Depok dan sekitarnya juga mengalami dampak yang besar. Bangunan yang terbuat dari batu landhuis Tjilangkap, landhuis Krangan, landhuis Tjimangis dan landhuis Pondok Tjina rusak berat dan runtuh sebagian. Sementara landhuis Tjiliboet, landhuis Pondok Terong, landhuis Sawangan, landhuis Tjineri, landhuis Koeripan (Paroeng) dan lainnya rusak ringan. Bagaimana dampak gempa tahun 1834 ini di Soekaboemi tidak terlaporkan.
Beberapa bulan kemudian terjadi lagi gempa di wilayah yang saling berdekatan Batavia, Banten dan Preanger (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-07-1886). Menurut laporan lebih lanjut dari Residen Batavia dan Residen Bantam, gempa bumi yang diamati di tempat-tempat ibukota pada pagi hari tanggal 29 Juni dan juga terasa di di Buitenzorg dan di Tangerang serta di Lebak dan di Pandeglang dan Tjaringin. Di Buitenzorg, gempa bumi terdeteksi pada sore hari tanggal 28 Juni sekitar jam setengah lima pagi. Gempa bumi pada sore hari tanggal 28 Juni dan pada pagi hari tanggal 29 menurut laporan dari Residen Preanger juga diamati di Soekaboemi. Goncangannya cukup parah di Soekaboemi.
Algemeen Handelsblad, 11-08-1886
Bagaimana rincian gempa di Soekaboemi, seorang pembaca di Tjibadak (antara Soekaboemi dan Tjitjoeroek) menulis yang dikirimkan ke surat kabar di Batavia yang dilansir surat kabar di Belanda, Algemeen Handelsblad, 11-08-1886, sebagai berikut: ‘Tanggal 28 Juni. Di sore jelang malam hari sekitar pukul setengah enam gempa bumi ringan, dari arah timur ke barat. Tanggal 29 Juni. Sembilan menit setelah pukul sebelas pagi, gempa kuat yang berlangsung cukup lama dari arah timur ke barat. Gerakannya sangat sengit sampai semua pendulum arloji berdiri diam. (Masih) tanggal 29 Juni. Sekitar pukul lima sore hujan abu dari utara ke arah barat laut. Tanggal 30 Juni. Muncul lapisan debu yang tertutup. (pada kolom lain) Guncangan gempa yang diamati pada hari-hari terakhir di bagian barat Jawa telah dikomunikasikan kepada kami dengan itikad baik, setelah meletusnya gunung Gede pada hari Selasa, saat guncangan besar dirasakan di Batavia dan kemudian diikuti oleh hujan abu di Sukabum, letusan terjadi pada jam empat sore. Awan besar naik dari puncak gunung (Gede). Sekarang semuanya tenang, tetapi membuat para tetangga(kita tetap) khawatir. Mereka lebih suka melihat awan biasa di sekitar puncak gunung berapi, karena pengalaman telah mengajarkan kepada mereka bahwa (gunung) Gede benar-benar diam dan tidak berasap, yang mana biasanya diikuti oleh gempa bumi dan letusan’.
Sebulan kemudian juga dirasakan goncangan gempa di Rangkas Bitoeng dan Tangerang (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-07-1886). Disebutkan goncangan gempa ini ringan (tidak sehebat bulan sebelumnya). Meski demikian, gempa tetaplah gempa, berat atau ringan tetap menimbulkan trauma di tiga residentie (Banten, Batavia dan Preanger). Kembali terjadi gempa di Tjitjoeroek pada tanggal 8 bulan September pukul 6 pagi lewat 45 menit terjadi guncangan horizontal dari gempa yang diamati (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-09-1886).
Gempa selalu menjadi perhatian serius bagi pemerintah terutama di Residentie Batavia dan Residentie Banten serta Residentie Preanger, sehingga setiap kejadian langsung dikomunikasikan. Memang kejadian gempa kerap terjadi, tetapi kejadian meletusnya gunung Krakatau masih segar dan belum terlupakan. Gunung Krakatau meletus tahun 1883 yang menyebabkan tsunami dan menimbulkan korban jiwa ribuan orang. Tsunami gunung Krakatau tersebut dirasakan di Batavia. Besarnya dampak letusan gunung Krakatau tidak hanya menimbulkan tsunami yang menghempaskan kapal di pelabuhan Tandjong Karang ke daratan juga debu vulkanik dari Krakatau ini bahkan sampai menutupi kota Batavia sehingga semua warga harus menyalakan lampu. Singkatnya meletusnya gunung Gede (1834) dan gunung Krakatau (1883) telah membuat pemerintah dan penduduk menjadi selalu trauma jika ada muncul gempa.
0 Comments
Post a Comment