Sejarah Arema Indonesia



Arema Indonesia adalah klub sepakbola Indonesia yang bermarkas di kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Asal muasal nama Arema diambil dari legenda Malang yang bernama Patih Kebo Arema yang saat itu Kerajaan Singosari diperintah oleh Raja Kertanegara. Semasa menjadi patih Singosari, Patih Kebo Arema memiliki prestasi yang gemilang. Beliau mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara, pemberontakan Cayaraja serta menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi dan akhirnya beliau pun bisa menguasai Selat Malaka. Walaupun namanya kurang populer dalam buku-buku sejarah dan kalah tenar dibandingkan Raja Kertanegara yang disebut-sebut menjadi raja tersukses di Singosari, namun bagi warga Malang, Patih Kebo Arema menjadi sosok yang sudah melegenda.


Awal mulanya terbentuk, klub memakai nama Aremada yang sebelumnya telah melakukan penggabungan dua klub lokal Malang yaitu Armada 86 dan Arema. Tujuan pembentukan klub saat itu pun bermaksud untuk mengembangkan persepakbolaan di kota Malang yang saat itu didominasi oleh klub Persema Malang. Selang beberapa bulan kemudian nama klub diganti menjadi Arema 86, namun upaya untuk mempertahankan klub Arema 86 banyak mengalami hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena kesulitan dana. Dari sinilah, Acub Zaenal (mantan Gubernur Irian Jaya ke-3 dan mantan pengurus PSSI periode 80-an) dibantu oleh humas Persema yakni Ovan Tobing mengambil alih klub dan berusaha menyelamatkan Arema 86 agar bisa tetap berjaya.

Nama Arema 86 pun diubah menjadi Arema dan ditetapkan berdirinya tanggal 11 Agustus 1987 dan karena terlahir di bulan Agustus, simbol Singo (Singa) pun muncul mengacu ke gambar horoscop bulan. Di awal keikutsertaan klub Arema di kompetisi Galatama, Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra Surabaya), sampai kiper Dony Latuperisa berhasil direkrut untuk dilatih oleh Sinyo Aliandoe. Saat itu Liga Indonesia dibagi dua yakni: Liga tim semi-profesional bernama Galatama dan satunya lagi Liga Perserikatan. Prestasi klub Arema dikancah sepakbola nasional terbilang pasang surut dikarenakan pembiayaan klub yang menjadi kendala utama. Meski demikian, mahkota juara Galatama pernah direbut Arema tahun 1992 dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Mecky Tata, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M Basri.

Sejak mengikuti Liga Indonesia, Arema tercatat sudah tujuh kali masuk putaran kedua yakni satu kali ke babak 12 besar (tahun 1997) dan enam kali masuk babak 8 besar (tahun 2000, 2001, 2002, 2005, 2006 dan 2007). Walaupun berprestasi lumayan, tapi Arema tidak pernah lepas dari masalah dana dan dipertengahan musim kompetisi 2003 klub Arema akhirnya diakuisisi kepemilikannya oleh PT Bentoel Internasional Tbk dan di akhir musim Arema harus terdegradasi ke Divisi I. Tapi dengan kekuatan finansial baru, Arema hanya satu musim berada di divisi satu dan kembali promosi membawa status juara dari Divisi I. Sejak saat itu prestasi Arema cenderung stabil hingga menembus Superliga. Dua bulan Setelah kompetisi Liga Super Indonesia usai tepatnya tanggal 3 Agustus 2009 pemilik klub Arema, PT Bentoel Investama Tbk akhirnya melepas klub Arema ke kumpulan orang-orang peduli (konsorsium) dan klub Arema malang pun berganti nama menjadi Arema Indonesia.

Musim 2009/2010 klub Arema berhasil meraih gelar jawara ISL setelah musim sebelumnya hanya bertengger di pos ke-10. Namun musim berikutnya kekuatan yang saat itu didominasi oleh tim Persipura akhirnya membuat tim Arema harus puas berada di posisi runner up liga. Klub Arema menggunakan Stadion Kanjuruhan untuk menggelar laga kandangnya. Arema Indonesia adalah tim sekota dari Persema Malang. Kelompok Suporter Arema terkenal sebagai salah satu supporter fanatik di Indonesia yang disebut dengan julukan Aremania dan Aremanita.

Arema yang dikenal sebagai tim jago kandang di Galatama membuat stadion Gajayana terkesan angker bagi tim tamu yang akan melawan Arema. Raihan hasil positif Arema ketika bermain di kandang menarik animo masyarakat untuk menonton Arema. Hal ini membuat Lucky Acub Zainal berinisiatif untuk membentuk Arema Fans Club (AFC), sebuah wadah suporter yang dikelola oleh klub sepakbola Arema. Kehadiran Arema Fans Club rupanya kurang mendapat respon positif dari pendukung Arema, hal ini berujung pada pembubaran Arema Fans Club pada tahun 1994. Beberapa alasan yang mengemuka dalam pembubaran Arema Fans Club adalah masalah eksklusifitas organisasi dan tidak ada regenerasi. Arema Fans Club selama berdiri lebih banyak menjalin komunikasi dengan elemen suporter lain di luar kota. Kondisi ini tidak disukai oleh beberapa kelompok geng pemuda yang saat itu banyak menjadi pendukung Arema. Lagipula pengaruh pihak keamanan (kepolisian dan tentara) dalam Arema Fans Club sangat kental, sehingga menambah sikap antipati arek-arek Malang terhadap Arema Fans Club. Beberapa kelompok geng pemuda yang semula saling bertikai berkumpul untuk membahas penolakan terhadap Arema Fans Club. Penolakan geng-geng pemuda terhadap Arema Fans Club muncul karena keinginan untuk tidak disetir oleh Yayasan PS Arema (klub), apalagi saat itu ada isu bahwa Arema Fans Club ini memiliki “bau” aranet (tentara) dan silup (polisi), musuh utama geng-geng pemuda.

Medio 1994 Aremania muncul, belum jelas siapa dan darimana inisiator nama Aremania. Kata “Aremania” berasal dari “Arema” dan “Mania”, sebuah frase simbol fanatisme pendukung Arema. Suporter Arema yang pada dasarnya memiliki basis geng-geng pemuda dari berbagai wilayah kota Malang bersatu dalam satu identitas “Aremania” dan salam “satu jiwa”. Sikap independen Aremania terwujud pada tidak adanya pemimpin di dalam tubuh Aremania, pimpinan tertinggi adalah musyawarah mufakat dari korwil-korwil Aremania yang ada di Malang. Pembubaran Arema Fans Club sebagai instrumen suporter berbasis pada korwil tidak serta merta menghilangkan dukungan terhadap Arema. Sistem korwil (koordinator wilayah) menjadi peninggalan dari Arema Fans Club pasca pembubarannya, walaupun struktural di atas korwil secara resmi dihapuskan.

Berbagai korwil Aremania hadir di stadion membawa bendera dan desain pakaian sendiri-sendiri, dengan menitikberatkan pada warna biru, gambar singa, dan pernak-pernik lain yang membedakan dengan kelompok lain. Di dalam stadion setiap korwil Aremania memiliki wilayah sendiri-sendiri, korwil yang beranggotakan banyak orang jelas memiliki wilayah terluas di tribun stadion, sementara korwil-korwil kecil pada akhirnya masuk menjadi bagian di korwil besar tersebut. Adu kreatifitas menjadi pertarungan utama bagi kelompok-kelompok arek Malang di dalam stadion. Semula mereka saling beradu dalam bentuk desain bendera dan pakaian, selanjutnya setelah Juan Rodriguez “Pacho” Rubio bermain di Arema, persaingan mereka melebar dalam bentuk nyanyian dan tarian. Setiap korwil selalu berusaha untuk menyajikan sesuatu yang baru dan diterima oleh khalayak ramai penonton Arema. Oleh karenanya mereka berusaha mencipta yel-yel baru dan tarian-tarian baru untuk mendukung kesebelasan Arema.

Apa yang dilakukan kera-kera Ngalam ini berbuah positif. Termotivasi oleh keinginan untuk membedakan diri dengan karakter arek Suroboyo yang bondho nekat, Aremania berusaha melepaskan diri dari image brutal dan anarkis yang dulu pernah melekat erat. Kreatifitas dalam mendukung Arema di dalam stadion serta sikap santun kala melakoni tour ke luar kota berbuah apresiasi dari Agum Gumelar berupa penyerahan gelar The Best Supporter untuk pertama kalinya di Indonesia kepada Aremania pada tahun 2000. Apresiasi lain juga muncul dari luar kota Malang, banyak komunitas suporter lahir di kota-kota lain seperti The Jakmania di Jakarta, Slemania di Sleman, dan Pasoepati di Solo yang terinspirasi oleh Aremania. Pada akhirnya, sesuai dengan harapan pendirinya bahwa Arema akan mampu menjadi penyalur potensi yang dimiliki arek Malang telah terwujud. Ada rasa bangga yang lebih dari sekedar mendukung klub sepakbola, yakni tentang identitas diri dalam lima huruf A-R-E-M-A. Oleh karenanya, jangan heran apabila kata “saya orang Malang” atau “saya anak Malang” jarang terucap dari perantau asal Malang, tapi “saya Arema!”.

0 Comments

Post a Comment