Biografi D. N. Aidit


Melebihi tokoh-tokoh Partai lainnya, Dipa Nusantara Aidit (D. N. Aidit) muncul sebagai seseorang yang paling bertanggungjawab dalam mengarahkan penerapan ideologi Marxisme-Leninisme dalam konteks kehidupan di Indonesia. Ia juga bertanggungjawab sepenuhnya atas berbagai tindakan yang ditempuh Partai Komunis Indonesia atau PKI (Periode 1948-1965) dalam rangka mengarahkan partai untuk mengambil cara-cara yang dipandang relevan untuk diambil, tentu saja dengan memperhitungkan ragam rintangan yang melintang.



Pemimpin muda PKI ini sangat dinamis, berani, bergerak cepat, dengan daya tahan fisik dan mental luar biasa, bisa jadi sejumlah kawannya terkadang tertinggal dengan geraknya. Di samping itu ia pun tak lupa menekankan akan pentingnya kesabaran revolusioner dalam perjuangan jangka panjang.

Tetapi tak sedikit orang yang menilai Aidit punya sejumlah “cacat”, baik sebagai pribadi maupun sebagai “arsitek” PKI. Apapun itu, Impian Aidit hanyalah menjadikan Indonesia yang sama rata sama rasa bagi seluruh rakyat, menjadikan masyarakat lebih baik, masyarakat tanpa kelas.

Siapakah Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit) sebenarnya? Seorang panutan atau cuma penjahat yang mau mengubrak abrik Indonesia yang selama ini di gembar gemborkan? Tidak ada kesimpulan tunggal. Yang jelas, dalam suatu kesempatan, Aidit mengemukakan prinsip dan pilihan hidupnya kepada adiknya Murad. ”Kau tahu, aku memang tidak akan menjadi pahlawan keluarga. Pahlawan keluarga itu terlalu sederhana dan amat egois. Kita harus menjadi pahlawan bangsa.” Kita tahu, ucapan Aidit ini tak berujung sebagaimana yang ia harapkan. Ia tak akan pernah tercatat sebagai pahlawan.

Catatan ini “hanya” menceritakan semua kegiatan dan aktivitas Aidit dimasa hidupnya (terlepas dari kontroversinya), mulai dari lahir hingga ia meninggal dunia. Inilah sebuah biografi tentang salah satu tokoh Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit.



D.N.Aidit


Masa Kecil Aidit


Keluarga Terpandang

Lahir dari keluarga terpandang, Achmad Aidit lahir pada tanggal 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkal alang, Tanjung Pandan Pulau Belitung, Sumatera Selatan. Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah seorang mantan mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan Ki Agus Haji Abdul Rachman (Titel “Ki” pada nama itu mencirikan ningrat), seorang tuan tanah.

Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Achmad , Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah (ibu tiri Achmad bersaudara) dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit (nama keluarga, namun bukan marga). Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.

Aidit masuk di sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), milik pemerintah Belanda, setingkat Sekolah Dasar, juga merupakan sekolah paling tinggi di Belitung ketika itu. Aidit dikenal juga sebagai anak yang pintar.

Anak Yang Baik

Walau dididik di sekolah Belanda, keluarga Aidit tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Ayahnya adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung, pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Aidit dan saudaranya belajar mengaji dengan pamannya, Abdurrachman. Aidit bahkan khatam Al Qur’an sebanyak tiga kali dan dikenal juga sebagai tukang adzan di kampungnya, karena suaranya keras.

Walaupun keluarga terpandang, secara ekonomi, keluarga Aidit hidup sederhana. Sebagai anak sulung, dia suka membantu keluarganya, misalnya dengan berjualan dari mulai kerupuk hingga buah nanas yang telah dikerat-kerat, setiap ada pertandingan sepakbola di kampungnya. Suatu hari, adiknya Basri pernah ceroboh melepaskan 15 ekor itik dari kandang milik keluarganya. Ayahnya yang mendengar kejadian ini marah besar. Aidit pun mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu, sehingga dia yang harus ke sana-kemari mencari itik itu.

Bergaul Dengan Banyak Kalangan

Aidit bergaul dengan siapa saja. Dia bergaul dari mulai kelas buruh sampai none - none Belanda. Berbagai macam kelompok atau “geng” remaja di Belitung ia dekati. seperti geng kampung, anak benteng (anak polisi), geng Tionghoa, dan geng Sekak (yaitu mereka yang datang dari keluarga yang sering berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa).

Kepekaan Terhadap Lingkungan

Aidit bergaul dengan buruh - buruh tambang yang bekerja di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda. Sehingga ia tau tentang kehidupan mereka yang setiap hari selalu bekerja berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah, sementara para meneer Belanda dan tuan-tuan nya dari Inggris berpesta hura-hura.

Aidit mempunyai kepekaan lebih tajam dibanding teman sebaya dan juga rasa empati terhadap sesama manusia apa yang terjadi di lingkungannya. Mungkin tambang ini lah awal mula yang menjadi semangat anti-Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari. Pergaulan dengan kaum buruh itulah yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Aidit setelah di Jakarta.


Aidit Dan Keluarga


Awal Karir Aidit Di Jakarta

Merantau Ke Batavia

Awal tahun 1936, Setelah menyelesaikan sekolah di HIS, Achmad Aidit (13 tahun), meminta izin kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah setingkat SMP atau yang dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di Batavia (Jakarta). Akhirnya ia pun pergi ke Batavia dengan ditemani pamannya, setelah memenuhi syarat – syarat umum untuk merantau, yaitu bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji.

Bakat Kepemimpinan dan Idealisme
Setibanya di Batavia tahun 1936, Aidit tinggal di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba, sehingga ia pun bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Misalnya saja, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.

Menambah Relasi dan Berorganisasi
Tahun 1939, Aidit lalu pindah dan indekos di di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Setelah itu adiknya Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta. Hal Ini membuat Abdullah, ayah Aidit, keteteran untuk membiayai mereka. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara di daerah Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah.

Aidit kemudian berkongsi dengan teman satu kostannya, Mochtar, penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Ditempat inilah Aidit mulai bergaul dengan para pemuda aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh, sehingga jaringan relasi Aidit meluas. Dengan bakat dan relasinya itu, Aidit langsung tertarik dengan dunia organisasi pergerakan, yang memang lagi ramai di Indonesia.

Tahun 1939 juga, Aidit bergabung dengan Persatuan Timur Muda (PERTIMU). Pekumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasai kepemudaan berhaluan “kiri” pimpinan Amir Syariffudin. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi.


Aidit Dan Asrama Menteng 31

Dari perkenalannya dengan dunia organisasi itulah, Aidit lalu bergabung ke dalam kelompok Pemuda di jalan Menteng No. 31 Jakarta, yang dikenal dengan nama Menteng 31. Asrama ini dulunya hotel bernama Schomper I, namun setelah Belanda pergi dan Jepang datang ke Indonesia, tahun 1942 tempat itu terkenal sebagai basecamp para pemuda aktivis “garis keras”.

Disini mereka di gembleng oleh para senior mereka seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Syarifuddin, Ahmad Subarjo, Sunaryo dan Ki Hajar Dewantara. Bung Karno dan Bung Hatta Hatta bahkan mengenal Aidit dengan baik sejak periode awal Angkatan Baru Indonesia di Asrama Menteng 31. Aidit juga banyak belajar dan terpilih untuk ikut kursus-kursus yang diadakan para pemuda Angkatan Indonesia Baru. Beragam diploma, piagam kursus bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Ilmu Hitung Dagang, Mengetik Cepat hingga Stenografi, diperoleh Aidit dari kursus-kursus yang ditempuhnya.

Pada tahun 1944, Aidit terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia, yaitu sayap pemuda yang dibentuk oleh Jepang, yang bertugas menjaga keselamatan Soekarno dan Hatta. Pascakemerdekaan, organisasi ini dikenal dengan nama Barisan Benteng.



D.N.Aidit Dan Presiden Soekarno


Merubah Nama

Di balik karier politiknya yang mulai naik, Aidit seperti mencoba menghilangkan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Misalnya saja ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan pernah berkata, bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. ”Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita,” katanya. Achmad Aidit juga memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara Aidit, biasa disingkat D.N.

Menurut adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. Dia mulai membaca risiko, karena sejak namanya berubah, tak banyak orang yang tahu asal-usulnya. Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima pergantian itu, sebelum akhirnya Abdullah menyerah.

Teman-temannya di Menteng 31 mengusulkan nama Dipa Nusantara, karena sudah terlalu banyak yang bernama Ahmad di kalangan pemuda Menteng 31 (Harsutejo, 2003). Dipa Nusantara sendiri dipakai Aidit untuk menghormati jasa pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Aidit berharap, penggunaan nama Dipa itu bisa menjadi inspirasi dan semangatnya untuk membebaskan Nusantara dari cengkeraman kolonialisme. Dia sering juga disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan ”Djafar Nawawi.

Ada juga versi dari adiknya Asahan. Bahwa perubahan nama sudah ada sejak dia dilahirkan. Sumber yang digunakan Asahan adalah sebuah akte kelahiran Aidit sendiri. Akte itu dibuat tahun 1923, tahun kelahiran Aidit, dan ditandatangani langsung oleh Bapaknya Abdullah Aidit. Asahan ingat betul, akte yang berhiaskan lukisan indah itu masih menggunakan bahasa Melayu agak kuno. Di akte itulah tertulis: “Anak dari Abdullah Aidit yang lahir pada 1923 yang saya beri nama Ahmad Aidit, bila dia telah menginjak usia dewasa akan menggunakan nama Dipa Nusantara Aidit”. Jadi jelas, tegas Asahan, nama Dipa Nusantara bukanlah ciptaan abangnya ketika ia udah di Batavia, melainkan nama yang memang diciptakan oleh ayahnya langsung.

Kelompok Kiri

Seiring dengan pergaulan di dunia organisasi, Aidit lalu terlibat dengan kelompok “kiri”. Ia memilih jalan komunis, karena dirasakan sesuai dengan idealismenya. Ia pun berguru ke tokoh-tokoh komunis senior seperti Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta, dan Wikana, seorang pemuda sosialis dan pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Ia pun banyak mempelajari buku-buku bertema Marxisme dan sosialisme.

Sekitar tahun 1944, Aidit dan Wikana kian dekat setelah Laksamana Maeda, pimpinan Angkatan Laut Jepang di Indonesia, mendirikan sekolah Dokuritsu Juku (Asrama Kemerdekaan), dan Wikana menjadi kepala sekolah tersebut, sedangkan Aidit menjadi siswa. ”Meski tak menyelesaikan kuliah, pelajar sekolah ini ikut berperan dalam mendirikan Republik” , ujar Nishijima, salah seorang pengasuh sekolah ini“ (Tempo, Agustus, 1987). Di sekolah inilah diam-diam Aidit, Chalid Rasjidi, dan Salam membentuk organisasi semi-militer yang beraksi menyerang tentara-tentara Jepang dengan nama Banteng Merah. Dari sini, jiwa “merah” Aidit mulai semakin tumbuh.

Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengas Dengklok adalah peristiwa penculikan Soekarno – Hatta pada hari Kamis 16 Agustus 1945 ke Rengasdengklok Karawang, oleh sekelompok pemuda (Menteng 31) yang dipimpin oleh Soekarni, untuk mendesak agar Soekarno – Hatta mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga dengan jasa para pemuda inilah Bung Karno dan Bung Hatta, akhirnya membacakan teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

Ada beragam versi peran Aidit (22 tahun), tentang keterlibatan langsung dalam peristiwa ini. Ada yang menyebut Aidit memang ikut serta dalam rombongan pemuda, tapi banyak juga rekaman sejarah yang tak menyebut keterlibatan Aidit dalam kejadian itu. Yang jelas pada saat itu, Aidit memang aktif bersama para pemuda anti-fasis di Menteng 31.


Aidit Dan Pasca Kemerdekaan

Melawan Jepang

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada awal September 1945, aktivis Menteng 31 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang diketuai Wikana. Sementara Aidit menjadi Ketua API Jakarta Raya. Di bidang keorganisasian mereka membentuk Barisan Rakyat yang mengorganisasi pada petani. API pun segera menjadi “ancaman” bagi Jepang dan sekutu (yang datang kemudian) yang datang ke Indonesia.

Penjara Jatinegara dan Pulau Onrust
Pada tanggal 19 September 1945, di lapangan Ikada (sekarang Monas ), API bersama barisan buruh dan tani mengadakan rapat raksasa dan aksi untuk menunjukkan dukungan rakyat kepada para pimpinan negara. Hal ini membuat tentara Jepang marah dan merazia Asrama Menteng 31. Para pemimpin API, termasuk Aidit, dimasukan ke dalam penjara di Jatinegara.

Aidit dan teman-teman berhasil menyogok penjaga penjara dan kabur. Sejak itu aktivitas Menteng 31 berhenti. Aidit pun kembali ke jalan, memimpin API Jakarta dengan melakukan serangan-serangan ”kecil” kepada tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang datang membonceng sekutu pada 28 September 1945. Hampir setiap hari mereka menembaki patroli sekutu yang lewat, hingga akhirnya tentara sekutu meledakkan markas API. Puncaknya pada tanggal 5 November 1945, ketika Aidit memimpin sekelompok pemuda menyerbu pos pertahanan Koninklijke Nederlands Indische Lege atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda (tentara sekutu). Namun mereka kepergok tentara Inggris yang berpatroli. Sekitar 30 aktivis tertangkap, termasuk Aidit. Tentara Inggris menyerahkan mereka ke Belanda, yang lalu membuang mereka ke Pulau Onrust, di gugusan Kepulauan Seribu, utara Jakarta.

Gondolayu, Yogyakarta

Aidit bebas tujuh bulan kemudian, Bulan Juni 1946, cuma sehari di Jakarta, dia lalu menyusul teman-temannya ke Yogyakarta (ibu kota sementara). Aidit bahkan sempat aktif di markas kelompok sayap kiri di bilangan Gondolayu, Yogyakarta, tempat para pemuda radikal memusatkan aktivitasnya.


Referensi

http://republikmerah.blogspot.com/2013/11/biografi-dipa-nusantara-aidit-dn-aidit.html

Related Posts

0 Comments

Post a Comment