Pierre Tendean memang baru berusia 6 tahun saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, 17 Agustus 75 tahun yg lalu. Tetapi beliau menjadi saksi mata langsung terhadap perjuangan gigih bangsa ini mempertahankan kemerdekaan tsb sampai diakui oleh Belanda pada Desember 1949. Sebuah pengalaman yang menanamkan benih-benih jiwa patriotisme dalam dirinya.
Namun, jauh sebelum merdeka, figur kedua orangtua Pierre lah yg memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme, yaitu Bapak Dr Aurelius Lammert Tendean & Ibu Maria Elizabeth Tendean. Sejak sebelum sekolah dasar, Pierre melihat , mendengar, merasakan & dibesarkan dengan sikap2 kedua orangtuanya yang sangat dekat dengan rakyat, yang selalu bersama masyarakat memberikan kontribusi sesuai profesi AL Tendean.
AL Tendean lahir 17 Juni 1905 di Remboken, Tondano, Sulawesi Utara sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara keturunan seorang kepala sekolah bernama Andries Tendean. AL Tendean berhasil lulus dari NIAS ( Nederlandsch Indische Artsen School, sekarang FK UNAIR) Surabaya, pada 2 November 1935 dengan diploma Indische Arts .
Indische Arts adalah gelar dokter Hindia Belanda, sebutan Indonesia di masa penjajahan. Pada waktu itu NIAS adalah lembaga pendidikan kedokteran kedua setelah STOVIA (sekarang FKUI) di bumi pertiwi, yang menghasilkan dokter2 yang setara dgn dokter lulusan Belanda dalam hal keterampilan praktek kedokteran & kebidanan, hanya berbeda dalam penyebutan gelar & fasilitas pekerjaan sesudah lulus. Hanya AL Tendean yg menjadi dokter dari 6 bersaudaranya yang lain.
Segera setelah menjadi dokter, AL Tendean sempat bertugas di Pulau Salayar Sulawesi Selatan. Saat itu beliau banyak menangani penyakit-penyakit tropis, seperti malaria & TBC. Selepas dari sana, dokter AL Tendean bertugas di Central Burgerlijke Ziekeninrichting Batavia (skg RSCM) , yang menjadi tempat dirinya mendalami ilmu kedokteran jiwa (psikiatri). Pierre, lahir di sini 21 Februari 1939. Belum genap setahun usia Pierre, dokter AL Tendean kembali dipindahtugaskan, ke Tasikmalaya untuk memberantas penyakit2 tropis yang sedang mewabah. Tidak disangka justru ia sendiri akhirnya tertular penyakit pernafasan yg sedang ditangani. Akibatnya ia harus dirawat di Sanotorium Cisarua Bogor. Sembuh dengan salah satu paru-paru yang rusak selamanya, AL Tendean melanjutkan bekerja di sanotorium tersebut.
Tidak lama sebelum Jepang masuk ke Indonesia, keluarga Tendean pindah ke Magelang karena AL Tendean ditugaskan ke RS Jiwa Magelang. Di RS ini dr AL Tendean semakin mendalami ilmu psikiatri. Saat Jepang masuk, direkturnya yang org Belanda, dr PJ Stigter ditahan, sehingga posisi pimpinan untuk pertamakalinya dijabat oleh dokter Indonesia, Dr Soerojo. Wakil direktur dipercayakan kepada Dr AL Tendean. Jajaran direksi RSJ Magelang menempati deretan rumah dinas yg terdpt di sebelah kiri depan kompleks RS. Rumah kedua adalah rumah keluarga Tendean.
Zaman penjajahan Jepang merupakan zaman susah. Keluarga Pierre juga sempat merasakan makan gaplek dan tiwul untuk makanan sehari-hari. Di masa ini Dr AL Tendean menunjukkan empati tinggi terhadap penderitaan masyarakat. Walau ada peluang meringankan kesulitan hidup keluarganya, tidak sedikitpun kesempatan itu dimanfaatkan beliau. Dr AL Tendean merangkul rakyat sesuai bidangnya, yaitu kedokteran, mengobati dan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa pamrih. Pierre kecil meneladani sifat tsb dengan turut membantu teman2 ke sawah mencari siput sbg tambahan lauk pauk di rumah mereka. Ia juga giat menanami tanah kosong sekitar rumahnya dengan singkong, ubi dan sayur-sayuran.
Selama perang revolusi kemerdekaan RI, RSJ Magelang menjadi pos PMI cabang Magelang Utara. Rumah direktur dijadikan markas TKR selama pertempuran Secang & Ambarawa berlangsung. Bangsal2 bagian depan pun menjadi asrama TKR, ALRI, & tempat pengungsian penduduk setempat. Pierre kecil jelas berada dlm episentrum suasana perjuangan kemerdekaan.
Waktu agresi pertama thn 1947, Belanda kembali menguasai RS. Namun dr AL Tendean & isteri diam2 terus menunjukkan pembelaan tanah air dengan tetap mensuplai obat-obatan kepada para pejuang. Ketiga anak saksi implementasi nasionalisme kedua orangtua mereka. Tiap malam, bila ada 3 ketukan di pintu rumah, mereka menanti dgn tegang & semangat karena itu tanda pemuda pejuang datang mengambil bantuan. Keengganan dr AL Tendean bekerja sama membuat dirinya diawasi ketat & dibatasi secara finansial. Kondisi ini dijalani dengan ikhlas bahkan oleh istrinya yang keturunan eropa.
Maria Elizabeth Cornet Tendean adalah wanita ras kaukasia berkebangsaan Prancis. Berlibur ke Indonesia pada awal tahun 1930an atas ajakan sahabat Maria Ferderika Rademayer Gondokusumo, ibu mertua Jenderal AH Nasution. Tidak lama berselang berjumpa dgn AL Tendean & menikahinya. Meninggalkan Leiden Belanda, kampung halamannya untuk seterusnya.
Pada tahun 1949, rumah Dr AL Tendean dirampok oleh gerombolan yang diduga berasal dari sisa-sisa pemberontakan PKI Madiun. AL Tendean diculik , namun dalam perjalanan, berhasil melarikan diri dengan terjun & menyelam ke Kali Manggis. Aksi ini disambut rentetan tembakan penculik. Walau akhirnya selamat, kaki dr AL Tendean menjadi cacat akibat terkena tembakan, menyebabkan jalan sang dokter menjadi timpang di sisa hidupnya.
Kaki yang terluka ini harus dirawat di CBZ Semarang, sehingga keluarga Tendean pindah ke kota lumpia seiring dengan penunjukan Dr AL Tendean sebagai pimpinan RS Jiwa Tawang.
Di Semarang Dr AL Tendean terkenal sebagai dokter spesialis jiwa yg welas asih terutama kepada pasien2 dari kalangan tidak mampu. Ia sering membebaskan pasien dari biaya konsultasi & berobat. Tdk jarang malah pasien2 itu dibekalinya uang sangu sepulang berobat. Bahkan RSJ Tawang yg dipimpinnya sempat disorot media massa karena kebijakan sang direktur menggratiskan pelayanan kesehatan bagi seluruh pengunjung rs di medio awal tahun 1955. Sebuah kebijakan yang menyebabkan lonjakan jumlah pasien & biaya rs. Untuk mengatasi masalah ini dr AL Tendean memberlakukan tarif perawatan sebesar Rp. 10,50 sehari, jauh lebih rendah dari biaya konsultasi dr spesialis yg seharusnya Rp. 300,00 per pasien.
Istrinya, dikenal baik di Semarang sebagai sosok wanita Prancis tinggi besar yang ramah dan gemar serta selalu berpakaian kebaya dan kain dalam keseharian.
Sikap cinta tanah air Indonesia & kesahajaan kedua orang tua ini lah yang membangun jiwa ksatria Pierre Tendean.
Beliau memilih jalan pedang menjadi prajurit, jalan yang sulit, di tengah kenyamanan yg ditawarkan jabatan ayahnya yg menjadikan keluarga mereka terpandang & lebih dari berkecukupan.
Patriotisme Pierre Tendean kelak berpuncak pada peristiwa Gerakan 30 September, dimana ia dengan gagah berani mengorbankan nyawa dan masa depannya. Sebagai perisai sang atasan, Jenderal Nasution, yang ingin disingkirkan PKI dalam rangka mengganti Pancasila sebagai ideologi negara.
Referensi
1. SANG PATRIOT : BIOGRAFI RESMI PIERRE TENDEAN, KISAH SEORANG PAHLAWAN REVOLUSI
2. TUTURAN IBU ROOSWIDIATI TENDEAN KEPADA PENULIS
3. SEJARAH KEDOKTERAN DI BUMI INDONESIA
4. https://rsjsoerojo.co.id/sejarah-singkat/
0 Comments
Post a Comment