Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan.
Sebuah negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan yang tidak pernah lepas dari pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi, sebuah bentuk pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri. Demokrasi merupakan sebuah proses, artinya sebuah republik tidak akan berhenti di satu bentuk pemerintahan selama rakyat negara tersebut memiliki kemauan yang terus berubah. Ada kalanya rakyat menginginkan pengawasan yang superketat terhadap pemerintah, tetapi ada pula saatnya rakyat bosan dengan para wakilnya yang terus bertingkah karena kekuasaan yang seakan-akan tak ada batasnya.
Berbeda dengan monarki yang menjadikan garis keturunan sebagai landasan untuk memilih pemimpin, pada republik demokrasi diterapkan azas kesamaan di mana setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin dapat menjadi pemimpin apabila ia disukai oleh sebagian besar rakyat. Pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan istilah kontrak sosial. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan masa depan sebuah negara.
Lembaga Penyelenggara Pemilu Tahun 1955
Badan-badan atau lembaga negara yang diamanatkan oleh UUDS 1950 menghendaki prosedur rekrutmen yang berbeda dengan yang dituntut UUD RIS 1949. Untuk itu pemerintah bersama DPR, membuat undang-undang yang baru, yaitu UU No. 7/1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Kehadiran
Pasal 138 UU No. 7/1953 menyebutkan, kantor-kantor badan penyelenggara pemilihan yang dibentuk berdasarkan UU No. 27/1948 masing-masing disesuaikan menjadi kantor badan penyelenggara yang dibentuk menurut UU ini. Untuk melaksanakan ketentuan ini, dibuatlah Instruksi Menteri Kehakiman No. JB 2/9/3 tanggal 7 Juli 1953, yang berisi pertama, Kantor Pemilihan Pusat (KPP), Kantor Pemilihan (KP), dan Kantor Pemungutan Suara (KPS) yang sudah ada secara berturut-turut akan diganti dengan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Panitia Pemilihan (PP), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Ada pengecualian untuk KP DI Yogyakarta, Karesidenan Surakarta, dan Tapanuli/Sumatera Timur. KP di ketiga wilayah tersebut tidak diganti. Catatan lainnya, dalam 1 Daerah Pemungutan Suara tak diadakan lebih dari 1 PPS yang untuk pembentukannya merupakan kewajiban Mendagri. Kedua, Sekretariat KPP menjadi Sekretariat PPI, Sekretariat KP menjadi Sekretariat PP, dan Sekretariat KPS menjadi Sekretariat PPS.
Melihat perubahan tersebut tampak bahwa dari segi kelembagaan perubahan yang dilakukan sekilas hanya merupakan pergantian nama. Tetapi secara substansial tidak demikian, sebab, orang-orang yang mengisi lembaga-lembaga tersebut, yakni: ketua, wakil ketua, para anggota, dan para wakil anggota KPP diberhentikan. Pemberhentian itu dinyatakan di dalam Keppres No. 189/1953. Sebelumnya, pemberhentian itu didahului dengan keluarnya Keppres No. 188 tanggal 7 Nopember 1953 yang isinya menetapkan susunan keanggotaan PPI yang baru.
Anggota PPI sekurang-kurangnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya 9 orang, dua di antaranya juga menjadi ketua dan wakil ketua. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden untuk masa kerja 4 tahun. Tapi pada 1955 jumlah tersebut ditambah, karena pada UU Darurat No. 18/1955 ada ketentuan bahwa jumlah anggota PPI sekurang-kurangnya 9 orang. Sejak itu jumlahnya ditambah 5 orang.
Selain penambahan, pada tahun yang sama juga dilakukan penggantian atas beberapa anggota. Perubahan keanggotaan tidak berhenti di sini. Masa kerja anggota PPI yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 188/1953 harus berakhir pada 7 Nopember 1957. Selanjutnya, pada 24 Januari 1958 presiden mengeluarkan Keppres No. 4/1958 yang isinya memberhentikan mereka, sekaligus mengeluarkan Keppres No. 5/1958 yang menetapkan susunan keanggotaan PPI untuk periode 4 tahun berikutnya, yang terhitung mulai tanggal 1 Februari 1958. Tetapi kenyataannya keanggotaan mereka berakhir begitu presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Sedangkan selama 7 Nopember 1957 sampai 24 Januari 1958, anggota PPI periode 1953-1957 bekerja atas dasar Surat Menteri Kehakiman No. JB 2/8/12 tanggal 7 Nopember 1957 yang menyatakan bahwa meskipun masa tugasnya seharusnya sudah berakhir, mereka diminta tetap meneruskan pekerjaannya sampai ada keputusan lebih lanjut.
Untuk menjalankan tugasnya, PPI didukung sebuah Sekretariat PPI yang dipimpin seorang sekretaris. Sedangkan sekretaris dibantu seorang wakil sekretaris. Sekretaris dan wakilnya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Adapun pegawai Sekretariat PPI diambilkan dari Kementerian Kehakiman.
Di tingkat provinsi, tugas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu untuk anggota Konstituante dan DPR adalah PP. Meskipun keberadaannya di provinsi, yang membentuk PP adalah presiden. Pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Menteri Kehakiman untuk masa kerja 4 tahun. Menurut UU Darurat No. 18/1955 PP beranggoatakan sekurang-kurangnya 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan wakil ketua. PP dibantu Sekretariat PP yang dipimpin seorang sekretaris. Yang mengangkat dan memberhentikan Sekretaris PP adalah Ketua PPI.
Di tingkat kabupaten, PP Kabupaten (PP Kab) dibentuk oleh Mendagri. Tugasnya membantu PP. Anggota PP Kab sekurang-kurangnya adalah 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan wakil ketua. Ketua PP Kab adalah bupati setempat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga ditentukan oleh Mendagri. Secara administratif dan organisatoris PP Kab termasuk di dalam Kementerian Dalam Negeri. PPI hanya membawahi mereka dalam hal teknis pelaksanaan Pemilu. Pada setiap PP Kab diadakan Sekretariat PP Kab yang dipimpin seorang sekretaris. Yang berhak mengangkat dan memberhentikan PP Kab adalah Ketua PP Kab.
UU No. 7/1953 membagi struktur badan penyelenggara Pemilu menjadi dua, yaitu permanen dan nonpermanen. Ditinjau dari masa kerjanya, PP Kab merupakan struktur yang tidak permanen. Semua struktur dari PP Kab ke bawah bersifat nonpermanen. Yang permanen hanyalah PPI dan PP. Untuk pelaksanaan di tingkat bawahnya, yaitu kecamatan, bupati atas nama Mendagri membentuk PPS. Tugasnya, membantu PP Kab dalam mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR dan menyelenggarakan pemungutan suara. Jumlah anggotanya sekurang-kurangnya 5 orang, termasuk ketua yang dijabat oleh camat yang bersangkutan. Selain ketua ada juga wakil ketua, yang juga merangkap anggota. Yang mengangkat dan memberhentikan mereka adalah bupati atas nama Mendagri. Mendagri pula yang menentukan masa kerja mereka. Secara administratif dan organisatoris PPS merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri. PPI hanya membawahi dalam hal teknis pelaksanaan Pemilu. Untuk menjalankan pekerjaannya PPS dibantu sebuah Sekretariat PPS. Sekretariat dipimpin seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua PPS.
Di tingkat desa, camat atas nama Mendagri membentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP). Tugasnya, melakukan pendaftaran pemilih, menyusun daftar pemilih, dan membantu PPS mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Anggotanya sekurang-kurangnya 3 orang dengan ketuanya adalah kepala desa. Ia merangkap anggota. Selain ketua ada seorang wakil ketua yang juga merangkap anggota. Wakil ketua dan para anggota diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga tergantung Mendagri.
Tingkat yang paling bawah di dalam struktur lembaga penyelenggara Pemilu 1955 adalah PPS (Penyelenggara Pemungutan Suara). PPS dibentuk oleh camat di tiap tempat pemungutan suara (TPS). PPS dipimpin seorang ketua (yang merangkap anggota). Sedangkan anggota lainnya sedapat-dapatnya diambilkan dari bekas anggota PPP. Yang mengangkat dan memberhentikan anggota PPS adalah camat. Camat pula yang menentukan masa kerja mereka.
Pada tahun 1959 PPI dan PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi sesungguhnya belum dibubarkan, hanya saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi. Ini merupakan konsekuensi dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun itu yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, UUDS 1950 dengan sendirinya tak berlaku lagi. Meskipun PPI dan PP sudah tidak ada, Sekretariat PPI masih berjalan sampai tahun 1969.
Sejarah mencatat bahwa meski keanggotaan PPI diisi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai parpol yang bersaing dalam Pemilu, namun kerja mereka dalam menyelenggarakan Pemilu dilakukan secara objektif, jujur, dan adil, serta pengambilan keputusan ditempuh secara egaliter. Terhadap pelaksanaan Pemilu yang demikian itu, Moh. Mahfud MD menulis: ”Pengambilan keputusan di semua tingkatan panitia dilakukan secara demokratis, bukan instruktif yang memberi bobot lebih berat kepada pimpinan”.
Herbert Feith pun menggambarkan bahwa Pemilu 1955 sebagai pemilu yang anggun. Sekalipun Feith menceritakan adanya praktik intimidasi di berbagai pelosok, tetapi Pemilu 1955 relatif bersih dari praktik manipulasi dan represi. Maka hingga sekarang, Pemilu 1955 diingat orang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Namun, ”Sekalipun begitu, Pemilu 1955 tak steril dari sejumlah persoalan. Pengawasan dan pemantauan pemilu belum dikenal. Maka, kesimpulan Feith bahwa Pemilu 1955 relatif bebas kecurangan, sebetulnya sulit diverifikasi, tak disokong oleh praktik pemantauan yang layak.”
Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa setelah Pemilu 1955 selesai praktis PPI dan PP serta jaringan di bawahnya tidak ada kegiatan. Pemilu berikutnya, yang semula hendak diadakan tahun 1969, ternyata baru bisa diadakan 1971. Persiapan ke arah itu dilakukan dengan membuat UU. UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat menyebutkan bahwa untuk pemilihan tersebut presiden membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Presiden melakukan itu lewat Keppres No. 3/1970.
Menurut UU tersebut – dan perubahannya yaitu UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. l/1985 – LPU merupakan lembaga yang bersifat permanen, yang terdiri atas 3 unsur, yaitu dewan pimpinan, dewan/anggota-anggota pertimbangan, dan sekretariat. Dewan Pimpinan ini diisi oleh beberapa menteri dan sifatnya fungsional. Lembaga penyelenggara Pemilu berikutnya di era Orde Baru pada dasarnya sama dengan LPU pada Pemilu 1972, dalam arti bahwa susunan organisasi dan tata kerjanya tidak berubah. Yang mengalami perubahan adalah orang-orangnya meski tidak semua.
Setiap menjelang Pemilu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres yang mengatur tentang LPU yang intinya sama saja, yakni memuat 4 tugas yang dibebankan kepada LPU, yaitu membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, memimpin dan mengawasi panitia-panitia di pusat dan daerah, Mengumpulkan dan mensistematisasi bahan dan data hasil Pemilu, dan mengerjakan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk melaksanakan Pemilu.
Pada LPU dibentuk panitia-panitia dari pusat sampai daerah. Untuk tingkat pusat dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), untuk provinsi atau Dati I dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk Dati II atau kabupaten/kotamadya dibentuk PPD II. Sedangkan di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS), untuk desa atau kelurahan diadakan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan untuk tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk menjalankan Pemilu bagi WNI yang berada di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berkedudukan di Deplu, di Kantor Perwakilan RI di luar negeri didirikan PPS Luar Negeri, dan untuk tiap TPS di luar negeri diadakan KPPS Luar Negeri. Sampai di sini banyak kemiripannya dengan struktur badan penyelenggara Pemilu yang ada sebelumnya.
Ketua panitia untuk semua tingkatan diduduki oleh para pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk Ketua PPI, gubernur untuk Ketua PPD I, bupati/walikota madya untuk PPD II, camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP. Sementara itu untuk keanggotaan LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya. Pada dasarnya setiap LPU dapat mengambil keputusan terhadap semua masalah yang berkaitan dengan Pemilu. Namun, andai dalam lembaga tersebut terjadi ketidaksinkronan mengenai suatu persoalan, maka presiden menetapkan keputusan final (Pasal 8 ayat (8) UU No. 15/1969
Di samping itu, ada Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan yang diadakan untuk memberikan pertimbangan atau masukan kepada Dewan Pimpinan, diminta ataupun atas prakarsa sendiri. Mereka terdiri atas wakil dari organisasi golongan politik yang diakui dan golkar, yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan presiden. Pada awal Pemilu era Orde baru, penetapan anggota dewan ini dicantumkan dalam Keppres 07/1970.
Setelah aktivitas pemungutan dan penghitungan suara selesai, semua organ yang dibentuk untuk menunjang tugas LPU dibubarkan. Sedangkan LPU-nya sendiri dipertahankan. Pembubarannya dilakukan secara bertahap menurut penyelesaian tugas masing-masing. Pantarlih adalah yang paling awal pembubarannya melalui Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II, yaitu selambat-lambatnya 30 hari setelah daftar pemilih disahkan oleh camat/Ketua PPS.
Setelah Pantarlih, segera menyusul dibubarkan adalah KPPS. Menurut ketentuannya, lembaga ini harus dibubarkan selambat-lambatnya 20 hari setelah tanggal pemungutan suara. Pembubarannya dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II. Yang ketiga terawal pembubarannya adalah PPS melalui Keputusan Ketua PPD II. Lembaga ini memang menurut ketentuannya harus dibubarkan paling lambat 3 bulan setelah pelaksanaan pemungutan suara. Selanjutnya secara berturut-turut PPD II, PPD I, dan PPLN dibubarkan.
Pada praktiknya, banyak keluhan dari kalangan parpol terkait dengan keterlibatannya dalam LPU yang hanya parsial yakni tidak bisa melaksanakan kontrol menyeluruh dalam rantai perhitungan pada semua penyelenggaraan Pemilu Orde Baru. Misalnya Yusuf Syakir, anggota PPI 1992 dari unsur Partai Persatuan, mengatakan, di LPU tidak ada keputusan yang dirapatkan bersama. ”Yang ada hanya pelimpahan order, dan fungsi OPP di situ hanya embel-embel”.
Berdasarkan penyelenggaraan Pemilu di Era Orde Baru tersebut dapat diketengahkan bahwa memang benar bahwa ada organ penyelenggara Pemilu, namun:
“... penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penye-lenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. ... Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara”.
Wajarlah pada akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:
"Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah".
Pemilu tahun 1997 yang diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997 merupakan Pemilu terakhir di era kekuasaan Orba yang diselenggarakan oleh LPU beserta perangkatnya. Sesuai dengan sirkulasi kekuasaan lima tahunan, Pemilu harusnya dilaksanakan lima tahun berikutnya, yakni pada tahun 2002. Namun, dengan tergulingnya penguasa Orba tahun 1998 oleh kekuatan reformasi, maka rencana penyelenggaraan Pemilu tahun 2002 tidak terlaksana. Yang kemudian terjadi adalah Indonesia memasuki era reformasi dan Pemilu akhirnya dipercepat dari agenda semula yakni dilaksanakan pada tahun 1999.
Pemilu pertama setelah berakhirnya rezim Orba dilaksanakan setelah sekitar 13 bulan Presiden BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto, yakni pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum. Penyelenggaraan Pemilu – penanggungjawabnya adalah Presiden – di awal era reformasi ini tidak lagi dilakukan oleh LPU dan PPI, namun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. KPU tersebut berkedudukan di Ibukota Negara, dan pembentukannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan KPU terdiri dari l orang wakil dari masing-masing parpol peserta Pemilu dan 5 orang wakil Pemerintah.
Sebelum KPU dibentuk, persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh LPU (Pasal 79 UU No.3/1999) dan untuk itu Ketua Umum LPU membentuk Tim-11 yang bertugas membantu LPU terutama dalam verifikasi parpol peserta Pemilu. KPU pertama (1999-2001) di era reformasi ini dibentuk dengan Keppres No 16/1999 yang berisikan 53 orang – 48 wakil parpol dan 5 orang wakil pemerintah.
Dalam sejarah Pemilu di Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan (kurang dari lima bulan). Jika Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, maka BJ Habibie menyelenggarakan Pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Salah satu tugas kewenangan KPU adalah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara (TPS). PPI yang dibentuk oleh KPU berkedudukan di Ibukota Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU yang dalam menyelenggarakan Pemilu berbeda dengan PPI Orde Baru. Keanggotaan PPI terdiri dari wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Anggota-anggota. Susunan organisasi PPI tersebut dipilih secara demokratis oleh anggota KPU dari anggota KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU. Susunan dan keanggotaan PPI ditetapkan dengan keputusan KPU.
Salah satu tugas dan wewenang PPI adalah embentuk serta mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) di seluruh Indonesia. PD I yang dibentuk oleh PPI tersebut berkedudukan di Ibukota Provinsi dan berfungsi sebagai pelaksana PPI dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPD l terdiri dari wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Angota-anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh anggota PPD I. Susunan dan keanggotaan PPD I ditetapkan dengan keputusan PPI.
Salah satu tugas dan kewenangan PPD I yaitu membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) di setiap daerah pemilihan. PPD II yang dibentuk oleh PPD l tersebut berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah. Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil-wakil Sekretaris PPD II dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPD II. Susunan dan keanggotaan PPD II ditetapkan dengan keputusan PPD I.
Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPD II adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). PPK yang dibentuk oleh PPD II tersebut berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan berfungsi sebagai pelaksana PPD II dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPK terdiri dari Wakil-wakil Partai Politik Peserta Pemilu dan Pemerintah. Adapun di antara tugas dan kewenangan PPK adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
PPS yang dibentuk oleh PPK adalah berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana PPK dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota- anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPS. Susunan dan keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK. Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPS adalah membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) sesuai dengan jumlah TPS.
Keanggotaan KPPS terdiri atas wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan/atau wakil masyarakat. Susunan keanggotaan KPPS adalah Seorang Ketua merangkap Anggota, Seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan Anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh Anggota KPPS. Susunan dan keanggotaan KPPS ditetapkan dengan keputusan PPS. KPPS dilengkapi dengan dua orang anggota Pertahanan Sipil sebagai petugas keamanan yang diusulkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan ditetapkan oleh KPPS.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, yakni kurang dari 5 bulan, namun pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yaitu tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, anggota KPU dari wakil 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil. Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden.
Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil Pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI langsung melakukan pembagian kursi.
“Dalam praktek penyelenggaraan Pemilu 1999 lalu, ternyata keberfungsian KPU sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh kinerja para anggotanya yang kurang disiplin, kurang berdedikasi dan cenderung mementingkan kelompok dan pribadinya masing-masing. ... Hal yang mustahil terjadi bila para anggota KPU memiliki integritas dan kedewasaan politik. Narnun demikian, hal ini dapat dimaklumi sebagai sebuah uji coba bagi demokrasi di Indonesia”.
Miriam Budiardjo juga memberi catatan bahwa: “KPU telah berkembang menjadi ajang sengketa antara partai-partai yang hanya memperjuangkan kepentingan partai atau pribadinya. Citra para politisi telah mencapai titik nol, sehingga timbul opini masyarakat bahwa dalam pemilu yang akan datang sebaiknya KPU terdiri dari anggota yang independen, bebas dan partai”.
Kontroversi tidak hanya berhenti di situ. Sebuah situs internet menulis: ”Pasca-Pemilu banyak anggota terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi, sehingga beberapa orang masuk bui. Tidak tahan dengan situasi, Rudini mengundurkan diri sebagai Ketua KPU dengan meninggalkan sejumlah konflik kepemimpinan”.
Dengan demikian dapat diketengahkan bahwa idealitas pembentukan KPU yang bebas dan mandiri seperti yang digagas berdasarkan Pasal 8 UU No. 3/1999 menjadi tidak terimplemetasi dengan baik. KPU menjadi terbelenggu oleh perselisihan dan kepentingan masing-masing anggotanya yang berasal dari perwakilan parpol. Hal ini bisa jadi dikarenakan mayortias anggota KPU adalah terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah yang barang tentu memiliki agenda sendiri-sendiri, partisan, dan sarat perjuangan untuk kepentingan kelompok/parpolnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 83 UU No. 3/1999, masa kerja KPU untuk Pemilu tahun 1999 berakhir l tahun sebelum Pemilu tahun 2004. Namun di tengah perjalanan, KPU ini dibubarkan. Hal ini terkait dengan diterbitkannya UU No. 4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan dilantiknya 11 orang anggota KPU yang baru yang ditetapkan dengan Keppres No 10 Tahun 2001.
Satu tahun setelah penyelenggaraan Pemilu tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No. 4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan nonpartisan. Dengan demikian, independen dan nonpartisan inilah label baru yang disandang oleh KPU saat itu.
Berdasar pada UU No. 4/2000 tersebut, yang kemudian ditegaskan dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, maka KPU baru ini terdiri atas para anggota yang dipilih dari orang-orang yang independen dan nonpartisan. Syarat menjadi anggota KPU di antara adalah “tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri”. Dengan norma yang demikian, maka lembaga penyelenggara Pemilu akan bebas dari tekanan kepentingan-kepentingan dan bersih dari intervensi partai politik dan pemerintah
Berbeda dengan Pemilu sebelumnya, Pemilu tahun 2004 memiliki dua agenda yakni: 1) Pemilu dalam rangka memilih anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD), dan 2) Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pemilu ini didasarkan pada UU No. 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. UU ini menetapkan bahwa penanggung jawab penyelenggaraan dua agenada Pemilu tersebut adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR. Dengan demikian, KPU adalah lembaga yang mandiri yang secara langsung menyelenggarakan Pemilu, dalam arti tidak lagi membentuk lembaga lain (seperti PPI) yang berfungsi sebagai pelaksana KPU dalam penyelenggaraan Pemilu seperti pada Pemilu tahun 1999.
UU No. 12/2003 metentukan bahwa jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Anggota KPU tersebut diusulkan oleh presiden (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) untuk mendapat persetujuan DPR untuk ditetapkan sebagai anggota KPU. Meski anggota KPU untuk Pemilu Tahun 2004 dibentuk melalui UU No. 4/2000 tentang Perubahan UU No. 3/1999 tentang Pemilu, namun mereka diakui oleh UU No. 12/2003.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Masa keanggotaan seluruh KPU tersebut adalah 5 tahun sejak pengucapan sumpah/janji. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu di luar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
Anggota KPU Provinsi sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai anggota KPU provinsi. Anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing adalah sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang diusulkan oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota KPU kabupaten/kota. Di antara tugas dan wewenang KPU kabupaten/kota adalah membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam wilayah kerjanya.
PPK yang berkedudukan di pusat pemerintahan kecamatan, PPS yang berkedudukan di desa/kelurahan, dan KPPS di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) adalah bersifat ad.hoc. Anggota PPK sebanyak 5 orang yang berasal dari tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh KPU atas usul camat. Anggota PPS sebanyak 3 orang berasal dari tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala desa/lurah setempat. PPS kemudian membentuk KPPS yang anggotanya sebanyak 7 orang dengan tugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Dengan terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berwenang menyeleng-garakan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Pasal 57 ayat (1) merumuskan: “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD”. Penjelasan UU ini menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada tersebut tidak perlu dibentuk KPUD yang baru. Jadi cukup diselenggarakan oleh KPUD yang telah ada yang dibentuk melalui UU No. 12/2003.
Di tengah sempitnya waktu, KPU mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Setelah Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April 2004, KPU menyelenggarakan Pemilu Presiden /Wakil Presiden dalam dua putaran. Pemilu Presiden /Wakil Presiden putaran pertama berlangsung 5 Juli 2004. Sedangkan Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran kedua berlangsung 20 September 2004. KPU mampu menyelenggarakan 3 (tiga) kali Pemilu yang diikuti 150 juta pemilih dengan pengadaan logistik yang sangat kompleks karena harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Masa jabatan anggota KPU akan berakhir pada Maret 2006. Namun pengusulan keanggotaan KPU yang baru belum dapat dilakukan mengingat DPR pada tahun itu sedang mempersiapkan RUU Penyelenggara Pemilu yang komprehensif untuk mengganti ketentuan yang ada terkait dengan penyelenggara Pemilu yang selama ini tercantum dalam berbagai UU. Oleh karena itulah, masa jabatan KPU harus diperpanjang. Jika tidak, maka akan terjadi kekosongan anggota KPU.
Kondisi inilah yang memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Fraksi Partai Golkar menilai unsur kegentingan yang diperlukan untuk mengesahkan Perppu menjadi UU sudah tercapai karena terkait dengan kosongnya kursi angota KPU. FPG juga berharap agar penetapan RUU ini dapat menciptakan KPU yang lebih baik dan meningkatkan kinerja anggota KPU.
Rapat paripurna DPR menetapkan secara bulat RUU tentang Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi UU. Perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tersebut meliputi pasal 144 yang kini berbunyi: ”Anggota KPU yang diangkat berdasarkan UU No.4/2000 tentang Perubahan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang telah disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2003, tetap menyelesaikan tugas sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum berdasarkan UU Tentang Penyelenggara Pemilu yang baru.”
Di akhir masa jabatannya, di tengah keberhasilan KPU menyelenggarakan Pemilu, muncul ironi. Situs internet “Wawasandigital” menulis sebagai berikut:
“Pemilu 2004 berjalan sukses. Puja puji diberikan oleh banyak pihak karena KPU telah melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan sukses. Tetapi tak lama berselang masyarakat dikejutkan oleh kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap basah anggota KPU, mantan aktivis dan seorang kriminolog terkenal Mulyana W Kusuma yang tengah menyuap pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Skandal korupsi terbongkar yang melibatkan orang-orang KPU lainnya, bahkan ketuanya seorang doktor politik alumnus Monash University Prof Dr Nazaruddin Syamsudin masuk penjara karena terbukti menerima komisi. Hamid Awaluddin selamat karena terpilih sebagai menteri, dan Anas Ubaningrum cepat loncat masuk jajaran elit Partai Demokrat. Di akhir masa tugasnya anggota KPU tinggal 3 orang”.
https://makalah-xyz.blogspot.com/2019/11/sejarah-pemilu-di-indonesia.html
Di tingkat desa, camat atas nama Mendagri membentuk Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP). Tugasnya, melakukan pendaftaran pemilih, menyusun daftar pemilih, dan membantu PPS mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Anggotanya sekurang-kurangnya 3 orang dengan ketuanya adalah kepala desa. Ia merangkap anggota. Selain ketua ada seorang wakil ketua yang juga merangkap anggota. Wakil ketua dan para anggota diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga tergantung Mendagri.
Tingkat yang paling bawah di dalam struktur lembaga penyelenggara Pemilu 1955 adalah PPS (Penyelenggara Pemungutan Suara). PPS dibentuk oleh camat di tiap tempat pemungutan suara (TPS). PPS dipimpin seorang ketua (yang merangkap anggota). Sedangkan anggota lainnya sedapat-dapatnya diambilkan dari bekas anggota PPP. Yang mengangkat dan memberhentikan anggota PPS adalah camat. Camat pula yang menentukan masa kerja mereka.
Pada tahun 1959 PPI dan PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi sesungguhnya belum dibubarkan, hanya saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi. Ini merupakan konsekuensi dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun itu yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, UUDS 1950 dengan sendirinya tak berlaku lagi. Meskipun PPI dan PP sudah tidak ada, Sekretariat PPI masih berjalan sampai tahun 1969.
Sejarah mencatat bahwa meski keanggotaan PPI diisi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai parpol yang bersaing dalam Pemilu, namun kerja mereka dalam menyelenggarakan Pemilu dilakukan secara objektif, jujur, dan adil, serta pengambilan keputusan ditempuh secara egaliter. Terhadap pelaksanaan Pemilu yang demikian itu, Moh. Mahfud MD menulis: ”Pengambilan keputusan di semua tingkatan panitia dilakukan secara demokratis, bukan instruktif yang memberi bobot lebih berat kepada pimpinan”.
Herbert Feith pun menggambarkan bahwa Pemilu 1955 sebagai pemilu yang anggun. Sekalipun Feith menceritakan adanya praktik intimidasi di berbagai pelosok, tetapi Pemilu 1955 relatif bersih dari praktik manipulasi dan represi. Maka hingga sekarang, Pemilu 1955 diingat orang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Namun, ”Sekalipun begitu, Pemilu 1955 tak steril dari sejumlah persoalan. Pengawasan dan pemantauan pemilu belum dikenal. Maka, kesimpulan Feith bahwa Pemilu 1955 relatif bebas kecurangan, sebetulnya sulit diverifikasi, tak disokong oleh praktik pemantauan yang layak.”
4. Lembaga Penyelenggara Pemilu Era Orde Baru (Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997)
Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa setelah Pemilu 1955 selesai praktis PPI dan PP serta jaringan di bawahnya tidak ada kegiatan. Pemilu berikutnya, yang semula hendak diadakan tahun 1969, ternyata baru bisa diadakan 1971. Persiapan ke arah itu dilakukan dengan membuat UU. UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat menyebutkan bahwa untuk pemilihan tersebut presiden membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Presiden melakukan itu lewat Keppres No. 3/1970.
Menurut UU tersebut – dan perubahannya yaitu UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. l/1985 – LPU merupakan lembaga yang bersifat permanen, yang terdiri atas 3 unsur, yaitu dewan pimpinan, dewan/anggota-anggota pertimbangan, dan sekretariat. Dewan Pimpinan ini diisi oleh beberapa menteri dan sifatnya fungsional. Lembaga penyelenggara Pemilu berikutnya di era Orde Baru pada dasarnya sama dengan LPU pada Pemilu 1972, dalam arti bahwa susunan organisasi dan tata kerjanya tidak berubah. Yang mengalami perubahan adalah orang-orangnya meski tidak semua.
Setiap menjelang Pemilu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres yang mengatur tentang LPU yang intinya sama saja, yakni memuat 4 tugas yang dibebankan kepada LPU, yaitu membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, memimpin dan mengawasi panitia-panitia di pusat dan daerah, Mengumpulkan dan mensistematisasi bahan dan data hasil Pemilu, dan mengerjakan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk melaksanakan Pemilu.
Pada LPU dibentuk panitia-panitia dari pusat sampai daerah. Untuk tingkat pusat dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), untuk provinsi atau Dati I dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk Dati II atau kabupaten/kotamadya dibentuk PPD II. Sedangkan di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS), untuk desa atau kelurahan diadakan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan untuk tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk menjalankan Pemilu bagi WNI yang berada di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berkedudukan di Deplu, di Kantor Perwakilan RI di luar negeri didirikan PPS Luar Negeri, dan untuk tiap TPS di luar negeri diadakan KPPS Luar Negeri. Sampai di sini banyak kemiripannya dengan struktur badan penyelenggara Pemilu yang ada sebelumnya.
Ketua panitia untuk semua tingkatan diduduki oleh para pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk Ketua PPI, gubernur untuk Ketua PPD I, bupati/walikota madya untuk PPD II, camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP. Sementara itu untuk keanggotaan LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya. Pada dasarnya setiap LPU dapat mengambil keputusan terhadap semua masalah yang berkaitan dengan Pemilu. Namun, andai dalam lembaga tersebut terjadi ketidaksinkronan mengenai suatu persoalan, maka presiden menetapkan keputusan final (Pasal 8 ayat (8) UU No. 15/1969
Di samping itu, ada Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan yang diadakan untuk memberikan pertimbangan atau masukan kepada Dewan Pimpinan, diminta ataupun atas prakarsa sendiri. Mereka terdiri atas wakil dari organisasi golongan politik yang diakui dan golkar, yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan presiden. Pada awal Pemilu era Orde baru, penetapan anggota dewan ini dicantumkan dalam Keppres 07/1970.
Setelah aktivitas pemungutan dan penghitungan suara selesai, semua organ yang dibentuk untuk menunjang tugas LPU dibubarkan. Sedangkan LPU-nya sendiri dipertahankan. Pembubarannya dilakukan secara bertahap menurut penyelesaian tugas masing-masing. Pantarlih adalah yang paling awal pembubarannya melalui Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II, yaitu selambat-lambatnya 30 hari setelah daftar pemilih disahkan oleh camat/Ketua PPS.
Setelah Pantarlih, segera menyusul dibubarkan adalah KPPS. Menurut ketentuannya, lembaga ini harus dibubarkan selambat-lambatnya 20 hari setelah tanggal pemungutan suara. Pembubarannya dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II. Yang ketiga terawal pembubarannya adalah PPS melalui Keputusan Ketua PPD II. Lembaga ini memang menurut ketentuannya harus dibubarkan paling lambat 3 bulan setelah pelaksanaan pemungutan suara. Selanjutnya secara berturut-turut PPD II, PPD I, dan PPLN dibubarkan.
Pada praktiknya, banyak keluhan dari kalangan parpol terkait dengan keterlibatannya dalam LPU yang hanya parsial yakni tidak bisa melaksanakan kontrol menyeluruh dalam rantai perhitungan pada semua penyelenggaraan Pemilu Orde Baru. Misalnya Yusuf Syakir, anggota PPI 1992 dari unsur Partai Persatuan, mengatakan, di LPU tidak ada keputusan yang dirapatkan bersama. ”Yang ada hanya pelimpahan order, dan fungsi OPP di situ hanya embel-embel”.
Berdasarkan penyelenggaraan Pemilu di Era Orde Baru tersebut dapat diketengahkan bahwa memang benar bahwa ada organ penyelenggara Pemilu, namun:
“... penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penye-lenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. ... Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara”.
Wajarlah pada akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:
"Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah".
Pemilu tahun 1997 yang diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997 merupakan Pemilu terakhir di era kekuasaan Orba yang diselenggarakan oleh LPU beserta perangkatnya. Sesuai dengan sirkulasi kekuasaan lima tahunan, Pemilu harusnya dilaksanakan lima tahun berikutnya, yakni pada tahun 2002. Namun, dengan tergulingnya penguasa Orba tahun 1998 oleh kekuatan reformasi, maka rencana penyelenggaraan Pemilu tahun 2002 tidak terlaksana. Yang kemudian terjadi adalah Indonesia memasuki era reformasi dan Pemilu akhirnya dipercepat dari agenda semula yakni dilaksanakan pada tahun 1999.
5. Lembaga Penyelenggara Pemilu 1999
Pemilu pertama setelah berakhirnya rezim Orba dilaksanakan setelah sekitar 13 bulan Presiden BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto, yakni pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum. Penyelenggaraan Pemilu – penanggungjawabnya adalah Presiden – di awal era reformasi ini tidak lagi dilakukan oleh LPU dan PPI, namun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. KPU tersebut berkedudukan di Ibukota Negara, dan pembentukannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan KPU terdiri dari l orang wakil dari masing-masing parpol peserta Pemilu dan 5 orang wakil Pemerintah.
Sebelum KPU dibentuk, persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh LPU (Pasal 79 UU No.3/1999) dan untuk itu Ketua Umum LPU membentuk Tim-11 yang bertugas membantu LPU terutama dalam verifikasi parpol peserta Pemilu. KPU pertama (1999-2001) di era reformasi ini dibentuk dengan Keppres No 16/1999 yang berisikan 53 orang – 48 wakil parpol dan 5 orang wakil pemerintah.
Dalam sejarah Pemilu di Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan (kurang dari lima bulan). Jika Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, maka BJ Habibie menyelenggarakan Pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Salah satu tugas kewenangan KPU adalah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara (TPS). PPI yang dibentuk oleh KPU berkedudukan di Ibukota Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU yang dalam menyelenggarakan Pemilu berbeda dengan PPI Orde Baru. Keanggotaan PPI terdiri dari wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Anggota-anggota. Susunan organisasi PPI tersebut dipilih secara demokratis oleh anggota KPU dari anggota KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU. Susunan dan keanggotaan PPI ditetapkan dengan keputusan KPU.
Salah satu tugas dan wewenang PPI adalah embentuk serta mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) di seluruh Indonesia. PD I yang dibentuk oleh PPI tersebut berkedudukan di Ibukota Provinsi dan berfungsi sebagai pelaksana PPI dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPD l terdiri dari wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil Sekretaris, dan Angota-anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh anggota PPD I. Susunan dan keanggotaan PPD I ditetapkan dengan keputusan PPI.
Salah satu tugas dan kewenangan PPD I yaitu membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) di setiap daerah pemilihan. PPD II yang dibentuk oleh PPD l tersebut berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah. Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, dan Wakil-wakil Sekretaris PPD II dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPD II. Susunan dan keanggotaan PPD II ditetapkan dengan keputusan PPD I.
Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPD II adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). PPK yang dibentuk oleh PPD II tersebut berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan berfungsi sebagai pelaksana PPD II dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPK terdiri dari Wakil-wakil Partai Politik Peserta Pemilu dan Pemerintah. Adapun di antara tugas dan kewenangan PPK adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
PPS yang dibentuk oleh PPK adalah berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana PPK dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggota- anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPS. Susunan dan keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK. Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPS adalah membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) sesuai dengan jumlah TPS.
Keanggotaan KPPS terdiri atas wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan/atau wakil masyarakat. Susunan keanggotaan KPPS adalah Seorang Ketua merangkap Anggota, Seorang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan Anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh Anggota KPPS. Susunan dan keanggotaan KPPS ditetapkan dengan keputusan PPS. KPPS dilengkapi dengan dua orang anggota Pertahanan Sipil sebagai petugas keamanan yang diusulkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan ditetapkan oleh KPPS.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, yakni kurang dari 5 bulan, namun pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yaitu tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, anggota KPU dari wakil 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil. Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden.
Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil Pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999. Setelah disahkan oleh presiden, PPI langsung melakukan pembagian kursi.
Atas kinerja KPU tersebut, Zarkasih Nur memberi catatan:
“Dalam praktek penyelenggaraan Pemilu 1999 lalu, ternyata keberfungsian KPU sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh kinerja para anggotanya yang kurang disiplin, kurang berdedikasi dan cenderung mementingkan kelompok dan pribadinya masing-masing. ... Hal yang mustahil terjadi bila para anggota KPU memiliki integritas dan kedewasaan politik. Narnun demikian, hal ini dapat dimaklumi sebagai sebuah uji coba bagi demokrasi di Indonesia”.
Miriam Budiardjo juga memberi catatan bahwa: “KPU telah berkembang menjadi ajang sengketa antara partai-partai yang hanya memperjuangkan kepentingan partai atau pribadinya. Citra para politisi telah mencapai titik nol, sehingga timbul opini masyarakat bahwa dalam pemilu yang akan datang sebaiknya KPU terdiri dari anggota yang independen, bebas dan partai”.
Kontroversi tidak hanya berhenti di situ. Sebuah situs internet menulis: ”Pasca-Pemilu banyak anggota terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi, sehingga beberapa orang masuk bui. Tidak tahan dengan situasi, Rudini mengundurkan diri sebagai Ketua KPU dengan meninggalkan sejumlah konflik kepemimpinan”.
Dengan demikian dapat diketengahkan bahwa idealitas pembentukan KPU yang bebas dan mandiri seperti yang digagas berdasarkan Pasal 8 UU No. 3/1999 menjadi tidak terimplemetasi dengan baik. KPU menjadi terbelenggu oleh perselisihan dan kepentingan masing-masing anggotanya yang berasal dari perwakilan parpol. Hal ini bisa jadi dikarenakan mayortias anggota KPU adalah terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah yang barang tentu memiliki agenda sendiri-sendiri, partisan, dan sarat perjuangan untuk kepentingan kelompok/parpolnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 83 UU No. 3/1999, masa kerja KPU untuk Pemilu tahun 1999 berakhir l tahun sebelum Pemilu tahun 2004. Namun di tengah perjalanan, KPU ini dibubarkan. Hal ini terkait dengan diterbitkannya UU No. 4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan dilantiknya 11 orang anggota KPU yang baru yang ditetapkan dengan Keppres No 10 Tahun 2001.
6. Lembaga Penyelenggara Pemilu 2004
Satu tahun setelah penyelenggaraan Pemilu tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No. 4/2000 tentang Perubahan Atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan nonpartisan. Dengan demikian, independen dan nonpartisan inilah label baru yang disandang oleh KPU saat itu.
Berdasar pada UU No. 4/2000 tersebut, yang kemudian ditegaskan dalam UU No. 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, maka KPU baru ini terdiri atas para anggota yang dipilih dari orang-orang yang independen dan nonpartisan. Syarat menjadi anggota KPU di antara adalah “tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri”. Dengan norma yang demikian, maka lembaga penyelenggara Pemilu akan bebas dari tekanan kepentingan-kepentingan dan bersih dari intervensi partai politik dan pemerintah
Berbeda dengan Pemilu sebelumnya, Pemilu tahun 2004 memiliki dua agenda yakni: 1) Pemilu dalam rangka memilih anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD), dan 2) Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pemilu ini didasarkan pada UU No. 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. UU ini menetapkan bahwa penanggung jawab penyelenggaraan dua agenada Pemilu tersebut adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR. Dengan demikian, KPU adalah lembaga yang mandiri yang secara langsung menyelenggarakan Pemilu, dalam arti tidak lagi membentuk lembaga lain (seperti PPI) yang berfungsi sebagai pelaksana KPU dalam penyelenggaraan Pemilu seperti pada Pemilu tahun 1999.
UU No. 12/2003 metentukan bahwa jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Anggota KPU tersebut diusulkan oleh presiden (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) untuk mendapat persetujuan DPR untuk ditetapkan sebagai anggota KPU. Meski anggota KPU untuk Pemilu Tahun 2004 dibentuk melalui UU No. 4/2000 tentang Perubahan UU No. 3/1999 tentang Pemilu, namun mereka diakui oleh UU No. 12/2003.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Masa keanggotaan seluruh KPU tersebut adalah 5 tahun sejak pengucapan sumpah/janji. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu di luar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
Anggota KPU Provinsi sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai anggota KPU provinsi. Anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing adalah sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang diusulkan oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota KPU kabupaten/kota. Di antara tugas dan wewenang KPU kabupaten/kota adalah membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam wilayah kerjanya.
PPK yang berkedudukan di pusat pemerintahan kecamatan, PPS yang berkedudukan di desa/kelurahan, dan KPPS di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) adalah bersifat ad.hoc. Anggota PPK sebanyak 5 orang yang berasal dari tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh KPU atas usul camat. Anggota PPS sebanyak 3 orang berasal dari tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala desa/lurah setempat. PPS kemudian membentuk KPPS yang anggotanya sebanyak 7 orang dengan tugas melakukan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Dengan terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berwenang menyeleng-garakan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Pasal 57 ayat (1) merumuskan: “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD”. Penjelasan UU ini menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada tersebut tidak perlu dibentuk KPUD yang baru. Jadi cukup diselenggarakan oleh KPUD yang telah ada yang dibentuk melalui UU No. 12/2003.
Di tengah sempitnya waktu, KPU mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Setelah Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April 2004, KPU menyelenggarakan Pemilu Presiden /Wakil Presiden dalam dua putaran. Pemilu Presiden /Wakil Presiden putaran pertama berlangsung 5 Juli 2004. Sedangkan Pemilu Presiden/Wakil Presiden putaran kedua berlangsung 20 September 2004. KPU mampu menyelenggarakan 3 (tiga) kali Pemilu yang diikuti 150 juta pemilih dengan pengadaan logistik yang sangat kompleks karena harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Masa jabatan anggota KPU akan berakhir pada Maret 2006. Namun pengusulan keanggotaan KPU yang baru belum dapat dilakukan mengingat DPR pada tahun itu sedang mempersiapkan RUU Penyelenggara Pemilu yang komprehensif untuk mengganti ketentuan yang ada terkait dengan penyelenggara Pemilu yang selama ini tercantum dalam berbagai UU. Oleh karena itulah, masa jabatan KPU harus diperpanjang. Jika tidak, maka akan terjadi kekosongan anggota KPU.
Kondisi inilah yang memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Fraksi Partai Golkar menilai unsur kegentingan yang diperlukan untuk mengesahkan Perppu menjadi UU sudah tercapai karena terkait dengan kosongnya kursi angota KPU. FPG juga berharap agar penetapan RUU ini dapat menciptakan KPU yang lebih baik dan meningkatkan kinerja anggota KPU.
Rapat paripurna DPR menetapkan secara bulat RUU tentang Perppu No.1/2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi UU. Perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tersebut meliputi pasal 144 yang kini berbunyi: ”Anggota KPU yang diangkat berdasarkan UU No.4/2000 tentang Perubahan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang telah disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2003, tetap menyelesaikan tugas sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum berdasarkan UU Tentang Penyelenggara Pemilu yang baru.”
Di akhir masa jabatannya, di tengah keberhasilan KPU menyelenggarakan Pemilu, muncul ironi. Situs internet “Wawasandigital” menulis sebagai berikut:
“Pemilu 2004 berjalan sukses. Puja puji diberikan oleh banyak pihak karena KPU telah melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan sukses. Tetapi tak lama berselang masyarakat dikejutkan oleh kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap basah anggota KPU, mantan aktivis dan seorang kriminolog terkenal Mulyana W Kusuma yang tengah menyuap pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Skandal korupsi terbongkar yang melibatkan orang-orang KPU lainnya, bahkan ketuanya seorang doktor politik alumnus Monash University Prof Dr Nazaruddin Syamsudin masuk penjara karena terbukti menerima komisi. Hamid Awaluddin selamat karena terpilih sebagai menteri, dan Anas Ubaningrum cepat loncat masuk jajaran elit Partai Demokrat. Di akhir masa tugasnya anggota KPU tinggal 3 orang”.
Referensi
https://makalah-xyz.blogspot.com/2019/11/sejarah-pemilu-di-indonesia.html
http://anisibrahim18.blogspot.com/2009/07/lembaga-penyelenggara-pemilu-di.html
0 Comments
Post a Comment