Sejarah Sumedang Larang

                         



Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.


Sejarah Penamaan Sumedang Larang


Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.


Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)


Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.


Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri


Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :

Pangeran Angkawijaya (yang tekenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)

Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.

Kiyai Demang Watang di Walakung.

Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.

Santowaan Cikeruh.

Santowaan Awiluar.

Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.


Prabu Geusan Ulun


Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:

Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang

Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi

Kiyai Kadu Rangga Gede

Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu

Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning

Raden Ngabehi Watang

Nyi Mas Demang Cipaku

Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi

Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum

Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan

Nyi Mas Rangga Pamade

Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung

Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu

Pangeran Tumenggung Tegalkalong

Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).


Kasus Harisbaya


Kisah Harisbaya dan akibat dari peristiwanya dituturkan didalam rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, secara garis besar dituturkan sebagai berikut : Didalam Naskah Pustaka Kertabumi dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada tahun 1507 saka atau 1585 M. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan islam tidak lagi di Demak, karena sejak tahun 1546, setelah huru hara Demak yang menewaskan Prawoto (Demak) dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) putra Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru hara Demak Geusan Ulun belum lahir, ia lahir 12 tahun pasca peristiwa dimaksud atau pada 1558 M.

Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon) menyebabkan Susuhunan jati (ayahnya) merasa sakit hati, iapun mendukung penobatan Hadiwijaya (Pajang). Tak cukup sampai disitu, Susuhunan Jati mengirimkan Panembahan Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya (selama 16 tahun), untuk kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.

Pada tahun 1582 M hubungan antara Cirebon dengan Pajang menemukan kendala. Hadiwijaya berseteru dengan Sutawijaya, putra Ki Gedeng Pamanahan, bupati Mataram (islam). Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas setelah terjatuh dari gajah. Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton Pajang menghendaki agar Banowo, putra bungsu Hadiwijaya menggantikan ayahnya. Dipihak keluarga Trenggono dan kerabat keraton Demak menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah menantunya, putra Sunan Prawoto, yakni Arya Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Banowo menjadi bupati Jipang.

Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat peristiwa Harisbaya terjadi (1585 M) yang berkuasa adalah Arya Pangiri (Pajang), sedangkan Panembahan Senopati (Mataram) mulai berkuasa pada tahun 1586 M setelah ia menjatuhkan Arya Pangiri dari tahta. Pajang pun diserahkan kepada Sutawijaya.

Panembahan Ratu pada waktu itu telah menjadi menantu Hadiwijaya, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan Ratu memiliki pengaruh untuk menentukan kelangsungan Pajang. Ketika Arya Pangiri masih berkuasa, untuk menetralkan sikap Panembahan Ratu yang pro terhadap Banowo, ia diberi hadiah Harisbaya, seorang putri Madura yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Ratu menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak mengetahui, bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Geusan Ulun.

Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian mencintai Panembahan Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia lanjut, ia diperkirakan berusia 38 tahun sedangkan Geusan Ulun 27 tahun, namun karena Harisbaya telah memiliki hubungan dengan Geusan.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi ketika Geusan Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra mahkota. Jika dilihat dari masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan Ulun berguru di Pajang bukan di Demak, mengingat sejak huru hara (1546 M) Demak telah kehilangan fungsinya, baik sebagai pusat kekuasaan maupun sebagai pusat perguruan islam. Keberadaan Geusan Ulung di Pajang sama halnya dengan Panembahan, menurut Kertabhumi I/2, waktu itu Pajang sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama islam mengirimkan Panembahan Ray untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun tentu akan menganggap layak mengirimkan putranya (Geusan Ulun) untuk berguru kepada Hadiwijaya di Pajang.

Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya di Pajang dalam waktu yang cukup lama (menurut babad antara 5 sampai 5 tahun), tentunya wajar jika menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada suatu ketika Geusan Ulun harus pulang ke Sumedang (tahun 1580 M) untuk dinobatkan sebagai penguasa Sumedang, menggantikan ayahnya. Pada waktu pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada janji dari Geusan Ulun kepada Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian hari, sehingga Harisbaya mau dipersunting Geusan Ulun, dan rela meninggalkan Panembahan Ratu.

Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan pula, bahwa dimungkinkan ia bukan hanya untuk berguru agama islam, sama halnya dengan Panembahan Ratu, melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan dan ilmu perang dari Hadiwijaya, bahkan disana ia bukan sebagai “santri” melainkan sebagai “satria”. Hal ini berdasarkan pada alasan antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Geusan Ulun (keturunan Pangeran Santri) dan Penambahan Ratu (keturunan Susuhunan Jati) memiliki mazhab yang berbeda. Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar sedangkan Geusan Ulun dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.

Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan perseteruan antara Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari Sumedang, terjadi peperangan antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan oleh Sumedang. Berdasarkan Babad Pajajaran yang ditulis pada masa Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang dikerahkan Cirebon sebayak 2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon diceritakan akibat peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua negara, tetapi dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya dari Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita manapun kompromi ini memang ada disebutkan.

Menurut Babad Cirebon “masa idah” Harisbaya itu 3 bulan 10 hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun menurut Pustaka Kertabhumi I/2 dilangsungkan pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 Saka, bertepatan dengan tanggal 10 April 1587 M. Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca Harisbaya dilarikan dari Cirebon ke Sumedang.

Referensi


https://desacilayung.blogspot.com/2012/05/sejarah-sumedang-larang.html

https://tamansaridesa.blogspot.com/2018/10/sekilas-sejarah-kerajaan-sumedang.html


0 Comments

Post a Comment