Biodata Melaney Ricardo

Profil Pilihan Infoselebindo.com adalah Melanie Ricardo. Artis Kelahiran Medan 24 Februari 1981 adalah artis serba bisa. Tidak hanya piawai membawakan acara dengan gaya kenesnya, Melanie juga mampu menjadi DJ dan mengajar. Artis yang mengawali karirnya sebagai MC dan penyiar radio di beberapa stasiun terkenal di Jakarta ini semakin melambung namanya. Kemahirannya bercas-cis-cus dalam acara-acara yang dipandunya membuatnya berani untuk menjajal dunia komedi melalui program terbaru Trans TV, STUDIO 1 April 2010. Dalam sketsa komedi ini Melanie akan beradu akting dengan Aming, Indra Birowo, Ronal Surapradja, dan Nino Fernandez. Hal yang khas dari Melanie adalah suara ngebasnya yang seksi dan kegilaan dan spontanitasnya dalam membawakan acara yang kerap membuat penonton terpingkal. Selain itu pembawaannya yang tomboi dan cuek juga mampu menarik minat para fans untuk berlama-lama mendengarnya siaran. Walaupun sama sekali tak memiliki background sebagai komedian, Melanie tidak gentar mengikuti kasting yang akhirnya membuatnya terpilih.

Di masa kecil, Melanie sudah gemar bicara, melucu dan bercita-cita menjadi artis. Kedisiplinan yang ditanamakan kedua orangtua membantunya meraih karier yang diimpikan. Perlahan tetapi pasti ia menunjukkan eksistensinya di dunia presenter, penyiar, dan MC. Kini, wajah dan banyolannya bisa disaksikan lewat sejumlah acara televisi. Padahal, ia sempat diejek teman-temannya sebagai si Buntelan Gendut.

Baca Juga


Biodata Pamela Safitri dan Tubuh Sexy nya


Biodata Dinar Candy dan Foto Hot nya


Meski lahir di Medan, tapi sesungguhnya hanya setahun tinggal di sana. Setelah itu Melanie ke Jakarta mengikuti Orang tuanya, Ricardo Siahaan, yang pindah kerja di Ibukota. Orangtua memberiku nama Agnes Melani Siahaan. Melanie putri tertua dari tiga bersaudara. Dua adiknya, Nana Ricardo yang sekarang menjadi manajerku. Sementara si bungsu, Roy Ricardo, kini mengikuti jejaknya menjadi penyiar radio.

Semasa kecil aku tomboi dan mirip adikku, Nana. Hanya saja Nana versi femininnya sementara aku lebih lincah. Umur kami hanya beda dua tahun, sehingga bila memakai baju, harus sama tapi beda warna. Senang bicara dan mengobrol sudah aku lakukan sejak kecil. Aku orangnya nyablak , rambutnya pendek seperti lelaki, dan senangnya main basket. Bahkan sempat jadi kapten waktu SMP.

Kami tumbuh di dalam keluarga yang menyenangkan, meski Papa cukup keras mendidik anak-anaknya. Papa seorang pengajar yang mendahulukan soal pendidikan. Kami boleh menginginkan sesuatu tapi harus sekolah sampai selesai. Contohnya, aku harus menyelesaikan pendidikan sampai S1. Saking kerasnya Papa dalam mendidik, dulu bila kami pengin clubbing, pasti susah banget. Kami harus ada di rumah sebelum jam 12 malam. Padahal tahu sendiri, kan, acara clubbing baru ramai setelah jam tengah malam. Ha ha ha.

Lain lagi dengan Mamaku, Sylvia Herawatie, sangat dekat dengan anak-anaknya. Hubunganku dengan Mama layaknya sahabat. Oleh karena itu Mama seperti jembatan antara anak-anak dan Papa. Mama juga termasuk disiplin, sih. Misalnya, dalam mengurus anak-anak. Jangan harap kami bisa keluar rumah bila belum mengerjakan PR. Dulu, rasanya sebal sekali karena banyak larangan. Tapi setelah dewasa, aku sadar, ternyata disiplin itu penting diterapkan sejak dini. Kedisiplinan itu terbawa hingga aku bekerja sekarang ini.

Nah, menginjak masa kuliah dan mulai bekerja, peraturan “keras” itu mulai berkurang. Mungkin karena Mama menikah di usia 24 tahun. Jadi bila cerita tentang pacar atau sedang ada masalah, ya mengobrolnya sama Mama.

Jago Bicara


Kegemaranku bicara sudah terlihat sejak kecil. Bayangkan, saking senangnya bicara, saat penerimaan rapor sekolah tiba, guruku memberi catatan. Bunyinya, ‘Melanie kurangi mengobrol di dalam kelas’. Di kelas aku memang enggak bisa diam. Ada saja yang aku obrolkan. Eh, rupanya di kemudian hari hobiku bicara menemukan jalurnya. Kini, aku menjadi penyiar radio, presenter, dan MC.

Tumbuh remaja, aku juga senang mengolok-olok teman. Misalnya, waktu SMP ada teman laki-laki yang wajahnya mirip banget dengan Donal Bebek. Nah, bila enggak ada guru di kelas, aku bersama dia membuat ‘Agnes and Donald Show’ . Kami melawak dan melucu. Penontonnya siapa lagi kalau bukan teman-teman di kelas. Dari dulu memang sudah senang tampil, ya. Ha…ha…ha...

Ingin Jadi Artis


Tentang hobiku bicara, Mama bilang, sejak dulu beliau juga pengin jadi penyiar tapi enggak diperbolehkan kakek. Tapi anehnya, setelah bekerja jadi penyiar, di rumah aku justru jadi malas bicara. Mungkin karena sudah capek, ya? Selain banyak bicara, aku juga senang naik ke atas meja untuk menyanyi atau bergaya layaknya artis. Memang, sih, dari dulu aku sudah pengin jadi artis. Keinginan itu muncul ketika suatu kali melihat ada saudara yang seorang artis, datang ke rumah dengan penampilannya yang berbeda. Nah, pas dia di make-up, aku bertanya terus, kok, bisa jadi artis? Bagaimana caranya? Entah kenapa akhirnya aku pengin bekerja seperti dia. Saat itu aku melihat kehidupan artis itu enak dan bisa jadi tontonan orang.

Sejujurnya, kehidupan keluarga kami tidak kekurangan, tapi juga tidak berlebihan. Waktu kecil aku sudah melihat berbagai kalangan. Ada yang miskin dan kaya. Tapi jujur saja, aku senang sesuatu yang bagus. Misalnya, menginginkan sepatu warna warni bermerek terkenal. Sebenarnya Papa bisa membelikan kami barang mahal itu, tapi Papa orangnya sederhana dan religius banget. Jadi, tak selalu keinginan kami dipenuhi. Tapi khusus uang pendidikan, pasti akan dipenuhi.

Tentu saja aku merasakan kekecewaan karena keinginanku tak dikabulkan. Padahal aku, kan, orangnya modis, ingin selalu mengikuti mode. Untungnya dari dulu aku pintar bergaul dan ramai, makanya aku suka sekali mendekati teman-teman yang kaya. Meski keinginanku tak kesampaian membeli sepatu, aku ambil cara lain, meminjam sepatu dari temanku yang kaya itu. Ha ha ha.

Akhirnya Papa tahu, lalu membelikanku sepatu dengan merek yang sama, meski kemudian ketahuan merek itu palsu. Wah, aku diejek habis oleh teman-teman sekolah. Semenjak itu aku berjanji pada diriku sendiri, jika ingin memilih gaya hidup tinggi, harus bekerja keras.


Jago Hapalan


Sejak masih berstatus pelajar, akulah jagonya menghafal. Tapi aku tidak terlalu pintar untuk pelajaran Matematika, Kimia, atau Fisika. Entahlah, kenapa berhadapan dengan ketiga mata pelajaran itu aku selalu jadi malas banget. Mending hafalan, deh. Makanya, saat mulai penjurusan di SMA aku memilih jurusan IPS. Lalu kuliah pun memilih jurusan Hukum Internasional di Trisakti. Saking jagonya menghafal, saat kuliah aku enggak pernah punya catatan kuliah. Malas, sih.

Pacar? Aku punya, dong. Istilahnya PBSI alias Pacar Bukan, Sopir Iya. Ha ha ha. Pria yang aku dekati saat itu wajahnya cakep, mobilnya bagus, ya sudah aku dekati saja. Saat kuliah pacarku yang mencatat. Tiba saatnya ujian, semalam suntuk aku belajar. Jam 2 pagi pun aku lakukan. Cara belajarku juga unik. Pegang buku, menghafal, sambil jalan-jalan dari ujung kamar ke ujung kamar yang lain.

Omong-omong soal cowok, boleh dibilang aku termasuk terlalu cepat mengenal lawan jenis. Bayangkan saja, di TK saja aku sudah naksir cowok, lho! Sayangnya anak itu enggak naksir aku, ha ha ha . Mungkin waktu kecil badanku gendut dan suka dipanggil si buntelan gendut! Ya, namanya saja anak-anak, pasti bandel banget dan suka saling mengejek atau menggoda.

Ejekan demi ejekan “buntelan gendut” itulah akhirnya membuatku trauma. Oleh karena takut, aku jadi selalu berusaha agar tidak gemuk. Meski aku tahu, tulang bawaanku besar dan mau tidak mau pasti terlihat gemuk. Yang menyakitkan, aku diejek bakal tidak punya pacar jika badanku masih gemuk. Wah, aku sampai menangis karena ketakutan. Ha ha ha.

Hidup Sederhana


Menginjak dewasa, aku menyadari bahwa kebahagiaan setiap orang itu berbeda. Ukuran kaya masing-masing orang juga berbeda-beda. Kini, ketika aku sampai pada satu titik bisa memperoleh segala sesuatu dengan uang sendiri, aku bangga sekali bisa melakukannya.

Kendati demikian, Papa selalu mengajarkan kesederhanaan. Papa bilang, aku tidak perlu tampil mewah, hanya agar terlihat orang. Nasihat dan prinsip itu aku terapkan dalam kehidupanku sekarang. Misalnya, meski aku punya uang untuk membeli tas seharga Rp 15 juta, tapi aku tetap merasa sayang mengeluarkan uang sebanyak itu. Aku benar-benar membatasi diri. Tapi jika harga tasnya Rp 1 juta-an, ya kuberanikan diri juga membeli tas itu. Ha ha ha. Aku juga terus mengingat nasihat Mama. Katanya, aku harus banyak bersyukur, tidak selamanya mendapatkan rezeki banyak. Ya, aku menjalani hidup sesuai kemampuanku.

0 Comments

Post a Comment