Hingga sat ini terdapat perdebatan tentang dari negara mana asal permainan catur ini. Namun menurut H. J. R. Murray, penulis buku History of Chess (1913), catur berasal dari India dan mulai ada pada abad ke-6. Di sana catur dikenal dengan nama chaturanga, yang artinya empat unsur yang terpisah. Awalnya, buah catur memang hanya empat jenis. Menurut mistisisme India kuno, catur dianggap mewakili alam semesta ini, sehingga sering dihubungkan dengan empat unsur kehidupan, yaitu api, udara, tanah dan air karena dalam permainannya, catur menyimbolkan cara-cara hidup manusia.
Dalam permainannya, catur mengandalkan analisa dan ketajaman otak pemain, disertai keterampilan strategi dalam menentukan langkah, rencana, risiko, dan menentukan kapan harus berkorban agar menang.
Bantahan datang dari seseorang yang banyak mempelajari sejarah catur yakni Muhammad Ismail Sloan. Menurut Sloan, jika catur ditemukan di India, seharusnya permainan itu disebut-sebut dalam literatur-literatur Sanskrit. Kenyataannya, tak ada satu pun literatur Sanskrit di India yang menyebutkan soal permainan catur sebelum abad ke-6. Sebaliknya, para pujangga Cina sudah menyebutkan permainan ini salam syair-syair mereka, 800 tahun sebelumnya. Jadi, menurut Ismail Sloan, di Cinalah catur pertama kali dimainkan. Tapi pada waktu itu bentuk arena caturnya tidak kotak-kotak, melainkan bulat-bulat. Buah caturnya juga hanya terdiri atas empat jenis, yaitu raja, benteng, ksatria (kuda), dan uskup (gajah).
Baru pada abad ke-6, catur dibawa orang Islam dari India dan Persia ke seluruh penjuru dunia. Konon, di zaman kekhalifahan Ali bin Abu Tholib, catur merupakan permainan yang populer dimainkan. Bahkan mungkin juga oleh Khalifah Ali sendiri. Ada pula yang menyebutkan bahwa panglima perang Nabi Muhammad, Khalid bin Walid juga menggemari catur. Barangkali ini ada hubungannya dengan kelihayannya mengatur strategi perang.
Baca Juga
Biodata Pamela Safitri dan Tubuh Sexy nya
Biodata Dinar Candy dan Foto Hot nya
Adapula seorang sahabat Nabi yang terkenal bisa bermain blindfold (catur buta, bermain tanpa melihat papan catur) namanya adalah yaitu Said bin Jubair yang terkenal. Di zaman kekhalifahan Islam berikutnya, seperti Khalifah Harun Al-Rasyid pun diketahui pernah menghadiahkan sebuah papan catur kepada seorang raja di Eropa, pendiri dinasti Carolia, yaitu Charlemagne. Pada abad ke-8 ketika bangsa Moor menyebarkan Islam ke Spanyol, catur mulai menyebar ke daratan Eropa hingga sampai di jerman, Italia, Belanda, Inggris, Irlandia, dan Rusia. Di Nusantara, olahraga otak ini dibawa oleh bangsa Belanda pada waktu penjajahan dulu. Awalnya, hanya orang Belanda yang bermain catur, tapi menjelang kemerdekaan, mulailah banyak pribumi yang memainkannya.
Dalam sejarah catur bangsa Eropa telah banyak mengembangkan permainan catur ini, antara lain dengan membuat papan caturnya berwarna hitam dan putih. Ini terjadi kira-kira abad-10. Sebelumnya, kotak-kotak itu berwarna sama. Malah sering orang membuat arena permainan catur ini di atas pasir atau di mana saja yang bisa diberi garis. Dari Eropa ini juga dibuat peraturan bahwa pion boleh maju dua kotak pada langkah pertama dan menteri (ratu) boleh bergerak lebih leluasa baik maju ke depan maupun diagonal.
Sudah sejak lama permainan catur ada di Indonesia. Di Tanah Batak, permainan catur ini sudah sejak lama pula dikenal. Namun permainan catur ini baru populer sejak orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Bentuk dan cara bermain catur ala Batak dengan Eropa/Belanda ada perbedaan (berita-berita koran Belanda tidak menyebut perbedaannya apa). Diduga bentuk dan permainan catur di Tanah Batak diadopsi dari salah satu dua sisi persentuhan komunitas Batak dengan asing: Di satu sisi menyebar dari pantai barat, pantai Sibolga, dimana pada masa doeloe pelabuhan-pelabuhan yang ada di sekitar Tanah Batak (yang kemudian disebut Tapanoeli) merupakan pertemuan para pedagang dari berbagai negeri di dunia (termasuk India Selatan--situs Lobu Tua) dan pedagang-pedagang Tanah Batak melakukan transaksi dagang terutama kamper, damar dan kemenyan.Di sisi yang lain menyebar dari pantai timur, daerah aliran sungai Barumun di area (situs) percandian Portibi, Padang Lawas, tempat koloni India Selatan (era King Cola I) dalam eksplorasi emas pada abad kesebelas.
Di Tanah Deli, keberadaan catur Batak itu belum dikenal. Akan tetapi orang-orang Batak yang merantau ke Tanah Deli cepat memahami dan mengadopsi cara bermain catur Eropa/Belanda. Permainan catur ala Eropa/Belanda ini di Tanah Deli sudah lama dilakukan oleh komunitas orang-orang Eropa/Belanda. Dari komunitas-komunitas catur inilah, anak-anak muda Batak mulai mengadopsi catur ala Eropa/Belanda. Akibatnya, lantas, lambat laun, cara bermain catur ala Eropa/Belanda ini cepat mengalami difusi di Tanah Batak yang akhirnya, catur ala Batak lambat laun ditinggalkan oleh generasinya sendiri. Sejak itu, catur ala Eropa/Belanda menggantikan catur ala Batak di seluruh penjuru Tanah Batak.
Sejarah catur Indonesia, berita pertama datang dari koran Sumatra Post di Medan, 1904
Meski permainan catur sudah populer di kalangan orang-orang Belanda, baik di Batavia, Deli, Semarang dan lainnya, tetapi tidak satupun koran-koran Belanda yang memberitakan ‘permainan otak’ ini. Berita keberadaan catur di Indonesia kala itu terpasung oleh berita-berita sepakbola (kala itu masih dengan otot) yang sudah mulai mendapat porsi di koran-koran Belanda. Sontak, koran-koran berbahasa Belanda tiba-tiba bergetar dengan berita pertama yang dimuat koran Sumatra Post yang terbit di Medan tanggal 17 Juni 1910. Berita dari Medan ini dikutip dan dipublikasi ulang oleh koran-koran di Batavia, Semarang dan Surabaya. Berita apa itu? Namun sebelum berita itu diungkapkan ke permukaan, mari kita simak edisi terdahulu koran Sumatra Post ini yang pernah menyajikan secuil kisah (feature) catur di Tanah Deli (edisi 11-06-1904). Koran ini mengisahkan adanya pertemuan dua laki-laki di sebuah kebun (plantation). Laki-laki pertama adalah seorang Abtenar, pejabat Belanda datang ke kantor pengusaha kebun (Planter) asal Jerman (nama Muller). Dialog mereka dalam kisah itu, seperti ini:
Abtenar: “Anda tidak berpikir mungkin untuk melakukan permainan catur?”
Planter: "Saya penggemar berat ..."
Petugas: "Apakah bijaksana jika saya sarankan Anda untuk bermain game?”
Planter: "Sebaliknya, saya senang sekali untuk memiliki kesempatan untuk bermain catur lagi ..."
Lantas, papan catur dibawa turun, dan segera terjadi hiruk pikuk para pegawai kebun karena segera akan ada eksebisi dua pria dalam permainan catur. Pertandingan dimulai, banyak pegawai kebun menonton. Setelah lama, permainan berakhir. Tiba-tiba Muller mengangkat bahu dan bergerak ke sudut area tertentu, sambil teriak: “Saya raja catur!’. Abtenar itu ternyata bertindak sportif, lalu menghampiri Muller. Petugas: “Anda bermain baik, Mr Muller! Saya memujimu”. Abtenar memuji kembali: “Anda bermain sangat baik, bahkan lebih baik daripada yang Anda pikirkan!". ‘Hidup Grobmann, hidup Grobmann, hidup Grobmann”, sorak sorai para pegawai merayakan kemenangan Muller alias Grobmann.
Kisah di atas yang dimuat koran Sumatra Post merupakan informasi pertama adanya tentang eksistensi catur di Indonesia pada masa itu. Ini menggambarkan bahwa permainan catur di kalangan elite di Tanah Deli adalah suatu permainan prestisius. Juga dari kisah ini telah mampu menggambarkan, betapa rakyat juga telah mengapresiasi permainan catur ini dan rakyat bahkan pegawai kebun bisa memainkannya juga dengan baik. Kisah lainnya datang dari seorang pelancong Prancis (Will Le Mair), yang menulis kisah perjalanannya kelililing dunia termasuk di sekitar Sumatra, Penang dan Singapore dan dikirimkan ke koran Sumatra Post. Dalam kisah yang ditulis 16 Februari 1906 dan dimuat Sumatra Post pada edisi Sumatra Post 19-02-1906:’…saya cukup kaget di kapal-kapal Belanda di setiap ruang makan dan ruang relaksasi selalu terdapat perangkat permainan catur’. Kisah ini juga menggambarkan betapa permainan catur sangat disenangi oleh orang-orang Belanda, bahkan di tengah lautan sekalipun.
Pecatur dari Tanah Batak menantang pecatur Belanda (Schakers uit de Bataklanden), 1910
Dua tulisan (feature) yang dimuat koran Sumatra Post itu mendahului berita pertama tentang catur yang dimuat Sumatra Post yang telah menggetarkan dunia persuratkabaran pada waktu itu. Koran Sumatra Post terbitan 17 dan 18 Juni 1910 memberitakan kedatangan dua anak Batak dari Tanah Karo datang ke Medan untuk menantang pemain catur terkuat dari orang-orang Eropa yang tergabung dalam klub catur di Medan. Klub catur Medan bernama ‘Die Witte Societeit’ juaranya adalah Mr. Platte. Pecatur kuat orang Eropa/Belanda di Medan itu dapat dikalahkan dua anak muda ini. Koran Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-07-1910 yang mengutip dan meringkas berita koran Sumatera-Post pada tanggal 17 dan 18 Juni 1910 menyajikannya sebagai berikut:
Dalam sejarah catur bangsa Eropa telah banyak mengembangkan permainan catur ini, antara lain dengan membuat papan caturnya berwarna hitam dan putih. Ini terjadi kira-kira abad-10. Sebelumnya, kotak-kotak itu berwarna sama. Malah sering orang membuat arena permainan catur ini di atas pasir atau di mana saja yang bisa diberi garis. Dari Eropa ini juga dibuat peraturan bahwa pion boleh maju dua kotak pada langkah pertama dan menteri (ratu) boleh bergerak lebih leluasa baik maju ke depan maupun diagonal.
Sudah sejak lama permainan catur ada di Indonesia. Di Tanah Batak, permainan catur ini sudah sejak lama pula dikenal. Namun permainan catur ini baru populer sejak orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Bentuk dan cara bermain catur ala Batak dengan Eropa/Belanda ada perbedaan (berita-berita koran Belanda tidak menyebut perbedaannya apa). Diduga bentuk dan permainan catur di Tanah Batak diadopsi dari salah satu dua sisi persentuhan komunitas Batak dengan asing: Di satu sisi menyebar dari pantai barat, pantai Sibolga, dimana pada masa doeloe pelabuhan-pelabuhan yang ada di sekitar Tanah Batak (yang kemudian disebut Tapanoeli) merupakan pertemuan para pedagang dari berbagai negeri di dunia (termasuk India Selatan--situs Lobu Tua) dan pedagang-pedagang Tanah Batak melakukan transaksi dagang terutama kamper, damar dan kemenyan.Di sisi yang lain menyebar dari pantai timur, daerah aliran sungai Barumun di area (situs) percandian Portibi, Padang Lawas, tempat koloni India Selatan (era King Cola I) dalam eksplorasi emas pada abad kesebelas.
Buku Sejarah Catur di Batak, 1905
Di Tanah Deli, keberadaan catur Batak itu belum dikenal. Akan tetapi orang-orang Batak yang merantau ke Tanah Deli cepat memahami dan mengadopsi cara bermain catur Eropa/Belanda. Permainan catur ala Eropa/Belanda ini di Tanah Deli sudah lama dilakukan oleh komunitas orang-orang Eropa/Belanda. Dari komunitas-komunitas catur inilah, anak-anak muda Batak mulai mengadopsi catur ala Eropa/Belanda. Akibatnya, lantas, lambat laun, cara bermain catur ala Eropa/Belanda ini cepat mengalami difusi di Tanah Batak yang akhirnya, catur ala Batak lambat laun ditinggalkan oleh generasinya sendiri. Sejak itu, catur ala Eropa/Belanda menggantikan catur ala Batak di seluruh penjuru Tanah Batak.
Sejarah catur Indonesia, berita pertama datang dari koran Sumatra Post di Medan, 1904
Meski permainan catur sudah populer di kalangan orang-orang Belanda, baik di Batavia, Deli, Semarang dan lainnya, tetapi tidak satupun koran-koran Belanda yang memberitakan ‘permainan otak’ ini. Berita keberadaan catur di Indonesia kala itu terpasung oleh berita-berita sepakbola (kala itu masih dengan otot) yang sudah mulai mendapat porsi di koran-koran Belanda. Sontak, koran-koran berbahasa Belanda tiba-tiba bergetar dengan berita pertama yang dimuat koran Sumatra Post yang terbit di Medan tanggal 17 Juni 1910. Berita dari Medan ini dikutip dan dipublikasi ulang oleh koran-koran di Batavia, Semarang dan Surabaya. Berita apa itu? Namun sebelum berita itu diungkapkan ke permukaan, mari kita simak edisi terdahulu koran Sumatra Post ini yang pernah menyajikan secuil kisah (feature) catur di Tanah Deli (edisi 11-06-1904). Koran ini mengisahkan adanya pertemuan dua laki-laki di sebuah kebun (plantation). Laki-laki pertama adalah seorang Abtenar, pejabat Belanda datang ke kantor pengusaha kebun (Planter) asal Jerman (nama Muller). Dialog mereka dalam kisah itu, seperti ini:
Abtenar: “Anda tidak berpikir mungkin untuk melakukan permainan catur?”
Planter: "Saya penggemar berat ..."
Petugas: "Apakah bijaksana jika saya sarankan Anda untuk bermain game?”
Planter: "Sebaliknya, saya senang sekali untuk memiliki kesempatan untuk bermain catur lagi ..."
Lantas, papan catur dibawa turun, dan segera terjadi hiruk pikuk para pegawai kebun karena segera akan ada eksebisi dua pria dalam permainan catur. Pertandingan dimulai, banyak pegawai kebun menonton. Setelah lama, permainan berakhir. Tiba-tiba Muller mengangkat bahu dan bergerak ke sudut area tertentu, sambil teriak: “Saya raja catur!’. Abtenar itu ternyata bertindak sportif, lalu menghampiri Muller. Petugas: “Anda bermain baik, Mr Muller! Saya memujimu”. Abtenar memuji kembali: “Anda bermain sangat baik, bahkan lebih baik daripada yang Anda pikirkan!". ‘Hidup Grobmann, hidup Grobmann, hidup Grobmann”, sorak sorai para pegawai merayakan kemenangan Muller alias Grobmann.
Kisah di atas yang dimuat koran Sumatra Post merupakan informasi pertama adanya tentang eksistensi catur di Indonesia pada masa itu. Ini menggambarkan bahwa permainan catur di kalangan elite di Tanah Deli adalah suatu permainan prestisius. Juga dari kisah ini telah mampu menggambarkan, betapa rakyat juga telah mengapresiasi permainan catur ini dan rakyat bahkan pegawai kebun bisa memainkannya juga dengan baik. Kisah lainnya datang dari seorang pelancong Prancis (Will Le Mair), yang menulis kisah perjalanannya kelililing dunia termasuk di sekitar Sumatra, Penang dan Singapore dan dikirimkan ke koran Sumatra Post. Dalam kisah yang ditulis 16 Februari 1906 dan dimuat Sumatra Post pada edisi Sumatra Post 19-02-1906:’…saya cukup kaget di kapal-kapal Belanda di setiap ruang makan dan ruang relaksasi selalu terdapat perangkat permainan catur’. Kisah ini juga menggambarkan betapa permainan catur sangat disenangi oleh orang-orang Belanda, bahkan di tengah lautan sekalipun.
Pecatur dari Tanah Batak menantang pecatur Belanda (Schakers uit de Bataklanden), 1910
Dua tulisan (feature) yang dimuat koran Sumatra Post itu mendahului berita pertama tentang catur yang dimuat Sumatra Post yang telah menggetarkan dunia persuratkabaran pada waktu itu. Koran Sumatra Post terbitan 17 dan 18 Juni 1910 memberitakan kedatangan dua anak Batak dari Tanah Karo datang ke Medan untuk menantang pemain catur terkuat dari orang-orang Eropa yang tergabung dalam klub catur di Medan. Klub catur Medan bernama ‘Die Witte Societeit’ juaranya adalah Mr. Platte. Pecatur kuat orang Eropa/Belanda di Medan itu dapat dikalahkan dua anak muda ini. Koran Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-07-1910 yang mengutip dan meringkas berita koran Sumatera-Post pada tanggal 17 dan 18 Juni 1910 menyajikannya sebagai berikut:
…dua anak Batak, telah datang ke Medan dan bermain catur di klub "Die Witte Societeit" dan ingin menantang pemain catur terkuat orang Eropa/Belanda yang ada di Medan…koran ini memberi latar terhadap orang pedalaman ini..mereka (kedua anak muda itu) datang dari kampong di pedalaman, dimana biasanya mereka bermain catur di rumah atau bale-bale yang hanya menggunakan perangkat catur yang sangat primitif, bijih catur yang dibuat sendiri, papan catur hanya ada di lantai bale-bale yang digoret dengan pisau, dimana penonton hanya melihat dengan jongkok dan setengah penonton lainnya hanya bisa bergayut di tiang-tiang bale-bale namun semuanya serius memperhatikan permainan.
Koran tersebut lebih lanjut menggambarkan pertandingan tersebut sebagai berikut: 'Sekarang mereka (kedua anak muda itu) yang kelihatannya sopan dan lugu telah duduk di kursi kayu bagus dan meja terbuat dari marmer, dan kelihatan mereka sangat khidmat untuk memainkan permainan ini. Mereka tidak tampak sakit (maksudnya kali grogi), tetapi mereka tampak tenang di bawah tatapan semua mata penonton (yang umumnya bule). Anehnya lagi, mereka enggan melihat muka lawan, dan selalu melihat ke bawah tetapi sesekali diam-diam mengintip wajah lawannya dari balik tangannya yang menyangga dagu/pipinya'….[suatu penggambaran yang humanis].
Koran tersebut lebih lanjut menggambarkan pertandingan tersebut sebagai berikut: 'Sekarang mereka (kedua anak muda itu) yang kelihatannya sopan dan lugu telah duduk di kursi kayu bagus dan meja terbuat dari marmer, dan kelihatan mereka sangat khidmat untuk memainkan permainan ini. Mereka tidak tampak sakit (maksudnya kali grogi), tetapi mereka tampak tenang di bawah tatapan semua mata penonton (yang umumnya bule). Anehnya lagi, mereka enggan melihat muka lawan, dan selalu melihat ke bawah tetapi sesekali diam-diam mengintip wajah lawannya dari balik tangannya yang menyangga dagu/pipinya'….[suatu penggambaran yang humanis].
Potret Si Narsar, 14-07-1920 (Tropenm.)
Koran De Sumatra Post, 11-02-1921 menyajikan hasil sebuah penelitian terdahulu dari Batakschakers, di mana mata terlihat tajam tetapi dengan pikiran yang jernih. Well, Sir, atau dari yang ia inginkan hanya... catur. Koran De Sumatra Post, 25-09-1923 menyajikan hasil perjalanan Dr Berlage yang meneliti tentang rumah (arsitektur) Batak. Dalam surat terakhirnya di "Tanah Batak" tentang turnya di Hindia Belanda, Berlage menulis tentang apa yang dia lihat di negara-negara Batak dan di dataran tinggi: Satu tidak bisa membayangkan sesuatu yang lebih daripada karakteristik aristektur seperti Batakschen atau Minang-Kabauschen, namun di kampung Batak orang-orang terlihat berpakaian yang kuat, orang-orang di pendopo terlibat dalam catur, di mana para empu Batak juga berpartisipasi; dan (sementara) wanita Batak terlihat di dekat gudang melakukan menumbuk beras, atau membuat kain tenun, yang mereka lakukan dengan penguasaan yang sama. Dr Berlage juga menggambarkan sebuah titik tengah utama desa yang disebut "djamboer", suatu ‘gedung’ yang kurang lebih ada dalam setiap desa Batak, dimana setiap orang bisa berbicara, gezeischapt, merokok dan lainnya...saya melihat di djamboer ini sebagian besar permainan catur dilakukan. Satu hal lagi tampaknya menurut Dr. Berlage, bangsa Batak telah terseleksi dengan ketat akibat epidemic penyakit yang mematikan di masa lalu, tetapi hidup tidak kekurangan di alam Tanah Batak yang subur (mortality vs nutrition).
Sudah sejak lama permainan catur ada di Indonesia. Di Tanah Batak, permainan catur ini sudah sejak lama pula dikenal. Namun permainan catur ini baru populer sejak orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Bentuk dan cara bermain catur ala Batak dengan Eropa/Belanda ada perbedaan (berita-berita koran Belanda tidak menyebut perbedaannya apa). Diduga bentuk dan permainan catur di Tanah Batak diadopsi dari salah satu dua sisi persentuhan komunitas Batak dengan asing: Di satu sisi menyebar dari pantai barat, pantai Sibolga, dimana pada masa doeloe pelabuhan-pelabuhan yang ada di sekitar Tanah Batak (yang kemudian disebut Tapanoeli) merupakan pertemuan para pedagang dari berbagai negeri di dunia (termasuk India Selatan--situs Lobu Tua) dan pedagang-pedagang Tanah Batak melakukan transaksi dagang terutama kamper, damar dan kemenyan.Di sisi yang lain menyebar dari pantai timur, daerah aliran sungai Barumun di area (situs) percandian Portibi, Padang Lawas, tempat koloni India Selatan (era King Cola I) dalam eksplorasi emas pada abad kesebelas.
Buku sejarah catur di Batak, 1905
Di Tanah Deli, keberadaan catur Batak itu belum dikenal. Akan tetapi orang-orang Batak yang merantau ke Tanah Deli cepat memahami dan mengadopsi cara bermain catur Eropa/Belanda. Permainan catur ala Eropa/Belanda ini di Tanah Deli sudah lama dilakukan oleh komunitas orang-orang Eropa/Belanda. Dari komunitas-komunitas catur inilah, anak-anak muda Batak mulai mengadopsi catur ala Eropa/Belanda. Akibatnya, lantas, lambat laun, cara bermain catur ala Eropa/Belanda ini cepat mengalami difusi di Tanah Batak yang akhirnya, catur ala Batak lambat laun ditinggalkan oleh generasinya sendiri. Sejak itu, catur ala Eropa/Belanda menggantikan catur ala Batak di seluruh penjuru Tanah Batak.
Di Tanah Deli, keberadaan catur Batak itu belum dikenal. Akan tetapi orang-orang Batak yang merantau ke Tanah Deli cepat memahami dan mengadopsi cara bermain catur Eropa/Belanda. Permainan catur ala Eropa/Belanda ini di Tanah Deli sudah lama dilakukan oleh komunitas orang-orang Eropa/Belanda. Dari komunitas-komunitas catur inilah, anak-anak muda Batak mulai mengadopsi catur ala Eropa/Belanda. Akibatnya, lantas, lambat laun, cara bermain catur ala Eropa/Belanda ini cepat mengalami difusi di Tanah Batak yang akhirnya, catur ala Batak lambat laun ditinggalkan oleh generasinya sendiri. Sejak itu, catur ala Eropa/Belanda menggantikan catur ala Batak di seluruh penjuru Tanah Batak.
Sejarah catur Indonesia, berita pertama datang dari koran Sumatra Post di Medan, 1904
Meski permainan catur sudah populer di kalangan orang-orang Belanda, baik di Batavia, Deli, Semarang dan lainnya, tetapi tidak satupun koran-koran Belanda yang memberitakan ‘permainan otak’ ini. Berita keberadaan catur di Indonesia kala itu terpasung oleh berita-berita sepakbola (kala itu masih dengan otot) yang sudah mulai mendapat porsi di koran-koran Belanda. Sontak, koran-koran berbahasa Belanda tiba-tiba bergetar dengan berita pertama yang dimuat koran Sumatra Post yang terbit di Medan tanggal 17 Juni 1910. Berita dari Medan ini dikutip dan dipublikasi ulang oleh koran-koran di Batavia, Semarang dan Surabaya. Berita apa itu?
Namun sebelum berita itu diungkapkan ke permukaan, mari kita simak edisi terdahulu koran Sumatra Post ini yang pernah menyajikan secuil kisah (feature) catur di Tanah Deli (edisi 11-06-1904). Koran ini mengisahkan adanya pertemuan dua laki-laki di sebuah kebun (plantation). Laki-laki pertama adalah seorang Abtenar, pejabat Belanda datang ke kantor pengusaha kebun (Planter) asal Jerman (nama Muller). Dialog mereka dalam kisah itu, seperti ini:
Abtenar: “Anda tidak berpikir mungkin untuk melakukan permainan catur?”
Planter: "Saya penggemar berat ..."
Petugas: "Apakah bijaksana jika saya sarankan Anda untuk bermain game?”
Planter: "Sebaliknya, saya senang sekali untuk memiliki kesempatan untuk bermain catur lagi ..."
Lantas, papan catur dibawa turun, dan segera terjadi hiruk pikuk para pegawai kebun karena segera akan ada eksebisi dua pria dalam permainan catur. Pertandingan dimulai, banyak pegawai kebun menonton. Setelah lama, permainan berakhir. Tiba-tiba Muller mengangkat bahu dan bergerak ke sudut area tertentu, sambil teriak: “Saya raja catur!’. Abtenar itu ternyata bertindak sportif, lalu menghampiri Muller. Petugas: “Anda bermain baik, Mr Muller! Saya memujimu”. Abtenar memuji kembali: “Anda bermain sangat baik, bahkan lebih baik daripada yang Anda pikirkan!". ‘Hidup Grobmann, hidup Grobmann, hidup Grobmann”, sorak sorai para pegawai merayakan kemenangan Muller alias Grobmann.
Kisah di atas yang dimuat koran Sumatra Post merupakan informasi pertama adanya tentang eksistensi catur di Indonesia pada masa itu. Ini menggambarkan bahwa permainan catur di kalangan elite di Tanah Deli adalah suatu permainan prestisius. Juga dari kisah ini telah mampu menggambarkan, betapa rakyat juga telah mengapresiasi permainan catur ini dan rakyat bahkan pegawai kebun bisa memainkannya juga dengan baik. Kisah lainnya datang dari seorang pelancong Prancis (Will Le Mair), yang menulis kisah perjalanannya kelililing dunia termasuk di sekitar Sumatra, Penang dan Singapore dan dikirimkan ke koran Sumatra Post. Dalam kisah yang ditulis 16 Februari 1906 dan dimuat Sumatra Post pada edisi Sumatra Post 19-02-1906:’…saya cukup kaget di kapal-kapal Belanda di setiap ruang makan dan ruang relaksasi selalu terdapat perangkat permainan catur’. Kisah ini juga menggambarkan betapa permainan catur sangat disenangi oleh orang-orang Belanda, bahkan di tengah lautan sekalipun.
Pecatur dari Tanah Batak menantang pecatur Belanda (Schakers uit de Bataklanden), 1910
Dua tulisan (feature) yang dimuat koran Sumatra Post itu mendahului berita pertama tentang catur yang dimuat Sumatra Post yang telah menggetarkan dunia persuratkabaran pada waktu itu. Koran Sumatra Post terbitan 17 dan 18 Juni 1910 memberitakan kedatangan dua anak Batak dari Tanah Karo datang ke Medan untuk menantang pemain catur terkuat dari orang-orang Eropa yang tergabung dalam klub catur di Medan. Klub catur Medan bernama ‘Die Witte Societeit’ juaranya adalah Mr. Platte. Pecatur kuat orang Eropa/Belanda di Medan itu dapat dikalahkan dua anak muda ini. Koran Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-07-1910 yang mengutip dan meringkas berita koran Sumatera-Post pada tanggal 17 dan 18 Juni 1910 menyajikannya sebagai berikut:
…dua anak Batak, telah datang ke Medan dan bermain catur di klub "Die Witte Societeit" dan ingin menantang pemain catur terkuat orang Eropa/Belanda yang ada di Medan…koran ini memberi latar terhadap orang pedalaman ini..mereka (kedua anak muda itu) datang dari kampong di pedalaman, dimana biasanya mereka bermain catur di rumah atau bale-bale yang hanya menggunakan perangkat catur yang sangat primitif, bijih catur yang dibuat sendiri, papan catur hanya ada di lantai bale-bale yang digoret dengan pisau, dimana penonton hanya melihat dengan jongkok dan setengah penonton lainnya hanya bisa bergayut di tiang-tiang bale-bale namun semuanya serius memperhatikan permainan.
Koran tersebut lebih lanjut menggambarkan pertandingan tersebut sebagai berikut: 'Sekarang mereka (kedua anak muda itu) yang kelihatannya sopan dan lugu telah duduk di kursi kayu bagus dan meja terbuat dari marmer, dan kelihatan mereka sangat khidmat untuk memainkan permainan ini. Mereka tidak tampak sakit (maksudnya kali grogi), tetapi mereka tampak tenang di bawah tatapan semua mata penonton (yang umumnya bule). Anehnya lagi, mereka enggan melihat muka lawan, dan selalu melihat ke bawah tetapi sesekali diam-diam mengintip wajah lawannya dari balik tangannya yang menyangga dagu/pipinya'….[suatu penggambaran yang humanis].
Pecatur dari Tanah Batak studi ke Eropa (Bataksche schakers naar Europa), 1911
Kisah dua anak Batak yang mengalahkan pecatur terkuat di Medan berlanjut. De Sumatra Post, 30-08-1910 dengan judul berita: ‘Bataksche schakers naar Europa’. Lagi-lagi, dua anak Batak yang diberitakan terdahulu yang bernama Si Narsar dan Si Garang yang keduanya merupakan murid di sekolah guru di Kabandjahe koran itu menyebut anak-anak Batak yang sangat cerdas dan beradab. Koran ini memberitakan kedua anak itu telah menerima undangan dari de Koning uit Djember (yang baru-baru ini tinggal di sini, Medan), untuk datang ke Belanda/Eropa atas biayanya pengusaha itu sendiri, selama sepuluh bulan mulai bulan Januari 1911. Pengusaha ini bermaksud memperkenalkan anak-anak itu dengan dunia catur di Eropa dan semoga mereka bisa mendapat gelar ETI master catur.
Sebelum ke Eropa, dua anak jago catur ini akan tinggal di Medan bersama Die Witte Societeit untuk melakukan persiapan rutin. Rencananya dari Medan ke Singapura lalu menuju ‘bapak asuh’ Mr. de Koning uit Djember. Kedua anak Batak ini menurut pejabat Belanda di Kabanjahe (Controller) yakin anak-anak berbakat ini akan belajar banyak dalam studi mereka, dan kembali ke kampong untuk mengajarkannya bagi banyak penduduk. Berita dari Medan ini dilansir koran Nieuwe Rotterdamsche Courant yang terbit di Rotterdam edisi 25-09-1910. Koran De Sumatra Post, 28-10-1910 menyajikan suatu feature yang berjudul ‘Bataksche schakers’. Artikel ini berisi sebagai berikut:
…bakat-bakat alam ini harus didorong..Jika pria Batak ini nanti benar-benar tiba di Eropa, tidak perlu untuk menjaga sebagian besar gengsi ras kulit putih… salah satu master kami di Medan yang bermain reguler dapat dikalahkan dan dapat menghormatinya… sepertinya salah satu saudara pecatur yang berkulit berwarna mungkin dianggap salah tujuan ke Eropa…tetapi kita harus menyadari bahwa ini soal kapasitas..jadi sepertinya tidak ada yang kurang benar dalam hal ini…. sesuatu yang sangat istimewa, mungkin sekali unik dalam penyebaran peradaban, tapi ini sebuah fakta yang tidak jauh kurang penting dibandingkan penyelidikan dalam bidang kemampuan linguistik saja. Dibandingkan dengan di sini adalah kenyataan bahwa mereka adalah pria Batak sederhana dan alami, dan hanya beberapa kebutuhan yang mereka perlukan, tetapi mereka telah mengabadikan permainan catur ini di desa-desa mereka selama berabad-abad dan bahkan diantara suku-suku lain yang tidak tahu permainan ini, mereka yang pertama… jadi mungkin kita bisa menemukan Socrates di sini…fakta ini mungkin tidak begitu luar biasa…tapi mengirim mereka ke Eropa adalah sebuah acara hak istimewa, untuk memberikan mereka kesempatan mereka untuk mengetahui cara bermain pada dunia yang memiliki peadaban yang cukup tinggi….Kekuatan master catur kami dari sini adalah mengenal sekali hal detail terkecil, dan mungkin mereka masih berpikir murni, semua mungkin dan selama berabad-abad oleh generasi berbeda, diuji dan bukan dipelajari, yaitu menunjuk untuk menangkap permainan..sehingga satu dan dua ratus jumlahnya di sini….melihat ini kapasitas besar memori untuk saat ini menjadi tidak berguna. Juara master catur kita bahkan kemudian harus menuju pribumi sendiri merasa seperti pemula versus lebih maju…Dan sekarang kita ingin sungguh-sungguh berharap bahwa mereka tidak akan perlu untuk bermain? Kita harus fair untuk untuk sesama warga kami berkulit coklat…Sebaliknya, mari kita berharap bahwa kita akan mendapatkan dan membuat permainan praktis membuat pria ini tahu kesempatan..dan sekarang dalam karya-karya standar, catur permainan modern, juga, sebagai landmark khusus, tempat permainan Batak akan diizinkan untuk diarusutamakan.
Berita terakhir dari Medan sebelum dua anak Batak ini ke Eropa dimuat koran De Sumatra Post edisi 14-12-1910. Koran ini memberitakan dari Asosiasi Catur Medan dilaksanakan dua pertandingan. Di kelas pertama pertandingan catur, dimenangkan oleh Mr Schneider, yang semalam mencetak kemenangan atas juara Batak Si Narsar. Kelas kedua belum dimainkan kembali.
Setelah cukup lama tidak ada kabar berita tentang dua anak Batak ini (yang diundang studi catur di Eropa), koran De Sumatra Post edisi 10-06-1912 memberitakan bahwa Si Narsar, brilian Batakschaker, masih belum terkalahkan di Deli. Dia main catur dari hari ke hari, di mana pun ia menemukan kesempatan, dan bahwa ia juga mendapat teori bukaan untuk mengatasi dengan pikiran cepat. Besok Si Narsar diundang untuk bermain di Die Witte Societeit.
Koran Nieuwe Rotterdamsche Courant yang terbit di Belanda terus memantau sepak terjang si Narsar. Pada edisi 25-02-1914 menulis bahwa beberapa pekan terakhir, koran-koran di Hindia Belanda (Indonesia) sangat intens memberitakan tentang seorang Bataktchea yang permainan caturnya semakin mempesona. Diuraikan koran ini, Narsar bahkan telah melakukan pertandingan simultan (permainan dimainkan secara bersamaan) dengan hasil yang baik, termasuk klub dari komunitas-komunitas catur di Batavia dan Magelang. Tanggal 7 Januari di Batavia memenangkan semua pertandingan dan satu partai membuat satu remis, Pada tanggal 9 Januari, ia memenangkan tujuh file pertandingan dan hanya satu partai yang kehilangan (maksudnya kalah). Juga disebutkan koran ini Narsar juga telah memainkan pertandingan melawan 28 pecatur dalam 90 partai, semuanya dimenangkan kecuali satu partai remis. Narsar juga melakukan pertandingan di Magelang dan Semarang yang semuanya dimendangkannya. Koran ini juga mengutip pernyataan Mr. Van der Buhle dan Onnen yang diartukalasi bahwa "apa yang sudah dalam dunia catur Hindia Belanda dari seoarang anak Batak terbilang dengan menggunakan gerakan dan aksi yang tidak lazim. Bahkan hal ini terlihat ketika berhasil melawan sejumlah pecatur-pecatur tangguh orang Belanda.
File database Si Narsar yang disajikan koran Rotterdam, 1914
Koran ini lebih lanjut menulis, bahwa melihat sepak terjang Si Narsar ini, boleh jadi dimungkinkan bahwa pecatur Eropa/Belanda akan datang kepada dirinya yang rata-rata mereka bergelar master. Anak jenius dari Batak ini sangat luar biasa. Dalam sejarah, prestasi fantastis ini hanya pernah di dengar sekitar abad ketujuh masehi dari seorang pecatur Persia. Pecatur Batak ini yang berasal dari suku di negara kami Hindia Timur adalah harta kami. Kami juga pernah mendengar potensi alam ini dari penduduk pulau Baton (mungkin Buton). Penduduk Baton telah belajar yang mirip dengan permainan ini pada tahun 1660, ketika Sultan Baton belajar dari seorang Admiral Cornell. Sangat disayangkan bentuk permainan mereka yang dulu telah hilang, seperti di negara Batak. Namun Batakscthe kini telah memahami aturan Nederlandtche juga sepenuhnya. Partai yang dimainkan oleh si Narsar pada pertandingan 6 Januari 1914 di Batavia, ia memegang putih dan lawannya hitam dan Narsar dapat membuktikan jauh lebih berseni. Berikut hasil analisis permainanya (lihat gambar, file database permainan tidak dicantumkan semua disini). Yang jelas menurut koran Rotterdam ini ada pengakuan di sana-sini, di mana Si Narsar tampak jauh jauh lebih kuat, dia melakukan yang terbaik. Vooalsnog heeit, waspadalah pecatur Batak (mungkin maksudnya jangan meremehkan pecatur-pecatur dari Batak).
Pandangan para ahli Belanda tentang pecatur dari Tanah Batak, 1919-1923
Sejak kedatangan dua anak Batak ke komunitas catur di Medan, orang-orang Eropa/Belanda baru menyadari anak-anak di pedalaman (Tanah Batak) sangat-sangat menyukai permainan catur dan sangat potensial. Lambat-laun, pecatur-pecatur muda mulai dikenal luas oleh orang-orang Eropa/Belanda di Medan. Bahkan (kemudian) para peneliti atau peninjau orang Belanda yang pulang dari Tanah Batak memberikan penilaian yang khusus dan cermat terhadap anak-anak Batak.
Padangan orang Belanda tentang bangsa Batak dimuat di koran De Sumatra Post, 19-04-1919 yang mengindikasikan bahwa kecerdasan anak laki-laki Batak (menggunakan otaknya) sekitar nilai 8, Dasar pengembangan intelektual Batak sudah lama ada dan hadir. Mereka adalah sebuah bangsa yang telah mengadopsi catur dan diketahui bahwa game ini populer di Batak pada tingkat yang begitu tinggi, bahwa di antara mereka, jiwa-jiwa yang memiliki nilai 8 saat itu melebihi seratus ribu (orang), [Nilai delapan apakah sama dengan IQ di masa ini, kita tidak tahu maksudnya].
Potret Si Narsar, 14-07-1920 (Tropenm.)
Koran De Sumatra Post, 11-02-1921 menyajikan hasil sebuah penelitian terdahulu dari Batakschakers, di mana mata terlihat tajam tetapi dengan pikiran yang jernih. Well, Sir, atau dari yang ia inginkan hanya... catur. Koran De Sumatra Post, 25-09-1923 menyajikan hasil perjalanan Dr Berlage yang meneliti tentang rumah (arsitektur) Batak. Dalam surat terakhirnya di "Tanah Batak" tentang turnya di Hindia Belanda, Berlage menulis tentang apa yang dia lihat di negara-negara Batak dan di dataran tinggi: Satu tidak bisa membayangkan sesuatu yang lebih daripada karakteristik aristektur seperti Batakschen atau Minang-Kabauschen, namun di kampung Batak orang-orang terlihat berpakaian yang kuat, orang-orang di pendopo terlibat dalam catur, di mana para empu Batak juga berpartisipasi; dan (sementara) wanita Batak terlihat di dekat gudang melakukan menumbuk beras, atau membuat kain tenun, yang mereka lakukan dengan penguasaan yang sama. Dr Berlage juga menggambarkan sebuah titik tengah utama desa yang disebut "djamboer", suatu ‘gedung’ yang kurang lebih ada dalam setiap desa Batak, dimana setiap orang bisa berbicara, gezeischapt, merokok dan lainnya...saya melihat di djamboer ini sebagian besar permainan catur dilakukan. Satu hal lagi tampaknya menurut Dr. Berlage, bangsa Batak telah terseleksi dengan ketat akibat epidemic penyakit yang mematikan di masa lalu, tetapi hidup tidak kekurangan di alam Tanah Batak yang subur (mortality vs nutrition).
Referensi
https://blogpenemu.blogspot.com/2016/09/sejarah-catur-dan-penemunya.html
Namun sebelum berita itu diungkapkan ke permukaan, mari kita simak edisi terdahulu koran Sumatra Post ini yang pernah menyajikan secuil kisah (feature) catur di Tanah Deli (edisi 11-06-1904). Koran ini mengisahkan adanya pertemuan dua laki-laki di sebuah kebun (plantation). Laki-laki pertama adalah seorang Abtenar, pejabat Belanda datang ke kantor pengusaha kebun (Planter) asal Jerman (nama Muller). Dialog mereka dalam kisah itu, seperti ini:
Abtenar: “Anda tidak berpikir mungkin untuk melakukan permainan catur?”
Planter: "Saya penggemar berat ..."
Petugas: "Apakah bijaksana jika saya sarankan Anda untuk bermain game?”
Planter: "Sebaliknya, saya senang sekali untuk memiliki kesempatan untuk bermain catur lagi ..."
Lantas, papan catur dibawa turun, dan segera terjadi hiruk pikuk para pegawai kebun karena segera akan ada eksebisi dua pria dalam permainan catur. Pertandingan dimulai, banyak pegawai kebun menonton. Setelah lama, permainan berakhir. Tiba-tiba Muller mengangkat bahu dan bergerak ke sudut area tertentu, sambil teriak: “Saya raja catur!’. Abtenar itu ternyata bertindak sportif, lalu menghampiri Muller. Petugas: “Anda bermain baik, Mr Muller! Saya memujimu”. Abtenar memuji kembali: “Anda bermain sangat baik, bahkan lebih baik daripada yang Anda pikirkan!". ‘Hidup Grobmann, hidup Grobmann, hidup Grobmann”, sorak sorai para pegawai merayakan kemenangan Muller alias Grobmann.
Kisah di atas yang dimuat koran Sumatra Post merupakan informasi pertama adanya tentang eksistensi catur di Indonesia pada masa itu. Ini menggambarkan bahwa permainan catur di kalangan elite di Tanah Deli adalah suatu permainan prestisius. Juga dari kisah ini telah mampu menggambarkan, betapa rakyat juga telah mengapresiasi permainan catur ini dan rakyat bahkan pegawai kebun bisa memainkannya juga dengan baik. Kisah lainnya datang dari seorang pelancong Prancis (Will Le Mair), yang menulis kisah perjalanannya kelililing dunia termasuk di sekitar Sumatra, Penang dan Singapore dan dikirimkan ke koran Sumatra Post. Dalam kisah yang ditulis 16 Februari 1906 dan dimuat Sumatra Post pada edisi Sumatra Post 19-02-1906:’…saya cukup kaget di kapal-kapal Belanda di setiap ruang makan dan ruang relaksasi selalu terdapat perangkat permainan catur’. Kisah ini juga menggambarkan betapa permainan catur sangat disenangi oleh orang-orang Belanda, bahkan di tengah lautan sekalipun.
Pecatur dari Tanah Batak menantang pecatur Belanda (Schakers uit de Bataklanden), 1910
Dua tulisan (feature) yang dimuat koran Sumatra Post itu mendahului berita pertama tentang catur yang dimuat Sumatra Post yang telah menggetarkan dunia persuratkabaran pada waktu itu. Koran Sumatra Post terbitan 17 dan 18 Juni 1910 memberitakan kedatangan dua anak Batak dari Tanah Karo datang ke Medan untuk menantang pemain catur terkuat dari orang-orang Eropa yang tergabung dalam klub catur di Medan. Klub catur Medan bernama ‘Die Witte Societeit’ juaranya adalah Mr. Platte. Pecatur kuat orang Eropa/Belanda di Medan itu dapat dikalahkan dua anak muda ini. Koran Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-07-1910 yang mengutip dan meringkas berita koran Sumatera-Post pada tanggal 17 dan 18 Juni 1910 menyajikannya sebagai berikut:
…dua anak Batak, telah datang ke Medan dan bermain catur di klub "Die Witte Societeit" dan ingin menantang pemain catur terkuat orang Eropa/Belanda yang ada di Medan…koran ini memberi latar terhadap orang pedalaman ini..mereka (kedua anak muda itu) datang dari kampong di pedalaman, dimana biasanya mereka bermain catur di rumah atau bale-bale yang hanya menggunakan perangkat catur yang sangat primitif, bijih catur yang dibuat sendiri, papan catur hanya ada di lantai bale-bale yang digoret dengan pisau, dimana penonton hanya melihat dengan jongkok dan setengah penonton lainnya hanya bisa bergayut di tiang-tiang bale-bale namun semuanya serius memperhatikan permainan.
Koran tersebut lebih lanjut menggambarkan pertandingan tersebut sebagai berikut: 'Sekarang mereka (kedua anak muda itu) yang kelihatannya sopan dan lugu telah duduk di kursi kayu bagus dan meja terbuat dari marmer, dan kelihatan mereka sangat khidmat untuk memainkan permainan ini. Mereka tidak tampak sakit (maksudnya kali grogi), tetapi mereka tampak tenang di bawah tatapan semua mata penonton (yang umumnya bule). Anehnya lagi, mereka enggan melihat muka lawan, dan selalu melihat ke bawah tetapi sesekali diam-diam mengintip wajah lawannya dari balik tangannya yang menyangga dagu/pipinya'….[suatu penggambaran yang humanis].
Pecatur dari Tanah Batak studi ke Eropa (Bataksche schakers naar Europa), 1911
Kisah dua anak Batak yang mengalahkan pecatur terkuat di Medan berlanjut. De Sumatra Post, 30-08-1910 dengan judul berita: ‘Bataksche schakers naar Europa’. Lagi-lagi, dua anak Batak yang diberitakan terdahulu yang bernama Si Narsar dan Si Garang yang keduanya merupakan murid di sekolah guru di Kabandjahe koran itu menyebut anak-anak Batak yang sangat cerdas dan beradab. Koran ini memberitakan kedua anak itu telah menerima undangan dari de Koning uit Djember (yang baru-baru ini tinggal di sini, Medan), untuk datang ke Belanda/Eropa atas biayanya pengusaha itu sendiri, selama sepuluh bulan mulai bulan Januari 1911. Pengusaha ini bermaksud memperkenalkan anak-anak itu dengan dunia catur di Eropa dan semoga mereka bisa mendapat gelar ETI master catur.
Sebelum ke Eropa, dua anak jago catur ini akan tinggal di Medan bersama Die Witte Societeit untuk melakukan persiapan rutin. Rencananya dari Medan ke Singapura lalu menuju ‘bapak asuh’ Mr. de Koning uit Djember. Kedua anak Batak ini menurut pejabat Belanda di Kabanjahe (Controller) yakin anak-anak berbakat ini akan belajar banyak dalam studi mereka, dan kembali ke kampong untuk mengajarkannya bagi banyak penduduk. Berita dari Medan ini dilansir koran Nieuwe Rotterdamsche Courant yang terbit di Rotterdam edisi 25-09-1910. Koran De Sumatra Post, 28-10-1910 menyajikan suatu feature yang berjudul ‘Bataksche schakers’. Artikel ini berisi sebagai berikut:
…bakat-bakat alam ini harus didorong..Jika pria Batak ini nanti benar-benar tiba di Eropa, tidak perlu untuk menjaga sebagian besar gengsi ras kulit putih… salah satu master kami di Medan yang bermain reguler dapat dikalahkan dan dapat menghormatinya… sepertinya salah satu saudara pecatur yang berkulit berwarna mungkin dianggap salah tujuan ke Eropa…tetapi kita harus menyadari bahwa ini soal kapasitas..jadi sepertinya tidak ada yang kurang benar dalam hal ini…. sesuatu yang sangat istimewa, mungkin sekali unik dalam penyebaran peradaban, tapi ini sebuah fakta yang tidak jauh kurang penting dibandingkan penyelidikan dalam bidang kemampuan linguistik saja. Dibandingkan dengan di sini adalah kenyataan bahwa mereka adalah pria Batak sederhana dan alami, dan hanya beberapa kebutuhan yang mereka perlukan, tetapi mereka telah mengabadikan permainan catur ini di desa-desa mereka selama berabad-abad dan bahkan diantara suku-suku lain yang tidak tahu permainan ini, mereka yang pertama… jadi mungkin kita bisa menemukan Socrates di sini…fakta ini mungkin tidak begitu luar biasa…tapi mengirim mereka ke Eropa adalah sebuah acara hak istimewa, untuk memberikan mereka kesempatan mereka untuk mengetahui cara bermain pada dunia yang memiliki peadaban yang cukup tinggi….Kekuatan master catur kami dari sini adalah mengenal sekali hal detail terkecil, dan mungkin mereka masih berpikir murni, semua mungkin dan selama berabad-abad oleh generasi berbeda, diuji dan bukan dipelajari, yaitu menunjuk untuk menangkap permainan..sehingga satu dan dua ratus jumlahnya di sini….melihat ini kapasitas besar memori untuk saat ini menjadi tidak berguna. Juara master catur kita bahkan kemudian harus menuju pribumi sendiri merasa seperti pemula versus lebih maju…Dan sekarang kita ingin sungguh-sungguh berharap bahwa mereka tidak akan perlu untuk bermain? Kita harus fair untuk untuk sesama warga kami berkulit coklat…Sebaliknya, mari kita berharap bahwa kita akan mendapatkan dan membuat permainan praktis membuat pria ini tahu kesempatan..dan sekarang dalam karya-karya standar, catur permainan modern, juga, sebagai landmark khusus, tempat permainan Batak akan diizinkan untuk diarusutamakan.
Berita terakhir dari Medan sebelum dua anak Batak ini ke Eropa dimuat koran De Sumatra Post edisi 14-12-1910. Koran ini memberitakan dari Asosiasi Catur Medan dilaksanakan dua pertandingan. Di kelas pertama pertandingan catur, dimenangkan oleh Mr Schneider, yang semalam mencetak kemenangan atas juara Batak Si Narsar. Kelas kedua belum dimainkan kembali.
Setelah cukup lama tidak ada kabar berita tentang dua anak Batak ini (yang diundang studi catur di Eropa), koran De Sumatra Post edisi 10-06-1912 memberitakan bahwa Si Narsar, brilian Batakschaker, masih belum terkalahkan di Deli. Dia main catur dari hari ke hari, di mana pun ia menemukan kesempatan, dan bahwa ia juga mendapat teori bukaan untuk mengatasi dengan pikiran cepat. Besok Si Narsar diundang untuk bermain di Die Witte Societeit.
Koran Nieuwe Rotterdamsche Courant yang terbit di Belanda terus memantau sepak terjang si Narsar. Pada edisi 25-02-1914 menulis bahwa beberapa pekan terakhir, koran-koran di Hindia Belanda (Indonesia) sangat intens memberitakan tentang seorang Bataktchea yang permainan caturnya semakin mempesona. Diuraikan koran ini, Narsar bahkan telah melakukan pertandingan simultan (permainan dimainkan secara bersamaan) dengan hasil yang baik, termasuk klub dari komunitas-komunitas catur di Batavia dan Magelang. Tanggal 7 Januari di Batavia memenangkan semua pertandingan dan satu partai membuat satu remis, Pada tanggal 9 Januari, ia memenangkan tujuh file pertandingan dan hanya satu partai yang kehilangan (maksudnya kalah). Juga disebutkan koran ini Narsar juga telah memainkan pertandingan melawan 28 pecatur dalam 90 partai, semuanya dimenangkan kecuali satu partai remis. Narsar juga melakukan pertandingan di Magelang dan Semarang yang semuanya dimendangkannya. Koran ini juga mengutip pernyataan Mr. Van der Buhle dan Onnen yang diartukalasi bahwa "apa yang sudah dalam dunia catur Hindia Belanda dari seoarang anak Batak terbilang dengan menggunakan gerakan dan aksi yang tidak lazim. Bahkan hal ini terlihat ketika berhasil melawan sejumlah pecatur-pecatur tangguh orang Belanda.
File database Si Narsar yang disajikan koran Rotterdam, 1914
Koran ini lebih lanjut menulis, bahwa melihat sepak terjang Si Narsar ini, boleh jadi dimungkinkan bahwa pecatur Eropa/Belanda akan datang kepada dirinya yang rata-rata mereka bergelar master. Anak jenius dari Batak ini sangat luar biasa. Dalam sejarah, prestasi fantastis ini hanya pernah di dengar sekitar abad ketujuh masehi dari seorang pecatur Persia. Pecatur Batak ini yang berasal dari suku di negara kami Hindia Timur adalah harta kami. Kami juga pernah mendengar potensi alam ini dari penduduk pulau Baton (mungkin Buton). Penduduk Baton telah belajar yang mirip dengan permainan ini pada tahun 1660, ketika Sultan Baton belajar dari seorang Admiral Cornell. Sangat disayangkan bentuk permainan mereka yang dulu telah hilang, seperti di negara Batak. Namun Batakscthe kini telah memahami aturan Nederlandtche juga sepenuhnya. Partai yang dimainkan oleh si Narsar pada pertandingan 6 Januari 1914 di Batavia, ia memegang putih dan lawannya hitam dan Narsar dapat membuktikan jauh lebih berseni. Berikut hasil analisis permainanya (lihat gambar, file database permainan tidak dicantumkan semua disini). Yang jelas menurut koran Rotterdam ini ada pengakuan di sana-sini, di mana Si Narsar tampak jauh jauh lebih kuat, dia melakukan yang terbaik. Vooalsnog heeit, waspadalah pecatur Batak (mungkin maksudnya jangan meremehkan pecatur-pecatur dari Batak).
Pandangan para ahli Belanda tentang pecatur dari Tanah Batak, 1919-1923
Sejak kedatangan dua anak Batak ke komunitas catur di Medan, orang-orang Eropa/Belanda baru menyadari anak-anak di pedalaman (Tanah Batak) sangat-sangat menyukai permainan catur dan sangat potensial. Lambat-laun, pecatur-pecatur muda mulai dikenal luas oleh orang-orang Eropa/Belanda di Medan. Bahkan (kemudian) para peneliti atau peninjau orang Belanda yang pulang dari Tanah Batak memberikan penilaian yang khusus dan cermat terhadap anak-anak Batak.
Padangan orang Belanda tentang bangsa Batak dimuat di koran De Sumatra Post, 19-04-1919 yang mengindikasikan bahwa kecerdasan anak laki-laki Batak (menggunakan otaknya) sekitar nilai 8, Dasar pengembangan intelektual Batak sudah lama ada dan hadir. Mereka adalah sebuah bangsa yang telah mengadopsi catur dan diketahui bahwa game ini populer di Batak pada tingkat yang begitu tinggi, bahwa di antara mereka, jiwa-jiwa yang memiliki nilai 8 saat itu melebihi seratus ribu (orang), [Nilai delapan apakah sama dengan IQ di masa ini, kita tidak tahu maksudnya].
Potret Si Narsar, 14-07-1920 (Tropenm.)
Koran De Sumatra Post, 11-02-1921 menyajikan hasil sebuah penelitian terdahulu dari Batakschakers, di mana mata terlihat tajam tetapi dengan pikiran yang jernih. Well, Sir, atau dari yang ia inginkan hanya... catur. Koran De Sumatra Post, 25-09-1923 menyajikan hasil perjalanan Dr Berlage yang meneliti tentang rumah (arsitektur) Batak. Dalam surat terakhirnya di "Tanah Batak" tentang turnya di Hindia Belanda, Berlage menulis tentang apa yang dia lihat di negara-negara Batak dan di dataran tinggi: Satu tidak bisa membayangkan sesuatu yang lebih daripada karakteristik aristektur seperti Batakschen atau Minang-Kabauschen, namun di kampung Batak orang-orang terlihat berpakaian yang kuat, orang-orang di pendopo terlibat dalam catur, di mana para empu Batak juga berpartisipasi; dan (sementara) wanita Batak terlihat di dekat gudang melakukan menumbuk beras, atau membuat kain tenun, yang mereka lakukan dengan penguasaan yang sama. Dr Berlage juga menggambarkan sebuah titik tengah utama desa yang disebut "djamboer", suatu ‘gedung’ yang kurang lebih ada dalam setiap desa Batak, dimana setiap orang bisa berbicara, gezeischapt, merokok dan lainnya...saya melihat di djamboer ini sebagian besar permainan catur dilakukan. Satu hal lagi tampaknya menurut Dr. Berlage, bangsa Batak telah terseleksi dengan ketat akibat epidemic penyakit yang mematikan di masa lalu, tetapi hidup tidak kekurangan di alam Tanah Batak yang subur (mortality vs nutrition).
Referensi
https://blogpenemu.blogspot.com/2016/09/sejarah-catur-dan-penemunya.html
http://akhirmh.blogspot.com/2014/07/sejarah-catur-indonesia-bermula-di.html
0 Comments
Post a Comment