Sejarah Masuknya Islam Nusantara


Selama ini banyak para aktivis, lembaga kajian, bahkan sampai lingkungan maasiswa sedang hangat membicaraan tentang “Islam Nusantara”. Namun dalam ranah diskusi dan sebagainya belum banyak menempatkan konteks sejarah dalam pembahasannya. Islam Nusantara merupakan akulturasi budaya-budaya Nusantara yang di-Islamkan dengan tujuan memberikan dakwah islam yang rahmatan lil alamin. Banyak sekali literatur bahkan fakta sejarah yang memberikan gambaran bahkan kajian ilmiah mengenai proses masuknya islam di Indonesia. 

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya. Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera. Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.

Islam masuk ke Nusantara, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif  berkat kegigihan para ulama. Karena memang para ulama berpegang teguh pada prinsip Q.S. al-Baqarah ayat 256 yaitu

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Al-Baqarah: 256).

Adapun cara masuknya Islam di Nusantara melalui beberapa cara antara lain

1.Perdagangan

Jalur ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang dengan orang Arab.Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama dan pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia).Disamping mencari keuntungan duniawi juga mereka mencari keuntungan rohani yaitu dengan menyiarkan Islam.Artinya mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam

2.Kultural


           Artinya penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya Sunan Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang.Ia mengembangkan wayang kulit, mengisi wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam. Sunan Muria dengan pengembangan gamelannya.Kedua kesenian tersebut masih digunakan dan digemari masyarakat Indonesia khususnya jawa sampai sekarang.Sedang Sunan Giri menciptakan banyak sekali mainan anak-anak, seperti jalungan, jamuran, ilir-ilir dan cublak suweng dan lain-lain.

3.Pendidikan

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis dalam pengembangan Islam di Indonesia.Para da’i dan muballig yang menyebarkan Islam diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren tersebut.Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran pesantren Sunan Giri.Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara.Dan sampai sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali penyebaran Islam di seluruh Indonesia.

4.Kekuasaan Politik

Artinya penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat dari para Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak, merupakan pusat dakwah dan menjadi pelindung perkembangan Islam.Begitu juga raja-raja lainnya di seluruh Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi selatan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Demak di Jawa. Dan para Sultan di seluruh Nusantara melakukan komunikasi, bahu membahu dan tolong menolong dalam melindungi dakwah Islam di Nusantara.Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya negara nasional Indonesia dimasa mendatang.

A.     PROSES MASUKNYA ISLAM (ISLAMISASI) KE ASIA TENGGARA

Islamisasi Asia Tenggara yang fleksibel tanpa perang, membuat Islam banyak diterima oleh masyarakat. Mulai dari kepercayaan, praktek keagamaan sampai tradisi setempat dan terbawa sampai penerimaan masalah ideologi Negara. Hal ini tidak salah banyak yang berpikiran tentang Indonesia adalah Negara Islam atau bukan Negara Hukum. Proses demikian dilakukan oleh para pedagang muslim dan tidak diikuti oleh kolonial yang tidak memaksakan kristenisasi di Asia Tenggara. Sehingga, Islam di Asia Tenggara lebih kuat ke seluruh lapisan masyarakat dari Kristen yang dibawa oleh kolonial. Sistem kolonial yang terlalu memecah strata sosial masyarakat, membuatnya sulit untuk proses kristenisasi di Asia Tenggara.

1.     Kedatangan Islam di Asia Tenggara

Proses Islamisasi Asia Tenggara melalui proses yang panjang dengan beberapa situasi politik dan kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Datangnya Islam ke Asia Tenggara pada abad ke-5 didahului oleh interaksi para pedagang Arab dan India di wilayah Kepulauan Melayu yang merupakan tempat persinggahan bagi para pedagang yang berlayar ke Cina dan sebaliknya. Munculnya Kerajaan Sriwijaya yang menjamin keamanan pelayaran di Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional menjadi faktor penting munculnya peradaban Islam di Asia Tenggara. Pasalnya, di akhir abad ke-9 terlibatlah para saudagar muslim di wilayah ini. Bahkan ada bukti yang menunjukkan adanya pemukiman Muslim di Kepulauan Melayu pada abad ke-11. 

Dari beberapa pernyataan tersebut, mengartikan bahwa Islamisasi Asia Tenggara telah terjadi sebelum Kerajaan Malaka berkuasa. [4] Setelah Islamisasi tersebut berkembang pesat, barulah Kerajaan Malaka menguasai beberapa wilayah seperti Malaya (Aru, Pedir, Lambri, Pahang, Pattani, Kedah dan Johor) dan Sumatera (Kampar, Indra Giri, Siak, Jambi, Bengkalis, Riau dan Lingga). Beberapa wilayah tersebut mengaku bahwa Kerajaan Malaka juga menerima Islam. Sedangkan Kesultanan Brunei juga tidak luput dari Islamisasi Asia Tenggara di abad ke-15 dan berhasil mengislamkan wilayah kekuasaannya. 

Kekuasaan Kerajaan Malaka semakin meluas ketika memulai proses Islamisasi Jawa melalui pesisir u tara. Akhirnya tahun 1478, Majapahit berhasil dilumpuhkan oleh koalisi pemerintah-pemerintah Islam di bawah pimpinan Kerajaan Demak. Tidak lama kemudian secara bertahap seluruh wilayah Jawa menerima Islam. Bahkan para Ulama Demak berhasil dalam misinya menyebarkan Islam di wilayah Banjarmasin.

Islamisasi Maluku dilakukan pada tahun 1498 yang sebelumnya Islamisasi Pulau Mindanao (Filipina / utara Maluku) pada tahun 1460.  Dari wilayah Sulu dan Mindanao, Islam menyebar ke utara sampai Manila dan banyak berdiri kerajaan Islam disana. Hingga akhirnya, Manila dihancurkan oleh Spanyol pada tahun 1570. 

Muslim Makassar yang baru saja diislamkan juga tidak butuh waktu lama untuk berhasil mengislamkan Bugis serta Sumbawa dan Lombok. Lalu, Bugis berhasil juga dalam menyebarkan Islam di Flores. Hanya Provinsi Bali yang masih tetap bertahan sebagai Kerajaan Hindu-Budha di Provinsi Kepulauan Asia Tenggara ini.

Dalam hal Muangthai, Islam lebih dulu terasa sebelum masa Kerajaan Ayutthaya berakhir pada akhir abad 14. Artinya sejak masa pemerintahan Kerajaan Sukhotai di abad ke-13, Islam telah memiliki peran kekuatan politik yang sangat besar Ayutthaya berkuasa. Bukti tersebut bisa dilihat bahwa para menteri dan pejabat penting pemerintah yang diangkat oleh raja adalah Kaum Muslim. Para pedagang memiliki pengaruh besar terhadap pemerintah. [9] Kondisi tersebut dimulai melalui hubungan baik yang dibangun oleh para pedagang muslim. Perdagangan selalu menjadi pelopor bagi perkembangan Islamisasi Asia Tenggara. Kaum Muslim di Asia Tenggara tidak hanya mampu mengontrol jalur perdagangan yang melintasi semenanjung, namun juga mampu mengamankan kunci administratif di seluruh Kerajaan. [10] Selain itu juga menangani tugas kemiliteran serta Angkatan Laut Perdagangan Pemerintah.

Peran Kaum Muslim di Burma juga sangat cemerlang. Mengingat jumlah mereka yang sedikit mampu menguasai bidang perdagangan, diplomatik, administrasi, politik, bahasa dan budaya. Para pelaut Muslim datang di sekitar abad ke-9. Sejarawan Arab bernama Al-Maghdisi menyebutkan bahwa Burma menjalin hubungan dengan India, Kepulauan Melayu dan Srilanka. Sejarah Burma menyebutkan orang-orang Arab atau kaum Muslim banyak berperan di pemerintahan, diantaranya: gubernur, tentara, penunggang kuda kerajaan dan administratur negara. [11] Di wilayah Arakan juga terjalin beberapa hubungan diplomatik, perdagangan , budaya dan kerjasama antara Pemerintah Arakan dan Pemerintah India. Bahkan Pemerintah Budha Arakan menggunakan nama dan gelar Islam.

Tidak lain halnya dengan Pemerintah Budha Kamboja yang mau tidak mau harus seperti Burma dan Ayutthaya yakni menjalin hubungan dengan kaum Muslim yang diketahui sangat berpengaruh terhadap kelangsungan politik dan perdagangan. Hal tersebut dikarenakan pada abad sebelumnya, Champa adalah Kesultanan Muslim yang wilayahnya bergabung dengan Kerajaan Kamboja. Namun, ketidakstabilan hubungan internasional di wilayah ini membuat kekuasaan muslim tidak bertahan lama. Kondisi tersebut semakin terlihat ketika Eropa menguasai wilayah Burma yang begitu cepat mengakhiri dominasi kaum Muslim.

2.     Pembawa dan Pelaku Islamisasi Asia Tenggara

Pelaku Islamisasi Asia Tenggara juga menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan bahwa Islam dibawa langsung oleh orang Arab. 

Ada juga yang berpendapat dibawa oleh orang India dengan dasar pengamatan unsur-unsur budaya Islam. Unsur tersebut dilihat dari kebiasaan Syiah yang berkembang di Pantai Malabar dan Koromandel yang mayoritas menganut madzhab Syafi'i. pendapat ini dikuatkan oleh nisan-nisan kuburan Samudra Pasai yang menunjukkan asal dari Cambay-Gujarat.  Sedangkan Fatimi, mendasarkan pengamatan pada aliran tasawuf yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, menyimpulkan bahwa Islam dibawa oleh Muslim Benggala. 

Meskipun demikian, ada kesamaan pandangan diantara mereka tentang pembawa Islam adalah para pedagang yang menyebarkannya melalui para pedagang, misionaris, guru agama (kyai), wali, haji dan ahli tasawuf. 

3.     Media dan Sarana Islamisasi Asia Tenggara

Media Islamisasi Asia Tenggara yakni melalui proses perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan (pesantren), kesenian, politik serta seni dan budaya. [16] Proses perkawinan dimulai dengan aktivitas para pedagang yang memiliki status ekonomi yang tinggi, kemudian membentuk komunitas desa yang lambat laun menjadi daerah bahkan pemerintah, hal yang seperti ini lebih mudah melalui pernikahan antar bangsawan. Kejadian seperti ini banyak diceritakan dalam babad-babad jawa. 

Media dan sarana yang lebih mudah diterima yakni mengkombinasikan antara ajaran tasawuf dengan memberikan istilah-istilah dan unsur budaya lokal yang berkembang sejak pra Islam. Selain itu, memanfaatkan lembaga pendidikan yang sudah ada sebelumnya seperti Pesantren yang dilanjutkan dengan para santri untuk memperluas ajaran Islam sekembalinya ke kampung halaman mereka masing-masing.

Aneka ragam seni juga dimanfaatkan untuk menyebarkan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada berbagai ragam tehnik bangunan, seni arsitektur dan seni pahat yang masih bisa dilihat di berbagai masjid, istana dan taman. Seni tari, seni musik dan seni sastra juga digunakan sebagai media penyebaran. 

4.     Perdagangan sebagai Media Transformasi Islam di Berbagai Aspek

Perdagangan memang memiliki peran sangat penting bagi transformasi islam yang akhirnya disebut sebagai revolusi keagamaan. Disebut demikian karena adanya konversi agama Islam secara besar-besaran di Asia Tenggara bersamaan dengan meningkatnya posisi Nusantara di jalur perdagangan dunia.

Selain itu, diterimanya Islam di Asia Tenggara, berdampak pada transformasi di berbagai aspek kehidupan seperti hukum, budaya, politik sampai pendidikan. Hukum Islam mulai digunakan meskipun tetap selektif sesuai kondisi masyarakat, misalnya:

a.     Undang-Undang Malaka Kompilasi, tahun 1450. Dengan jelas berisi hukum Islam yang mengharuskan pemerintahan Malaka dijalankan sesuai hukum Qur'ani. 

b.       Prasasti Trengganu (1303). Menerapkan hukum Islam di Kerajaan tersebut. 

c.     Provinsi Pattani. Hukum Islam diterapkan sampai akhir abad 19. 

d.    Hukum Pahang. Sekitar 42 dari 62 pasal menerapkan hukum madzhab Syafii. 

e.     Wilayah Aceh merupakan pelaksana hukum Islam terketat di Asia Tenggara.

Pengaruh politik Islam banyak terbantu oleh posisi para pedagang Muslim dan para Sufi. Perdagangan dan pelayaran dimonopoli oleh para pedagang muslim dengan menjalin kerjasama dengan pihak luar. Bahkan sebagian besar pelabuhan berada dalam pengaruh mereka. Pernyataan bahwa mereka adalah orang-orang kaya dan terpelajar yang berhasil membangun ekonomi yang terhormat memang tidak bisa dibantah. Selain itu, masuk Islamnya para penguasa lokal merupakan kemenangan bagi kaum muslim yang diikuti dengan masuk Islamnya masyarakat yang diikuti dengan berkembangnya rute perdagangan baru. Serta berbagai gelar juga telah merujuk pada sebutan-sebutan yang bernafaskan Islam.

Dalam segi Budaya, Islam mengkombinasikan antara budaya Islam dengan budaya masyarakat. Artinya, proses Islamisasi Asia Tenggara tidak berarti mengganti budaya masyarakat dengan budaya Islam. Namun, memasukkan berbagai budaya Islam tanpa menghilangkan budaya yang ada dalam masyarakat dengan mengganti hal-hal yang berbau musyrik. Selain itu, iman Islam serta etos yang lahir juga telah menunjukkan dibangunnya dasar kebudayaan Islam di Asia Tenggara dengan kombinasi muatan lokal yang telah ada.

Akhirnya, bidang pendidikan juga menjadi bagian Islamisasi Asia Tenggara. Pendidikan sudah tidak istimewa bagi bangsawan. Semua kalangan bisa merasakan tingkat pendidikan yang sama. Bahasa Melayu juga menjadi faktor penting pemersatu Asia Tenggara. Sejumlah karya bermutu di bidang teologi, hukum, sastra, sejarah semakin banyak bermunculan. Sistem pendidikan Islam mulai direncanakan yang ditandai dengan berdirinya lembaga pusat pengajaran di Masjid dan Surau yang bersamaan berdirinya banyak Pesantren di Jawa serta banyak Pondok di Malaya.

Berkembangnya peradaban Islam di Asia Tenggara semakin lengkap ketika Ibadah Haji mulai diselenggarakan; Terjalinnya ikatan emosional, spiritual, psikologis dan intelektual dengan kaum Muslim Timur; arus imigrasi masyarakat Arab dan Asia Tenggara semakin deras yang sekaligus semakin banyak melahirkan Ulama pribumi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan transformasi Islam melalui perdagangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat Asia Tenggara, antara lain:

a.          Keluwesan keimanan Islam yang dapat dipakai dalam segala kebutuhan dan kondisi.

Sistem keagaamaan lokal sebelumnya mengajarkan penganutnya untuk tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan Tuhannya untuk mendapatkan perlindungan secara kontinu. Sedangkan sistem keimanan Islam mengajarkan mereka berada di luar pemujaan ketika peran perdagangan mereka semakin meningkat. Sistem tersebut memberikan perubahan tersendiri pada perkembangan kaum muslim secara besar-besaran. Dalam kenyataannya, bukti tersebut ditemukan perubahan sistem ini paling awal dan menyeluruh di wilayah pantai khususnya pelabuhan. Perubahan secara universal juga memberikan keuntungan tersendiri bagi kepentingan legitimasi kekuasaan Islam di Asia Tenggara. 

b.          Keterkaitan Islam dengan kekayaan.

Para pedagang muslim menggunakan kekayaan dan peran perekonomian mereka untuk memainkan peran politik lokal. Pengaruh tersebut seperti dilaporkan I'Tsing ketika datang ke Palembang pada 671, bahwa Sriwijaya berhubungan dengan khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (661) dan khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz (717-720). Hubungan tersebut menjelaskan keterlibatan Muslim dalam hal politik dan diplomatik. Hal ini diperkuat dengan pengiriman duta Sriwijaya ke Cina yang dianggap sebagai utusan perdagangan dengan Timur Tengah. 

c.          Kekuatan Islam secara spiritual, ekonomi, politik dan militer

Sistem kekuasaan di Asia Tenggara menuntut legalitas formal atas kekuasaan yang dipegang pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan pemerintah-pemerintah Islam Asia Tenggara ada citra pretisus tersendiri untuk memimpin pemerintahan. Ketika suatu pemerintah mengubah sistem keimanan Islam, maka dengan sendirinya masyarakat juga mengubah sistem mereka.

Budaya agraris dan pandangan kosmopolis memberikan Islam di Asia Tenggara melahirkan corak yang khas, inklusif dan sinkretik. Islam tampil sebagai agama yang akomodatif terhadap nilai dan sistem kepercayaan lokal yang telah mapan.  Karena itu pula berbagai ajaran Walisongo dapat diterima masyarakat.


B.      PUSAT PENYEBARAN ISLAM DI ASIA TENGGARA

Berbagai pendapat tentang asal mula Islamisasi Asia Tenggara, hampir semuanya selalu dimulai di Pasai dan sepanjang kota pesisir lainnya seperti pesisir timur laut Sumatera dan pesisir utara Jawa. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri jika kegiatan sekuler dan perdagangan dapat berkembang dengan baik di kota pelabuhan hingga interior. [24] Lima komponen utama setidaknya ada pada kota Islam yang ideal meski tidak mutlak, yaitu:

a.     Benteng kota atau bangunan pertahanan

b.     Wilayah pemerintah yang meliputi tempat tinggal raja, kantor pemerintahan dan berbagai fasilitas untuk kepentingan para pasukan pengawal pribadi raja

c.     Komplek urban yang terdiri dari masjid, lembaga pendidikan dan pasar

d.    Pemukiman khusus (tukang, pedagang, bangsawan, etnis asing, pemeluk agama minoritas)

e.     Pinggiran kota bagi perantau yang menetap sementara. 

Kota lama seringkali dapat melacak berbagai unsur tersebut.  Berikut kota-kota yang diyakini ada Kerajaan Islam Asia Tenggara:

1.          Samudra Pasai

Adanya berita Cina yang melaporkan pada 1282 tentang adanya utusan Sa-mu-ta-la (Samudra) Kekaisaran Cina dengan nama Islam yakni Sulaeman dan Husain. Bukti lain ada pada Nisan makam Sultan al-Malik as-Saleh (Raja Pertama) yang meninggal pada tahun 1297. Raja kemudian menikahi putri Perlak dan berputera dua yang kemudian muncul pemerintah gabungan Samudera Pasai. [27] bukti lain yakni perjalanan Marco Polo dari Cina ke Persia pada tahun 1292 yang menyatakan dirinya telah mengunjungi enam dari delapan Negara yang terkait di Sumatera dan hanya satu diantaranya yaitu Ferlec (kemudian disebut Perlak). [28] Ibnu Batutah pada 1345, pada perjalanannya juga sudah bertemu Sultan al-Malik az-Zahir yang telah mengirim utusan ke Delhi dan Cina. Fa-Hien menuliskannya dalam perjalanan ke India, bahwa pemerintah ini telah berpenduduk Islam yang taat. [29] Kemudian pemerintah ini runtuh oleh Portugis pada tahun 1521.

2.          Malaka

Pendiri kerajaan ini adalah Parameswara (Muhammad Iskandar Shah) yang menikah dengan saudara perempuan Raja Pasai di tahun 1400. Kemudian digantikan oleh Sri Maharaja (Muhammad Shah) pada tahun 1424-1444 dan Sri Parameswara Dewa Shah (Abu Sa'id atau Raja Ibrahim) pada tahun 1444-1445. [30] Dibawah perintah Sultan Muzaffar Shah pada tahun 1445-1459, Malaka menyebarkan Islam secara cepat serta mampu menguasai perdagangan. Saat itu, Pasai dipimpin Sultan Manshur Shah (1457-1477).

Pahang untuk pertama kali diperintah Raja Islam yakni putera Sultan Malaka. Trengganu dan Kedah juga memiliki hubungan dengan Malaka yang juga menerima Islam dan diikuti oleh daerah sisi barat Sumatera yakni Rokan, Kampar, Siak dan Indragiri. [31] Malaka kemudian dikuasai oleh Portugis pada 1511 yang mengakhiri pusat penyebaran Islam di wilayah ini. Lalu Ibu Kota dipindah dari Sungai Johor ke Kepulauan Riau untuk mengakomodasi kepentingan Aceh, Portugis dan Belanda sampai 1641. Aceh kemudian menggantikan Malaka sebagai pusat Islam dan memperkuat posisi pemerintahan. [32]

3.          Aceh

Mulai sekitar tahun 1524, Aceh menjadi Kerajaan Islam yang kuat dan membuat Pasai sebagai bagian wilayahnya. Disusul Lamuri dan Aceh Dar al-Kamal yang menjadikannya sebagai pemegang komoditas lada. Raja pertamanya yakni Ali Mughayat Shah, kemudian digantikan oleh putranya yaitu Ala ad-Din Shah pada 1548-1571 berhasil menaklukkan Aru dan Johor. Bahkan, menyerang Portugis di Malaka atas persenjataan Dinasti Ottoman pada 1562. [33] Sedangkan puncak kejayaannya terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda pada 1608-1637, yang berhasil menguasai sepanjang pantai Sumatera sebagai regulator pedagangan lada. Bahkan, istananya dilapisi emas.  Penggantinya yakni adik iparnya Iskandar Thani yang wafat muda membuat pemerintah ini mengalami kemunduran.

4.          Minangkabau

Pemerintah ini menerima Islam lebih akhir karena berada di pegunungan. Utusan yang dikirim ke Malaka yang saat itu dibawah pimpinan Alfonso d'Albuquerque pada tahun 1511 belum memeluk Islam. Hubungannya dengan Aceh diawali dengan perseteruan yang diakhiri dengan perkawinan penguasa Minangkabau dengan saudara perempuan Sultan Aceh. Minangkabau mendapatkan wilayah teritori pantai yang lebih luas dari Aceh, sehingga harus berhubungan dengan para pedagang Muslim. 

5.          Serawak, Sulu dan Mindanao

Serawak, Sulu dan Mindanao (Philipina bagian utara) berada pada rute perdagangan bangsa Arab baik pedagang maupun da'i dari Malaka yang membawa Islam ke tiga wilayah tersebut. Namun sesuai catatan Portugis oleh de Brito, Raja Brunei belum memeluk Islam pada tahun 1514. Sedangkan laporan Spanyol menyatakan telah ada pemukiman Muslim pada tahun 1567 di Kepulauan Philipina. 

Sultan al-Akbar Tata dari Pemerintah Brunei menyatakan dukungannya terhadap Islam. Namun, ia baru memeluk Islam di masa setelahnya yang kemudian diberi gelar Sultan Muhammad. Kemudian diganti oleh Nakoda Ragam atau Sultan Bolkiah yang mengalami perkembangan sampai membentuk angkatan perang serta membangun benteng pertahanan.

Akhirnya kepulauan Sulu berhasil diislamkan melalui islamisasi para pemimpin kelompok demi kelompok.  Kapten Thomas Forrest mencatat Sulu dan Mindanao diislamkan oleh misionaris Arab yakni Syarif dari Mekah di tahun 1475. 

Spanyol melaporkan bahwa Sulu di tahun 1521 telah ada pemukiman muslim yang telah berhubungan dagang dengan Muslim Jawa dan India. Misi Spanyol membawa Kristen dianggap oleh Sulu dan Mindanao sebagai penjajahan atas politik mereka. Dua wilayah ini kemudian menjadi pusat gerakan kemerdekaan Philipina.

6.          Jawa

Ma Huan mengatakan bahwa di Jawa bagian Timur pada 1415-1432 telah ada tiga komunitas pemukiman yakni Muslim dari barat, Muslim dari Cina dan pribumi. Sedikitnya penduduk pribumi tidak menghilangkan indikasi adanya pemukiman muslim. Nisan makam Malik Ibrahim yang berangka 1419 dipercaya sebagai pedagang Muslim asal Gujarat, India. Makam sejaman yakni Putri Campa (salah satu istri Prabu Brawijaya) dengan model pemakaman Islam ada angka 1448.

Putri Campa adalah bibi dari Raden Rahmat Ampeldenta yang memimpin komunitas muslim di masa Kerajaan Majapahit. [40] Murid Raden Rahmat yakni Raden Paku berhasil mengislamkan penduduk sekitar Giri dan membangun masjid disana. Raden Rahmat juga mengutus Syeikh Khalifah Husein ke Madura. [41] Bupati-bupati sepanjang pantai utara Jawa beralih dari dewa-raja Majapahit menjadi Muslim.  Dari situlah diyakini sebagai awal mula perkembangan Islam yang pesat di Pulau Jawa. Para wali (sebutan para pendakwah Islam Jawa) sering menggunakan karomahnya untuk memutus kepercayaan lama di masyarakat dengan kepercayaan Islam.

Salah satu sistem pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Demak dengan Raja pertama yakni Raden Patah [43] dan dibantu oleh para Ulama yang kemudian dikenal dengan Walisongo. Pengganti Raden Patah yakni Pati Unus menyerang Malaka saat dikuasai Portugis di Tahin 1512-1513 namun gagal. [44]

Raja Demak pada 1524-1546 Sultan Trenggono (Ahmad Abdul Arifin),  berhasil menyebarkan Islam ke seluruh Jawa bahkan sampai Banjarmasin dan Palembang melalui penaklukan Sunda Kelapa, Majapahit dan Tuban pada 1527 disusul Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan ( 1535), Lamongan, Blitar, Wirasaba dan Kediri (1544). [45] Dibantu Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat, daerah pedalaman Merapi, Pengging dan Pajang berhasil ditaklukkan. [46] Namun, Demak mundur ketika terjadi konflik saudara yang berujung pada terbunuhnya Trenggono. Sultan Prawoto tidak berdaulat lama kerena dibunuh Arya Penangsang dari Jipang pada 1549, yang kemudian Arya Penangsang terbunuh oleh Jaka Tingkir sekaligus mengakhiri dominasi Kerajaan Demak dan dilanjutkan Pajang dan Mataram.

Tahun 1619 ketika Mataram dipimpin oleh Sultan Agung praktis seluruh Jawa Timur berada di bawah pemerintahan Islam. Mulai saat inilah konflik senjata sering terjadi dengan VOC. Penggantinya Amangkurat I justru tidak pro dengan Islam dan menimbulkan banyak pertentangan dari Ulama hingga runtuhnya Mataram. [47] Bahkan, sekitar 5000-6000 Ulama dan Santri yang dianggapnya berbahaya dibunuh massal pada 1647.

Sedangkan di Jawa bagian barat, Kerajaan Islam dengan nama Kesultanan Cirebon telah ada di Gunung Jati pada waktu yang sama oleh Syarif Hidayatullah. Penyebaran Islam dilanjutkan ke Kawali (Galuh), Majalengka, Kuningan, Sunda Kelapa sampai Banten. Di Banten, pengembangangan dan perekonomian Muslim mulai dibangun sampai raja berikutnya Sultan Hasanudin (putranya). Penyebaran Islam dilakukan sampai Lampung dan Palembang. Setelah Hasanudin wafat, banyak konflik terjadi antara Banten dan VOC.

7.          Maluku dan Sulawesi


Penyebaran Islam mencapai Maluku pada abad ke-15. Pada Abad sebelumnya, Raja Ternate ke-12 yakni Molomateya (1350-1357) pernah bersahabat dengan orang Arab untuk menuliskan kaligrafi pada kapalnya namun bukan berarti telah memeluk Islam. Sedangkan Raja Tidore telah menggunakan nama Islam yakni Hasan Shah namun belum ditemukan komunitas Muslim yang besar pada masa tersebut.

Raja Zainal Abidin (1486-1500) dipercaya sebagai raja pertama yang memilih beragama Islam karena tertekan dengan perdagangan Muslim. Sehingga, misi Kristen yang dibawa pada tahun 1522 terhalang. Bahkan di Ambon berhasil didirikan masjid dengan atap tujuh lantai meniru masjid di Giri oleh qadi bernama Ibrahim. 

Raja Pertama Kerajaan Islam Tidore yakni Alauddin (1591-1636) didukung oleh kekuatan Kerajaan Islam Gowa-Tallo yang menjalin hubungan baik dengan Ternate dan Giri di Gresik. [50] Tradisi memberikan kabar baik seorang raja pada raja lain (di Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone) memfasilitasi penyebaran Islam selanjutnya. [51] Seiring intervensi Belanda dan Portugis, Demak dan Jepara bersekutu dengan Kerajaan Hitu melawan kolonisasi Portugis di Ambon.

8.          Kalimantan

Tidak berbeda dengan wilayah lainnya yang perkembangan Islam pesatnya terjadi di daerah pesisir. Kerajaan Demak kala itu membantu pemerintah Banjarmasin untuk menaklukkan musuhnya dengan syarat masuk Islam. Di pantai Barat Laut (Brunei), Spanyol telah menemukan pemukiman Muslim pada 1521 yang kemudian menyebar ke Sukadana pada tahun 1550. Tahun 1600, Islam menjadi mayoritas agama masyarakat pesisir setelah Raja mereka memperistri putri Kerajaan Demak pada 1590. Suku Idaan di Kalimantan bagian Utara memandang bahwa Islam lebih mulia dari kepercayaan mereka sendiri. Sedangkan Suku Dayak sejak 1671-1674 telah banyak yang beralih memeluk Islam. Hal tersebut tidak lepas dari masuknya bangsa luar seperti Arab, Bugis, Melayu dan Cina yang berlangsung sejak abad ke-7. Memang mayoritas masyarakat Kalimantan adalah keturunan asing. [52]  

9.          Bali, Lombok dan Sumbawa

Islamisasi di Bali erat kaitannya dengan Jawa. Banyak bangsawan Hindu yang melarikan diri ke Bali setelah Majapahit ditaklukkan (1481). Masuknya Islam di Lombok pada bangsa Sasak tidak lepas dari peran misionaris Bugis (diislamkan Raja Bone) yang menikah dan menetap di Lombok. Akibatnya, suku Sasak terpecah menjadi dua golongan yakni Islam Lombok dan Hindu Bali. Pada abad 18, Bali menyerang Lombok dengan sewenang-wenang. Akhirnya Sasak meminta bantuan Belanda pada 1894, dan jalan tersebut membuat Islam berkembang di Lombok. 

10.      Siam (Thailand)

Para pedagang Arab dan India-lah yang menyebarkan agama Islam di daerah ini, penduduk Siam menyebutnya Khek Islam yang berarti muslimin. [55] Penyebar lain adalah tentara dan bangsawan saat terjadi peperangan dengan Malaka dan Kedah.


11.      Burma (Myanmar)

Daerah yang berpenduduk muslim pertama adalah Arakan di timur pantai Teluk Banggala. Banyaknya masjid dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan islamisasi di wilayah ini, terutama di wilayah Mandalay ibukota Burma. 


C.     PERKEMBANGAN ILMU AGAMA


Dalam sejumlah artikel tentang sufisme, dibutuhkan kewaspadaan tentang islamisasi yang hanya terbatas pada pemahaman politis dan ekonomi. [56] Telaah dokumen-dokumen Islam berbahasa Eropa dan Melayu menunjukkan bahwa masalah keagamaan menjadi sangat penting bagi Raja Melayu. Hikayat Raja-raja Pasai secara tidak langsung juga mengajukan seorang Raja Pasai yang memiliki kekuatan magis sehingga menjadi raja karena keislamannya. Magis tersebut seringkali menjadi adu kekuatan antar raja yang dianggap sebagai musuhnya. 

Sufisme juga menggambarkan sebutan Wali untuk Sultan mereka. Berdasarkan karangan kitab tasawuf, ajaran dibagi menjadi dua yakni heterodoks dan ortodoks. Ajaran Hamzah Fanshuri disebut wujudiyah karena memandang wujud makhluk yang dibesarkan adalah tidak ada selain wujud sang pencipta. Ajaran ini juga disebut dengan 'Martabat Tujuh' yang erat kaitannya dengan ajaran Ibn Al-Arabi. [58] Hamzah Fanshuri dan Syamsudin mendapatkan perlindungan dari Raja Iskandar Muda yang membuat mereka semakin produktif berkarya.

Namun, ajaran tersebut mendapat tantangan dari Nuruddin ar-Raniri yang menulis karya-karyanya di masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1637-1644). Bahkan, menganjurkan orang-orang yang berlawanan untuk menghancurkan karya tersebut. Karangan Nuruddin yang jelas menentang karya Hamzah dan Syamsudin tentang ketidak setujuannya dengan pendapat bahwa Allah itu ruh dan wujud Tuhan adalah Asrarul Insan fi Ma'rifati Ruh wa Rahman. 

Tokoh lainnya 'Abd al-Ra'uf dari Singkel (Syekh Kuala / murid Ahmad Kushashi), mendirikan pesantren dekat muara sungai Aceh dengan mengajarkan tasawuf dari tarekat Syattariyah bermadzhab Syafi'i, karyanya yakni Tafsir Al-Qur'an ke dalam bahasa Melayu dan menerjemahkan kitab Mawaiz al-Badi'a yang isinya tentang 32 hadits qudsi dan puisinya yang berjudul Sya'ir Ma'rifat. [60] Muridnya Syekh Burhanuddin dari Ulakan Minangkabau banyak berkarya pada masa Sultanah Syafiatudin, seperti Mirat at-Tulab fi Tasyl Ma ' rifatal-Ahkam asy-Syari'ah li Malik al-Wahab (pengantar ilmu fikih), karya tasawufnya diantaranya Kiyafat al-Muhtajin, Daqiq al-Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al-Muhtadin.

Dari lima madzhab fiqih yang terkenal, hanya madzhab Syafi'i yang memiliki pengaruh luas di Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Tafsir Minhaj at-Talibin dengan kitab al-Tuffah karangan Ibn Hajar (w.975) dan Nikayah karangan ar-Ramli (w.1006). Sejak itulah banyak kitab kompilasi dari waktu ke waktu namun tidak ada ajaran yang baru. Tidak bisa dipastikan kapan awal datangnya madzhab Syafi'i di Asia Tenggara.

Referensi

http://aandesca.blogspot.com/2016/01/islam-nusantara-sejarah-kemunculan-dan.html

http://mahfudzirfan.blogspot.com/2015/11/proses-masuknya-Islam-ke-Nusantara.html

0 Comments

Post a Comment