Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Bagian-bagian Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-‘Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.
Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an).
Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’.
Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.
Proses Turunnya Al-Quran
Dalam proses pewahyuannya terdapat beberapa cara untuk menyampaikan wahyu yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, diantaranya :
Pertama: Turunnya wahyu kepada beliau seperti suara lonceng (kesamaan dalam kerasnya suara-ed), dan cara ini adalah cara yang paling berat bagi Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah, dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya al-Harits bin Hisyamradhiyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu turun kepada anda?” Maka Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
”Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan itu adalah yang paling berat bagiku. Kemudian ia terhenti sedangkan aku sudah memahami apa yang Jibril katakan.”
’Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
”Dan sungguh aku telah melihat wahyu itu turun kepada beliau (Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) pada hari yang sangat dingin, lalu wahyu itu terhenti sementara keringat telah mengalir di dahi beliau.”
Kedua: Dan terkadang wahyu turun dalam bentuk seorang laki-laki yang menyampaikan Kalamullah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana hadits yang lalu dalam shahih al-Bukhari. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah ditanya tentang tata cara turun wahyu, maka beliau menjawab:
”Dan terkadang Malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu ia berbicara kepadaku dan kemudian aku memahami apa yang dia katakan.”
Karena sesungguhnya Malaikat telah menjelma menjadi sosok lelaki dalam bentuk yang beraneka macam, dan tidak ada yang terluput darinya apa yang dibawa oleh Malaikat pembawa wahyu tersebut. Sebagaimana dalam kisah datangnya Malaikat dalam rupa Dihyah al-Kalbi, atau seorang Arab badui dan dalam bentuk yang lainnya. Dan semuanya tercatat dalam kitab Shahih.
Ketiga: Dan terkadang wahyu turun dengan cara Allah berbicara langsung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur), sebagaimana dalam hadits Isra’ Mi’raj yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukahari, dan di dalamnya disebutkan:
”Ketika aku lewat, ada penyeru yang berkata:”Aku telah berlakukan kewajibanku dan telah aku ringankan atas hamba-hambaku.”
Hal yang paling penting dalam pembahasan ini yang wajib diyakini dan diimani adalah bahwa Jibril 'alaihissalam turun membawa al-Qur’an dengan lafazh al-Qur’an dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Naas, dan bahwa lafazh-lafazh tersebut adalah Kalamullah (firman Allah), tidak ada campurtangan Jibril 'alaihissalam, dan juga tidak ada campurtangan Nabishallallahu 'alaihi wasallam dalam pembuatan dan penyusunannya, akan tetapi semuanya adalah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
” (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Mahatahu.” (QS. Hud: 1)
Maka semua lafazh al-Qur’an baik yang tertulis maupun yang dibaca semuanya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan peran Jibril 'alaihissalam tidak lain hanyalah sebagai pembawa wahyu saja kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidak pula peran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melainkan hanyalah memahami, menghafal dan menyampaikannya saja. Kemudian menjelaskan dan mengamalkannya. AllahSubhanahu wa Ta'ala berfirman:
” Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu’araa’: 192-194)
Maka yang berbicara adalah Allah, yang membawa (menyampaikan) adalah Jibril'alaihissalam dan yang menerima adalah Rasul Rabb semesta alam.
Tahapan Turunnya Al-Qur'an
Adapun tahap tahap turunya al-qur’an ada 3 tahap, yaitu :
1. Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ), Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi.
Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.
2. Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani), Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu), , Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut:
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
Menurut As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan, bahwa al-Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap:
Dari Lawh al-Mahfûdl ke Bayt al-‘Izzah (langit dunia yang paling rendah) secara keseluruhan dan turun sekaligus, yang terjadi pada malam Qadar (Laylah al-Qadar).
Dari Bayt al-‘Izzah ke dalam hati Rasulullah saw. Secara bertahap selama 23 tahun kenabian Muhammad saw. Adapun yang pertama kali diturunkan terjadi di bulan Ramadhan, melalui malaikat Jibril as
Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah
Makkiyah Ayat-ayatnya pendek-pendek, Diawali dengan yaa ayyuhan-nâs (wahai manusia),
Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi),
Madaniyyah Ayat-ayatnya panjang-panjang, Diawali dengan yaa ayyuhal-ladzîna âmanû (wahai orang-orang yang beriman). Kebanyakan tentang hukum-hukum agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (Muhajirin) dan kaum penolong (Anshar), kaum munafik, serta ahli kitab.
Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-‘Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun.
Dan ayat pertama yang turun menurut kebanyakan ulama ialah surat Al-Alaq (dan ini adalah pendapat yang kuat), atau biasa kita sebut dengan surat Iqra’ ayat 1-5. Ini berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha Istri Rasul SAW.
Adapun “kapan” surat Iqra’ itu diturunkan, ulama dan ahli sejarah berbeda pendapat tentang ini. Ada yang mengatakan bulan Rabiul Awwal, ada juga yang mengatakan bulan Ramadhan, dan ada juga yang mengatakan bulan Rajab.
Namun pendapat yang kuat ialah bulan Ramadhan sesuai firman Allah SWT: “bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah 185).
Dan kebanyakan ulama juga sepakat bahwa surat Iqra’ adalah wahyu yang pertama turun, juga sebagai pengangkatan Nabi Muhammad SAW menjadi Nabi. Dan ini terjadi pada hari senin, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang puasa hari senin, kemudian beliau menjawab: “itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan kepadaku wahyu.”
Kemudian Ulama kembali berbeda pendapat tentang tanggal turunnya pada bulan Ramadhan. Ada yang mengatakan malam 7 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 17 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 24, juga ada yang mengatakan tanggal 21 Ramadhan.
Sheikh Shofiyur-Rohman Al-Mubarokfuri mengatakan dalam kitab Sirah Nabawi karangannya Rahiqul-Makhtum: “setelah melakukan penelitian yang cukup dalam, mungkin dapat disimpulkan bahwa hari itu ialah hari senin tanggal 21 bulan Ramadhan malam. Yang bertepatan tanggal 10 Agustus 660 M, dan ketika itu umur Rasul SAW tepat 40 Tahun 6 bulan 12 hari hitungan bulan, tepat 39 tahun 3 bulan 12 hari hitungan matahari. Hari senin pada bulan Ramadhan tahun itu ialah antar 7, 14, 21, 24, 28, dan dari beberapa riwayat yang shahih bahwa malam lailatul qadar itu tidak terjadi kecuali di malam-malam ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan. Jika kita bandingkan firman Allah surat Al-Qodr ayat pertama dengan hadits Abu Qotadah yang menjelaskan bahwa wahyu diturunkan hari senin di atas, dan dengan hitungan tanggalan ilmiyah tentang hari senin pada bulan Ramadhan tahun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu pertama turun kepada Rasul SAW itu tanggal 21 Ramadhan malam”.
Dan yang menjadi dasar kebanyakan kaum muslim dalam memperingati nuzulul Qur’an pada malam tanggal 17 Ramadhan, mungkin apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir (W. 774 H) dalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah, Al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Baqir yang mengatakan bahwa “wahyu pertama kali turun pada Rasul SAW pada hari senin 17 Ramadhan dan dikatakan juga 24 Ramadhan.
Kita telah mengetahui Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Rasulullah menerima Al-Qur’an melalui malaikat Jibril kemudian beliau, membacakan serta mendiktekannya kepada para sahabat yang mendengarkannya.
Pada periode pertama sejarah pembukuan Al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur’an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Qiyamah 17 : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai,) membacanya.”
Ayat di atas memberikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini. Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung dicatat pada plepah kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan. Kelompok pencatat Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi :
“Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab,” (H.R Bukhari).
Tugas mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan tetapi belum disusun dalam satu mushaf.
Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan agar naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang penghafal Al-Qur’an, dan setelah musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu dihancurkan. Gagasan mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar ibnu Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari penghafalnya yang telah gugur dalam pertempuran.
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur’an baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur’an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Pada masa Umar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan Al-Qur’an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar menitikberatkan kegiatannya pada penyiaran agama Islam.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Qur’an Salah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang dari pertempuran. melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan) Al-Qur’an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebelum terjadi pertengkaran tentang kitab suci Al Qur’an di antara mereka seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak). Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur’an tersebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.
Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu), , Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut:
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
Menurut As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan, bahwa al-Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap:
Dari Lawh al-Mahfûdl ke Bayt al-‘Izzah (langit dunia yang paling rendah) secara keseluruhan dan turun sekaligus, yang terjadi pada malam Qadar (Laylah al-Qadar).
Dari Bayt al-‘Izzah ke dalam hati Rasulullah saw. Secara bertahap selama 23 tahun kenabian Muhammad saw. Adapun yang pertama kali diturunkan terjadi di bulan Ramadhan, melalui malaikat Jibril as
Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah
Makkiyah Ayat-ayatnya pendek-pendek, Diawali dengan yaa ayyuhan-nâs (wahai manusia),
Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi),
Madaniyyah Ayat-ayatnya panjang-panjang, Diawali dengan yaa ayyuhal-ladzîna âmanû (wahai orang-orang yang beriman). Kebanyakan tentang hukum-hukum agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (Muhajirin) dan kaum penolong (Anshar), kaum munafik, serta ahli kitab.
Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-‘Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610). Kala itu usia Nabi SAW 40 tahun.
Kapan Ayat Pertama Turun?
Dan ayat pertama yang turun menurut kebanyakan ulama ialah surat Al-Alaq (dan ini adalah pendapat yang kuat), atau biasa kita sebut dengan surat Iqra’ ayat 1-5. Ini berdasarkan riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha Istri Rasul SAW.
Adapun “kapan” surat Iqra’ itu diturunkan, ulama dan ahli sejarah berbeda pendapat tentang ini. Ada yang mengatakan bulan Rabiul Awwal, ada juga yang mengatakan bulan Ramadhan, dan ada juga yang mengatakan bulan Rajab.
Namun pendapat yang kuat ialah bulan Ramadhan sesuai firman Allah SWT: “bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah 185).
Dan kebanyakan ulama juga sepakat bahwa surat Iqra’ adalah wahyu yang pertama turun, juga sebagai pengangkatan Nabi Muhammad SAW menjadi Nabi. Dan ini terjadi pada hari senin, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang puasa hari senin, kemudian beliau menjawab: “itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan kepadaku wahyu.”
Kemudian Ulama kembali berbeda pendapat tentang tanggal turunnya pada bulan Ramadhan. Ada yang mengatakan malam 7 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 17 Ramadhan, ada juga yang mengatakan malam 24, juga ada yang mengatakan tanggal 21 Ramadhan.
Sheikh Shofiyur-Rohman Al-Mubarokfuri mengatakan dalam kitab Sirah Nabawi karangannya Rahiqul-Makhtum: “setelah melakukan penelitian yang cukup dalam, mungkin dapat disimpulkan bahwa hari itu ialah hari senin tanggal 21 bulan Ramadhan malam. Yang bertepatan tanggal 10 Agustus 660 M, dan ketika itu umur Rasul SAW tepat 40 Tahun 6 bulan 12 hari hitungan bulan, tepat 39 tahun 3 bulan 12 hari hitungan matahari. Hari senin pada bulan Ramadhan tahun itu ialah antar 7, 14, 21, 24, 28, dan dari beberapa riwayat yang shahih bahwa malam lailatul qadar itu tidak terjadi kecuali di malam-malam ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan. Jika kita bandingkan firman Allah surat Al-Qodr ayat pertama dengan hadits Abu Qotadah yang menjelaskan bahwa wahyu diturunkan hari senin di atas, dan dengan hitungan tanggalan ilmiyah tentang hari senin pada bulan Ramadhan tahun tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wahyu pertama turun kepada Rasul SAW itu tanggal 21 Ramadhan malam”.
Kenapa Malam 17 Ramadhan?
Dan yang menjadi dasar kebanyakan kaum muslim dalam memperingati nuzulul Qur’an pada malam tanggal 17 Ramadhan, mungkin apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir (W. 774 H) dalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah, Al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Ja’far Al-Baqir yang mengatakan bahwa “wahyu pertama kali turun pada Rasul SAW pada hari senin 17 Ramadhan dan dikatakan juga 24 Ramadhan.
Pembukuan Al Qur’an
Kita telah mengetahui Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur. Rasulullah menerima Al-Qur’an melalui malaikat Jibril kemudian beliau, membacakan serta mendiktekannya kepada para sahabat yang mendengarkannya.
Pada periode pertama sejarah pembukuan Al-Qur’an, dapat dikatakan bahwa setiap ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur’an terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Qiyamah 17 : “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai,) membacanya.”
Ayat di atas memberikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin kemurniannya dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat turunnya sampai sekarang ini. Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung dicatat pada plepah kurma, kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan. Kelompok pencatat Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi :
“Ambillah (pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah ibnu Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab,” (H.R Bukhari).
Tugas mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah SAW. Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara dengan baik, akan tetapi belum disusun dalam satu mushaf.
Pembukuan Al-Qur’an masa Khulafaur Rasyidin
Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan agar naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun kembali. Pekerjaan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang mengakibatkan meninggalnya 70 orang penghafal Al-Qur’an, dan setelah musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu dihancurkan. Gagasan mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar ibnu Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari penghafalnya yang telah gugur dalam pertempuran.
Demikianlah khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur’an baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur’an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Pada masa Umar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan Al-Qur’an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar menitikberatkan kegiatannya pada penyiaran agama Islam.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang berhubungan dengan kitab suci Al-Qur’an Salah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang dari pertempuran. melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat tentang qiraat (bacaan) Al-Qur’an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap kabilah mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan kabilah yang lain.
Hudzaifah mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebelum terjadi pertengkaran tentang kitab suci Al Qur’an di antara mereka seperti yang terjadi pada orana Yahudi dan Nasrani tentang Taurat dan Injil. Usul itu segera diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak). Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur’an tersebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.
Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’an
Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
Kenapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan Dalam Satu Mushhaf (Pada Masa Nabi)
Pertama: Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.
Kedua: Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu buku.
Ketiga: Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat: Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat. Dengan demikian masanya sangat relatip singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tsb belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.
Kenapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan Dalam Satu Mushhaf (Pada Masa Nabi)
Pertama: Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.
Kedua: Sebagian ayat ada yang dimansukh. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu buku.
Ketiga: Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat: Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat. Dengan demikian masanya sangat relatip singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
Kelima: Tidak ada motifasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca qur’an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada; banyaknya yang gugur, sehingga khawatir kalau Al-Qur’an akan lenyap.
Kesimpulan: Kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushhaf, sedangkan situasi sebagaimana yang tersebut di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian selaras dengan terjadinya naskh (ralat) atau munculnya sebab disamping perlengkapan menulis tidak mudah didapat. Kondisi tidak akan membantu untuk melepaskan mushhaf yang lebih dahulu dan harus berpegang pada mushhaf yang baru karena tidak mungkin setiap bulan ada satu mushhaf yang mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun setelah masalahnya stabil yaitu dengan berakhirnya penurunan, wafatnya Rasul, tidak lagi diralat, dan diketahuinya susunan, maka mungkinlah dibukukan menjadi satu mushhaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. khalifah yang bijaksana, semoga Allah membalas jasanya atas perbuatan beliau dalam mengumpulkan Al-Qur’an beserta orang-orang Islam yang mengikuti jejaknya dengan balasan yang berlipat anda.
Referensi
http://ferrybatigol.blogspot.com/2015/06/sejarah-turun-dan-pembukuan-al-quran.html
Kesimpulan: Kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushhaf, sedangkan situasi sebagaimana yang tersebut di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian selaras dengan terjadinya naskh (ralat) atau munculnya sebab disamping perlengkapan menulis tidak mudah didapat. Kondisi tidak akan membantu untuk melepaskan mushhaf yang lebih dahulu dan harus berpegang pada mushhaf yang baru karena tidak mungkin setiap bulan ada satu mushhaf yang mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun setelah masalahnya stabil yaitu dengan berakhirnya penurunan, wafatnya Rasul, tidak lagi diralat, dan diketahuinya susunan, maka mungkinlah dibukukan menjadi satu mushhaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. khalifah yang bijaksana, semoga Allah membalas jasanya atas perbuatan beliau dalam mengumpulkan Al-Qur’an beserta orang-orang Islam yang mengikuti jejaknya dengan balasan yang berlipat anda.
Referensi
http://ferrybatigol.blogspot.com/2015/06/sejarah-turun-dan-pembukuan-al-quran.html
0 Comments
Post a Comment