Pada dekade 1900-an banyak lahir organisasi ke-Islaman yang bercorak modernis. Diantaranya Al-Irsyad, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan lain-lain. Dari semua organisasi keagamaan yang disebut tadi seluruhnya terpengaruh oleh pemikiran pembaharuan di Dunia Islam (Timur Tengah). Misalnya pemikiran Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Abdul Wahab, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Dalam konteks pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Persatuan Islam di Bandung, tidak akan lepas dari para tokoh-tokohnya yaitu M.Natsir dan A.Hassan. kedua tokoh itulah, yang nantinya merintis Pesantren Persatuan Islam pada tahun 1936 sebelumnya sudah terselenggara Pendis (Pendidikan Islam) hasil prakarsa M.Natsir.
Tentunya diselenggarakan Pesantren Persatuan Islam ini, sebagai pencetak kader-kader Persatuan Islam di masa yang akan datang. Dari misi inilah, Persatuan Islam merancang kurikulum dan bahan pengajaran tersendiri berbeda dengan kaum tradisionalis dalam menyesuaikan jiwa jamannya ketika itu. Di samping itu, Hubungan kiai dan santrinya yang berbeda dengan pesantren-pesantren tradisional. Seluruh keunikan itu terbingkai dalam masa penjajahan Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang.
A. Sejarah dan Pengertian Pesantren
Ditinjau dari segi sejarah, belum ditemukan data sejarah, kapan pertama kali berdirinya pesantren, ada pendapat mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pesantren.
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa kuno yang praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar orang yang mengajar cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal disatu komplek dan di sini terjadilah proses belajar mengajar.
Dengan menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantern, sebetulnya tidak terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantern itu telah tumbuh sejak awal perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa. Sebab model pendidikan pesantern itu telah ada sebelum Islam masuk yaitu pawiyatan. Dengan masuknya Islam, maka diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan Islam.
Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Setelah anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren pada tahap-tahap awal itu kepada empat tingkatan, yaitu : tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassus.
Sistem pendidikan pesantren baik metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional. Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda, non-klasikal, metodenya sorogan, wetonan hafalan. Menurut Zamaksyari Dhofier ada lima unsur pokok pesantren: kiai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik.
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama, sebagai lembaga pendidikan; dan kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun kini telah banyak perubahan yang terjadi, namun inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren. Sampai kini, fungsi asli tersebut tetap dipelihara oleh pesantren dari pengaruh apa yang disebut modernisasi. Ini mungkin dilakukannya karena pesantren mempunyai “wilayah sosial” yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi.
Di zaman kolonial dahulu pondok pesantren memegang peranan aktif dalam menentang penetrasi kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri dari pengaruh luar. Peran ini tetap dilanjutkannya, juga beberapa waktu setelah Indonesia merdeka. Oleh karena sifatnya yang tertutup di masa yang lampau itu dahulu, pesantren sebagai lembaga pendidikan, kurang dikenal secara nasional. Namun demikian, ketika membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, pemimpin- pemimpin Indonesia, antara bulan Oktober 1935 sampai dengan bulan April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita, yang kemudian dikumpulkan oleh Akhdiyat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1948).
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama, sebagai lembaga pendidikan; dan kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun kini telah banyak perubahan yang terjadi, namun inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren. Sampai kini, fungsi asli tersebut tetap dipelihara oleh pesantren dari pengaruh apa yang disebut modernisasi. Ini mungkin dilakukannya karena pesantren mempunyai “wilayah sosial” yang mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi.
Di zaman kolonial dahulu pondok pesantren memegang peranan aktif dalam menentang penetrasi kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri dari pengaruh luar. Peran ini tetap dilanjutkannya, juga beberapa waktu setelah Indonesia merdeka. Oleh karena sifatnya yang tertutup di masa yang lampau itu dahulu, pesantren sebagai lembaga pendidikan, kurang dikenal secara nasional. Namun demikian, ketika membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, pemimpin- pemimpin Indonesia, antara bulan Oktober 1935 sampai dengan bulan April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita, yang kemudian dikumpulkan oleh Akhdiyat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan (1948).
Yang menarik dalam Polemik Kebudayaan itu adalah pikiran - pikiran yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Sutomo, pemimpin golongan nasionalis, bukan pemimpin Islam, yang menginginkan agar pesantren dijadikan sebagai model pendidikan nasional. Menurut pendapat mereka, pendidikan yang diselenggerakan di pesantren, lebih sesuai bagi bangsa Indonesia. Pesantren adalah warisan budaya Indonesia, karena itu seyogyanya pendidikan pesantren dijadikan model dalam menyusun perguruan nasional.
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika yang menjadikan pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman, terutama setelah Indonesia merdeka, telah timbul perubahan-perubahan dalam dunia pesantren. Telah banyak di antara pesantren yang telah menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman tersebut, kendatipun di sana sini masih ditemukan juga pesantren yang masih bersifat konservatif.
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang hidup di tengah-tengah arus modernisasi, maka agar eksistensinya tetap bisa dipertahankan maka ada baiknya dikutip pendapat Nurcholish Madjid : pesantren diwajibkan oleh tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman untuk membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang dapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dibagian ini pun sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang harus tersedia kemungkinan mengadakan pilihan-pilihan jurusan bagi anak didik sesuai dengan potensi buat mereka. Jadi tujuan pendidikan pesantren kiainya berada disekitar terbentuknya manusia yang memilki kesadaran setingi-tingginya akan bimbingan agama islam.
Menurut Manfred Ziemek menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pesantrian berarti “tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.
B. Sejarah Berdirinya Persatuan Islam
Secara historis-kronologis, Persatuan Islam ini lahir dari kelompok tadarusan atau diskusi (kajian keagamaan Islam) yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan H. Muhammad Yunus berpusat di kota Bandung. H. Zamzam ini adalah seorang alumnus Dar al-Ulum Mekkah yang sejak tahun 1910-1912 menjadi guru agama di sekolah agama Dar al-Muta’alimin. Sedangkan, H. Muhammad Yunus adalah seorang saudagar sukses, yang ketika mudanya memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga mampu autodidak melalui kitab-kitab kuning, mereka berdua sama-sama kelahiran Palembang, bahkan mereka itu bersaudara. Dalam silsilahnya, mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang sekitar abad ke-18. Ikatan kekeluargaan mereka memang sangat erat, berkat hubungan perkawinan, perdagangan dan pertemuan kajian agama.
Tema diskusi biasanya mengenai beberapa masalah di sekitar gerakan keagamaan yang tengah berkembang saat itu, atau masalah agama yang dimuat dalam majalah al-Munir terbitan Padang dan majalah al-Manar terbitan Mesir, yang telah lama menjadi bacaan dan perhatian mereka. Suatu saat diskusi mereka berlangsung seusai acara kenduri di rumah salah seorang anggota keluarga yang berasal dari Sumatera tetapi telah lama tinggal di Bandung. Materi diskusi itu adalah mengenai perselisihan paham keagamaan antara al-Irsyad dan Jami’at Khair. Sejak saat itu, pertemuan-pertemuan berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam studi club untuk kajian keislaman. Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jamaah shalat Jum’ah, sehingga frekuensi bertambah dan pembahasannya semakin mendalam. Jumlah mereka tidak banyak sekitar 12 orang. Diskusi tersebut semakin intensif dan menjadi tidak terbatas dalam persoalan keagamaan saja terutama dikotomi tradisional-modernis, tetapi juga menyentuh pada masalah-masalah komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-usaha orang Islam yang berupaya untuk menghadapi pengaruh komunisme tersebut.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok diskusi ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam.[15] Adapun, segolongan kelompok yang mengajukan nama yaitu Pemufakatan Islam. Organisasi yang didirikan di Bandung ini untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki perhatian pada masalah-masalah agama. Kegiatan intinya adalah diskusi. Sampai awal tahun 1926, Persatuan Islam masih belum menampakkan sebagai organisasi pembaharu dalam Islam, karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan kaum tua.
Setelah A.Hassan bergabung dengan Persatuan Islam, pemikirannya yang radikal sangat mewarnai organisasi ini. Alam pemikiran Persatuan Islam yang khas dan keras menemukan bentuk ketika A.Hassan bergabung. A.Hassan melontarkan pemikirannya di dalam organisasi ini berakibat perbedaan sikap antara kaum muda dan kaum tua. Sehingga pada perkembangannya, beberapa anggotanya dari golongan kaum tua memisahkan diri dan membentuk kelompok tandingan yang diberi nama “Permufakatan Islam”. Sedangkan, golongan kaum muda tetap di Persatuan Islam bahkan menyatakan diri sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1926.
Dengan demikian, periodesasi Persatuan Islam sebagai organisasi gerakan pembaharu Islam di Indonesia perlu untuk disusun. Periode pertama, pra-pembentukan Persatuan Islam (1920-an) ditandai dengan terbentuknya kelompok tadarusan atau diskusi tentang kajian keislaman yang berkembang di dunia Islam sampai fokus kajiannya Islam di Indonesia. Periode kedua, pembentukan Persatuan Islam (1923-1926), sebagai gerakan penampung aspirasi kaum muda dan kaum tua tentang kajian keislaman –yang belum resmi menyatakan diri sebagai gerakan pembaharu. Periode ketiga, Persatuan Islam (1926-sekarang) sebagai gerakan murni pembaharu di Indonesia, ditandai oleh bergabungnya A.Hassan dan memisahkan diri kaum tua dari Persatuan Islam kemudian membuat organisasi tandingan yakni “Pemufakatan Islam”. Periodisasi ini menjadi hipotesa awal dari kajian organisasi Persatuan Islam.
C. Sejarah Perkembangan Pesantren Persatuan Islam Pada Masa Penjajahan (1936-1944)
Tepatnya tanggal 1 Dzulhijjah 1354 (Maret 1936) atas inisiatif A.Hassan di Bandung didirikan sebuah lembaga pendidikan yang menekankan pada pengkajian agama yang dinamai “Pesantren Persatuan Islam”. Keputusan untuk mendirikan pesantren ini diambil setelah diadakan pertemuan di Mesjid Persatuan Islam di Jl. Pangeran Soemedang, Bandung pada bulan itu juga. Tujuan utamanya memang untuk mencetak kader-kader mubaligh yang nantinya diharapkan dapat menyebarkan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh Persis. Melihat namanya, rupanya Pesantren Persatuan Islam merupakan lembaga pendidikan yang secara resmi dimiliki oleh Persatuan Islam sebagai organisasi, berlainan dengan Pendidikan Islam yang lebih terlihat sebagai upaya individu Natsir dan beberapa orang aktivis Persis. Pesantren Persatuan ini pun tidak didirikan oleh kiayi-nya seperti kebanyakan kasus pendirian pesantren tradisional. Pesantren dan segenap komponennya murni miliki jami’yyah.
Saat pertama kali dibuka, terdapat 40 orang santri yang belajar di Pesantren Persatuan Islam. Mereka berasal dari berbagai tempat di kepulauan Indonesia. bahkan ada murid yang berasal dari Thailand. Mereka umumnya para pemuda yang memiliki keinginan besar untuk belajar agama. Oleh sebab itu, pesantren ini dinamai “Pesantren Besar” yang dikepalai langsung oleh A. Hassan dibantu oleh beberapa orang pengajar seperti M. Natsir dan R. Abdul Qadir. Untuk anak-anak dibuka “Pesantren Kecil” pada sore hari dikepalai oleh Hasan Hamid yang sebelumnya menjadi guru di sekolah Al-Irsyad di Jakarta. Selain Hasan Hamid, turut pula menjadi pengajar di “Pesantren Kecil” E. Abdurrahman yang kemudian menjadi tokoh sentral Persatuan Islam pada tahun-tahun 60-80an.
Pada pendaftaran pertama, tercatat 100 anak yang belajar Pesantren Kecil. Pesantren Besar dan Pesantren Kecil untuk pertama kalinya menempati gedung Persatuan Islam di Jalan Pangeran Soemedang (sekarang Jalan Otista). Lama pengajaran untuk Pesantren Besar direncanakan selama empat tahun. Belum ada penjenjangan kelas pada saat pertama kali diselenggarakan hanya saja sistem pengajaran sudah dilaksanakan secara klasikal (madrasi). Penentuan kelas tidak didasarkan lagi pada penguasaan kitab tertentu hingga tidak ada penentuan lama belajar seperti di pesantren-pesantren tradisional pada umumnya, tetapi berdasarkan kemampuan santri menyelesaikan satuan-satuan pelajaran yang disusun sedemikian rupa untuk setiap tahun ajaran. Dengan cara ini setiap santri dimungkinkan dapat menyelesaikan studi sesuai dengan lamanya belajar. Artinya, setiap tahun santri dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi. Model kelas seperti ini hampir mirip dengan sistem persekolahan Belanda.
Seiring dengan sistem kelas di atas, model belajar sorogan dan bandongan (wetonan) pun sudah mulai ditinggalkan sejak awal berdirinya pesantren ini. Hal ini merupakan konsekwensi dari bahan pelajaran yang diberikan kepada santri. Santri tidak hanya mengkaji buku-buku bahan ajar berbahasa Arab, tapi juga buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Penekanan bukan lagi pada penguasaan verbal pada materi pelajaran, tapi pemahaman pada substansi pengajaran. Oleh sebab itu, metode diskusi sudah mulai dikembangkan, bahkan menjadi sesuatu yang khas mengingatkan karakter Persatuan Islam yang keras dan senang berdiskusi dengan siapa pun.
Sejak pertama didirikan Pesantren Persatuan Islam itu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tapi juga mengajarkan pengetahun umum kepada para santrinya. Porsinya memang lebih sedikit dibandingkan pengajaran ilmu-ilmu agama, sebab tujuannya hanya sekedar memberikan pengetahuan saja, tidak sampai pada penguasaan dan pendalaman. Tujuan utamanya tetap untuk mencetak ahli-ahli agama yang akan menjadi muballigh. Sebagai contoh, saat itu selain A.Hassan yang ahli agama, turut pula mengajar R.Abdul Kadir (tamatan Sekolah Tehnik Bandung) dan M.Natsir, R.Abdul Kadir mengajar ilmu teknik sedangkan M. Natsir mengajar ilmu pendidikan.
Belum lagi genap empat tahun pelajaran seperti yang direncanakan, timbul peristiwa yang menjadi titik awal munculnya babak baru dalam sejarah Pesantren Persatuan Islam, khusunya dan Persatuan Islam pada umumnya. A.Hassan diminta oleh Bibi Wantee untuk pindah dari Bandung, karena melihat penghidupannya di Bandung kurang menggembirakan dari sudut pandang materi; semestara ia dapat meneruskan perjuangannya di mana saja ia berada. Semula A.Hassan akan pindah ke Surabaya, namun mendapatkan tanah di Bangil.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke Bangil dan di atas tanah yang dimilikinya itu ia membuka pesantren yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Persatuan Islam Bangil pada bulan Maret 1940. Kepindahan A. Hassan diikuti oleh 25 dari 40 orang muridnya yang semula belajar di Bandung. Sementara sisanya tetap di Bandung dan belajar di bawah bimbingan E. Abdurrahman. Ke-25 orang muridnya itu berasal dari luar Bangil. Selain mereka, ikut juga bersama A. Hassan, Hasan Hamid, dan Muhammad yang semula mengelola Pesantren Kecil bersama E. Abdurrahman. kepindahan ini sama artinya dengan kepindahan Pesantren Besar ke Bangil, sebab di Bandung, hanya tersisa Pesantren Kecil yang kini dikelola oleh E. Abdurrahman dan O. Qamaruddin pada sore hari.
Setelah pesantren dibuka di Bangil, murid-muridnya bertambah dengan beberapa orang yang datang dari berbagai pulau di Indonesia. Untuk menampung murid-murid perempuan, pada bulan Februari 1941 dibuka pesantren khusus putri. Murid pertama pesantren putri ini berjumlah 12 orang yang semuanya berasal dari luar Bangil. Untuk menampung murid-murid yang hampir semuanya dari luar Bangil, maka disediakan asrama oleh pihak pesantren.
Secara umum, materi pelajaran dan metode pengajaran tidak jauh berbeda dengan Pesantren Persatuan Islam di Bandung. Perbedaan yang tidak terlalu mencolok terjadi pada perkembangan selanjutnya saat Persantren Persatuan Islam Bangil dibuka kembali tahun 1951 setelah ditutup oleh penguasa Jepang pada awal tahun 1942. Perbedaan terjadi lebih dikarenakan adanya perubahan pola pesantren di Bandung dari konsep awal yang diletakkan oleh A.Hassan. Akan tetapi, ini hanya terjadi pada jenjang pendidikan, bukan pada substansi materi pengajaran.
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan bangsa Indonesia, umumnya, dan umat Islam, khususnya. Perubahan itu bermula dari usaha Japanisasi Indonesia oleh penguasa militer Jepang di Indonesia seperti yang dilakukannya dengan sukses terhadap Taiwan, Korea, dan Manchuria.
Dalam bidang pendidikan, kebijakan Jepang menganggap bahwa pendidikan merupakan instrumen paling penting untuk melakukan penetrasi ide dan kebudayaan Jepang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. kebijakan pertama diambil dalam bidang pendidikan adalah menutup semua sekolah yang ada di Indonesia untuk membersihkan pengaruh Barat dan Arab, sambil mempersiapkan program Japanisasi di sektor pendidikan. Kebijakan tersebut dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942. Tanggal 29 April, hari kelahiran Kekaisaran Jepang, Jepang kembali mengizinkan dibukanya sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Sementara sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar tidak diperkenankan untuk dibuka kembali. Di sekolah-sekolah agama atau pesantren sekalipun, bahasa Arab tidak boleh diajarkan.
Sekolah-sekolah Persatuan Islam juga mengalami masa-masa itu. Pendidikan Islam (Pendis) ditutup oleh Jepang persis pada tanggal diundangkannya kebijakan penutupan semua sekolah oleh Jepang. Ketika sekolah-sekolah swasta lain diizinkan untuk dibuka kembali dengan mengikuti pola pendidikan yang telah dipersiapkan Jepang untuk mewujudkan ambisinya. Pendidikan Islam tidak dibuka kembali. Kemungkinan besar karena muatan Islam yang begitu kental, penguasa Jepang tidak memperkenankan Pendis dibuka kembali. Natsir sendiri yang memimpin Pendis kemudian terjun ke dalam dunia politik.
Tidak berbeda dengan Pendis, Pesantren Persatuan Islam (saat di Bandung bernama Pesantren Besar), baik putra maupun putri, yang baru saja dibawa pindah oleh A.Hassan dari Bandung ke Bangil juga di tutup Jepang. Selama pendudukan Jepang tidak ada aktivitas berarti yang dilakukan oleh Pesantren Persatuan Islam Bangil sampai sekitar tahun 50-an, selain menyelenggarakan “Pesantren Kecil” seperti di Bandung pada masa A. Hassan memanfaatkan para pelajar pesantren dari luar Pulau Jawa yang tidak dapat pulang. Pesantren kecil ini sifatnya tidak lebih dari sekolah agama (diniyyah) dan hanya bertahan sekitar tiga tahun.
Pada saat semua sekolah Persis ditutup, Pesantren Kecil di Bandung yang dipimpin oleh E. Abdurrahman dapat tetap bertahan, bahkan berkembang lebih baik. Sebelum kedatangan Jepang, Pesantren Kecil dibuka sore hari khusus untuk anak-anak. Ketika Jepang datang dan menutup semua sekolah Persis, Persantren Kecil mendapat tambahan santri cukup banyak, yaitu sisa Pesantren Besar yang pindah ke Bangil awal tahun 1940-an dan murid-murid sekolah Pendidikan Islam yang ditutup Jepang. Mereka tidak mau berhenti belajar sehingga kemudian ikut bergabung bersama Pesantren Kecil. Pesantren Kecil kemudian membuka kelas untuk menampung bekas murid-murid Pesantren Besar dan Pendis. Oleh karena statusnya kini bukan hanya sekedar sekolah agama pada sore hari sebagai sekolah tambahan, untuk kelas pagi Pesantren Persatuan Islam mempersiapkan kurikulum yang disiapkan untuk sebuah sekolah penuh. Hanya saja, kelas dibuka baru pada tingkat Ibtidaiyyah (dasar), mengingat secara umum pengawasan Jepang terhadap seolah agama tingkat dasar tidak terlalu ketat.
Tetap bertahannya Pesantren Kecil, mungkin juga ada kaitannya dengan M.Natsir yang saat itu menjadi Kepala Biro Pendidikan Kota Bandung dan kebijakan Jepang yang agak longgar terhadap pendidikan Islam (madrasah) di Bandung, dimana penguasa Jepang tidak mencampuri urusan madrasah. Mereka beranggapan bahwa itu urusan agama yang sensitif. Urusan itu diserahkan sepenuhnya kepada pihak Balai Kota Bandung. Kesempatan yang longgar inilah, barangkali, yang membuat E. Abdurrahman dan Rusyad Nurdin, yang mengelolanya, berani untuk terus mengembangkan pesantren. Bertahannya Pesantren Kecil merupakan prestasi tersendiri di tengah kevakuman aktivitas Persatuan Islam yang lainnya.
D. Tradisi dan Sistem Pesantren Persatuan Islam
Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam Klasik dan kyai adalah lima elemen dasar tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut berubah statusnya menjadi pesantren. Di seluruh Indonesia, orang biasanya membedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga kelompok, yaitu pesantren kecil, menengah, dan besar.
a) Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kiyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren di mana kiyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga keluar dan masuknya pada santri sesuai dan tamu-tamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat luas) dengan peraturan yang berlaku.
Dalam kasus pesantren Pesatuan Islam keberadaan asrama pada awal berdirinya di Bandung, tidak diketahui apakah saat itu sudah ada pondok atau belum. Akan tetapi, menururt keterangan H.M. Atang AS dan H. Abdul Qadir, saat mereka nyantri di Pesantren Persatuan Islam pada tahun 50-an, tidak ada asrama khusus. Mereka yang berasal dari luar Bandung menginap di rumah salah seorang ustadz. Terkadang yang rumahnya dekat pun ikut pula menginap. Di rumah ustadz tersebut, biasanya pada malam hari mereka dibimbing mengulangi pelajaran yang telah diberikan sebelumnya di kelas. Berdasarkan keterangan ini, dimungkinkan belum ada pondok yang secara khusus disediakan pesatren untuk keperluan menginap para santri. Di Bangil semua santri, baik yang jauh maupun yang dekat, harus tinggal di pondok. Tidak boleh ada santri yang tinggal di luar pondok atau di rumah sendiri, sekalipun jarak ke rumah hanya beberapa kilometer. Penerimaan jumlah santri, ditentukan oleh daya tampung pondok, bila daya tampung pondok sudah tidak mencukupi, pendaftaran santri baru akan ditutup.
b) Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat lima waktu, khutbah dan shalat Jum’at, dan pengajaran kitab Islam klasik.
Di pesantren Persatuan Islam, mesjid juga menjadi salah satu komponen penting yang selalu harus ada, saat pertama kali dibuka, Pesantren Persatuan Islam no. 1-2 Pajagalan Bandung memanfaatkan mesjid di Jalan Pangeran Soemedang (sekarang Jln Otista) yang sebelumnya tidak digunakan untuk penyiaran agama Islam oleh Persatuan Islam. Besar kemungkinan mesjid digunakan sebagai tempat belajar, mengingat gedung Persatuan Islam yang didirikan di samping mesjid juga digunakan sebagai pusat aktivitas Persatuan Islam yang lain. Akan tetapi, tidak juga menutup kemungkinan digunakannya gedung tersebut, terutama setelah dibuka Pesantren Kecil untuk anak-anak yang santrinya mencapai 100 orang. Keadaan ini berlangsung sampai pecah revolusi tahun 1945. Demikian pula halnya di Bangil, komplek pesantren putra dan putri yang terletak berjauhan (sekitar 2 km), masing-masing dilengkapi dengan sebuah cukup besar yang cukup untuk menampung seluruh santri yang didirikan sejak tahun 40-an, dan dibangun kembali tahun 1951 (putra) dan 1960 (putri).
c) Komposisi Pelajaran dan Pengajaran Islam Klasik
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama Islam, sedangkan kajian atau mata pelajaran yang diajarkannya ialah kitab – kitab dalam bahasa Arab yang biasa disebut dengan kitab kuning. Pelajaran yang dikaji di pesantren meliputi pengkajian Al-Quran dengan tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqih plus ushul fiqih, hadist dengan mushthalah hadist, bahasa Arab dengan gramatikalnya (nahwu, balaghah dsb), tarikh, mantiq, dan tasawuf.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam lembaga pendidikan pesantren ialah :
1) Metode Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu – waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqoh.
2) Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajian, ketaatan, dan kesidiplinan pribadi santri, kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
3) Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab kuning yang sedang dikaji.
Di pesantren Persatuan Islam sendiri, disiplin ilmu-ilmu keagamaan tradisional seperti fiqh, tafsir, hadist, akhlaq, tauhid, dan alat (gramatika bahasa Arab) masih tetap mendominasi. Oleh karena itu, Persatuan Islam tetap mempertahankan nama “pesantren” untuk menamai lembaga pendidikan keagamaannya. Hal ini sesuai dengan tujuannya sebagai pencetak kader-kader muballigh yang siap diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat menyebarkan ajaran agama Islam.
Namun demikian, terdapat kekhasan tersendiri dalam pengajaran keagamaan di pesantren Persatuan Islam. Pengajaran keagamaan di pesantren Persatuan Islam yang pada awalnya didirikan oleh A. Hassan untuk mencetak muballigh yang akan menyebarkan paham Persatuan Islam lebih banyak mencerminkan sikap dan pemikiran A. Hassan mengenai berbagai masalah keagamaan. Inti pemikirannya adalah “kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah”. Pemikiran ini banyak berseberangan dengan pemikiran-pemikiran ulama-ulama tradisional di Indonesia sehingga sering diidentifikasi sebagai sumber penyebab sering terjadinya friksi antara kelompok Islam tradisional dan Islam modernis.
Pandangan keagamaan semacam ini sangat besar pengaruhnya pada penyusunan kurikulum di pesantren Persatuan Islam, terutama pemilihan buku ajar (textbook/muqqarrar). Kitab – kitab klasik yang sudah sejak lama diajarkan di pesantren – pesantren tradisional, bahkan seolah-olah dianggap buku wajib yang tidak boleh berubah, banyak yang tidak lagi diajarkan di pesantren-pesantren Persatuan Islam. Dalam pengajaran fiqh, umpamanya, kitab-kitab yang banyak dipakai di pesatren-pesantren tradisional adalah kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i seperti Safinah ash-Shalah, Safinah an-Najah, Kifayatul Akhyar, Taqrib, Fathul Mu’in dan Fathul Wahhab, tidak diajarkan di pesantren-pesantren Persatuan Islam. Sebagai buku ajar fiqh, pesantren Persatuan Islam lebih memilih kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar al ‘Asqalani yang di pesantren-pesantren diajarkan sebagai salah satu buku ajar hadist. Sebagai pelengkap pengajaran fiqh diajarkan pula kitab Hady ar-Rasul, ringkasan salah satu kitab rujukan fiqh madzhab Hanbali, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil Imad karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Demikian pula halnya dalam pengajaran tafsir. Sebagai referensi dalam mengajar, para ustadz seringkali menggunakan kitab-kitab tafsir kontemporer yang ditulis ulama-ulama modernis seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Manaar, dan Tafsir Fi Dzilal al-Quran. Dalam bidang-bidang studi yang bersifat netral seperti ilmu alat (nahwu dan sharaf), terlihat adanya pengaruh modernisasi. Sistem yang digunakan tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang verbalistik dengan cara menghafal kaidah-kaidah dalam kitab-kitab dalam kitab-kitab tertentu seperti Al-Maqshud ‘Awamil, Al-Ajrumiyyah Kaylani, Mutammimah dan Alfiyah Ibnu Malik, tapi sudah mengadaptasi cara-cara baru yang lebih modern yang lebih menekankan pada peningkatan keterampilan berbahasa, baik pasif maupun aktif. Untuk ilmu nahwu, yang biasa dipakai adalah ah-Nahwu al-Wadhih, atau Safinatun Nuhah, kitab nahwu yang disusun oleh bahasa Mesir yang lebih banyak menekankan latihan daripada hafalan. Sementara untuk ilmu sharf digunakan Kitab at-Tashrief kitab ilmu sharf sebanyak 3 jilid yang disusun oleh A. Hassan dalam bahsa melayu dengan menggunakan huruf Arab Pegon. Sekalipun banyak kitab-kitab pesantren tradisional yang tidak lagi dipergunakan, namun beberapa kitab masih diajarkan seperti Minhatul Mughits, as-Sulam al-Munawwaraq, Tafsir Jalalain, Bulughul Maram, Subussalam, Shahih Bukhari, Khulashah Nurul Yaqin, dll.
Sekalipun tradisi pengajaran kitab masih dipertahankan, cara pengajaran wetonan dan sorogan tanpa pembatasan masa belajar hampir ditinggalkan sama sekali. Pesantren Persatuan Islam telah menerapkan sistem madrasi (klasikal) semenjak pertama kali didirikan pada tahun 1936 oleh A. Hassan di Bandung. Kurikulum disusun sedemikian rupa agar dapat diselesaikan oleh santri dalam jangka waktu tertentu yang direncanakan.
Materi pelajaran agama yang diberikan, baik ibtidayyah atau diniyyah ula, adalah materi pelajaran yang sangat dasar seperti belajar membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf Arab, dan menghafal surat-surat pendek. Belum ada kitab-kitab khusus yang diajarkan. Kelas ini, terutama diniyyah ula, sebenarnya mirip dengan pengajian anak-anak di mesjid-mesjid yang terdapat hampir di seluruh Indonesia. Untuk santri Ibtidaiyyah dan diniyyah, tidak disediakan pondok. Mereka diharuskan tinggal di rumah masing-masing. Oleh sebab itu, pesantren Persatuan Islam yang hanya memiliki jenjang pendidikan ibtidaiyyah atau diniyyah ula bisa dipastikan tidak memiliki pondok.
d) Kyai dan Santri
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan Madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Di samping itu, kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.
Dalam kasus pesantren Persatuan Islam, sejak pertama kali didirikan unsur kiai tidak begitu dominan. Kiai tidak lagi menjadi penguasa segalanya. Ketika pesantren pertama kali didirikan, baik di Bandung ataupun di Bangil, prakarsa tidak sepenuhnya berasal dari A. Hassan. Bangunan diberi oleh orang lain, bukan milik A. Hassan. Saat pembangunan pun dilibatkan banyak orang dalam sebuah kepanitiaan. Alhasil, dari sini saja sudah terlihat adanya pembagian kekuasaan di pesantren.
Selain itu, sebagai lembaga pendidikan milik jam’iyyah (organisasi) keberadaanya secara struktural berada di bawah koordinasi jam’iyyah. Kiai hanya berperan sebagai “manajer” dan pengasuh pesantren. Pesantrennya sendrir adalah wakaf atas nama Persatuan Islam. Nomor registrai pesantren, selain sebagai keperluan administrasi, juga menandakan bahwa pesantren yang bersangkutan telah resmi diwakafkan kepada jam’iyyah.
Santri datang ke pesantren memang tertarik oleh kemasyhuran dan kepandaian kiai, namun tidak lagi menganggap kiai sebagai “wakil Tuhan” di bumi sehingga apa saja kata kiai dianggap kebenaran yang tidak boleh dibantah; membatah kiai sama saja dengan menghilangkan keberkahan dalam belajar. Kiai hanya dianggap sebagai guru yang ilmunya perlu diserap dan dihormati sewajarnya sebagai guru. Sikap mengkultuskan kiai oleh para santri sama seklai tidak terjadi. Hubungan dijalin secara rasional, bukan mistikal.
Sedangkan, dalam soal santri di pesantren Persatuan Islam sendiri dapat dikategorikan menjadi dua jenis seperti umumnya di pesantren-pesantren lain, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang tinggal di pesantren selama 24 jam sedangkan santri kalong adalah santri yang datang ke pesantren hanya untuk mengaji, selepas itu ia pulang kembali ke rumah masing-masing. Di pesantren Persatuan Islam Bangil , semua santri diharuskan bermukim di pesantren selama 24 jam, sedangkan Persantren Persis yang lain lebih longgar. Di Pesantren Persatuan Islam Pajagalan Bandung, bahkan tidak disediakan asrama untuk santri putra.
Referensi
http://khazanahfikiranku.blogspot.com/2015/10/sejarah-pesantren-persatuan-islam.html
Sedangkan, dalam soal santri di pesantren Persatuan Islam sendiri dapat dikategorikan menjadi dua jenis seperti umumnya di pesantren-pesantren lain, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang tinggal di pesantren selama 24 jam sedangkan santri kalong adalah santri yang datang ke pesantren hanya untuk mengaji, selepas itu ia pulang kembali ke rumah masing-masing. Di pesantren Persatuan Islam Bangil , semua santri diharuskan bermukim di pesantren selama 24 jam, sedangkan Persantren Persis yang lain lebih longgar. Di Pesantren Persatuan Islam Pajagalan Bandung, bahkan tidak disediakan asrama untuk santri putra.
Referensi
http://khazanahfikiranku.blogspot.com/2015/10/sejarah-pesantren-persatuan-islam.html
0 Comments
Post a Comment