Sejarah Kota Ponorogo
Ponorogo berasal dari dua kata yaitu pramana dan raga. Pramana berarti daya kekuatan, rahasia hidup, sedangkan raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah / lawamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri di manapun dan kapanpun berada.
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa pono berarti melihat dan rogo berarti badan, raga, atau diri. Sehingga arti Ponorogo adalah "melihat diri sendiri" atau dalam kata lain disebut "mawas diri". nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo.
Menurut Babad Ponorogo, berdirinya Kabupaten Ponorogo dimulai setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker. Pada saat itu Wengker dipimpin oleh Suryo Ngalam yang dikenal sebagai Ki Ageng Kutu. Raden Katong lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman (yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil. Dengan persiapan dalam rangka merintis kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama. Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong dan juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History. Pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia yang bersemedi, pohon, burung garuda dan gajah. Candrasengkala memet ini menunjukkan angka tahun 1418 Saka atau tahun 1496 M. Sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu hari Ahad Pon, tanggal 1
Besar 1418 Saka bertepatan tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya melaluiseminar Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 1996 maka penetapan tanggal 11 Agustus sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo telah mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Ponorogo. Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah pimpinan Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada tahun 1837 Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang.
Sejarah Goldan dan Mirah
Di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur, terdapat sungai yang mengalir diantara 2 desa yakni desa Golan dan desa Mirah. Anehnya, selama bertahun-tahun air di sungai tersebut tidak mau mencampur layaknya air dan minyak, sampai sekarang. Begitupun halnya dengan masyarakat yang hidup di dua desa tersebut tidak akan bias bersatu, dan hidup berdampingan. Ada beberapa contoh yang sering terjadi ketika penduduk desa tersebut berada di satu tempat diantaranya:
Jika yang mengadakan pernikahan mengundang orang yang berasal dari 2 desa tersebut, maka lampu pernikahan akan mendadak mati. Dalam satu warung makan atau kopi terdapat 2 orang dari desa tersebut maka ibu yang memasak air tidak akan matang sampai kapanpun. Ada orang yang memiliki hajatan kunjungan wisata ke Bogor, tetapi sepanjang perjalanan ban bus yang ditumpangi bocor sampai 3 kali, orang-orang merasa heran. Padahal bus yang disewa sangat layak untuk dipakai. Setelah kunjungan selesai, baru diketahui jika rombongan yang ikut terdapat dua orang dari desa Golan dan Mirah.
Sampai saat ini kenyataan sungai yang mengalir di kedua desa tersebut tetap tidak mau mencampur dan masih ada. Kepercayaan terkait mitos dan pantangan untuk hidup berdampingan juga masih dipegang teguh oleh kedua masyarakat tersebut, memang kedua desa sudah tidak bermusuhan seperti dulu, akan tetapi pantangan dan kepercayaan tersebut masih melekat pada keduanya. Ekspeditor ketika berusaha menelusuri aliran sungai Golan dan Mirah kerap kali tersesat, konon memang ketika tujuannya adalah untuk mengambil gambar aliran sungai maka tidak akan pernah sampai tujuan utama. Akan tetapi ekspeditor berhasil sampai pada bendungan aliran sungai tersebut, sayangnya bendungan tersebut sudah tidak berfungsi lagi beberapa tahun lalu. Akan tetapi dari beberapa narasumber dari aparat birokrat, masyarakat biasa, dan anak-anak juga menginformasikan hal yang sama.
Peristiwa aneh tersebut merupakan imbas kutukan KI Ageng Honggolono, Palang (Kepala Desa) Golan setelah merasa dipecundangi Ki Ageng Mirah sehingga mengakibatkan acara perkawinan anaknya si Joko Lancur gagal mempersunting Putri Mirah Kencono Wungu. Ki Honggolo merupakan tokoh ksatria pemberani yang mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma, sangat arif dan bijaksana. Ki Honggolono memiliki seorang anak laki-laki bernama Joko Lancur Suatu hari Joko Lancur bertemu dengan Si Mirah Putri ayu yang merupakan putrid Ki Ageng Mirah (Ki Honggojoyo), sebagai adik sepupu Ki Honggolono. Keduanya pun saling curi pandang dan akhirnya jatuh cinta. Ketika Joko Lancur hendak meminang Mirah Putri Ayu, Ki Ageng Mirah mengajukan persyaratan yang sangat sulit untuk dipenuhi Ki Honggolono, akan tetapi Ki Ageng
Honggolono menyanggupi untuk memenuhi persyaratan tersebut dibantu oleh murid-muridnya, demi anaknya si Joko Lancur. Melihat apa yang dilakukan Ki ageng Honggolono, Ki Ageng Mirah menemukan strategi lagi untuk menggagalkan apa yang dilakukan Ki Honggolono untuk membuat bendungan dan padi dalam lumbung gagal dengan meminta bantuan sahabatnya yang berwujud genderuwo. Sehingga hajat Ki Honggolono terhambat, akan tetapi sebagai tokoh yang memiliki kesaktian, Ki Honggolono berhasil mengatasi hambatan-hambatan yang dibuat utusan Ki Ageng Mirah, sebenarnya Ki Honggolono tau semua dalang dibalik kejadian yang menghambatnya. Akan tetapi hal itu tidak akan mengurungkan niatnya untuk melamar si Mirah Putri Ayu.
Ketika Ki Honggolono dating ke rumah Ki Ageng Mirah dengan membawa persyaratan yang diajukan, Ki Ageng Mirah pun juga merupakan orang sakti yang ilmunya tidak dapat disepelekan, sontak padi yang dibawa pasukan Ki Honggolono dalam lumbung, berubah menjadi jerami dan kulit kedelai. Hal itu membuat Ki Honggolono marah besar dan merasa dipermainkan oleh Ki Ageng Mirah. Kedua pun terlibat peperangan yang tidak terhindarkan. Konon, karena cinta Si Joko Lancur dan Si Mirah Putri ayu sangat besar, akhirnya mereka pun ditemukan mengalir disungai. Ki Honggolono usai kejadian tersebut mengutuk 5 perkara yakni: “Wong Golan lan wong Mirah turun-temurun ora oleh jejodhohan” artinya orang Golan dan orang Mirah beserta keturunannya tidak boleh diperjodohkan atau menikah.
“Isen-isene ndunyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu, lan sapanunggalane ora biso digowo menyang Mirah” artinya segala sesuatu barang-barang dari Golan tidak bias dibawa ke Mirah.
“Barang-barange wong Golan lan Mirah ora iso diwor dadi siji” artinya semua barang-barang dari Golan dan Mirah tidak bias dipersatukan.
“Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul” artinya orang Golan tidak boleh membuat atap dari jerami atau batang padi.
“Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele” artinya orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari bahan kedelai. Sampai sekarang pun orang Mirah tidak berani menanam kedelai, karena selalu gagal dan tidak bias tumbuh, kesimpulannya “Sopo wonge sing nglanggar aturan iki bakal ciloko”. Begitu Ki Ageng Honggolono kembali wanti-wanti kepada anak buahnya dan warga Mirah.
Sejarah Reog Ponorogo
Menurut cerita yang berkembang, asal usul Reog Ponorogo dilatarbelakangi oleh kisah perjalanan RajaKerajaan Bantarangin, yaitu Prabu Kelana Sewandana yang tengah mencari calon permaisurinya pada tahun 900 Saka. Calon permaisuri tersebut dicari karena kabur dari kerajaan Bantarangin. Calon permaisuri yang bernama Dewi Sanggalangit yang juga adalah putri kerajaan Kediri ini kabur karena tidak ingin dijodohkan dengan sang Prabu Kelana. Setelah perjalanan berhari-hari, Dewi Sanggalangit pun akhirnya ditemukan disebuah goa ketika ia tengah bersemedi. Ketika diajak pulang untuk dinikahi, putri Kediri tetap tak mau. Sang prabu pun merayunya dengan janji akan menuruti segala apapun permintaan yang diajukan oleh sang calon permaisuri. Dari hasil semedi, sang putripun mendapat wahyu agar memintakan sebuah kesenian baru yang belum pernah ada sebelumnya dimana kesenian tersebut harus menggambarkan bahwa sang calon permaisuri adalah memang orang yang benar-benar dicintai sang raja. Setelah berpikir cukup keras berhari-hari, akhirnya sang prabu mendapat wahyu dari Dewi Parwati untuk membuat seni pertunjukan berupa tarian menggunakan barongan berupa reog. Reognya sendiri dibuat sangat besar dengan perlambangan cinta berupa bulu burung merak dan kepala harimau. Bulu burung merak melambangkan sang calon permaisuri dan kepala harimau melambangkan sang Prabu. Tarian reog ponorogo kala itupun langsung dipertontonkan pada sang calon permaisuri. Melihat tarian tersebut, sang calon permaisuri pun sangat senang dan berjanji mau dinikahi sang prabu asal tarian reog tersebut dipertontonkan setiap tahun ketika memperingati hari pernikahan mereka. Sejak saat itulah reog ponorogopun lahir. Sejarah reog ponorogo tersebut berkembang di masyarakat hingga kini. Kendati demikian, sebetulnya nama reog baru diperkenalkan sejak tahun 1989. Sebelumnya reog dikenal dengan nama REYOG. Nama tersebut diganti oleh Bupati Ponorogo Markum Singomedjo untuk tujuan propaganda pembangunan. Nama REOG dipilih karena sangat cocok digunakan sebagai akronim dari slogan resmi kabupaten ponorogo yaitu “Resik, Endah, Omber, Girang gemirang”.
Gerakan Pentas Reog Sepanjang Tahun
Agenda pertunjukan rutin Kesenian Reog oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo antara lain Festival Reog Nasional, Festival Reog Mini Nasional dan Pertunjukan pada Bulan Purnama. Agenda pertunjukan itu diselenggarakan di Panggung Utama Aloon – aloon Ponorogo. Pertunjukan yang selalu digelar dengan meriah tersebut dapat terselenggara karena memang Pemerintah Daerah memfasilitasi dan menjadi program bulanan dan tahunan. Festival Reog Nasional selalu dilaksanakan setiap tahun menjelang bulan Muharam (Jawa = Suro). Pertunjukan ini merupakan rentetan acara – acara Grebeg Suro dan Ulang Tahun Kota Ponorogo.
Pagelaran kesenian Reog akbar ini bertaraf nasional sehingga pesertanya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia bahkan pernah yang berasal dari luar negeri. Pertujukan ini menjadi salah satu andalan pemerintah daerah Ponorogo dalam meningkatkan daya tarik bagi wisatawan lokal maupun manca negara.
Demikian pula dengan dengan Festival Reog Mini tingkat nasional. Festival reog mini ini seluruh pesertanya adalah generasi muda atau golongan remaja. Mereka rata – rata masih sekolah di tingkat SD atau SMP, mereka adalag generasi penerus kesenian Reog yang nampaknya semakin berkembang. Pola kegiatannya hampir sama dengan Festival Reog Nasional, hanya saja yang berbeda adalah peserta, selain itu waktu pelaksanaannya adalah bulan AGustus. Agenda pertunjukan kesenian reog yang lain dan tak kalah ramai dari pengunjung adalah pertunjukan Reog
Bulan Purnama. Pentas ini rutin dilaksanakan bertepatan dengan malam bulam purnama. Peserta dari pentas ini adalah grup – grup lokal (dalam kabupaten Ponorogo) yang diwakilkan melalui kecamatan – kecamatan. Biasanya pentas ini disertai dengan beberapa pertunjukan tari garapan dari Sanggar seni di ponorogo atau kesenian lainnya. Semua kegiatan di atas terselenggara secara rutin karena memang difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan pelaksnaannyapun di lokasi yang strategis, yaitu Panggung Utama Aloon – aloon kabupaten Ponorogo. Jadi semua orang yang kebetulan lewat di jalan utama itu bisa langsung menonton pentas kesenian reog. Di sisi lain yang juga perlu diperhatikan dan dipertanyakan adalah bagaimana pertunjukan – pertunjukan kesenian Reog di daerah -daerah (pelosok desa) di Ponorogo? Siapa yang bisa memfasilitasi? Apakah dengan penyelenggaraan Event – event besar seperti di atas sudah cukup mewakili identitas Ponorogo sebagai KOTA REOG??
Pertanyaan – pertanyaan di atas memang sederhana, namun kiranya perlu untuk disimak dan dipertimbangkan. Biasanya pertunjukan kesenian Reog di desa – desa diselenggarakan atas inisiatif personal (kawinan, khitanan, syukuran dll), inisiatif grup reog atau kumpulan grup. Itupun dengan biaya sendiri alias swadaya. Mereka mengumpulkan dana untuk menyelengarakan pertunjukan Reog secara mandiri dan alamiah. Bentuk pentasnya pun juga sangat sederhana dan terkesan apa adanya dan siapa saja dapat berpartisipasi, karena dalam pentas ini tidak ada aturan baku yang mengatur pertunjukan. Pentas demi pentas kesenian Reog terselenggara dengan meriah, karena masyarakat desa pada dasarnya haus akan hiburan. Dalam kedekatan antara kesenian reog dan masyarakat sebagai pemilik sejati itulah sebenarnya yang menjadikan identitas Ponorogo kota Reog selalu melekat.
Melihat kondisi seperti tersebut kiranya patut diapresiasi, bahwa kesenian Reog sangat perlu untuk difasilitasi penyelenggaraan pertunjukan (pentas)nya dan lebih menghidupkan pagelaran kesenian reog di desa – desa sehingga kesenian Reog benar – benar hidup di masyarakat Ponorogo. Sebenarnya sangatlah sederhana konsep ini. Di kabupaten ada 21 kecamatan, dan dalam 1 tahun ada 12 bulan (dikurangi bulan Ramadhan 1 bulan jadi 11 bulan). Nah dari data tersebut masing – masing dapat diprediksi dalam 1 bulan dapat menyelenggarakan pertunjukan kesenain Reog di 2 kecamatan, artinya dalam 1 bulan sudah terselenggara 2 kali pentas reog. Pentas kesenian Reog ini, di luar pentas rutin yang sudah terselenggara yaitu FRN, Festival Reog mini dan Pentas Reog Bulan Purnama. Apabila hal ini terselenggara secara wajar dan normal, seluruh kegiatan pementasan minimal 24 kali pertunjukan dan dilaksanakan dari kota sampai pedesaan. Hanya saja peran pemerintah sangat besar, karena semua pertunjukan itu sedapatnya pemerintah daerah yang memfasilitasi dan paling tidak mendanai kegiatan tersebut. Sebenarnya biaya yang dikeluarkan untuk operasional pertunjukan itu tidak terlalu banyak, asal saja partisipasi pemerintah dan masyarakat terjalin dengan baik.
Ponorogo berasal dari dua kata yaitu pramana dan raga. Pramana berarti daya kekuatan, rahasia hidup, sedangkan raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah / lawamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri di manapun dan kapanpun berada.
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa pono berarti melihat dan rogo berarti badan, raga, atau diri. Sehingga arti Ponorogo adalah "melihat diri sendiri" atau dalam kata lain disebut "mawas diri". nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo.
Menurut Babad Ponorogo, berdirinya Kabupaten Ponorogo dimulai setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker. Pada saat itu Wengker dipimpin oleh Suryo Ngalam yang dikenal sebagai Ki Ageng Kutu. Raden Katong lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman (yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil. Dengan persiapan dalam rangka merintis kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama. Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong dan juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History. Pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia yang bersemedi, pohon, burung garuda dan gajah. Candrasengkala memet ini menunjukkan angka tahun 1418 Saka atau tahun 1496 M. Sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu hari Ahad Pon, tanggal 1
Besar 1418 Saka bertepatan tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya melaluiseminar Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 1996 maka penetapan tanggal 11 Agustus sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo telah mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Ponorogo. Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah pimpinan Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada tahun 1837 Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang.
Sejarah Goldan dan Mirah
Di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur, terdapat sungai yang mengalir diantara 2 desa yakni desa Golan dan desa Mirah. Anehnya, selama bertahun-tahun air di sungai tersebut tidak mau mencampur layaknya air dan minyak, sampai sekarang. Begitupun halnya dengan masyarakat yang hidup di dua desa tersebut tidak akan bias bersatu, dan hidup berdampingan. Ada beberapa contoh yang sering terjadi ketika penduduk desa tersebut berada di satu tempat diantaranya:
Jika yang mengadakan pernikahan mengundang orang yang berasal dari 2 desa tersebut, maka lampu pernikahan akan mendadak mati. Dalam satu warung makan atau kopi terdapat 2 orang dari desa tersebut maka ibu yang memasak air tidak akan matang sampai kapanpun. Ada orang yang memiliki hajatan kunjungan wisata ke Bogor, tetapi sepanjang perjalanan ban bus yang ditumpangi bocor sampai 3 kali, orang-orang merasa heran. Padahal bus yang disewa sangat layak untuk dipakai. Setelah kunjungan selesai, baru diketahui jika rombongan yang ikut terdapat dua orang dari desa Golan dan Mirah.
Sampai saat ini kenyataan sungai yang mengalir di kedua desa tersebut tetap tidak mau mencampur dan masih ada. Kepercayaan terkait mitos dan pantangan untuk hidup berdampingan juga masih dipegang teguh oleh kedua masyarakat tersebut, memang kedua desa sudah tidak bermusuhan seperti dulu, akan tetapi pantangan dan kepercayaan tersebut masih melekat pada keduanya. Ekspeditor ketika berusaha menelusuri aliran sungai Golan dan Mirah kerap kali tersesat, konon memang ketika tujuannya adalah untuk mengambil gambar aliran sungai maka tidak akan pernah sampai tujuan utama. Akan tetapi ekspeditor berhasil sampai pada bendungan aliran sungai tersebut, sayangnya bendungan tersebut sudah tidak berfungsi lagi beberapa tahun lalu. Akan tetapi dari beberapa narasumber dari aparat birokrat, masyarakat biasa, dan anak-anak juga menginformasikan hal yang sama.
Peristiwa aneh tersebut merupakan imbas kutukan KI Ageng Honggolono, Palang (Kepala Desa) Golan setelah merasa dipecundangi Ki Ageng Mirah sehingga mengakibatkan acara perkawinan anaknya si Joko Lancur gagal mempersunting Putri Mirah Kencono Wungu. Ki Honggolo merupakan tokoh ksatria pemberani yang mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma, sangat arif dan bijaksana. Ki Honggolono memiliki seorang anak laki-laki bernama Joko Lancur Suatu hari Joko Lancur bertemu dengan Si Mirah Putri ayu yang merupakan putrid Ki Ageng Mirah (Ki Honggojoyo), sebagai adik sepupu Ki Honggolono. Keduanya pun saling curi pandang dan akhirnya jatuh cinta. Ketika Joko Lancur hendak meminang Mirah Putri Ayu, Ki Ageng Mirah mengajukan persyaratan yang sangat sulit untuk dipenuhi Ki Honggolono, akan tetapi Ki Ageng
Honggolono menyanggupi untuk memenuhi persyaratan tersebut dibantu oleh murid-muridnya, demi anaknya si Joko Lancur. Melihat apa yang dilakukan Ki ageng Honggolono, Ki Ageng Mirah menemukan strategi lagi untuk menggagalkan apa yang dilakukan Ki Honggolono untuk membuat bendungan dan padi dalam lumbung gagal dengan meminta bantuan sahabatnya yang berwujud genderuwo. Sehingga hajat Ki Honggolono terhambat, akan tetapi sebagai tokoh yang memiliki kesaktian, Ki Honggolono berhasil mengatasi hambatan-hambatan yang dibuat utusan Ki Ageng Mirah, sebenarnya Ki Honggolono tau semua dalang dibalik kejadian yang menghambatnya. Akan tetapi hal itu tidak akan mengurungkan niatnya untuk melamar si Mirah Putri Ayu.
Ketika Ki Honggolono dating ke rumah Ki Ageng Mirah dengan membawa persyaratan yang diajukan, Ki Ageng Mirah pun juga merupakan orang sakti yang ilmunya tidak dapat disepelekan, sontak padi yang dibawa pasukan Ki Honggolono dalam lumbung, berubah menjadi jerami dan kulit kedelai. Hal itu membuat Ki Honggolono marah besar dan merasa dipermainkan oleh Ki Ageng Mirah. Kedua pun terlibat peperangan yang tidak terhindarkan. Konon, karena cinta Si Joko Lancur dan Si Mirah Putri ayu sangat besar, akhirnya mereka pun ditemukan mengalir disungai. Ki Honggolono usai kejadian tersebut mengutuk 5 perkara yakni: “Wong Golan lan wong Mirah turun-temurun ora oleh jejodhohan” artinya orang Golan dan orang Mirah beserta keturunannya tidak boleh diperjodohkan atau menikah.
“Isen-isene ndunyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu, lan sapanunggalane ora biso digowo menyang Mirah” artinya segala sesuatu barang-barang dari Golan tidak bias dibawa ke Mirah.
“Barang-barange wong Golan lan Mirah ora iso diwor dadi siji” artinya semua barang-barang dari Golan dan Mirah tidak bias dipersatukan.
“Wong Golan ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul” artinya orang Golan tidak boleh membuat atap dari jerami atau batang padi.
“Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele” artinya orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari bahan kedelai. Sampai sekarang pun orang Mirah tidak berani menanam kedelai, karena selalu gagal dan tidak bias tumbuh, kesimpulannya “Sopo wonge sing nglanggar aturan iki bakal ciloko”. Begitu Ki Ageng Honggolono kembali wanti-wanti kepada anak buahnya dan warga Mirah.
Sejarah Reog Ponorogo
Menurut cerita yang berkembang, asal usul Reog Ponorogo dilatarbelakangi oleh kisah perjalanan RajaKerajaan Bantarangin, yaitu Prabu Kelana Sewandana yang tengah mencari calon permaisurinya pada tahun 900 Saka. Calon permaisuri tersebut dicari karena kabur dari kerajaan Bantarangin. Calon permaisuri yang bernama Dewi Sanggalangit yang juga adalah putri kerajaan Kediri ini kabur karena tidak ingin dijodohkan dengan sang Prabu Kelana. Setelah perjalanan berhari-hari, Dewi Sanggalangit pun akhirnya ditemukan disebuah goa ketika ia tengah bersemedi. Ketika diajak pulang untuk dinikahi, putri Kediri tetap tak mau. Sang prabu pun merayunya dengan janji akan menuruti segala apapun permintaan yang diajukan oleh sang calon permaisuri. Dari hasil semedi, sang putripun mendapat wahyu agar memintakan sebuah kesenian baru yang belum pernah ada sebelumnya dimana kesenian tersebut harus menggambarkan bahwa sang calon permaisuri adalah memang orang yang benar-benar dicintai sang raja. Setelah berpikir cukup keras berhari-hari, akhirnya sang prabu mendapat wahyu dari Dewi Parwati untuk membuat seni pertunjukan berupa tarian menggunakan barongan berupa reog. Reognya sendiri dibuat sangat besar dengan perlambangan cinta berupa bulu burung merak dan kepala harimau. Bulu burung merak melambangkan sang calon permaisuri dan kepala harimau melambangkan sang Prabu. Tarian reog ponorogo kala itupun langsung dipertontonkan pada sang calon permaisuri. Melihat tarian tersebut, sang calon permaisuri pun sangat senang dan berjanji mau dinikahi sang prabu asal tarian reog tersebut dipertontonkan setiap tahun ketika memperingati hari pernikahan mereka. Sejak saat itulah reog ponorogopun lahir. Sejarah reog ponorogo tersebut berkembang di masyarakat hingga kini. Kendati demikian, sebetulnya nama reog baru diperkenalkan sejak tahun 1989. Sebelumnya reog dikenal dengan nama REYOG. Nama tersebut diganti oleh Bupati Ponorogo Markum Singomedjo untuk tujuan propaganda pembangunan. Nama REOG dipilih karena sangat cocok digunakan sebagai akronim dari slogan resmi kabupaten ponorogo yaitu “Resik, Endah, Omber, Girang gemirang”.
Gerakan Pentas Reog Sepanjang Tahun
Agenda pertunjukan rutin Kesenian Reog oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo antara lain Festival Reog Nasional, Festival Reog Mini Nasional dan Pertunjukan pada Bulan Purnama. Agenda pertunjukan itu diselenggarakan di Panggung Utama Aloon – aloon Ponorogo. Pertunjukan yang selalu digelar dengan meriah tersebut dapat terselenggara karena memang Pemerintah Daerah memfasilitasi dan menjadi program bulanan dan tahunan. Festival Reog Nasional selalu dilaksanakan setiap tahun menjelang bulan Muharam (Jawa = Suro). Pertunjukan ini merupakan rentetan acara – acara Grebeg Suro dan Ulang Tahun Kota Ponorogo.
Pagelaran kesenian Reog akbar ini bertaraf nasional sehingga pesertanya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia bahkan pernah yang berasal dari luar negeri. Pertujukan ini menjadi salah satu andalan pemerintah daerah Ponorogo dalam meningkatkan daya tarik bagi wisatawan lokal maupun manca negara.
Demikian pula dengan dengan Festival Reog Mini tingkat nasional. Festival reog mini ini seluruh pesertanya adalah generasi muda atau golongan remaja. Mereka rata – rata masih sekolah di tingkat SD atau SMP, mereka adalag generasi penerus kesenian Reog yang nampaknya semakin berkembang. Pola kegiatannya hampir sama dengan Festival Reog Nasional, hanya saja yang berbeda adalah peserta, selain itu waktu pelaksanaannya adalah bulan AGustus. Agenda pertunjukan kesenian reog yang lain dan tak kalah ramai dari pengunjung adalah pertunjukan Reog
Bulan Purnama. Pentas ini rutin dilaksanakan bertepatan dengan malam bulam purnama. Peserta dari pentas ini adalah grup – grup lokal (dalam kabupaten Ponorogo) yang diwakilkan melalui kecamatan – kecamatan. Biasanya pentas ini disertai dengan beberapa pertunjukan tari garapan dari Sanggar seni di ponorogo atau kesenian lainnya. Semua kegiatan di atas terselenggara secara rutin karena memang difasilitasi oleh Pemerintah daerah dan pelaksnaannyapun di lokasi yang strategis, yaitu Panggung Utama Aloon – aloon kabupaten Ponorogo. Jadi semua orang yang kebetulan lewat di jalan utama itu bisa langsung menonton pentas kesenian reog. Di sisi lain yang juga perlu diperhatikan dan dipertanyakan adalah bagaimana pertunjukan – pertunjukan kesenian Reog di daerah -daerah (pelosok desa) di Ponorogo? Siapa yang bisa memfasilitasi? Apakah dengan penyelenggaraan Event – event besar seperti di atas sudah cukup mewakili identitas Ponorogo sebagai KOTA REOG??
Pertanyaan – pertanyaan di atas memang sederhana, namun kiranya perlu untuk disimak dan dipertimbangkan. Biasanya pertunjukan kesenian Reog di desa – desa diselenggarakan atas inisiatif personal (kawinan, khitanan, syukuran dll), inisiatif grup reog atau kumpulan grup. Itupun dengan biaya sendiri alias swadaya. Mereka mengumpulkan dana untuk menyelengarakan pertunjukan Reog secara mandiri dan alamiah. Bentuk pentasnya pun juga sangat sederhana dan terkesan apa adanya dan siapa saja dapat berpartisipasi, karena dalam pentas ini tidak ada aturan baku yang mengatur pertunjukan. Pentas demi pentas kesenian Reog terselenggara dengan meriah, karena masyarakat desa pada dasarnya haus akan hiburan. Dalam kedekatan antara kesenian reog dan masyarakat sebagai pemilik sejati itulah sebenarnya yang menjadikan identitas Ponorogo kota Reog selalu melekat.
Melihat kondisi seperti tersebut kiranya patut diapresiasi, bahwa kesenian Reog sangat perlu untuk difasilitasi penyelenggaraan pertunjukan (pentas)nya dan lebih menghidupkan pagelaran kesenian reog di desa – desa sehingga kesenian Reog benar – benar hidup di masyarakat Ponorogo. Sebenarnya sangatlah sederhana konsep ini. Di kabupaten ada 21 kecamatan, dan dalam 1 tahun ada 12 bulan (dikurangi bulan Ramadhan 1 bulan jadi 11 bulan). Nah dari data tersebut masing – masing dapat diprediksi dalam 1 bulan dapat menyelenggarakan pertunjukan kesenain Reog di 2 kecamatan, artinya dalam 1 bulan sudah terselenggara 2 kali pentas reog. Pentas kesenian Reog ini, di luar pentas rutin yang sudah terselenggara yaitu FRN, Festival Reog mini dan Pentas Reog Bulan Purnama. Apabila hal ini terselenggara secara wajar dan normal, seluruh kegiatan pementasan minimal 24 kali pertunjukan dan dilaksanakan dari kota sampai pedesaan. Hanya saja peran pemerintah sangat besar, karena semua pertunjukan itu sedapatnya pemerintah daerah yang memfasilitasi dan paling tidak mendanai kegiatan tersebut. Sebenarnya biaya yang dikeluarkan untuk operasional pertunjukan itu tidak terlalu banyak, asal saja partisipasi pemerintah dan masyarakat terjalin dengan baik.
0 Comments
Post a Comment