Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang berdekatan dengan Indonesia. Malaysia dibentuk pada tahun 1963 yang merupakan salah satu dari koloni Inggris. Pada saat itu, Federasi Malaya yang terdiri dari 11 negara mencapai kemerdekaan pada tahun 1957, terkecuali Singapura yang telah memiliki pemerintahan sendiri sejak tahun 1959 dan dua wilayah di barat laut Kalimantan (Sabah dan Serawak, yang kemudian dikenal dengan Borneo Utara) pada tahun 1960. Perdana Menteri Malaysia saat itu, Tuanku Abdul Rahman mengambil inisiatif untuk menjalin kerjasama ekonomi dan politik dengan Singapura, Borneo Utara, Brunei, dan Serawak.
Ternyata inisiatif tersebut diterima dengan baik. Pada saat itu perekonomian meningkat dengan tajam. Penduduk Singapura yang didominasi oleh masyarakat Cina ternyata membawa dampak yang positif bagi kegiatan perekonomian Malaya. Sejak itu wilayah - wilayah yang telah bekerjasama tersebut hendak disatukan menjadi satu negara Malaya. Namun gerakan penyatuan beberapa negara tersebut tidak berjalan dengan lancar. Rakyat Brunei menghendaki penyatuan 3 wilayah di Kalimantan bersatu di bawah pemerintahan Sultan Brunei. Hal ini lah yang membuat Brunei menarik diri dari keinginan awalnya untuk bergabung melebur menjadu satu dengan Malaysia. Begitu juga dengan Singapura. Negara yang memutuskan untuk keluar dari federasi pada tahun 1965 ini mengalami banyak konflik dengan malaysia yang sebagian besar diakibatkan oleh konflik antar etnis yang puncaknya terjadi kerusuhan etnis pada tahun 1969.
Sebenarnya sejarah Malaysia tidak terlepas dari sejarah Indonesia juga. Ini karena kerajaan tertua di Malaysia, kerajaan Malaka, didirikan oleh seorang pangeran yang berasal dari Sumatera, yaitu Pangeran Sriwijaya pada awal abad ke-15. Pada saat ini, Kesultanan Johor yang merupakan kelanjutan dari Kesultanan Malaka, masih tetap ada sampai sekarang. Negara - negara yang pernah menanamkan kekuasaan di Malaysia diantaranya adalah Belanda, Inggris, dan Portugis. Namun diantara negara - negara tersebut, Inggris lah yang lebih mendominasi serta berpengaruh di Malaysia
Kerajaan Buddha, Ligor mengambil kendali Kedah segera setelahnya, dan rajanya, Chandrabhanu menggunakan tempat ini sebagai basis untuk menyerang Sri Lanka pada abad ke-11, sebuah peristiwa yang dipahat di atas prasasti batu di Nagapattinum di Tamil Nadu dan di dalam kisah-kisah bangsa Sri Lanka, Mahavamsa. Selama milenium pertama, masyarakat di Semenanjung Malaya mengadopsi Hindu dan Buddha dan penggunaan bahasa Sanskerta hingga mereka beralih kepada Islam.
Ada beberapa laporan dari wilayah lain yang lebih tua dari Kedah—misalnya kerajaan kuno Gangga Negara, di sekitar Beruas di Perak, mendorong sejarah Malaysia lebih jauh ke belakang. Jika itu belum cukup, sebuah puisi Tamil, Pattinapillai, dari abad ke-2 M, menjelaskan barang-barang dari Kadaram menumpuk di jalanan ibukota Chola. Sebuah drama sanskerta dari abad ke-7, Kaumudhimahotsva, merujuk Kedah sebagai Kataha-nagari. Agnipurana juga menyebutkan sebuah daerah yang dikenal Anda-Kataha dengan salah satu batasnya menggambarkan sebuah puncak gunung, yang diyakini para sarjana sebagai Gunung Jerai. Kisah-kisah dari Katasaritasagaram menjelaskan kemewahan hidup di Kataha.
Gedung Sultan Abdul Samad di Kuala Lumpur, kompleks Pengadilan Tinggi Malaysia dan Pengadilan Perdagangan. Kuala Lumpur adalah ibukota Negara-negara Melayu Bersekutu dan
Kerajaan Buddha, Ligor mengambil kendali Kedah segera setelahnya, dan rajanya, Chandrabhanu menggunakan tempat ini sebagai basis untuk menyerang Sri Lanka pada abad ke-11, sebuah peristiwa yang dipahat di atas prasasti batu di Nagapattinum di Tamil Nadu dan di dalam kisah-kisah bangsa Sri Lanka, Mahavamsa. Selama milenium pertama, masyarakat di Semenanjung Malaya mengadopsi Hindu dan Buddha dan penggunaan bahasa Sanskerta hingga mereka beralih kepada Islam.
Ada beberapa laporan dari wilayah lain yang lebih tua dari Kedah—misalnya kerajaan kuno Gangga Negara, di sekitar Beruas di Perak, mendorong sejarah Malaysia lebih jauh ke belakang. Jika itu belum cukup, sebuah puisi Tamil, Pattinapillai, dari abad ke-2 M, menjelaskan barang-barang dari Kadaram menumpuk di jalanan ibukota Chola. Sebuah drama sanskerta dari abad ke-7, Kaumudhimahotsva, merujuk Kedah sebagai Kataha-nagari. Agnipurana juga menyebutkan sebuah daerah yang dikenal Anda-Kataha dengan salah satu batasnya menggambarkan sebuah puncak gunung, yang diyakini para sarjana sebagai Gunung Jerai. Kisah-kisah dari Katasaritasagaram menjelaskan kemewahan hidup di Kataha.
Gedung Sultan Abdul Samad di Kuala Lumpur, kompleks Pengadilan Tinggi Malaysia dan Pengadilan Perdagangan. Kuala Lumpur adalah ibukota Negara-negara Melayu Bersekutu dan
ibukota Malaysia saat ini. Pada permulaan abad ke-15, Kesultanan Melaka didirikan di bawah sebuah dinasti yang didirikan oleh Parameswara, pangeran dari Palembang, Indonesia, di dalam kekaisaran Sriwijaya. Penaklukan memaksa dia dan pendukungnya melarikan diri dari Palembang. Parameswara berlayar ke Temasek untuk menghindari penganiayaan dan tiba di bawah perlindungan Temagi, seorang penghulu Melayu dari Pattani yang ditunjuk oleh Raja Siam sebagai bupati Temasek. Beberapa hari kemudian, Parameswara membunuh Temagi dan mengangkat dirinya sendiri sebagai bupati. Kira-kira lima tahun kemudian, dia meninggalkan Temasek karena ancaman dari Siam. Selama periode ini, Temasek juga diserang oleh serombongan armada Jawa dari Majapahit.
Dia kemudian memimpin ke utara untuk mendirikan permukiman baru. Di Muar, Parameswara berkehendak mendirikan kerajaan barunya di Biawak Busuk atau di Kota Buruk. Mengetahui lokasi Muar tidaklah cocok, dia meneruskan perjalanannya ke utara. Di sepanjang jalan, dia dilaporkan telah mengunjungi Sening Ujong (nama lampau untuk Sungai Ujong modern) sebelum sampai di sebuah perkampungan nelayan di bibir Sungai Bertam (nama lampau untuk Sungai Melaka modern). Tempat itu lambat laun berkembang menjadi lokasi Melaka masa kini. Menurut Sejarah Melayu, di situlah dia menyaksikan kancil mengecoh anjing ketika berteduh di bawah pohon Melaka. Dia mengambil apa yang dia lihat sebagai pertanda yang baik dan kemudian dia mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Melaka, kemudian dia membangun dan memperbaiki fasilitas untuk tujuan perdagangan.
Peralihan agama Parameswara ke Islam tidaklah jelas. Menurut sebuah teori oleh Sabri Zain, Parameswara menjadi seorang Muslim ketika dia menikahi seorang Puteri Samudera Pasai dan dia menyertakan gelar bergaya Persia "Syah", dengan menyebut dirinya Iskandar Syah. Juga ada referensi yang menunjukkan bahwa beberapa anggota kelas penguasa dan komunitas saudagar yang menetap di Melaka telah menjadi Muslim. Kisah-kisah Cina menyebutkan bahwa pada 1414, putera penguasa pertama Melaka mengunjungi Ming untuk mengabari mereka bahwa ayahnya telah wafat. Putera Parameswara diakui secara resmi sebagai penguasa kedua Melaka oleh Kaisar Cina dan bergelar Raja Sri Rama Vikrama, Raja Parameswara dari Temasik dan Melaka dan dia dikenal sebagai tokoh Muslim Sultan Sri Iskandar Zulkarnain Syah atau Sultan Megat Iskandar Syah, dan dia menguasai Melaka dari 1414 sampai 1424. Kerajaan ini menguasai wilayah yang sekarang ini disebut Semenanjung Malaya, selatan Thailand (Pattani, dan pantai timur Sumatera. Kerajaan ini berlangsung selama lebih dari satu abad, dan dalam periode tersebut menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara. Melaka, sebagai pelabuhan perdagangan penting, terletak hampir di tengah-tengah rute perdagangan Cina dan India.
Pada 1511, Melaka ditaklukkan oleh Portugal, yang mendirikan sebuah koloni di sana; maka berakhirlah Kesultanan Melaka. Tetapi, Sultan terakhir melarikan diri ke Kampar, Riau, Sumatera dan meninggal di sana. Putera-putera Sultan Melaka terakhir mendirikan dua kesultanan di tempat lain di semenanjung & mdash; Kesultanan Perak di utara, dan Kesultanan Johor (mulanya kelanjutan kesultanan Melaka kuno) di selatan. Setelah jatuhnya Melaka, tiga negara berjuang menguasai Selat Malaka: Portugis (di Melaka), Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh. Konflik ini berlangsung sampai tahun 1641, ketika Belanda (bersekutu dengan Kesultanan Johor) untuk merebut Melaka.
Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kesultanan Malaka tua, tapi sekarang dikenal dengan nama Kesultanan Johor, yang masih ada sampai sekarang. Setelah jatuhnya Melaka, tiga negara berebut untuk mengambil kontrol Selat Malaka: Portugis (di Malaka), Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh; dan peperangan berakhir pada 1641, ketika Belanda (bersekutu dengan Kesultanan Johor) merebut Malaka.
Dia kemudian memimpin ke utara untuk mendirikan permukiman baru. Di Muar, Parameswara berkehendak mendirikan kerajaan barunya di Biawak Busuk atau di Kota Buruk. Mengetahui lokasi Muar tidaklah cocok, dia meneruskan perjalanannya ke utara. Di sepanjang jalan, dia dilaporkan telah mengunjungi Sening Ujong (nama lampau untuk Sungai Ujong modern) sebelum sampai di sebuah perkampungan nelayan di bibir Sungai Bertam (nama lampau untuk Sungai Melaka modern). Tempat itu lambat laun berkembang menjadi lokasi Melaka masa kini. Menurut Sejarah Melayu, di situlah dia menyaksikan kancil mengecoh anjing ketika berteduh di bawah pohon Melaka. Dia mengambil apa yang dia lihat sebagai pertanda yang baik dan kemudian dia mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Melaka, kemudian dia membangun dan memperbaiki fasilitas untuk tujuan perdagangan.
Peralihan agama Parameswara ke Islam tidaklah jelas. Menurut sebuah teori oleh Sabri Zain, Parameswara menjadi seorang Muslim ketika dia menikahi seorang Puteri Samudera Pasai dan dia menyertakan gelar bergaya Persia "Syah", dengan menyebut dirinya Iskandar Syah. Juga ada referensi yang menunjukkan bahwa beberapa anggota kelas penguasa dan komunitas saudagar yang menetap di Melaka telah menjadi Muslim. Kisah-kisah Cina menyebutkan bahwa pada 1414, putera penguasa pertama Melaka mengunjungi Ming untuk mengabari mereka bahwa ayahnya telah wafat. Putera Parameswara diakui secara resmi sebagai penguasa kedua Melaka oleh Kaisar Cina dan bergelar Raja Sri Rama Vikrama, Raja Parameswara dari Temasik dan Melaka dan dia dikenal sebagai tokoh Muslim Sultan Sri Iskandar Zulkarnain Syah atau Sultan Megat Iskandar Syah, dan dia menguasai Melaka dari 1414 sampai 1424. Kerajaan ini menguasai wilayah yang sekarang ini disebut Semenanjung Malaya, selatan Thailand (Pattani, dan pantai timur Sumatera. Kerajaan ini berlangsung selama lebih dari satu abad, dan dalam periode tersebut menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara. Melaka, sebagai pelabuhan perdagangan penting, terletak hampir di tengah-tengah rute perdagangan Cina dan India.
Pada 1511, Melaka ditaklukkan oleh Portugal, yang mendirikan sebuah koloni di sana; maka berakhirlah Kesultanan Melaka. Tetapi, Sultan terakhir melarikan diri ke Kampar, Riau, Sumatera dan meninggal di sana. Putera-putera Sultan Melaka terakhir mendirikan dua kesultanan di tempat lain di semenanjung & mdash; Kesultanan Perak di utara, dan Kesultanan Johor (mulanya kelanjutan kesultanan Melaka kuno) di selatan. Setelah jatuhnya Melaka, tiga negara berjuang menguasai Selat Malaka: Portugis (di Melaka), Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh. Konflik ini berlangsung sampai tahun 1641, ketika Belanda (bersekutu dengan Kesultanan Johor) untuk merebut Melaka.
Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kesultanan Malaka tua, tapi sekarang dikenal dengan nama Kesultanan Johor, yang masih ada sampai sekarang. Setelah jatuhnya Melaka, tiga negara berebut untuk mengambil kontrol Selat Malaka: Portugis (di Malaka), Kesultanan Johor, dan Kesultanan Aceh; dan peperangan berakhir pada 1641, ketika Belanda (bersekutu dengan Kesultanan Johor) merebut Malaka.
Mendaratnya BritaniaBritania Raya mendirikan koloni pertamanya di Semenanjung Malaya pada 1786, dengan penyewaan pulau Penang kepada Perusahaan Hindia Timur Britania oleh Sultan Kedah. Pada 1824, Britania Raya menguasai Melaka setelah ditandatanganinya Traktat London atau Perjanjian Britania-Belanda 1824 yang membagi kepemilikan Nusantara kepada Britania dan Belanda, Malaya untuk Britania, dan Indonesia untuk Belanda.[36] Pada 1826, Britania mendirikan Koloni Mahkota di Negeri-Negeri Selat, menyatukan kepemilikannya di Malaya: Penang, Melaka, Singapura, dan pulau Labuan. Penang yang didirikan pada 1786 oleh Kapten Francis Light sebagai pos komersial dianugerahkan oleh Sultan Kedah. Negeri-Negeri Selat mulanya diurus di bawah British East India Company di Kalkuta, sebelum Penang, dan kemudian Singapura menjadi pusat pengurusan koloni mahkota, hingga 1867, ketika tanggung jawab pengurusan dialihkan kepada Kantor Kolonial di London.
Selama abad ke-19, banyak negeri Melayu berupaya untuk mendapatkan bantuan Britania untuk menyelesaikan konflik-konflik internal mereka. Kepentingan komersial pertambangan timah di negeri-negeri Melayu bagi para saudagar di Negeri-Negeri Selat membuat pemerintah Britania melakukan campur tangan di dalam negeri-negeri penghasil timah di Semenanjung Malaya. Diplomasi Kapal Meriam Britania ditugaskan demi mewujudkan resolusi perdamaian terhadap kekacauan sipil yang disebabkan oleh bandit Cina dan Melayu. Pada akhirnya Perjanjian Pangkor 1874 meretas jalan untuk perluasan pengaruh Britania di Malaya. Memasuki abad ke-20, negeri Pahang, Selangor, Perak, dan Negeri Sembilan, bersama-sama dikenal sebagai Negeri-negeri Melayu Bersekutu (jangan dirancukan dengan Federasi Malaya), di bawah kendali de facto residen Britania diangkat untuk menasihati para penguasa Melayu. Orang Britania menjadi "penasihat" di atas kertas, tetapi sebenarnya, mereka menjalankan pengaruh penting di atas para penguasa Melayu.
Lima negeri lainnya di semenanjung, dikenal sebagai Negeri-negeri Melayu Bersekutu, tidak diperintah langsung dari London, juga menerima para penasihat Britania di penghujung abad ke-20. Empat dari lima negeri itu: Perlis, Kedah, Kelantan, dan Terengganu sebelumnya dikuasai Siam. Negeri yang tidak bersekutu lainnya, Johor, satu-satunya negeri yang memelihara kemerdekaannya di sebagian besar abad ke-19. Sultan Abu Bakar dari Johor dan Ratu Victoria kenalan pribadi, dan mengakui satu sama lain sederajat. Hal ini tidak pernah terjadi hingg 1914 ketika pengganti Sultan Abu Bakar, Sultan Ibrahim menerima seorang penasihat Britania.
Di pulau Borneo, Sabah diperintah sebagai koloni mahkota Borneo Utara, sedangkan Sarawak diperoleh dari Brunei sebagai kerajaan pribadi keluarga Brooke, yang berkuasa sebagai Raja Putih. Mengikuti Invasi Jepang ke Malaya dan pendudukan beruntunnya selama Perang Dunia II, dukungan rakyat untuk kemerdekaan tumbuh. Pasca-perang, Britania berencana menyatukan pengelolaan Malaya di bawah koloni mahkota tunggal yang disebut Uni Malaya didirikan dengan penentangan yang hebat dari Suku Melayu, yang melawan upaya pelemahan penguasa Melayu dan mengizinkan kewarganegaraan ganda kepada Tionghoa-Malaysia dan kaum imigran lainnya.[38] Uni Malaya, didirikan pada 1946 dan terdiri dari semua kepemilikan Britania di Malaya, kecuali Singapura, dibubarkan pada 1948 dan diganti oleh Federasi Malaya, yang mengembalikan pemerintahan sendiri para penguasa negeri-negeri Malaya di bawah perlindungan Britania.
Selama masa itu, pemberontakan di bawah kepemimpinan Partai Komunis Malaya melaksanakan operasi gerilya yang dirancang untuk mengusir Britania dari Malaya. Darurat Malaya, begitulah dikenalnya, berlangsung sejak 1948 hingga 1960, dan melibatkan kampanye anti-kekacauan oleh serdadu Persemakmuran di Malaya. Meskipun kekacauan dengan cepat ditumpas masih saja menyisakan kehadiran serdadu persemakmuran, dengan latar belakang Perang Dingin. Melawan latar belakang ini, kemerdekaan untuk Federasi di dalam Persemakmuran diberikan pada 31 Agustus 1957.
Kemerdekaan Malaya, Pulau Pinang dan Malaka dicapai pada 31 Agustus 1957 dengan nama Federasi Malaya. Singapura masih berada di bawah kekuasaan Britania Raya pada saat itu karena letaknya yang stategis. Pada 16 September 1963, Federasi Malaya bersama-sama dengan koloni mahkota Britania, yaitu Sabah (Borneo Utara), Sarawak, dan Singapura, membentuk Malaysia. Kesultanan Brunei, meski mulanya berminat menggabungi Federasi, menarik kembali rencana penyatuan itu karena adanya penentangan dari sebagian penduduk, juga dalih tentang pembayaran royalti minyak dan status Sultan di dalam perencanaan penyatuan.
Tahun-tahun permulaan pembentukan atau kemerdekaan diganggu oleh konflik dengan Indonesia yang dicetuskan oleh Soekarno melalui Dwikora karena ketidak sesuaian dengan laporan Sekretaris Jenderal PBB menyangkut pelanggaran Manila Accord dalam pembentukan Malaysia, Dalam perjalanan federasi ini kemudiaan diikuti dengan keluarnya Singapura pada 1965 karena kembali adanya ketidak sesuaian dengan Perjanjian Pembentukan Malaysia dengan dipicu oleh politik diskriminasi, dan pertikaian antar-ras di dalam Insiden 13 Mei pada 1969. Filipina juga membuat pengakuan aktif terhadap Sabah dengan penyelesaian damai pada periode itu berdasarkan penyerahan sebagian wilayah Kesultanan Brunei, yakni bagian timur-utara kepada Kesultanan Sulu pada 1704. Pengakuan atas wilayah ini masih dilanjutkan hingga saat ini oleh pihak Filipina. Setelah Insiden 13 Mei pada 1969, Kebijakan Ekonomi Baru yang kontroversial—upaya penaikan hasil bagi kue ekonomi bumiputra ("pribumi", yang menyertakan sebagian besar orang Melayu, tetapi tidak selalu penduduk asli) dibandingkan dengan kelompok suku lainnya—diluncurkan oleh Perdana Menteri Abdul Razak. Malaysia sejak saat itu memelihara kesetimbangan politik kesukuan yang lunak, dengan sistem pemerintahan yang memadukan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan ekonomi dan politik yang menyokong keikutsertaan yang pantas dari semua ras.
Di antara tahun 1980-an dan pertengahan 1990-an, Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti di bawah kepemimpinan perdana menteri keempat, Dr. Mahathir Mohamad. Pada periode ini Malaysia mengalami lompatan dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi berbasis manufaktur dan industri (terutama bidang komputer dan elektronika rumahan). Pada periode ini juga, bentang darat Malaysia berubah dengan tumbuhnya beraneka mega-projek. Projek paling terkemuka adalah Menara Kembar Petronas (sempat menjadi gedung tertinggi di dunia), Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA), Jalan Tol Utara-Selatan, Sirkuit F1 Sepang, Multimedia Super Corridor (MSC), bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air Bakun, dan Putrajaya, pusat pemerintahan persekutuan baru.
Sejarah Peradaban Islam Di Malaysia
Kedatangan agama Islam di Malaysia pada abad ke 7 Masihi. Pandangan ini berdasarkan agama Islam yang disebarkan oleh para pedagang dan pendakwah dari Asia Barat ke Negara China. Pada masa itu para pedagang singgah di pelabuhan utama yaitu di pelabuhan Perlak di negeri Melaka. Jesteru itu negeri Melaka yang pertama didalam Malaysia agama Islam masuk. Seterusnya Islam semakin berkembang pesat berikutan dengan kemunculan beberapa buah kerajaan Islam di Pasai dan Perlak di persekitaran Selat Melaka pada abad ke-13 Masihi.
Mengikut cacatan Marco Polo, agama Islam telah tersebar di Tanah Melayu sebelum abad ke-15. Pada tahun 1292, semasa Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China, beliau telah melawat Sumatera. Perlak ialah pelabuhan pertama yang disinggahinya. Beliau menyatakan pada masa itu telah wujud usaha-usaha untuk mengislamkan penduduk tempatan oleh para pedagang Arab di Nusantara. Menurut beliau lagi, itulah satu-satunya negeri Islam di Kepulauan Melayu pada masa itu. Manakala Ibnu Battutah, pengembara Arab yang singgah sebanyak dua kali di Samudera semasa dalam perjalanan pergi dan balik dari Negara China antara tahun 1345 hingga 1346, menyatakan bahawa raja Samudera ketika itu telah memeluk Islam dan mengamalkan Mazhab Shafie. Menurut beliau lagi, negeri-negeri lain di sekelilingnya masih belum memeluk Islam.
Setelah kedatangan Islam, kehidupan baru manusia Alam Melayu atau Nusantara itu bertukar daripada kepercayaan tahyul kepada suatu keyakinan yang berpaksikan aqidah yang didasari intelektualisme dan rasionalisme. Islam telah membawa kesan yang meluas dan mendalam terhadap kehidupan sosial budaya dan membentuk kerajaan Melayu.Kesan kedatangan Islam terhadap kehidupan sosial dan kebudayaan Melayu serta sistem kerajaan merupakan suatu proses pembudayaan yang boleh dikaji dari pelbagai sudut seperti pendidikan dan pengembangan ilmu, bahasa, kebudayaan dan kesenian, politik dan pentadbiran, ketatanegaraan, hukum hakam, dan sebagainya.
Dari sudut sejarahnya selepas kedatangan Islam dan pembentukan Kerajaan Melaka yang bercorak keislaman, kita dapati proses Islamisasi di bidang undang-undang, sosial budaya dan politik. Demikian juga dengan Perlembagaan Terengganu & Perlembagaan Negeri Johor. Perubahan dalam bidang sosial budaya juga berlaku di mana orang Melayu telah menghayati nilai-nilai akhlak Islam dalam kehidupan yang terangkum dalam adab-adab kehidupan mereka seperti adab berpakaian, adab berbahasa, adab berjiran dan sebagainya. Dalam bidang politik, pemerintah dianggap sebagai pemerintah di mana kekuasaan politik itu merupakan satu amanah Allah dan para pemimpin diminta bertindak mengikut lunas-lunas yang digariskan oleh Islam.
0 Comments
Post a Comment