Bertepatan dengan diadakannya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada/Pilkada) Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka untuk menyemarakannya saya bermaksud mengangkat sebuah postingan yang berhubungan dengan pesta demokrasi lima tahunan ini. Ya, provinsi di tenggara Indonesia ini akan melaksanakan pemilihan kepala daerah putaran ke-2 pada tanggal 23 mei 2013 hari ini. Namun tahukah anda tentang sejarah Pemilukada atau lebih kenal dengan sebutan Pilkada, di Indonesia? Berikut ulasannya yang saya kutip dari beberapa sumber, sebagai berikut:
Sejak masa pemerintahan kolonial sampai orde baru, kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dikuasai oleh elit - elit politik karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyatnya. Sejarah demokrasi di Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang - undang pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903. Decentralisatie wet 1903 menyerahkan implementasi ketentuan - ketentuan untuk pengaturannya lebih lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat ordonansi di Hindia Belanda. Dengan dasar ketentuan yuridis, decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20 Desember 1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit 1904). Peraturan ini memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat, hak dan kewajiban anggota dan ketua serta sekretarisnya serta kewenangan dan cara kerja badan itu. Secara sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang pemerintahan daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan daaerah luar Jawa dan Madura.
Pemerintahan Pangrehpraja saat itu bersifat hierarkis dan sentralistis, mulai dari gewest (propinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin residen; afdeling (asisten residen). Pada tingkat pamong praja, terdapat kabupaten (bupati), district atau kawedanan (wedana) dan onderdistrict atau kecamatan (camat). Jabatan gubernur, residen, dan asisten residen dijabat oleh orang - orang Belanda, sedangkan untuk jabatan lainnya dipegang oleh bangsa Indonesia. Untuk semua jabatan tersebut, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem penunjukan atau pengangkatan oleh penguasa kolonial atau tepatnya gubernur jenderal, dengan kewajiban pribumi yang menduduki jabatan memberikan kompensasi ekonomi (upeti). Pendudukan Jepang di Indonesia memaklumatkan tiga undang - undang yang mengatur tentang penyelengaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 osamu sirei (dalam bahasa Indonesia disebut oendang - oendang). Ketiga oendang - oendang itu adalah oendang - oendang nomor 27 tentang perubahan pemerintah (tertanggal 5 - 8 - 2602), oendang - oendang nomor 28 tentang pemerintahan syuu (tertanggal 7 - 8 - 2602) dan oendang - oendang nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1- 9 - 2602).
Dalam tatanan pembagian daerah masa pendudukan Jepang yang termaktub dalam undang - undang ini adalah keresidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah keresidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si. Kedua daerah itu dikepalai oleh pembesar negara yang diberi nama Kentyoo dan Sityoo. Sementara itu, di tingkatan kawedanan, keasistenan, dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Ko, sedangkan kepala daerahnya masing - masing disebut Guntyoo, Sontyoo dan Kutyoo. Jabatan Guntyoo, Sontyoo dan Kutyoo dipegang oleh orang - orang pribumi Indonesia, sementara itu jabatan lain diatasnya dijabat oleh perwira - perwira Jepang. Seperti halnya pada masa kolonial Belanda, pada era pendudukan Jepang sistem rekrutmen kepala daerah juga tidak demokratis karena kepala daerah diangkat atau ditunjuk oleh penguasa Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, undang - undang yang menyinggung kedudukan kepala daerah adalah undang - undang nomor 1 tahun 1945, tentang peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang diundangkan pada tanggal 23 November 1945. dalam undang - undang tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah menjalankan fungsi eksekutifnya sebagai pemimpin komite nasional daerah, juga menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua legislatif dalam badan perwakilan daerah. Pada masa undang -undang nomor 1 tahun 1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya, hal itu dilakukan karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada saat itu tidak baik.
UU nomor 1 tahun 1945 hanya berusia 3 tahun saja, karena pada tahun 1948, dibuatlah penggantinya yaitu UU nomor 22/1948 tentang pemerintahan di daerah. Dalam undang - undang ini yang dimaksud pemerintahan daerah adalah propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil), nagari atau marga. Pengaturan tentang kepala daerah dalam undang - undang ini tertulis dalam pasal 18. dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah propinsi (gubernur) diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. Untuk kepala daerah kabupaten, diangkat oleh menteri dalam negeri dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten. Demikian juga untuk kepala daerah desa (kota kecil) yang diangkat oleh kepala daerah propinsi dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa (kota kecil).
Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia Serikat dan ditetapkannnya Undang - Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar negara menyebabkan terjadinya perubahan pada undang - undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yaitu undang - undang nomor 1 tahun 1957. didalam undang - undang ini, tingkatan - tingkatan daerah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; daerah tingkat I dipimpin oleh gubernur, daerah tingkat II dipimpin oleh bupati atau walikota dan daerah tingkat III dipimpin oleh camat.
Kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat di daerahnya, oleh karena itu harus dipilih langsung oleh rakyat. Atas dasar itu, dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka akses rakyat berpartisipasi sangat tampak dalam pilkada yang diatur UU No.1 tahun 1957. Dalam undang - undang ini, sistem pemerintahan kepala daerah langsung telah dijabarkan namun dalam prosesnya. Berdasarkan keterangan itu, sistem pilkada langsung dalam UU nomor 1/1957 benar - benar merupakan introduksi dalam pentas politik karena secara empirik belum dapat dilaksanakan. Selain undang - undang, presiden pertama Republik Indonesia membuat sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala daerah. Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 yang mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Oleh karena itu undang - undang ini kelihatan lebih bersifat darurat dalam rangka retooning sebagai tindak lanjut berlakunya kembali Undang - Undang 1945. dalam undang - undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri. Pengangkatan dilakukan terhadap salah seorang yang diajukan oleh DPRD. Peran DPRD dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya berwenang mengajukan calon kepala daerah.
Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya undang - undang nomor 18/1965 tentang pokok - pokok pemerintahan daerah. dalam undang - undang nomor 18/1965, bertolak belakang dengan undang - undang nomor 1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang - undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon - calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota.
Pemerintahan Orde Baru menerbitkan undang - undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok - pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada undang - undang 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati.
Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang - undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. undang - undang ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang - undang ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang - undang nomor 22 tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa - masa sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. Undang - undang nomor 22 tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. berbeda dengan di masa - masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama - nama calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon - calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang - undang ini, sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok - kelompok social dalam rangka menciptakan opini publik.
Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi. Untuk menggantikan undang - undang nomor 2 tahun 1999, ditetapkanlah undang - undang nomor 32 tahun 2004. Undang - undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya undang - undang nomor 32 tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang - undang tersebut, kemudian pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang - undang (perpu) No. 3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepada daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada tanggal 1 juni 2005.
Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang - undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota DPRD kabupaten lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materil pada UU No.32 tahun 2004. akhirnya keluarlah Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pilkada.
Revisi undang - undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang nomor 12 tahun 2008. Undang - undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang - undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. dimana didalam undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang - undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah.
Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya undang - undang nomor 18/1965 tentang pokok - pokok pemerintahan daerah. dalam undang - undang nomor 18/1965, bertolak belakang dengan undang - undang nomor 1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang - undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon - calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota.
Pemerintahan Orde Baru menerbitkan undang - undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok - pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada undang - undang 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati.
Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang - undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. undang - undang ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang - undang ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang - undang nomor 22 tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa - masa sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. Undang - undang nomor 22 tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. berbeda dengan di masa - masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama - nama calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon - calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang - undang ini, sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok - kelompok social dalam rangka menciptakan opini publik.
Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi. Untuk menggantikan undang - undang nomor 2 tahun 1999, ditetapkanlah undang - undang nomor 32 tahun 2004. Undang - undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya undang - undang nomor 32 tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang - undang tersebut, kemudian pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang - undang (perpu) No. 3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepada daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada tanggal 1 juni 2005.
Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang - undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota DPRD kabupaten lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materil pada UU No.32 tahun 2004. akhirnya keluarlah Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pilkada.
Revisi undang - undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang nomor 12 tahun 2008. Undang - undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang - undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. dimana didalam undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang - undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah.
Pilkada Sebagai Wujud Demokrasi di Tingkat Lokal
Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung menjadi pilar yang memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional (Dahl, 1971). Terlaksananya Pilkada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi karena rakyat secara individu dan kelompok terlibat dalam proses melahirkan pemerintah atau pejabat negara. Pilkada yang dalam makalah ini dimaksudkan sebagai demokrasi lokal adalah upaya untuk mewujudkan local accountability, political equity, dan local responsiveness, yang merupakan tujuan dari desentralisasi (Cheema dan Rondinelli, 2007). Hasil pilkada adalah tampilnya seorang pejabat public yang dimiliki oleh rakyat tanpa membedakan darimana asal dan usul keberadaannya karena dia telah ditempatkan sebagai pengayom bagi rakyat. Siapapun yang memenangkan pertarungan dalam Pilkada ditetapkan sebagai kepala daerah (local executive) yang memiliki legal authority of power (teritorial kekuasaan yang jelas), local own income and distribute them for people welfare (memiliki pendapatan daerah untuk didistribusikan bagi kesejahteraan penduduk), dan local representative as balance power for controlling local executive
(lembaga perwakilan rakyat sebagai pengontrol eksekutif daerah).
Pelaksanaan Pilkada secara langsung memperoleh tanggapan yang cukup beragam di dalam masyarakat. Sebagian melihat Pilkada sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat di daerah, di dalam hal ini, lebih otonom karena sebagai penentu pemimpin daerah. Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di sisi yang lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Pilkada hanya membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu, akan lebih baik digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan rakyat. Apapun pendapat tersebut, realitasnya Pilkada harus berlangsung dan kehadirannya telah menggeser kekuatan sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintah yang dipilih dan ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya system layanan public bagi rakyat di daerah sebagai esensi dari kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate.
Pelaksanaan Pilkada secara langsung memperoleh tanggapan yang cukup beragam di dalam masyarakat. Sebagian melihat Pilkada sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat di daerah, di dalam hal ini, lebih otonom karena sebagai penentu pemimpin daerah. Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di sisi yang lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Pilkada hanya membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu, akan lebih baik digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan rakyat. Apapun pendapat tersebut, realitasnya Pilkada harus berlangsung dan kehadirannya telah menggeser kekuatan sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintah yang dipilih dan ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya system layanan public bagi rakyat di daerah sebagai esensi dari kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate.
0 Comments
Post a Comment