Sejarah Kendari


Sebagaimana telah diceritakan saudara Babol, Teluk Kendari dulunya disebut Vosmaer Baai oleh pemerintah Hindia Belanda

Jauh ke masa si Vosmaer ini belum menemukan Teluk Kendari. Wilayah Kendari sebelumnya adalah bagian dari pemerintahan Kerajaan Konawe yang letaknya di pedalaman dengan ibukotanya Unaaha. Yang sekarang telah menjadi kabupaten otonom (Kabupaten Konawe) berkat pemekaran pada tahun 1995.

Kota Kendari, dulunya bernama Kandai. Diambil dari nama alat kayuh/penokong rakut atau perahu dari bambu (umumnya) sepanjang tiga depa. Ada juga sebagian penduduk yang menyebutnya Kantahi. Artinya kawasan pesisir pantai.

Entah bagaimana ceritanya sehingga orang-orang menyebutnya Kendari. Mungkin perbauran banyak bahasa Nama Kendari lah yang kemudian menjadi pilihan pemerintah Hindia Belanda untuk melazimkan penamaan daerah ini. Struktur pemerintahan Kerajaan Konawe diatur menurut sistem “Siwole Mbatohu, O Pitudula Batu” maksudnya kira-kira pembagian empat wilayah penunjang pemerintah pusat. menjadi:

- Tambo I Lososano oleo. Gerbang Timur dikoordinasi Ranomeeto

- Tambo I Tepuliano oleo. Gerbang barat dikoordinasi Latoma

- Bharata I Hana (Bintara Kanan) dikoordinasi Tonga Una

- Bharata I Moeri (Bintara Kiri) dikoordinasi Asaki/Lambuya

Kota Kendari dibangun setelah pusat Kerajaan Konawe mengalami masa kemunduran di akhir abad ke-19 setelah kevakuman kekuasaan pasca meninggalnya raja Lakidende. Dewan kerajaan tidak bertemu sepakat mengenai siapa pengganti Lakidende. Masing-masing kubu punya calon kuat dan enggan berkoalisi. Setelah sidang anggota dewan digelar, maka diputuskanlah bahwa Saranani sebagai pejabat Sulemandara akan naik menggantikan Lakidende menjadi Konawe 01. Pemimpin Ranomeeto penguasa gerbang wilayah timur tidak menerima keputusan tersebut dan membangkang, melancarkan protes atas pengangkatan Sulemandara sebagai pengganti Raja Lakidende. Perpecahan tersebut dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk menggombal elite dan bangsawan Ranomeeto agar memisahkan diri dari kerajaan Konawe.

“Kowe orang poenja tangan koeat dan beroerat, poenja njali lebi gede, poenja penampilan lebi netjis dari Soelamandara. Heel goed …Ik poenja oesoel iang amet sanget bagoes.

Djikaloe itoe Soelamandara soeda dikasi tjaboet ianjah poenja boeleo ketek, mangka moesna soeda ianjah poenja kakoewatan poen. Verdomme Zig!”. Begitu kira-kira bujuk Gubernur jenderal. Mungkin ditambah pula iming-iming pembangunan proyek airport di wilayah kekuasaannya. Lahirlah Kerajaan Laiwoi di bawah asuhan La Magu sebagai Raja Laiwoi lengkap dengan kabinet pemerintahannya. Batuangan dilantik sebagai Sapati, Malaka dilantik sebagai Kapita dan La Palewo sebagai Punggawa

Menimbang letak geografis Ranomeeto yang tidak strategis, maka Ibu kota kerajaan Laiwoi dipindahkan ke daerah pesisir teluk. Istana Raja Tebau dibangun di atas bukit Vosmaer pada tahun 1832.

Dengan berpindahnya ibu kota Kerajan ini, kawasan teluk Kendari menjadi pusat pemukiman yang ramai. Apalagi sebelumya pada tahun 1824 masyarakat Bajo teluk Bone telah bermigrasi besar-besaran ke teluk Kendari setelah diusir oleh kompeni. Ditambah lagi arus migrasi pada tahun 1861 oleh 300 orang pengikut La Ode Ngkada (Kapitalau Lohiya) yang ngambek pada Raja Muna, La Ode Bulai. Pemerintah Hindia Belanda Menetapkan Jan Nicholas Vosmaer yang sebelumnya nyasar ke teluk ini sebagai Asisten resident dengan surat keputusan no. 16 tanggal 12 Januari 1835. Sebelumnya, pada tahun 1832, si Vosmaer telah mendapat ijin dari pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mengawasi Teluk dari gangguan perompak (Tobelo).

Intermezo: Tobelo ini punya sejarah sendiri. Mereka adalah perompak yang berkeliaran di perairan Sulawaesi Tenggara. menangkap siapa saja yang mereka temui di laut, lalu membawanya ke Labuan Tobelo untuk di gorok (hobi yang mengerikan). Duluuu saya menghabiskan masa kecil di sebuah pulau yang sepuluh kali lebih indah dari Tropico Island. Biasanya, kalo lagi asik bermain di laut, meng-kilikitik salah satu tentakel Kraken. Atau main ciprat2an air sama putri duyung…..atau main enggo sembunyi, poseidon jadinya! ……Tiba-tiba ada perahu Lambo mendekat….kami langsung berhamburan….takut kalo-kalo itu para Tobelo.

Hubungan Kerajaan Laiwoi dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda semakin mesra dengan ditekennya Long Contract sebanyak 27 Pasal pada tanggal 13 April 1858.Pada tahun yang sama (1858) La Magu meninggal dan digantikan Saosao. Namun berhubung usianya yang belum dewasa, Raja Saosao baru dilantik pada tahun 1880.

Pada tanggal 21 Desember 1885, di atas kapal Borneo yang sedang berlabuh di luar Teluk Kendari, Saosao mewakili Hadat Kerajaan Laiwoi dengan Resident Bensbach mewakili Pemerintah Hindia Belanda. Sepakat meneken perjanjian kedua yang berisi 18 pasal. Salah satunya adalah, Kerajaan Laiwoi mengakui secara sah dan masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda.Pada bulan November 1910 hingga Juli 1913 pemerintah Hindia Belanda menempatkan Letnan I.F. Trefers sebagai komandan pos militer untuk menjalankan pemerintahan sipil di Onderafdeeling Kendari.

Setelah kehilangan kedaulatan Laiwoi lewat Korte Verkaliring pada tanggal 30 Agustus 1917. Raja Saosao meninggal dan Tekaka dinobatkan sebagai penggantinya pada tanggal 9 November 1933 sekaligus mengatur hubungan Landschap Laiwoei dengan Gubernemen HB dengan menetapkan pembentukan Afdeeling Boeton en Laiwoei meliputi tiga wilayah onderafdeeling yaitu Buton, Muna dan Kendari.

Kawasan ini menjadi ramai setelah sebelummnya pada tahun 1920 orang Cina dan Arab membangun pertokoan. Teluk Kendari berkembang menjadi pusat kekuasaan kolonial. Dengan membangun loji, tangsi, istana raja, fasilitas pemerintahan, perkantoran, rumah jabatan dan gereja di atas bukit serta fasilitas pelabuhan alam di teluk kendari.

Infrastruktur kota seperti pasar mulai dibangun. Pantai-pantai dipesisir teluk di reklamasi, Tebing-tebing tanjung bagian timur ditimbun demi perluasan fisik kota. Masyarat Bajo yang mulai merasa tidak nyaman dan menyebar ke berbagai wilayah. Ketika jalan yang menghubungkan Kendari dengan daerah pedalaman mulai dibuka (Kendari-Wawotobi) pada tahun 1912, Kampung-kampung disepanjang Teluk telah menjadi konsentrasi pemukiman penduduk. Perluasan kearah utara pesisir pantai seperti kampung Sadoho, Benu-Benua, Tipulu, Kapontori, dan Lahudape berkembang menjadi bagian dari perluasan kota. Jalur jalan yang dibuka menuju ke barat yang menyusur pinggir pantai Menambah padatnya kawasan teluk.

Mungkin ada yang masih asing dengan kota satu ini. Perkenalkan, namanya Kendari, Kota Kendari. Ini adalah kota di mana Tarian Lulo ditarikan, sagu diolah menjadi sinonggi dan kapurung, serta ubi dan jagung masih menjadi makanan pokok di beberapa daerah. Tulisan ini akan membahas sejarah singkat terbentuknya Kota Kendari. Silakan ki’ dibaca-baca…

Kalau ‘Jakarte punye cerite’, maka ‘Kendari punya juga cerita to…’


Kendari tidak mau kalah dong dengan kota-kota lainnya. Beda kota, beda sejarah. Kalau masih bingung atau samar-samar “Kendari itu di mana sih?” silakan buka atlas atau google map. Cari Pulau Sulawesi! Nah, di bagian kanan bawah adalah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Jelas tertulis ibu kotanya adalah Kendari. Jadi tahu kan Kendari di mana? Ingat, Kendari itu berbeda loh dengan Kediri!
Walaupun saat ini Kendari adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), namun pada awalnya Kendari hanyalah sebuah kabupaten. Pada tahun 1938, ibu kota Sultra adalah Bau-Bau. Bau-Bau berlokasi di Pulau Buton yang juga merupakan ibu kotanya hingga saat ini. Nanti pada tahun-tahun berikutnya, ibu kota akhirnya dipindahkan ke Kendari.

Asal mula nama Kota Kendari


Semua tahu dong asal nama Kota Surabaya? Ceritanya sudah sangat terkenal di mana-mana. Penasaran nama Kendari berasal dari mana? Ternyata, asal nama Kendari berawal dari kesalahpahaman. Jadi begini ceritanya. Dulu, ada seseorang yang bertanya pada nelayan setempat, “Apa nama kampung ini?” Si nelayan menjawab, “Kandai.”

Usut punya usut, pendengaran si nelayan saat itu sedang kurang bersahabat. Ia mengira kalau orang itu menanyakan apa nama alat yang sedang dipegangnya. Memang saat itu si nelayan sedang memegang kandai. Kandai berasal dari bahasa Tolaki yang berarti alat dari bambu atau kayu yang dipergunakan untuk menolak/mendorong perahu di tempat yang airnya dangkal. Zaman sekarang istilah kandai lebih dikenal sebagai dayung. Tapi kandai dan dayung sesungguhnya berbeda. Kandai sudah ada jauh sebelum dayung ditemukan. Namun nelayan-nelayan saat ini lebih sering menggunakan perahu layar atau perahu mesin untuk melaut.

Akibat kesalahpahaman itu, atau lebih tepatnya ketidakpahaman itu, kampung tersebut disebut Kampung Kandai (Treffers, 1914). Walaupun sudah lama sekali, tapi kampung ini masih ada loh, namun namanya sudah berubah menjadi Kelurahan Kandai yang berada di bekas awal pusat Kota Kendari yang terletak di wilayah Kecamatan Kendari a.k.a. Kota Lama. Selanjutnya dalam berbagai literatur yang ada, nama Kandai berubah menjadi Kandari atau Kendari. Vosmaer, seorang Belanda, pada tahun 1831 tiba di Kendari. Teluk yang sekarang terkenal dengan nama Teluk Kendari

0 Comments

Post a Comment