Tidak banyak orang yang tahu bahwa tanggal 17 Mei adalah hari buku Nasional. Abdul Malik Fajar selaku Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 17-Mei-2010 lalu menetapkan sebagai hari buku Nasional, ini merupakan upaya untuk memacu minat baca generasi muda sekarang ini. Pasalnya minat baca di Indonesia khususnya masih bisa dibilang cukup minim. Kondisi ini tercatat satu buku dibaca sekitar 80.000 penduduk Indonesia kompas.com
Peringatan hari buku Nasional ini patut kita renungi bersama, betapa menjadi seorang penulis buku bukanlah pekerjaan yang cukup menjanjikan dari segi penghasilan. Untuk royalti masih harus dibagi-bagi antara penulis, penerbit dan lainnya. Hanya beberapa persen yang didapatkan oleh penulis, sekitar 5-10 persen dari harga jual buku. Sejatinya menjadi seorang penulis itu adalah pekerjaan untuk keabadian begitulah adagium menarik yang diungkapkan sang penulis tetralogy pulau buruh, Pramoedya Ananta Toer. Pram juga mengatakan bahwasanya sepandai-pandainya seseorang apabila dia tidak menulis maka diakan hilang dari sejarah.
Meski sang penulis dikritik dari sisi Idealisme, penulis buku diibaratkan pengikat ilmu, penguri-uri pengetahuan, pengabdian kisah sejati dan sebagainya. Akan tetapi profesi tersebut seperti sebagai semacam “kutukan”. Namun disisi lain seorang penulis bisa menularkan pemikirannya lewat buku yang ditulisnya dan ditransformasikan kepada pembacanya. Lewat tulisan seseorang bisa dikenal. Siapa yang akan tahu Socrates, Plato, Adam Smith, Keynes kalau kita tidak membaca bukunya?
Melihat potret realitas Indonesia saat ini untuk minat baca yang masih bisa dibilang minim. Generasi muda sekarang lebih senang memegang media komunikasi elektronik seperti handphone dan sebagainya ketimbang buku. Fenomema ini sungguh-sungguh terjadi dilingkungan sekitar kita. Mereka lebih senang menghabiskan waktunya untuk Twitteran atau Facebookan sebagainya, update status, mention, retweet dan apalah. Budaya pop yang telah menggurita ini membuat banyak kalangan muda menjadi malas untuk membaca buku. Padahal dengan membaca buku akan banyak informasi yang bisa didapatkan dan lebih komprehensif.
Ironisnya, perpustakaan kampus yang seharusnya digunakan mahasiswa untuk mencari buku-buku rerefensi sangat jarang sekali dikunjungi. Mereka lebih senang berjalan-jalan ke Mall, nongkrong bersama teman-temannya, nge-gosip. Sedikit sekali yang menghabiskan sebagian waktunya untuk membaca lembaran-lembaran tulisan yang penuh dengan ilmu pengetahuan tersebut. Mungkin seandainya buku bisa berbicara dia akan berkata “untuk apa aku dibuat kalau hanya untuk disandingankan di lemari , tidak ada yang ingin membaca aku, percuma aku dilahirkan kalau ternyata kelahiranku tidak memberikan arti bagi kehidupan manusia”.
Mulai dari hari buku Nasional ini mari kita kembali merekonstruksi budaya membaca buku. Bersama-sama kita kembalikan budaya membaca di lingkungan sekitar kita. Dengan terciptanya budaya membaca yang baik dan tertatur maka ilmu pengetahuan kita akan semakin bertambah. Tak peduli apa kata orang saat melihat kita membaca buku. Sok-sok-an lah atau sok pinter lah. Jangan terlalu mengindahkan hal semacam itu. Ambil kembali buku yang terpajang rapi di atas lemari yang belum kita baca. Apabila sulit untuk memulai membaca buku, bawa lah terus buku didalam ranselmu, suatu saat disaat kamu sedang bosan maka dengan sendirinya kamu akan membaca buku tersebut. Share-kan dengan teman-teman dan diskusikan apa yang anda dapat dari buku yang anda baca.
0 Comments
Post a Comment