Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742.
Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.
Sejarah Berdirinya
Berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan dampak dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Kesultanan Mataram Islam yang berdiri sejak abad ke-16 Masehi. Pemerintahan awal Kesultanan Mataram Islam berada di Mentaok, kemudian Kotagede (Yogyakarta). Pada masa Amangkurat I (1645-1677), tepatnya tahun 1647, pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered (sekarang di Kabupaten Bantul).
Kemudian, Amangkurat II (1680-1702), mendirikan kerajaan baru di timur Yogyakarta, yaitu di hutan Wonokarto yang berganti nama menjadi Kartasura (kini di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah). Pembangunan keraton baru ini dilakukan karena istana Plered dikuasai pemberontak dan dianggap sudah tidak layak lagi digunakan sebagai pusat pemerintahan. Keraton baru di Kartasura yang mulai dibangun pada 1679 kemudian dikenal sebagai Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Berturut-turut, penerus tahta Amangkurat II di Kasunanan Kartasura Hadiningrat adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwono I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), sampai dengan Pakubuwono II (1726-1749).
Wilayah Kasunanan Surakarta pada 1830 (berwarna merah tua dan berada di sebelah utara)
Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Perpecahan Wangsa Mataram
Di era pemerintahan Pakubuwono II, yakni pada kurun 1741-1742, terjadi upaya perlawanan yang dikenal sebagai “Geger Pecinan” yang menyebabkan hancurnya istana Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Oleh sebab itu, pada 1744, Pakubuwono II membangun pusat pemerintahan baru di Desa Sala (Solo), dekat Sungai Bengawan Solo. Daerah ini kemudian dikenal juga dengan nama Surakarta. Dibangunnya istana di Surakarta menandai berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pemerintahan Pakubuwono II sebagai penguasa pertama Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih diwarnai polemik internal antara sesama trah Mataram. Saudara tiri Pakubuwono II, yakni Pangeran Mangkubumi, menuntut tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Akan tetapi, Pakubuwono II justru menunjuk putranya, yakni Raden Mas Suryadi, sebagai putra mahkota. Pangeran Mangkubumi tidak menerima keputusan itu sehingga pada tahun 1746 ia meninggalkan istana dan mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada Masa Kolonial
Berbeda dengan Pakubuwono III yang agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwono IV (1788-1820) adalah sosok raja yang membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I.
Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwono IV yang berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yang tidak sepaham dengannya. Para pejabat istana yang disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yang memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwono IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwono I dan Mangkunegara I untuk mengepung istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di dalam istana, para pejabat yang sebenarnya tidak sependapat dengan Pakubuwono IV juga ikut menekan dengan tujuan agar para penasehat rohani kerajaan yang beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya takluk dan menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Menjelang dan Setelah Kemerdekaan RI
Setelah Pangeran Diponegoro dapat ditangkap, Belanda mulai curiga kepada Pakubuwono VI karena menolak menyerahkan beberapa wilayah di Surakarta. Sejumlah orang kepercayaan Pakubuwono VI lalu ditahan dan dipaksa membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro.
Meskipun tidak pernah ditemukan bukti, Belanda tetap mendakwa Pakubuwono VI bersalah dan pada 8 Juni 1830, Pakubuwono VI beserta keluarganya dibuang ke Ambon, padahal ketika itu permaisuri Pakubuwono VI sedang hamil. Menurut keterangan resmi pemerintah kolonial Hindia Belanda, kapal yang ditumpangi rombongan Pakubuwono VI mengalami kecelakaan dan mengakibatkan sang Raja tewas, sedangkan sang permasiuri selamat dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Raden Mas Duksino pada 22 Desember 1830.
Ketika dipindahkan dari Ambon ke Imogiri pada 1957, di dahi tengkorak Pakubuwono VI ditemukan lubang yang ternyata cocok dengan ukuran peluru senjata api jenis Baker Riffle. Atas penemuan tersebut kemudian muncul dugaan bahwa wafatnya Pakubuwono VI bukan disebabkan kecelakaan, melainkan karena ditembak pada bagian dahi. Atas jasa dan pengorbanan beliau, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964, Sri Susuhunan Pakubuwono VI ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Masa Kemerdekaan
Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kota Surakarta
(Hanacaraka: ꦑꦸꦛꦯꦸꦫꦏꦂꦠ), juga disebut Solo atau Sala (ꦱꦭ), adalah wilayah otonom dengan status kota di bawah Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, dengan penduduk 503.421 jiwa (2010) dan kepadatan 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2, ini berbatasan dengan Kabupaten
Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo.
Bersama dengan Yogyakarta, Surakarta merupakan pewaris Kesultanan Mataram yang dipecah melalui Perjanjian Giyanti, pada tahun 1755. Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo.
Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan ("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi" (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasar kliwon)
"Sala" adalah satu dari tiga dusun yang dipilih oleh Sunan Pakubuwana II atas saran dari Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff, ketika akan mendirikan istana baru, setelah perang sukse Mataram terjadi di Kartasura.
Pada masa sekarang, nama Surakarta digunakan dalam situasi formal-pemerintahan, sedangkan nama Sala/Solo lebih merujuk kepada penyebutan umum yang dilatarbelakangi oleh aspek kultural. Kata sura dalam Bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur", sebagai sebuah harapan kepada Yang Maha Kuasa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan permainan kata dari Kartasura. Kata sala, nama yang dipakai untuk desa tempat istana baru dibangun, adalah nama pohon suci asal India, yaitu pohon sala (Couroupita guianensis atau Shorea robusta)
Ketika Indonesia masih menganut Ejaan van Ophuvsen, nama kota ini ditulis Soerakarta. Dalam aksara Jawa modern, ditulis ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ atau ꦯꦸꦫꦑꦂꦡ. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru Mataram. Namun, sejumlah catatan lama menyebut, bentuk antara "Salakarta"
0 Comments
Post a Comment