Kerajaan Aceh Darussalam berkuasa mulai akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-20 M. Dalam rentang masa empat abad tersebut, telah berkuasa 35 orang sultan dan sultanah. Sebelum membahas lebih jauh tentang kerajaan ini, ada baiknya kita mengenal kondisi geografis dan topografis daerahnya (Aceh atau Banda Aceh) terlebih dahulu.
Aceh adalah salah satu Provinsi Indonesia yang terletak di ujung Barat laut pulau Sumatera dan diapit oleh dua laut yaitu Lautan Indonesia dan Selat Malaka. Setelah 89 tahun nama Kuta raja dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam menggantikan nama Banda Aceh Darussalam, maka pada tahun 1963 Banda Aceh kembali dihidupkan berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Sejak tanggal tersebut nama Banda Aceh kembali resmi menjadi ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain karena banyaknya versi serta sumber-sumber yang berbicara tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat, asal-usul Aceh masih belum terkuak dengan jelas. Seperti yang dituturkan oleh Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh menganggap diri mereka keturunan dari imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar).
Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia pernah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kuta karang, yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa.
Dalam buku berjudul ”Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006) karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, dikemukakan bahwa yang disebut Aceh adalah daerah yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada saat Aceh masih menjadi sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh adalah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk atau disebut juga dengan ”Aceh Lhee Sagoe” (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, ada juga yang menyebutnya Aceh lnti (Aceh Proper) atau "Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam sekaligus letak ibukotanya.
Nama Aceh sering juga dipakai oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya yang bernama Bandar Aceh Darussalam. Terkait asal usul nama Aceh sendiri belum ada kepastian yang menyebutkan dari mana dan kapan nama Aceh mulai digunakan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama Achem, Achen, dan Aceh, orang Arab menyebut Asyi. ”Dachem”, Dagin, dan Dacin sementara orang Cina menyebutnya dengan nama Atje dan Tashi.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam
Dalam karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang lain (Ragam Sejarah Aceh, 2004: 1-2), disebutkan bahwa selain untuk penyebutan nama tempat, Aceh juga merupakan nama dari salah satu suku bangsa atau etnis penduduk asli yang mendiami Bumi Aceh. Terdapat cukup banyak etnis yang bermukim di wilayah Aceh, yakni etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk, Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Aceh, termasuk suku bangsa Aceh itu telah eksis sejak Aceh masih menjadi kerajaan/kesultanan.
Aceh adalah wilayah yang besar dan dulunya dihuni oleh beberapa pemerintahan besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, dulu di tanah Rencong ini juga pernah berdiri Kerajaan Islam Lamuri, bahkan cikal bakal kerajaan Aceh tidak terlepas dari kerajaan Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam.
Kerajaan Lamuri juga dikenal dengan banyak nama, antara lain adalah sebagai berikut:
Indra Purba
Poli
Lamuri (seperti yang disebutkan oleh Marcopolo)
Ramini/Ramni atau Rami (seperti yang disebutkan oleh pedagang atau ulama Arab yaitu Abu Zayd Hasan, Sulaiman ataupun lbnu Batutah)
Lan-li, Lan-wuli dan Nanpoli (seperti yang disebut oleh orang Tionghoa).
Berita tentang kerajaan Lamuri ini diperoleh dari prasasti yang di tulis pada masa raja Rajendra Cola I pada tahun 1030 di Tanjore (India Selatan). Serangan yang dilakukan oleh Rajendra Cola I mengakibatkan beberapa kerajaan di Sumatera dan semenanjung Melayu menjadi lemah, termasuk di dalamnya adalah Ilmauridacam (Lamuri).
Penyerangan terhadap Lamuri di ujung pulau Sumatera dilakukan karena kerajaan Lamuri merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya juga pernah mendapatkan serangan dari kerajaan Cola pada tahun 1017 M. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kerajaan Lamuri diperkirakan sudah mulai berdiri pada abad ke IX dan sudah memiliki angkatan perang yang kuat dan hebat.
Peristiwa penyerangan Cola terhadap kerajaan Lamuri yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad dan kemudian dilanjutkan dengan serangan oleh Majapahit dan Cheng Ho, akhirnya membuat Lamuri menjadi semakin lemah. Dari sinilah kemudian muncul beberapa kampung yang akhirnya disatukan kembali di bawah kekuasaan seorang raja. Kemudian terdengar pula berbagai nama menjelang lenyapnya Lamuri seperti Darul Kamal, Meukuta Alam, Aceh Darussalam (Darud Dunia).
Sejarawan Husein Djajadiningrat mengemukakan pendapat tentang urutan raja Lamuri yang pernah berkuasa berdasarkan dua naskah hikayah. Pertama (122) Hikayat yang berisi tentang raja Aceh (Lamuri) yang bernama Indra Syah (kemungkinan yang dimaksud adalah Maharaja Indra Sakti). Dalam hikayat tersebut juga menceritakan bahwa raja Indra Syah pernah berkunjung ke Cina. Cerita tentang Indra Syah dalam hikayat tersebut berhenti sampai di situ. kemudian dalam hikayat itu menceritakan Syah Muhammad dan Syah Mahmud, dua bersaudara putra dari raja.
Diceritakan juga mengenai Syah Sulaiman mempunyai dua orang anak yaitu raja Ibrahim dan Puteri Safiah. Sedangkan Syah Mahmud setelah menikah dengan bidadari Maidani Cendara juga mempunyai dua orang anak yaitu, raja Sulaiman dan Puteri Arkiah, kemudian Sulaiman di nikahkan dengan sepupunya Safiah dan Ibrahim dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Arkiah, pernikahan ini merupakan usulan dari kakek mereka yang bernama raja Munawar Syah.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam
Dikatakan raja Munawar Syah yang pernah memerintah di kerajaan Lamuri. Hikayat ini juga menceritakan tentang lahirnya dua orang puteran yang bernama Musaffar Syah yang memerintah di Mekuta Alam dan Inayat Syah yang memerintah di Darul Kamal. Namun kedua raja ini selalu berperang, dalam peperangan tersebut raja Musaffar Syah mampu menundukkan Raja Munawar Syah.
Kemudian Raja Musaffar Syah menyatukan dinasti Meukuta Alam dengan dinasti Darul Kamal. Dan dikatakan juga bahwa Inayat Syah mempunyai seorang putra bernama Firman Syah Paduka Almarhum, kemudian Firman Syah mempunyai seorang putra yaitu Said Al-Mukammil yang mempunyai beberapa orang anak diantaranya Paduka Syah Alam Puteri Indra Bangsa bunda Sri Sultan perkasa Alam Johan Berdaulat (Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam ).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Said AI-Mukammil merupakan kakek sultan Iskandar Muda dari garis keturunan ibu. Selain itu Sultan Alaidin Al-Mukammil mempunyai beberapa orang Putera, salah satunya adalah sultan Muda Ali Riayat Syah (1604-1607 ), yang merupakan paman dari Sultan Iskandar Muda.
Naskah kedua (124) yang dimaksud dalam pembicaraan Husein Djajadiningrat mengenai hikayat raja-raja Lamuri ( Aceh ), dari hikayat ini yang dibuat silsilah yang dimaulai dari Sultan Johan Syah yang kemungkinan maksudnya adalah Meurah Johan atau Sultan Alauddin Johan Syah yang merupakan Putera raja Lingge, Adi Genali. Dan kemudian menikah dengan Puteri Blieng Indra Kusuma. Berbeda dengan hikayat yang pertama, hikayat ini menentukan hari, tanggal dan bulan tahunnya. Pada permulaan disebutkan bahwa Johan Syah memerintah dimulai pada tahun Hijrah 601 atau sekitar tahun 1205 M, lamanya 30 tahun.
Sepeninggalan Johan Syah, ia digantikan oleh anaknya akan tetapi tidak disebutkan namanya, setelah sultan kedua meninggal, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Syah yang memerintah selama 34 tahun 2 bulan 10 hari, hingga mangkatnya pada tahun 885 Hijrah.
Setelah masa pemerintahan Ahmad Syah berakhir, kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang bernama sultan Muhammad Syah yang memerintah selama 43 tahun. Pada masa itu sultan Muhammad Syah memerintahkan pemindahan kota dan pembangunan kota baru yang diberi nama Darud Dunia, sultan Muhammad Syah meninggal pada tahun 708 Hijrah. Dilihat dari tahun meninggalnya Sultan Muhammad Syah, dapat di simpulkan bahwa pembangunan Darud Dunia adalah sekitar tahun 700 Hijrah atau kira-kira tahun 1260 Masehi.
Sesudah sultan Muhammad Syah meninggal, maka tahta sebagai raja digantikan oleh Mansur Syah yang memerintah selama 56 tahun 1 bulan 23 hari. Ia kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama raja Muhammad pada tahun 811 Hijrah yang memerintah selama 59 tahun 4 bulan 12 hari dan meninggal pada tahun 870 Hijrah. Raja Muhammad kemudian digantikan oleh Husein Syah selama 31 tahun 4 bulan 2 hari untuk kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama sultan Ali Riayat Syah yang memerintah selama 15 tahun 2 bulan 3 hari, meninggal pada tanggal 12 Rajab 917 Hijrah atau tahun 1511 Masehi.
Atas dasar hikayat-hikayat yang di telitinya itu, Husein Djajadiningrat telah membuat urutan nama raja-raja Aceh (Lamuri). Yang memerintah semenjak Johan Syah (1205 Masehi ) sebagai berikut;
Sultan Johan Syah Hijrah 601-631
Sultan Ahmad 631-662
Sri Sultan Muhammad Syah, anak Sultan ke-2, berumur setahun ketika mulai naik tahta pergi dari Kandang dan membangun kota Darud Dunia Hijrah 665-708.
Firman Syah, anak Sultan ke-3 708-755.
Mansur Syah 755-811.
Alauddin Johan Syah, anak sultan ke-S, Mulanya bernama Mahmud 811-870.
Sultan Husin Syah 870-901.
Riayat Syah ( Mughayat Syah -MS) 901-907.
Salahuddin, digantikan oleh no.10 (adiknya) 917-946.
lauddin ( AIkahar -MS) adik no.9. 946-975.
Dari data di atas kita dapat mengetahui urutan raja-raja yang pernah berkuasa, namun dari ke 10 nama raja-raja di atas, tidak ditemukan nama-nama Sultan Musaffar Syah, dan juga tidak ditemukan nama lnayat Syah dan Syamsu Syah. Padahal nama-nama itu dapat dibuktikan kebenarannya dari nukilan pada makam mereka yang dijumpai kemudian.
Nama Musaffar Syah terdapat dalam naskah yang tersebut lebih dulu, sementara nama Mahmud Syah sebagai pembangun kota Darud Dunia terdapat pada naskah yang tersebut ke-2. Suatu penemuan penting lain adalah makam dari sultan Musaffar Syah, makam tersebut tidak di Meukuta Alam, ditempat dimana dia pernah memerintah, akan tetapi ditemukan di suatu kampung bernama Biluy, IX mukim, yang letaknya termasuk dalam wilayah Aceh Besar juga. Pada batu nisannya bertuliskan tahun meninggalnya yaitu 902 Hijrah atau 1497 Masehi.
Peninggalan Sejarah Provinsi Aceh
Tuesday, April 18, 2017 Peninggalan Sejarah
Aceh (/ˈɑːtʃeɪ/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang). Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Berikut ini beberapa Peninggalan Sejarah yang masih ada di Provinsi Aceh
Benteng Indra Patra di Kecamatan Peukan Bada [sumber]
Benteng Indra Patra
Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Budha yang datang dari daratan benua Asia. Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan kecil yang berdasarkan agama tersebut misalnya Indrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa semuanya di Aceh Besar.
Indrapatra terletak di kecamatan Mesjid Raya, Jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari pusat kota Banda Aceh menuju pelabuhan Krueng Raya. Di situ terdapat sebuah benteng yang biasa disebut sebagai Benteng Indrapatra. Menurut catatan sejarah, benteng ini dibangun pada abad ke-7 Masehi semasa pemerintahan Kerajaan Lamuri.
Benteng ini sendiri berada pada posisi yang cukup strategies karena berhadapan langsung dengan selat Malaka sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan penjajah Portugis.
Ketika Islam kemudian masuk ke Aceh, benteng ini masih menjadi tempat pertahanan dari serangan Portugis. Konon, Laksamana Malahayati pernah menggunakan benteng Indrapatra untuk melawan Portugis.
Bisa dibilang, benteng Indrapatra merupakan saksi bisu perjalanan sejarah dari masa ke masa; dari masa kejayaan Hindu hingga berjayanya kerajaan Islam di Aceh. Dan benteng ini masih berdiri kokoh hingga hari ini, meskipun pada beberapa bagian kondisinya terlihat memprihatinkan.
Taman Putroe Phang
Gunongan Putroë Phang
Gunongan Putroë Phang
Taman Putroe Phang (Taman Putri Pahang) adalah taman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) untuk permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Kerajaan Pahang. Taman ini dibangun karena sultan sangat mencintai Putri Pahang dan agar sang permaisuri tidak kesepian bila di tinggal sultan menjalankan pemerintahan.
Pembangunan taman dikisahkan merupakan permintaan dari Putroe Phang, putri raja yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang ditaklukan.
Di dalam taman ini terdapat Pinto Khop yaitu gerbang kecil berbentuk kubah yang merupakan pintu yang menghubungkan taman dengan istana. Pinto Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, di sanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Di sana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri keramas dan mandi bunga. [sumber]
Taman Sari Gunongan ini terbuka untuk umum, yang dibuka dari jam 7.00-18.00 WIB. Di Pinto Khop, yang berada tidak jauh dari Gunongan, terdapat taman bermain anak-anak sehingga tempat ini ramai dikunjungi terutama pada sore hari atau hari-hari libur. Di Taman Sari ini terdapat pula kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang mengelola bangunan, situs bersejarah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra.
Gunongan dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636. [sumber]
Kerkoff Peucut [sumber]
Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut
Kerkoff Peucut adalah kuburan prajurit Belanda yang tewas dalam Perang Aceh yang sekarang menjadi objek wisata menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara (terutama wisatawan asal Belanda).
Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak.
Bukti sejarah ini dapat ditemukan di pekuburan Belanda Kerkhoff ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda, dan termasuk di antaranya serdadu Jawa, Batak, Ambon, Madura dan beberapa serdadu suku lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia Belanda. yang kuburannya masih dirawat dengan baik. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut. Mereka tidak habis pikir bahwa bangsa yang dijajah mau merawat makam para penjajahnya.
Kuburan Kerkhoff Banda Aceh adalah kuburan militer Belanda yang terletak di luar negeri Balanda yang terluas di dunia. Dalam sejarah Belanda, Perang Aceh merupakan perang paling pahit yang melebihi pahitnya pengalaman mereka pada saat Perang Napoleon.
Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang tewas dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui di mana kuburnya.
Tokoh militer Belanda yang dimakamkan di Kerkoff Peucut: Johan Harmen Rudolf Köhler, Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, W.B.J.A. Scheepens.
Lonceng Cakra Donya [Wikipedia]
Lonceng Cakra Donya
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.
Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Cina kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda.
Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau icon khusus Kota Aceh.
Makam Sultan Iskandar Muda
Makam Sultan Iskandar Muda adalah sebuah makam dari tokoh penting dalam sejarah kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda. Beliau merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.
Kerajaan Aceh pernah mengalami masa kejayaan, kala Sultan memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam di masa abad ke 17 yaitu pada tahun 1607-1636. Pada masa pemerintahan Beliau, kerajaan Islam Aceh menduduki peringkat kelima kerajaan Islam terbesar di dunia.
Alamat Makam Sultan Iskandar Muda terletak di Peuniti, Baiturrahman, Kota Banda Aceh 23116, Provinsi Aceh.
Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid Raya Baiturrahman
Alamat: Masjid Raya, Kp. Baru, Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh
Tinggi: 35 m
Provinsi: Aceh
Letak: Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Kubah: 7
Menara: 5
Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid Kesultanan Aceh yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam pada tahun 1022 H/1612 M. Bangunan indah dan megah yang mirip dengan Taj Mahal di India ini terletak tepat di jantung Kota Banda Aceh dan menjadi titik pusat dari segala kegiatan di Aceh Darussalam.
Sewaktu Kerajaan Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada agresi tentara Belanda kedua pada Bulan Shafar 1290 Hijriah/10 April 1873 Masehi, Masjid Raya Baiturrahman dibakar. Kemudian, pada tahun 1877 Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk menarik perhatian serta meredam kemarahan Bangsa Aceh. Pada saat itu Kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat yang merupakan Sultan Aceh yang terakhir.
Sebagai tempat bersejarah yang memiliki nilai seni tinggi, Masjid Raya Baiturrahman menjadi objek wisata religi yang mampu membuat setiap wisatawan yang datang berdecak kagum akan sejarah dan keindahan arsitekturnya, di mana Masjid Raya Baiturrahman termasuk salah satu Masjid terindah di Indonesia yang memiliki arsitektur yang memukau, ukiran yang menarik, halaman yang luas dengan kolam pancuran air bergaya Kesultanan Turki Utsmani dan akan sangat terasa sejuk apabila berada di dalam Masjid ini.
Saat bencana tsunami meluluh lantakan Tanah Rencong Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri dengan megahnya, ombak tsunami yang mulai membasahi Bumi Aceh sungguh tak mampu menghancurkan rumah Allah ini. Pada saat itu Masjid Raya Baiturrahman menjadi tempat bagi rakyat Aceh berlindung juga sebagai tempat evakuasi jenazah para korban tsunami yang bergelimpangan.
Setelah melewati berbagai peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat ini Masjid Raya Baiturrahman masih tetap berdiri kukuh sebagai simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.
Monumen Kerajaan Islam Peureulak
Monumen Kerajaan Islam Peureulak adalah peninggalan Kerajaan Islam Peureulak, terletak Desa Paya Meuligau, kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Di kawasan ini dahulu tempat berdirinya Kerajaan Islam Peureulak yang pertama di Asia Tenggara pada abad ke-9 Masehi berada, Monumen ini dibangun sebagai simbol tempat Kerajaan Islam Peureulak yang pertama di Asia Tenggara yang didirikan pada tahun 840-864 M dengan Raja Pertama Sultan Alaidin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah. Di lokasi ini juga terdapat makam Beliau dan Isterinya.
Referensi
http://wawasankoe.blogspot.com/2019/09/sejarah-berdirinya-kerajaan-aceh.html
https://semuatentangprovinsi.blogspot.com/2017/04/peninggalan-sejarah-provinsi-aceh.html
0 Comments
Post a Comment