Sejarah Gunung Galunggung

 Menurut misteri, asal usul, Mitos Sejarah Gunung galunggung dimulai pada abad ke XII. Di kawasan ini terdapat suatu Rajyamandala (kerajaan bawahan)Galunggung yang berpusat di Rumantak, yang sekarang masuk dalam wilayah Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya.  Tempat Sejarah Gunung galunggung merupakan salah satu pusat spiritual kerajaan Sunda pra Pajajaran, dengan tokoh pimpinannya Batari Hyang pada abad ke-XII. Saat pengaruh Islam menguat, pusat tersebut pindah ke daerah Pamijahan dengan Syeikh Abdul Muhyi (abad ke XVII) sebagai tokoh ulama panutan.  Sumber prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di sana menyebutkan bahwa pada tahun 1033 Saka atau 1111 Masehi, Batari Hyang membuat susuk/ parit pertahanan. Peristiwa nyusuk atau pembuatan parit ini berarti menandai adanya penobatan kekuasaan baru di sana (di wilayah Galunggung). Sementara naskah Sunda kuno lain adalah Amanat Galunggung yang merupakan kumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan berisi petuah–petuah yang disampaikan oleh Rakyan Darmasiksa, penguasaGalunggung pada masa itu kepada anaknya.  Sementara Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran yang telah melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa sempat menuliskan Galunggung dalam catatan perjalanannya. Namun demikian tak banyak informasi mengenai Galunggung yang didapat dari naskah ini. Sadatang ka Saung Galah, sadiri aing ti inya, Saung Galah kaleu(m)pangan, kapungkur Gunung Galunggung, katukang na Panggarangan,ngalalar na Pada Beunghar, katukang na Pamipiran. (Sesampai di Saung Galah berangkatlah aku dari sana ditelusuri Saung Galah, Gunung Galunggung di belakang saya, melewati Panggarangan, melalui Pada Beunghar, Pamipiran ada di belakangku.)  Sejarah Latusan Dahsyat Galunggung  Sejarah Gunung galunggung telah meletus sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1822, 1894, 1918 dan dalam kurun waktu tahun 1982-1983. Johannes Olivier Jz dalam bukunya menyebutkankan bahwa sebelum tahun 1822, tidak ditemukan data tertulis ataupun sumber lisan tentang letusan Gunung Galunggung di masa lampau, baik yang berasal dari sumber asing maupun sumber lokal masyarakat setempat. Naskah-naskah Sunda kuno pun tidak ada yang secara explisit menceritakan mengenai letusan Galunggung di masa silam.  Kerajaan Galunggung  Pengaruh Galunggung terhadap perkembangan sejarah di tatar Sunda tidak terlepas dari eksistensi Resi Demunawan untuk menyatukan Sunda dengan Galuh, terutama ketika masa Sanjaya dan Manarah. Resi Demunawan mempersatukan Sunda dengan Galuh melalui perkawinan Manarah, Banga dan keturunan Saunggalah. Pengaruh dari Galunggung tersebut terlihat pula pada proses terbentuknya Perjanjian Galuh.  Pasca Resi Demunawan, Galunggung masih tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat. Mengingat sejak pertama diperintah oleh Sempakwaja, Galunggung sudah menjadikan dirinya Negara Agama atau “Kebataraan”.  Kerajaan Galunggung telah ada pada Jaman Sempakwaja, putra Wretikandayun, pendiri Galuh (670). Daerah Galunggung diberikan Wretikandayun kepada Sempakwaja seiring dengan diangkatnya Amara – Mandiminyak, adik Sempakwaja sebagai putra mahkota Galuh. Sempakwaja diberi gelar Resiguru di Galunggung dengan gelar Batara Danghyang Guru. Menurut RPMSJB : “Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh Singaparna (berbahasa sunda berhuruf arab) dan berasal dari bagian akhir ada ke-19 masih menyebutkan tokoh sempakwaja diantara generasi pertama Kerajaan Galunggung. Ia masih dikenal dan disebut dalam berbagai mantra dan do’a. Ia sudah “didewakan” orang” (Buku Ketiga, hal.18). Mungkin yang dimaksudk

Menurut misteri, asal usul, Mitos Sejarah Gunung galunggung dimulai pada abad ke XII. Di kawasan ini terdapat suatu Rajyamandala (kerajaan bawahan)Galunggung yang berpusat di Rumantak, yang sekarang masuk dalam wilayah Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya.

Tempat Sejarah Gunung galunggung merupakan salah satu pusat spiritual kerajaan Sunda pra Pajajaran, dengan tokoh pimpinannya Batari Hyang pada abad ke-XII. Saat pengaruh Islam menguat, pusat tersebut pindah ke daerah Pamijahan dengan Syeikh Abdul Muhyi (abad ke XVII) sebagai tokoh ulama panutan.

Sumber prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di sana menyebutkan bahwa pada tahun 1033 Saka atau 1111 Masehi, Batari Hyang membuat susuk/ parit pertahanan. Peristiwa nyusuk atau pembuatan parit ini berarti menandai adanya penobatan kekuasaan baru di sana (di wilayah Galunggung). Sementara naskah Sunda kuno lain adalah Amanat Galunggung yang merupakan kumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan berisi petuah–petuah yang disampaikan oleh Rakyan Darmasiksa, penguasaGalunggung pada masa itu kepada anaknya.

Sementara Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran yang telah melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa sempat menuliskan Galunggung dalam catatan perjalanannya. Namun demikian tak banyak informasi mengenai Galunggung yang didapat dari naskah ini. Sadatang ka Saung Galah, sadiri aing ti inya, Saung Galah kaleu(m)pangan, kapungkur Gunung Galunggung, katukang na Panggarangan,ngalalar na Pada Beunghar, katukang na Pamipiran. (Sesampai di Saung Galah berangkatlah aku dari sana ditelusuri Saung Galah, Gunung Galunggung di belakang saya, melewati Panggarangan, melalui Pada Beunghar, Pamipiran ada di belakangku.)


Sejarah Latusan Dahsyat Galunggung


Sejarah Gunung galunggung telah meletus sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1822, 1894, 1918 dan dalam kurun waktu tahun 1982-1983. Johannes Olivier Jz dalam bukunya menyebutkankan bahwa sebelum tahun 1822, tidak ditemukan data tertulis ataupun sumber lisan tentang letusan Gunung Galunggung di masa lampau, baik yang berasal dari sumber asing maupun sumber lokal masyarakat setempat. Naskah-naskah Sunda kuno pun tidak ada yang secara explisit menceritakan mengenai letusan Galunggung di masa silam.

Kerajaan Galunggung

Pengaruh Galunggung terhadap perkembangan sejarah di tatar Sunda tidak terlepas dari eksistensi Resi Demunawan untuk menyatukan Sunda dengan Galuh, terutama ketika masa Sanjaya dan Manarah. Resi Demunawan mempersatukan Sunda dengan Galuh melalui perkawinan Manarah, Banga dan keturunan Saunggalah. Pengaruh dari Galunggung tersebut terlihat pula pada proses terbentuknya Perjanjian Galuh.

Pasca Resi Demunawan, Galunggung masih tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat. Mengingat sejak pertama diperintah oleh Sempakwaja, Galunggung sudah menjadikan dirinya Negara Agama atau “Kebataraan”.

Kerajaan Galunggung telah ada pada Jaman Sempakwaja, putra Wretikandayun, pendiri Galuh (670). Daerah Galunggung diberikan Wretikandayun kepada Sempakwaja seiring dengan diangkatnya Amara – Mandiminyak, adik Sempakwaja sebagai putra mahkota Galuh. Sempakwaja diberi gelar Resiguru di Galunggung dengan gelar Batara Danghyang Guru. Menurut RPMSJB : “Sebuah naskah yang dimiliki oleh sesepuh Singaparna (berbahasa sunda berhuruf arab) dan berasal dari bagian akhir ada ke-19 masih menyebutkan tokoh sempakwaja diantara generasi pertama Kerajaan Galunggung. Ia masih dikenal dan disebut dalam berbagai mantra dan do’a. Ia sudah “didewakan” orang” (Buku Ketiga, hal.18). Mungkin yang dimaksudkan sudah “didewakan” sama halnya dengan pemahaman saat ini, yakni “dianggap orang suci”, karena peranannya dimasa lalu.

Galunggung dari masa kemasa memainkan peranan yang cukup penting, terutama sebagai pengimbang Galuh dan Sunda. Pada tahun 723 M, Sempakwaja pernah menyerahkan Galunggung beserta daerah bawahannya kepada putranya, Resi Demunawan sebagai bagian dari pembentukan Saung Galah. Resi Demunawan dikenal pula dengan sebutan Sang Seuweu Karma atau didalam carita Parahyangan dikenal dengan sebutan Rahiyang Kuku.

Kekuasaan Galunggung dalam tradisi silam dianggap sebagai sumber ilmu, karena ia dirikan sebagai “kerajaan agama”. Galunggung menurut Fragmen Carita Parahyangan memiliki batas sebelah utara gunung Sawal, sebelah timur Pelang Datar, dan sebelah selatan Ciwulan.

Berdasarkan catatan sejarah Kabupaten Tasikmalaya, eksistensi Galunggung dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII, Kerajaan tersebut sekarang menjadi Kabupaten Tasikmalaya. Pemerintahan Galunggung pada masa awal berbentuk “Kebataraan”. Galunggung mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Sempakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Sejak masa Batara Hyang pemerintahan Galunggung mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan, sehingga disebut Kerajaan Galunggung.

Pada abad ke 18 kerajaan tersebut masih ada dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Karena alasan Historis, penduduk Kampung Naga di Salawu tabu menyebut nama Singaparna, mereka tetap menggunakan nama Galunggung.

Tentang Kerajaan penguasa Galunggung, yakni Hyang Batari dikenal adanya ajaran – tetekon hirup yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian, ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.

Batari Hyang disebut sebagai nu nyusuk na Galunggung. Ajaran yang tertulis dalam naskah itu disebutkan sebagai ajarannya. Tokoh ini pula yang dalam kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) disebut sang sadu jati atau sang bijaksana atau sang budiman. Memang unik karena "pencipta" ajaran kesejahteraan hidup yang harus men­jadi pegangan para raja dan rakyatnya itu adalah seorang wanita. Namun sampai saat ini belum ada sejarah yang membeberkan masalah ini. Biasanya ajaran demikian merupakan dominasi laki-lali dan bersifat maskulin, terutama ketika menyangkut masalah agama atau keyakinan. Demikian pula alasan Batari Hyang membangun parit pertahanan sebagai perlindungan pusat pemerintahannya sampai saat ini juga belum dapat dijelaskan.

0 Comments

Post a Comment