Kota Pontianak adalah Ibukota Provinsi Kalimantan Barat . Kota Pontianak dilintasi oleh garis khatulistiwa dengan Tugu Khatulistiwa sebagai penanda dan landmark dari Kota Pontianak. Kota Pontianak juga dibelah oleh dua sungai besar yaitu Sungai Landak dan Sungai Kapuas (Sungai Terpanjang di Indonesia). Pendiri Kota Pontianak adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie. yang merupakan seseorang keturunan Arab, anak Al Habib Husein, yang juga seorang penyebar agama Islam dari Jawa. Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al Habib Husein menikah dengan putri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan itu lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Syarif Abdurrahman melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas. Ikut dalam rombongannya sejumlah orang yang menumpang 14 perahu. Di Pontianak, ia kerap diganggu oleh hantu Kuntilanak yang memang jadi penghuni di hutan sepanjang Sungai Kapuas. Syarif Abdurrahman menembakkan meriam ke tiga tempat yang kemudian jadi 3 titik pembangunan Pontianak. Ternyata, tembakan meriam yang suaranya sangat kencang itu berhasil menakuti para kuntilanak sehingga mereka pergi dari hutan Pontianak. Rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian mereka membuka dan menebas hutan di dekat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru. Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan baru Pontianak. Ia pun membangun masjid dan istana untuk sultan. Masjid yang dibangun aslinya beratap rumbia dan konstruksinya dari kayu.
Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi. Ia memiliki putera bernama Syarif Usman. Saat ayahnya meninggal, Syarif Usman masih berusia kanak-kanak, sehingga belum bisa meneruskan pemerintahan almarhum ayahnya. Maka pemerintahan sementara dipegang adik Syarif Abdurrahman, bernama Syarif Kasim. Setelah Syarif Usman dewasa, dia menggantikan pamannya sebagai Sultan Pontianak, pada 1822 sampai dengan 1855 Masehi. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan Syarif Usman, dan dinamakan sebagai Masjid Abdurrahman, sebagai penghormatan dan untuk mengenang jasa-jasa ayahnya.
Beberapa ulama terkenal pernah mengajarkan agama Islam di masjid Jami' Sultan Abdurrahman. Mereka di antaranya Muhammad al-Kadri, Habib Abdullah Zawawi, Syekh Zawawi, Syekh Madani, H. Ismail Jabbar, dan H. Ismail Kelantan. Masjid Jami' Pontianak dapat menampung sekitar 1.500 jamaah shalat. Masjid akan penuh terisi jamaah shalat, saat waktu shalat Jumat dan tarawih Ramadan. Pada sisi kiri pintu masuk masjid, terdapat pasar ikan tradisional. Di belakangnya merupakan permukiman padat penduduk Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis dan di bagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, terbentang Sungai Kapuas.
Ditinjau dari sejarahnya, asal usul kota Pontianak dulunya adalah sebuah hutan belantara yang tepat berada di simpang tiga sungai, yaitu sungai Landak, sungai Kapuas, dan sungai Kapuas Kecil. Hutan belantara ini kemudian dibabat dan dibuka oleh sekelompok warga yang berasal dari Kerajaan Melayu. Warga yang dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie ini menebangi pohon di hutan tersebut dan mendirikan kampungan mulai sejak 23 Oktober 1771 Masehi. Selama proses pembukaan hutan, para warga terus saja di usik oleh mahluk-mahluk halus berwujud kuntilanak. Terutama saat malam tiba, ketika para warga tengah beristirahat, suara-suara ngeri wanita tertawa dari tengah hutan selalu saja menghantui. Tak jarang bahkan sosok astral itu menampakan wujudnya di seberang sungai.
Syarif Abdurrahman Alkadrie yang menjadi pimpinan rombongan menganggap gangguan dari sosok kuntilanak telah membuat pekerjaan mereka terhambat. Para rombongannya takut dan sebagian lagi ingin berhenti meneruskan pekerjaannya untuk pulang. Ia kemudian bersiasat untuk membawa sebuah meriam besar ke tengah hutan tersebut. Meriam yang dibawa ini kemudian akan selalu dinyalakan ke arah sumber bunyi kuntilanak agar kuntilanak kaget. Siasat inipun pada akhirnya berhasil. Lambat laun, gangguan dari kuntilanak pun berangsur-angsur hilang. Para pekerja tenang dan hutan berhasil dibuka sepenuhnya. Syarif Abdurrahman Alkadrie yang kemudian diangkat menjadi sultan bagi kerajaan baru di tengah hutan itu kemudian memberikan nama Pontianak pada daerah kekuasaannya untuk mengabadikan peristiwa gangguan sosok kuntilanak yang terjadi saat proses pembukaan hutan. Hal inilah yang menjadi asal usul nama kota
Pontianak yang bertahan hingga saat ini. Seiring waktu berjalan, kota Pontianak silih berganti mengalami perpindahan tampuk kekuasaan. Mulai dari kepemimpinan kesultanan Pontianak, pendudukan pemerintah kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga masa kemerdekaan saat ini. Seiring zaman, asal usul kota Pontianak juga berubah dengan sangat pesat. Hutan belantara yang berada di delta sungai itu kini tumbuh dengan sangat pesat. Berbagai gedung dibangun dan roda ekonomi yang terus berputar cepat di kota ini membuat banyak orang datang dan menetap di sana. Adapun secara umum, berdasarkan suku bangsanya kini pontianak telah dihuni oleh beberapa etnis seperti etnis Tionghoa (31,2%), ras Melayu (26,1%), suku Bugis (13,1%), suku Jawa (11,7%), suku Madura (6,4%), dan suku Dayak.
0 Comments
Post a Comment