Sejarah Pacitan berawal dari kedatangan Ki Bonokeling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke XII M. Keturunan Ki Bonokeling menjadi penguasa hingga empat generasi. Ketika Islam mulai masuk, Ki Bonokeling ke-IV yang menjadi penguasa daerah itu keberatan ketika Kyai Ageng Petung, salah satu penyebar Islam di tanah Jawa, menyebarkan agamanya ke Pacitan. Keduanya bersitegang dan beperang.
Konon, Ki Bonokeling ke-IV memiliki kesaktian yang membuatnya tidak bisa dibunuh. Dalam perang itu, Kyai Ageng Petung berhasil membunuhnya dengan memenggal tubuh Ki Bonokeling menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian tubuhnya dimakamkan di tiga tempat berbeda, yang dipisahkan dengan aliran sungai. Islam pun mulai tumbuh di Pacitan. Nama Pacitan berasal dari kata Pace (buah Pace). Nama itu pertama kali disebutkan oleh Raja Mangkubumi yang berhasil disembuhkan oleh air buah pace saat lumpuh. Setroketipo, salah satu keturunan Bonokeling ke-V yang beragama Islam, adalah orang yang memberikan air itu kepada Mangkubumi. “Sejarah berlanjut, hingga akhirnya Pacitan dipegang oleh Joyoniman atau Kanjeng Jimat, keturunan ke-XII Bonokeling yang berkuasa sejak 1840,” ungkap Koesno mengutip kitab Babad Pacitan. Kata jimat atau kabarang keramat yang diberikan kepada Joyoniman berawal dari tugas yang diberikan Pangeran Diponegoro kepada Joyoniman untuk bisa menjaga gedung yang berisi barang keramat.
Kanjeng Jimat adalah sosok yang sederhana dan penganut Islam yang taat. Pembangunan Pacitan beraroma keislaman adalah salah satu cita-citanya. Karena itu pun ketika Kanjeng Jimat meninggal dunia, dia mewasiatkan untuk dikubur di atas bukit yang berhadapan dengan kota Pacitan. Seperti di Giri Sampoerna sekarang. Dari lokasi makam Kanjeng Jimat, kota Pacitan, berikut hamparan Pantai laut Selatan Teleng Ria terlihat jelas. Meski di sana bersemayam tokoh besar Pacitan, namun makam seluas 8x10 meter itu tergolong sederhana. Tidak ada ornamen khas Pacitan yang terukir di sana. Hanya bangunan rumah yang berdampingan dengan mushola Kanjeng Jimat.
Meski demikian, makam Kanjeng Jimat menjadi magnet bagi warga Pacitan yang masih bercaya pada kekeramatan sebuah makam. “Ada tiga makam di Pacitan yang sering dikunjungi untuk didoakan, Makam Kanjeng Jimat, Makam Setroketipo dan makam Buonokeling,” kata Koesno. Kesederhanaan dan kekeramatan ala Kanjeng Jimat itulah yang menjadi salah satu ispirasi perayaan HUT Pacitan tahun 2008 ini. “Folosofinya adalah, menjadikan momentum ulang tahun Pacitan menjadi awal dari perubahan menjadi yang lebih baik dan religius,” kata Fathoni, Kepala Dinas Pariwisata Pacitan pada The Jakarta Post. Tanpa pagelaran hiburan rakyat dari 12 Kecamatan, Kirab Pusaka atau Pagelaran Wayang semalam suntuk. Puncak peringatan berupa dzikir akbar. "Ini adalah refleksi dari banyaknya problem yang dihadapi bangsa ini belakangan," kata Fathoni.
Pacitan memang memiliki sejarah yang jauh dari kegegapgempitaan. Daerah ini adalah daerah tunjuan raja-raja Jawa bila ingin melakukan tapa nyepi. Ketika Jendral Sudirman dikejar-kejar Belanda, Jendral Besar itu memilih bersembunyi di Pacitan dan memimpin strategi penyerangan di salah satu bukit di Pacitan. “Saya dengar, ada salah satu gua yang biasa dijadikan tempat bertapa raja raja, juga digunakan oleh Almarhum mantan Soeharto,” kata Fathoni. Sejak terbunuhnya Ki Ageng Buwono Keling itulah maka daerah Wengker Kidul dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada rakyat sampai dengan wafatnya, dan kemudian dimakamkan di daerah Pacitan.
Selanjutnya dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama Islam di Pacitan semakin maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso (kelak berganti nama menjadi KH. Abdul Manan) kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari.
Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ). Setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas, Arjosari yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Tremas sekarang ini.
Asal Mula Nama Pacitan
Terdapat minimal dua versi mengenai asal usul nama Pacitan. Versi pertama, Pacitan berasal dari kata “Pace Sak Pengetan” yang diberikan oleh Pangeran Mangkubumi saat menyingkir ke daerah Wengker Kidul karena terdesak musuh. Saat itu sedang terjadi perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya mundur keselatan sambil mencari dukungan untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan (Drs. Ronggosaputro;1980)
Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.
Versi yang lain mengatakan bahwa Pacitan berasal dari kata pacitan yg berarti makanan kecil, camilan, snack yang tidak mengenyangkan. Ada yang mengkaitkan ini dengan kondisi Pacitan saat itu sebagai daerah minus sehingga sumber daya alam yang ada tidak mencukupi atau tidak mengenyangkan warga yang tinggal di tempat tersebut.Ada fakta yang lebih menarik, nama Pacitan ternyata telah muncul jauh sebelum terjadi perang gerilya Pangeran Mangkubumi. Nama Pacitan telah disebut-sebut dalam Babad Momana yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 1645).
Referensi
sclm17 .blogspot. com
0 Comments
Post a Comment