Ibukota Provinsi Jawa Barat berada di Kota Bandung. Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dipisahkan. Ibukota Kabupaten Bandung kini berada di Soreang. Kota Bandung pada masa ini sudah sangat luas jika dibandingkan luas Gemeente (kota) Bandoeng. Gemeente Bandoeng dibentuk pada tanggal 1 April 1906.
Kota (gemeente) Bandoeng, 1920
Ketika Gemeente Bandoeng dibentuk, maka sebagian wilayah Regentschap (kabupaten) Bandoeng dipisahkan menjadi wilayah Gemeente Bandoeng. Meski demikian, ibukota Regenschap Bandoeng tetap berada di Gemeente Bandoeng. Dalam pengertian territorial urban, pemerintah Gemeente Bandoeng dan Regentschap Bandoeng berada di dalam kota (town) yang sama.
Jika ibukota Kabupaten Bandung telah pindah ke Soreang, lantas kapan kota Bandoeng ada? Kota bandoeng yang menjadi pusat Gemeente Bandoeng, dan kota yang pernah menjadi ibukota Kabupaten Bandung. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, akan tetapi jawaban itu sangat diperlukan mengingat hari kelahiran Kota Bandung dengan sendirinya menjadi dasar menentukan hari ulang tahun Kota Bandung.
Kota Bandung dan Kabupaten Bandung memiliki ‘hari jadi’ atau ‘hari ultah’ yang berbeda. Kota Bandung menetapkan hari jadi pada tangga 25 September 1810 (era Pemerintah Hindia Belanda). Kabupaten Bandung, lebih tua lagi yakni 20 April 1641 (era Mataram/VOC).
Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah VOC dibubarkan 1899 (berdiri tahun 1619 di Batavia), lalu kemudian dibentuk Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda ini di awal belum efektif, karena situasi dan kondisi di Batavia yang terus ‘menghangat’ karena eskalasai politik yang juga terus ‘memanas’ di Eropa terutama antara Belanda, Perancis dan Inggris. Pemerintahan Hindia Belanda mulai efektif ketika Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal tahun 1808. Daendels memerintah dengan cara ‘tangan besi’.
Pada era VOC, Gubernur Jenderal tidak membentuk pemerintahan melainkan penguasaan tempat-tempat strategis saja (seperti Batavia) dan melakukan hubungan ‘diplomatic’ dengan pemerintah local (tradisional) untuk melakukan kerjasama perdagangan (timbal-balik). Hubungan diplomatic itu termasuk dengan radja-radja Mataram.
Satu hal yang terpenting, Daendels memulai program pembangunan jalan pos trans Jawa. Keputusan ini dimulai dengan terbitnya keputusan tentang Aturan Umum tanggal 1 Januari 1810 tentang nama-nama tempat utama (hoofdplaats) sebagai pos-pos utama, seperti Bantam, Batavia, Buitenzorg, Tjisaroa, Tjiandjoer, Baybang (Radjamandala), Sumadang, Tjirebon dan seterusnya ke Surabaija. Keputusan ini dimuat di dalam surat kabar Bataviasche koloniale courant, edisi pertama tanggal 05-01-1810. Hal lain yang juga penting, Daendels mengusir Sultan (di Mataram).
Sebelumnya Herman Willem Daendels juga telah mengeluarkan surat keputusan (instruksi) tanggal 8 Agustus 1808 tentang penataan pemerintahan di Batavia. Surat keputusan ini dalam perkembangannya ditambahkan pada tanggal 2 bulan Lemtemaand tahun 1811 tentang wilayah-wilayah Preanger yang masuk Prefect (provinsi) Jacatrasche en Preanger Bovenlanden dan Chirebon en Preanger Bovenlanden. Regentschp (kabupaten) Tjianjoer, Bandong, Sumadang en Prakamontjang masuk Provinsi Jacatrasche en Preanger Bovenlanden. Sedangkan Limbangan dan Soekapoera masuk Province Chirebon en Preanger Bovenlanden. Kabupaten-kabupaten ini menjadi dasar penetapan rute jalan pos trans-Java.
Pembuatan jalan pos trans-Java ini tidak hanya untuk jalan untuk mengantarkan pos, tetapi yang lebih penting untuk membuka akses agar produksi kopi di Preanger dapat mengalir ke pelabuhan (Batavia dan Chirebon). Intinya, aliran kopi lebih penting daripada aliran surat-surat pos. Kopi-kopi di Preanger ini tentu saja produksinya telah berlimpah yang merupakan kontrak-kontrak para bupati di Preanger di era VOC.
Batas Regentschap (kabupaten) Bandoeng, 1811
Berdasarkan surat keputusan tanggal 2 bulan Lentemaand tahun 1811 tentang wilayah-wilayah Preanger, kabupaten Bandoeng memiliki batas-batas, sebelah utara sungai Tjitaroem dan seterusnya, sebelah timur gunung Boekit Toenggal, Tjileunji dan seterusnya, sebelah selatan adalah laut dan sebelah barat adalah Tjiandjoer. Dalam keputusan ini disebutkan gaji Bupati Bandoeng sebesar 250 per tahun, sedangkan bupati Sumedang, Prakkamontjang dan Tjiandjoer masing-masing 330, 180 dan 40. Para bupati inilah yang diduga mengerahkan penduduk untuk pembangunan ruas jalan pos trans-Java. Bagi pemerintah Daendels, berlaku bahasa ekonomi colonial ‘tidak ada makan siang gratis’. Daendels hanya mengorbankan 800 Gulden per tahun tetapi sebaliknya mendapat pembuatan jalan gratis dan harga pembelian kopi Preanger yang murah. Herman Willem Daendels belum sempat menikmati hasil jerih payahnya sudah muncul pendudukan Inggris yang merapat di pantai Tjilintjing (kelak menjadi Tandjong Priok) dimulai pada tanggal 4 Agustus 1811. Meski demikian, Daendles masih sempat menikmati ketika pemerintah Hindia Belanda mendirikan pemerintah di Buitenzorg menjual sepersepuluh lahan pemerintah di Buitenzorg ke swasta (pribadi). Pendudukan Inggris berlangsung hingga 1816 dibawah pimpinan Litenant Gubernur Raffles.
Program utama Raffles yang terkenal adalah pajak tanah (landrein). Hal yang juga penting, Raffles memberi tahta kembali kepada Sultan (Radja Mataram). Pemerintahan Raffles melakukan pendekatan yang lebih sejuk dengan para pemimpin local (bupati). Jawa dan Mudura dibagi ke dalam 16 residentie termasuk Residentie Buitenzorg dan Residentie Preanger. Ini berarti Preanger menjadi satu wilayah administrative sendiri. Di era Inggris, di Bandong ditempatkan dua orang pengawas kopi, Overseer of the Coffee Culture of the 1st class bernama A. de Wilde dan 2de class bernama Brandenburg (Java government gazette, 11-04-1812). Dalam penempatan pengawas kelas 1 di Bandoeng ini, juga bersamaan pengawas ditempatkan di Tjiandjoer, Sumadang dan Parakanmontjang, Limbangan dan Chirebon. Pengawas kelas 2, juga ditempatkan di Bandung, di Tjiandjoer, Galoeh dan Soekapoera. Ini suatu indikasi bahwa di era Inggris, Bandung sudah mulai dipentingkan, namun masih sebagai suatu tempat yang paling ujung dari jaringan perdagangan (pengumpulan) kopi di ‘West Java’ (Batavia en Preanger Bovenlanden dan Chirebon en Preanger Bovenlanden). Muara jaringan perdagangan kopi ini berada di pelabuhan Batavia dan Chirebon, dimana hubnya ditempatkan beberapa pejabat penjaga gudang kopi (pakhuis) di Buitenzorg, Chi Kauw, Carang Sambong dan Indramajoe. Pejabat-pejabat Inggris ini bukanlah pemimpin pemerintahan (seperti controleur yang menetap) melainkan petugas yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kantor pusat di pusat perdagangan utama (di Buitenzorg).
Setelah kembalinya Belanda pada tahun 1816 Pemerintahan Hindia Belanda mulai efektif berjalan. Pada saat permulaan pemerintahan Hindia Belanda ini (pasca pendudukan Inggris) terbit peta pertama tentang West Java. Di dalam peta yang bertahun 1818 ini, jalan pos tans-Java di Preanger ruas jalan antara Baybang dan Sumedang teridentifikasi nama-nama tempat, yakni: Tjitjendo, Tjipaganti dan Odjoeng Brong. Nama Bandoeng sendiri terpisah jauh di selatan di pertemuan sungai Tjitaroem dan sungai Tjikapoendoeng.
Tentang deskripsi Baybang dan Sumadang sendiri dapat dilihat dalam ‘Memoir of the Conquest of Java, with the Subsequent Operations of the Bristish Forces in The Oriental Archipelago by Major William Thorn, Late Deputy Quarter-Master-Gencral to the Forces serving in Java, 1815’. Di dalam memoir ini disebutkan, Tjiandjoer adalah suatu tempat pertama di dataran tinggi Preanger, Baybang adalah kampong besar setelah Tjiandjoer. Bandoeng (sendiri disebut) adalah suatu kampong yang sekitarnya banyak rawa-rawa, Sumedang adalah tempat yang banyak penduduk namun areanya bergunung dan tidak datar.
Dari deskripsi ini nama Bandoeng yang sudah muncul di era Daendels (sebelum pendudukan Inggris) semakin teridentifikasi dengan jelas. Bupati Bandoeng berada di kampong Bandoeng ibukota kabupaten Bandoeng.
Pada tahun 1818 gunung Guntur dilaporkan meletus. Gunung Guntur kembali meletus pada tahu 1825 yang mengakibatkan kerusakan berat.
Nieuws- en advertentie-blad voor de provincie Drenthe, 15-11-1825: ‘malam dari 4 Junij merupakan letusan gunung Goentoer, di distrik Bandong, Preanger Regcntschappen, letusan yang dahsyat. Lebih dari satu juta pohon kopi rusak ringan sebagian dan sebagian yang lain rusak berat; satu hal yang terakhir, bagaimanapun, berharap bahwa masih ada sekitar seratus ribu pohon yang akan tumbuh dengan baik. Pedagang kopi utama kehilangan yang ditaksir nilainya sebanyak 4.000 pikols. Untungnya, bencana ini tidak ada memakan orang atau ternak’.
Akibat bencana ini terjadi kegagalan panen. Pohon-pohon kopi banyak tertutup debu dan tanah. Di Priangan saja, terjadi pengurangan hasil kopi diperkirakan mencapai 30.000 pikul atau senilai f3.750.000 (Algemeen Handelsblad, 01-10-1828).
Javasche courant, 07-08-1828: ‘Bupati Sumadang, Pangeran Kesoemoe Adi Natta, meninggal 2 Juli lalu…Bupati memiliki empat anak. Bupati ini pada tahun 1791 berhasil mengatasi pemberontakan di Sumedang…Salah satu anaknya Sura Nagara adalah salah satu pedagang kopi utama di Buitenzorg… Sura Nagara akan dijadikan kandidat bupati…’.
Di Preanger tidak hanya persoalan kopi. Sebagaimana di Jawa, di Preanger juga tahun 1828 terjadi kelangkaan beras. Untuk mencegah meunculnya pemberontakan, pemerintah mendatangkan beras dari Bengal dan Siam (Javasche courant, 07-08-1828).
Untuk distribusinya di Preanger, dilakukan oleh Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjor dengan memasang iklan dan memberitahu terdapat empat gudang yang dapat diakses oleh penduduk Preanger yakni di gudang untuk Tjiheulang (Tjinadjoer), Tjimahie (Bandoeng) dan Gunung Para (Soekaboemi)' (Javasche courant, 21-10-1828).
Salah satu nama tempat utama yang kini disebut di Preanger adalah Tjimahie, sementara nama tempat yang pernah disebut sebelumnya (Baybang) telah menghilang dari laporan-laporan. Keutamaan Tjimahie (seebagaimana Tjiheelang dan Goenoeng Para) adalah karena di tiga tempat ini terdapat tangsi (garnizoen) militer dan beberapa plantation (perkebunan) yang baru.
Pembentukan Pemerintahan di Preanger dan Koffijstelsel
Dampak dari ledakan Gunung Guntur di Preanger menyebabkan volume kopi ekspor jauh menurun dan harga kopi di pasar ekspor meningkat pesat. Sisi lain dari persoalan ini, pemerintah melihat lahan-lahan di Preanger mungkin menjadi subur dengan meningkatnya tinggi humus. Lalu kemudian muncul program koffij kultuur di Preanger.
Untuk mendukung program koffijkultuur ini pemerintah mengangkat seorang asisten residen yang khusus untuk menangani koffikulture pada tahun 1829. Nama asisten residen yang ditunjuk adalah Fischer (lihat Javasche courant, 27-01-1829).
Asisten residen ini menjadi semacam wakil Residen Preanger di Tjiandjoer. Residen Preanger yang berkedudukan di Tjiandjoer bernama PWL van Motman (1816-1819). Pertimbangan dipilihnya residen berkedudukan di Tjiandjoer karena lokasinya lebih sehat dan lebih dekat dengan pusat (Buitenzorg dan Batavia). Sebaliknya, Bandoeng, meski lanskapnya sangat bagus tetapi tidak dipilih sebagai ibukota karena lingkungannnya dianggap tidak sehat, banyak rawa-rawa dan kerap banjir (lihat Major William Thorn, 1815).
Untuk mempercepat keberhasilan program kopi di Preanger diangkat controleur di Sumadang (1ste-klass) di Bandong (2de-klass) di Tjiandjoer (2de-klass) dan Limbangan (Javasche courant, 06-08-1829). Terlihat bahwa penempatan controleur klass-1ste di Sumadang menunjukkan bahwa Sumadang lebih penting (utama) jika dibandingkan dengan Bandong (controleur klas-2).
Pada tahun 1829 Bandong sudah disebut bagian dari jalan pos trans-Jawa. Padahal pada tahun 1810 jalan pos hanya menyebut dua nama tempat utama yakni Baybang dan Sumedang. Ini dengan sendirinya, jalan pos yang dari Padalarang bergeser ke Tjimahi lalu ke Bandoeng terus ke Sumedang. Hal ini diduga ada kaitannya dengan garnisun militer yang ditempatkan di Tjimahi dan pengembangan budidaya kopi ke arah selatan, seperti Pangalengan. Baybang sendiri adalah kampong besar (lihat Major William Thorn, 1815).
Pembentukan pemerintahan di Bandoeng dimulai tahun 1829 yang merupakan implikasi proses mempercepat keberhasilan program kopi di Preanger. Pembentukan pemerintahan ini dimulai dengan penempatan seorang controleur di Bandong (Javasche courant, 06-08-1829). Controleur adalah pejabat pemerintah paling rendah yang memiliki wilayah kerja yang relatif kecil (setingkat kecamatan pada masa ini).
Seperti biasanya, dimana pejabat pemerintah berkedudukan maka tempat itu dengan sendirinya menjadi ibukota. Letak ibukota atau kota baru Bandung ini dipilih di satu tempat yang lokasinya berada di dekat Odjoeng Brung (lihat…). Dalam hal ini Oedjong Brung adalah patokan dalam pemilihan ibukota karena baru di Odjong Brong terdapat keberadaan orang Belanda (perkebunan teh) di Preanger. Area Odjoeng Brong ini diduga awalnya diakses dari sisi timur (Sumadang/Chirebon).
Odjoeng Brung adalah nama tempat yang lebih awal dikenal karena sudah dijadikan perkebunan. Lahan perkebunan Odjoeng Brung ini diakses dari timur di jalan pos trans-Java (Daendles). Sebagaimana diketahui jalan pos ini dari Tjiandjor melalui Baybang (kini Radjamandala), lalu ke arah utara dan melalui Odjoeng Brong terus ke Sumedang. Jalan pos antara Odjoeng Brong dan Sumedang inilah pangkal jalan menuju Odjoeng Brung. Kawasan Bandong sendiri (pusat kota Bandoung yang sekarang) terbilang masih sepi dan tidak pernah terlaporkan adanya kampong yang dihuni oleh beberapa keluarga.
Lokasi ibukota (pusat Kota Bandung sekarang) berada di suatu area yang relatif kosong di kawasan Bandong di wilayah Preanger. Pada peta 1818 di area ini ada satu kampong yang dikenal sebagai kampong Bandong (kelak lebih dikenal sebagai Dajeh Kolot).
Ketika ibukota Residen Preanger dipilih di Tjiandjoer (cf. Thorn, 1815) atas pertimbangan karena lokasi Tjiandoer lebih sehat dan lebih dekat dengan pusat (Buitenzorg dan Batavia). Sebaliknya, Bandoeng, meski lanskapnya sangat bagus tetapi tidak dipilih sebagai ibukota karena lingkungannnya dianggap tidak sehat, banyak rawa-rawa dan kerap banjir (lihat Major William Thorn, 1815). Catatan: Major William Thorn adalah pejabat Inggris semasa pendudukan Inggris. Di era pendudukan Inggris, pembentukan pemerintahan sudah sampai ke Preanger di Tjoandjoer, sementara di era Belanda (Daendels) baru sampai Buitenzorg.
Daerah sekitar Bandong ini antar kampong masih sangat berjauhan, Area Bandong ini tampaknya banyak ditumbuhi oleh alang-alang dimana banyak ditemukan rusa.
Dengan demikian asal mula kota Bandung (baru) bukan kampong Bandoeng (lama). Sesuai dengan berita di surat kabar (183?), Bandoeng (baru) dipilih berada tidak jauh dari Odjoeng Brong tetapi cukup dekat dengan kampong Bandoeng (lama). Jarak antara Bandoeng (baru) dengan Bandoeng (lama) disebutkan sekitar 3 paal. Kampong-kampong terdekat dengan Bandong (baru) ini adalah kampong Bodjo Negara, kampong Tjioemboeloeit dan kampong Tjoroek yang jarak masing-masing tiga pal (lihat …). Kota Bandoeng (baru) adalah aloen-aloen yang sekarang. Sementara kampong Bandoeng (lama) kelak dikenal Dajeh Kolot.
Relokasi Ibukota Bandoeng, Nama Dajeh Kolot Muncul
Pada tahun 1846 secara resmi di Bandong diangkat bupati. Jabatan bupati yang ditunjuk adalah Raden Adipati Wira Nata Koesoema yang diangkat pada tanggal 27 Juli 1846 dan masih menjabat hingga tahun 1871 (lihat Almanak 1871). Bupati Bandong ini masih berkedudukan di Bandoeng (lama), suatu kampong yang berada di pinggir sungai Citarum jika dilihat dari utara menghadap ke selatan tampak Gunung Malabar (lihat lukisan Groenemon, 1860).
Di Limbangan bupati sudah diangkat tahun 1833, di Sumedang bupati diangkat sejak 1834, di Soekapora 1855, di Tjiandjoer 1864. Selain bupati dan bawahannya, pejabat penting yang ditunjuk adalah Hoofdpangoeloe. Hoofdpangoeloe di Sumedang Raden Moehammad Tajib, 20 junij 1852, di Bandong Radèn Hadji Moehammad АЦП, 26 mei 1856. Disamping itu juga diangkat jaksa: di Bandung 1852, di Lambangan 1856, di Sukapura 1870, di Sumedang 1868, Tjiandjoer 1868.
Sejak pengangkatan Bupati ini (1846), Bupati Bandoeng yang awalnya berada di Bandoeng (lama) atau Dajeh Kolot pindah ke ibukota Bandong (baru) dan istananya dibangun tidak jauh dari kantor Controleur Bandoeng (di daerah kampong Kaoem yang sekarang). Kampong Kaoem ini merupakan lokasi pengganti lokasi Bupati yang dulunya berada di kampong Bandoeng (lama) saat ibukota Bandung mulai dibangun dimana controleur berkedudukan (1829).
Oleh karena itu menjadi mudah dimengerti ketika pada tahun 1860, I. Groeneman, menyebut salah satu lukisannya dengan memberi judul ‘Goenong Malabar bij Bandoeng Toewa: gezien van Dajeh Kolot aan den noordelijken oever van den Tjitaroem;. Judul ini dapat diartikan secara harfiah sebagai; ‘Goenoeng Malabar di Bandung Tuwa: Dajeh Kolot dilihat dari utara di tepi sungai Tjitaroem.
Dengan demikian origin kota Bandung yang terus eksis hingga sekarang pada dasarnya bermula di suatu area yang kosong, yang mana kantor Controleur Bandoeng dibangun (Bandoeng baru). Ketika Bupati Bandoeng pindah dari kampong Bandoeng (lama), ke Kota Bandoeng (baru) lokasi tempat tempat Bupati adalah kampong Kaoem yang sekarang. Ruang terbuka antara kantor/rumah Controleur dan rumah/kantor Bupati ini menjadi aloen-aloen kota. Pada sisi yang lain dari aloen-aloen ini didirikan masjid (yang kini dikenal sebagai masjid agoeng). Lalu dalam perkembangannya, area tempat tinggal Bupati dan masjid tersebut lebih dikenal sebagai kampong kaoem (kaoeman), sementara kampong Bandong (lama) berubah nama menjadi kampong Dajeh Kolot.
Kisah tempat tinggal Bupati Bandoeng ini mirip dengan kisah Sultan Deli pada fase berikutnya. Pada tahun 1875 controleur ditempatkan di Medan. Sejak kota Medan ditingkatkan menjadi ibukota residentie Sumatra’s Oostkust, Sultan Deli dipindahkan dari Laboehan ke Medan. Sultan Deli dibangun istana yang mewah (oleh perhimpunan perusahaan perkebunan). Residen Sumatra’s Oostkust dengan Sultan Deli adalah dua pemimpin dalam masa kolonial, sebagaimana Residen Preanger dengan Bupati Bandoeng. Menempatkan kedua belah pihak di dalam satu tempat dimaksudkan untuk memudahkan interaksi sehubungan dengan meningkatnya intensitas kegiatan (seiring dengan perkembangan perusahaan-perusahaan perkebunan).
Penataan Pemerintahan, Ibukota Preanger Dipindahkan dari Tjiandoer ke Bandoeng
Pada awalnya wilayah Preanger terbagi dua: wilayah barat masuk Batavian en Preanger Bovenlanden dan wilayah timur adalah Chirebon en Preanger Bovenlanden. Saat itu, asisten residen berkedudukan di Buitenzorg termasuk Preanger Bovenlanden (Tjiandjoer en Soekaboemi). Kemudian dua wilayah Preanger disatukan dengan membentuk Residentie Preanger dimana residen berkedudukan di Tjianjoer. Resident pertama Preanger adalah PWL van Motman (1816-1819), sedangkan Resident terakhir adalah C van der Moore (1858-1874).
Penataan ini diduga terkait dengan rencana perluasan jaringan rel kereta api trans-Java. Pada tahun 1867 konsesi jalan pembangunan kereta api Batavia-Buitenzorg telah disetujui oleh Radja di Belanda. Pembangunannya dimulai tahun 1871 dan selesai pada tahun 1873. Sebagaimana diketahui nantinya, jaringan kereta api Batavia-Buitenzorg telah diperluas hingga ke Soekaboemi, lalu ke Tjinadjoer dan terus ke Bandoeng. Jika jalan pos trans-Java (era Daendels) dianggap sebagai jalan lingkar luar pertama, maka rel kereta api trans-Java sebagai jalan lingkar kedua. Pada pembangunnan jalan pos lingkar luar menuju Sumedang dan Chirebon, sedangkan pada pembangunan jal rel kereta api lingkar luar menuju Tjilatjap via Garoet dan terus ke Djokjakarta. Catatan: pembangunan rel kereta api sisi selatan Jawa lebih dahulu dibangun daripada sisi utara (pantura). Baru kelak menyusul jalan rel penghubung via Poerwakarta yang menyebabkan transportasi Batavia-Bandoeng ditempuh lebih singkat yang implikasinya Kota Bandoeng berkembang lebih pesat lagi.
Penataan pemerintah di Residentie Preanger dilakukan tahun 1871. Residen Preanger dipindahkan dari Tjiandjoer ke Bandong. Dalam fase perpindahan ini resident tetap C van der Moore. Bupati Bandoeng juga dipindahkan dari Dajeh Kolot ke Bandoeng. Setelah reorganisasi Residentie Preanger lengkapnya terdiri dari Bandoeng, Tjiandjoer, Sumedang, Limbangan dan Soekapora.
Berdasarkan peta 1884 diketahui pemerintahan di Residentie Preanger terdiri dari (sesuai umur): Regent schappen (kabupaten) Tjiandjoer berkedudukan di Tjiandjoer, Bandong di Bandong, Limbangan di Garoet, Sumedang di Sumedang dan Soekapoera di Manondjaja. Kabupaten Tjiandjoer terdiri dari dua afdeeling, yakni: Tjiandjoer (9 distrik), asisten residen di Djiandjor; Soekaboemi (7), asisten residen di Soekaboemi. Kabupaten Bandoeng, dua afdeeling, yakni: Bandoeng (9) dimana asisten residen berkedudukan di Bandong dan Tjitjalengka (6) asisten residen di Tjitjalengka. Kabupaten Limbangan hanya satu afdeeling Limbangan (4) asisten residen di Garoet; Kabupaten Sumedang terdiri dari dua afdeeling yakni Sumedang dan Tasikmalaya. Afdeeling Sumedang (6) asisten residen di Sumedang dan Tasikmalaya (5) asisten residen di Tasikmalaya. Kabupaten Soekapura dua afdeeling, yakni Soekapora (8) asisten residen di Manondjaja dan Soekapora Kolot (8) asisten residen di Mangoenredja. Total terdapat 62 distrik dari 9 afdeeling.
Pada tahun 1871 kota Bandung telah berkembang pesat sebagai kota besar. Kota Bandoeng (ibukota Preanger yang baru) lambat laun bahkan telah melampui luas kota Tjiandjoer (ibukota Preanger yang lama). Dalam perkembangan lebih lanjut, kota Bandoeng dibentuk Gemeente Bandoeng. Ini dengan sendirinya telah memisahkan kabupaten (regentschap) Bandoeng dengan kota (gemeete) Bandoeng. Dan kini kedua pemerintahan itu benar-benar sudah terpisah, dimana ibukota kabupaten Bandoeng sudah pindah ke Soreang.
Penutup
Di dalam berbagai sumber ditemukan bahwa asal mula Kota Bandoeng merujuk pada Herman Willem Daendels (surat keputusan tanggal 25 September 1810). Namun fakta yang mendukung ini tidak ditemukan. Memang Daendels yang membuka isolasi daerah Preanger dengan pembangunan jalan pos trans-Java. Kota Bandoeng (baru) muncul kemudian di era Gubernur Jenderal Graaf Johannes van den Bosch (koffiestelsel) sejak tahun 1829 sejak pertama kali pemerintahan dibentuk di regentschap (kabupaten) Bandoeng.
Johannes van den Bosch sebelum menjadi Gubernur Jenderal (1830-1833) sudah tidak asing dengan wilayah Preanger utamanya di Regenschap Bandoeng. Johannes van den Bosch adalah pejabat pemerintah tertinggi yang pertama yang melakukan ekspedisi ke Preanger. Hasil ekspedisinya ini (jauh sebelum menjadi Gubernur Jenderal) adalah peta West Java yang diterbitkan pada tahun 1818. Hal yang mirip dengan ini adalah Abraham ban Riebeek yang melakukan ekspedisi ke Buitenzorg pada tahun 1703 (yang lima tahun berikutnya menjadi Gubernur Jenderal VOC).
Soal pemindahan ibukota bupati Bandoeng dari Bandoeng (lama) ke Bandoeng (baru) diduga baru terjadi pada tahun 1846 ketika bupati Raden Adipati Wira Nata Koesoema diangkat secara resmi bagian dari pemerintahan colonial. Saat itu, perkebunan-perkebunan sudah sejak lama meluas di Preanger. Dalam pemindahan ibukota ini, kantor bupati dibangun di sisi selatan dari aloen-aloen kota Bandoeng (baroe). Aloen-aloen kota ini sudah dimulai ketika controleur Bandoeng berkedudukan di Bandoeng (baroe) tahun 1829. Setelah ibukota bupati pindah yang letaknya di kampong Kaoem yang sekarang, nama kampong Bandoeng di pertemuan sungai Tjiataroem dan sungai Tjikapoendoeng lambat laun disebut sebagai kampong Dajeh Kolot (kampong lama).
Last but not least. Kapan hari jadi kota Bandoeng? Ini jelas tidak mudah menjawabnya. Hal ini karena setiap kota memiliki cara yang berbeda-beda pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hari jadi. Kabupaten Bandoeng merujuk pada era Mataram sedangkan Kota Bandoeng merujuk pada era pemerintahan Hindia Belanda. Demikian juga kota Bogor (Buitenzorg) merujuk pada era Pakuan Pajajaran. Hal yang sama juga ditemukan pada Jakarta (Batavia) yang hanya merujuk pada era Fatahillah. Bahkan kota Medan merujuk pada era Goeroe Patimpoes (sebelum VOC muncul). Namun diantara kota-kota besar tersebut, penetapan hari jadi kota Bandoeng lebih masuk akal, tetapi masih ditemukan kesalahan kecil soal penetapan tahun.
0 Comments
Post a Comment