Asal-usul etnis Myanmar modern ( dikenal secara historis sebagai Burma ) adalah campuran Indo Arya, yang mulai mendorong ke daerah sekitar 700 SM, dan Mongolia penjajah di bawah Kubilai Khan yang merambah wilayah di abad ke-13. Anawrahta (1044-1077) adalah pemersatu besar pertama dari Myanmar. Pada 1612, British East India Company mengirim agen ke Burma, tetapi Burma tabah menolak upaya Inggris, Belanda, dan pedagang Portugis untuk mendirikan pos di sepanjang Teluk Benggala. Melalui Perang Anglo – Burma pada 1824-1826 dan dua perang berikutnya, British East India Company diperluas ke seluruh Burma. Pada tahun 1886, Burma dianeksasi ke India, kemudian menjadi koloni terpisah pada tahun 1937.
Republik Persatuan Myanmar adalah Negara seluas 680 ribu km² ini telah diperintah oleh pemerintahan militer sejak kudeta tahun 1988. Negara ini adalah negara berkembang dan memiliki populasi lebih dari 50 juta jiwa. Ibu kota negara ini sebelumnya terletak di Yangon sebelum dipindahkan oleh pemerintahan junta militer ke Naypyidaw pada tanggal 7 November 2005. Pada 1988, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang pemerintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3000 orang terbunuh. Pada pemilu 1990 partai pro-demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyimemenangi 82 persen suara namun hasil pemilu ini tidak diakui rezim militer yang berkuasa.
Perubahan nama dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh pemerintahan junta militer pada tanggal 18 Juni 1989. Junta militer mengubah nama Burma menjadi Myanmar agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari negara. Walaupun begitu, perubahan nama ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh dunia internasional, terutama di negara-negara persemakmuran Inggris. Beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Irlandia yang tidak mengakui legitimasi kekuasaan junta militer tetap menggunakan "Burma" untuk merujuk kepada negara tersebut. PBB, yang mengakui hak negara untuk menentukan nama negaranya, menggunakan Myanmar, begitu pula dengan Perancis dan Jerman. Di Jerman, kementerian luar negeri menggunakan Myanmar, tetapi hampir seluruh media Jerman menggunakan "Burma".
Pemerintah AS, yang tidak mengakui legitimasi kekuasaan junta militer tetap menggunakan "Burma" tetapi mayoritas media besar seperti The New York Times, CNN dan Associated Press menggunakan Myanmar. Pemerintah junta juga mengubah nama Rangoon menjadi Yangon. Pada tanggal 7 November 2005, pemerintah membangun ibu kota baru, bernama Naypyidaw. Etnis Birma, berasal dari Tibet, merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Namun, etnis Birma adalah kelompok yang datang belakangan di Myanmar, yang sudah lebih dahulu didiami etnis Shan (Siam dalam bahasa Thai). Etnis Shan pada umumnya menghuni wilayah di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Sebelum etnis Birma datang, selain etnis Shan, sudah ada etnis Mon, yang menghuni wilayah selatan, juga dekat perbatasan dengan Thailand.
Sebagaimana terjadi di banyak negara, di antara tiga etnis utama di Myanmar ini terjadi perang. Satu sama lain silih berganti menjadi penguasa di daerah yang dinamakan Birma, kini Myanmar. Inilah yang terjadi, perebutan kekuasaan, sebelum kedatangan Inggris pada tahun 1885. Ada juga etnis lain di Myanmar, yang kemudian turut meramaikan ketegangan politik sebelum penjajahan dan pasca penjajahan Inggris. Misalnya, ada etnis Rakhine, lebih dekat ke Bangladesh. Saat penjajahan, berbagai kelompok etnis ini berjuang untuk mengakhiri penjajahan. Setelah penjajahan berakhir dan merdeka pada tanggal 4 Januari 1948, makin terjadi kontak lebih ramah antara etnis Birma dan semua etnis non-Birma.
Permasalahan Imigrasi
Pada tahun 1939 konflik di Arakan memuncak sehingga pemerintah Inggris membentuk komisi khusus yang menyelidiki masalah imigrasi di Arakan, namun sebelum komisi tersebut dapat merealisasikan hasil kerjanya, Inggris harus angkat kaki dari Arakan pada akhir Perang Dunia II. Pada masa Perang Dunia II Jepang menyerang Burma dan mengusir Inggris dari Arakan yang kemudian dikenal sebagai Rakhine. Pada masa kekosongan kekuasaan saat itu, kekerasan antara kedua kelompok suku Rakhine yang beragama Buddha dan suku Rohingya yang beragama Muslim semakin meningkat. Ditambah lagi, orang-orang Rohingya dipersenjatai oleh Inggris guna membantu Sekutu untuk mempertahankan wilayah Arakan dari pendudukan Jepang. Hal ini akhirnya diketahui oleh pemerintah Jepang yang kemudian melakukan penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap orang-orang Rohingya. Selama masa ini, puluhan ribu orang Rohingya mengungsi keluar dari Arakan menuju Bengal. Kekerasan yang berlarut-larut juga memaksa ribuan orang Burma, India dan Inggris yang berada di Arakan mengungsi selama periode ini.
Pada tahun 1940-an orang-orang Rohingya berusaha menjalin kerjasama dengan Pakistan di bawah Mohammad Ali Jinnah untuk membebaskan wilayahnya dari Burma, tetapi ditolak oleh pemimpin Pakistan tersebut karena tidak mau mencampuri urusan internal negeri Burma. Pada tahun 1947 orang-orang Rohingya membentuk Partai Mujahid yang merupakan kelompok jihad untuk mendirikan negara Muslim yang merdeka di Arakan utara. Mereka menggunakan istilah Rohingya sebagai identitas politik mereka dan menyatakan diri sebagai penduduk asli Arakan. Kemudian Burma merdeka pada tahun 1948 dan orang-orang Rohingya semakin gencar melancarkan gerakan separatisnya. Pada tahun 1962 Jenderal Ne Win melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan Myanmar. Ia melakukan operasi militer untuk meredam aksi separatis Rohingya. Salah satu operasi militer yang dilancarkan pada tahun 1978 yang disebut "Operasi Raja Naga" menyebabkan lebih dari 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan besar-besaran. Pemerintah Bangladesh menyatakan protes atas masuknya gelombang pengungsi Rohingya ini. Pada bulan Juli 1978 setelah dimediasi oleh PBB, pemerintah Myanmar menyetujui untuk menerima para imigran Rohingya untuk kembali ke Rakhine.
Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya
Pada tahun 1982 pemerintah Bangladesh mengamademen undang-undang kewarganegaraannya dan menyatakan Rohingya bukan warga negara Bangladesh. Sejak tahun 1990 sampai saat ini, pemerintah junta militer Myanmar masih menerapkan politik diskriminasi terhadap suku-suku minoritas di Myanmar, termasuk Rohingya, Kokang dan Panthay. Para pengungsi Rohingya melaporkan mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh pemerintah seperti bekerja tanpa digaji dalam proyek proyek pemerintah dan pelanggaran HAM lainnya. Pada tahun 2012 kerusuhan rasial pecah antara suku Rakhine dan Rohingya yang dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis Rakhine oleh para pemuda Rohingya yang disusul pembunuhan sepuluh orang pemuda Muslim dalam sebuah bus oleh orang-orang Rakhine. Menurut pemerintah Myanmar, akibat kekerasan tersebut, 78 orang tewas, 87 orang luka-luka, dan lebih dari 140.000 orang terlantar dari kedua belah pihak baik suku Rakhine maupun Rohingya. Pemerintah menerapkan jam malam dan keadaan darurat yang memungkinkan pihak militer bertindak di Rakhine. Walaupun para aktivitis LSM Rohingya menuduh bahwa pihak kepolisian dan kekuatan militer turut berperan serta dalam kekerasan dan menangkap orang-orang Rohingya, tetapi penyelidikan oleh organisasi International Crisis Group melaporkan bahwa kedua belah pihak mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pihak militer. Pada tahun 2014 pemerintah Myanmar melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya sebagai orang Bengali dalam sensus penduduk saat itu. Pada bulan Maret 2015 yang lalu pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas penduduk bagi orang-orang Rohingya yang menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Ini menyebabkan orang-orang Rohingya mengungsi ke Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Bahasa
Rohingya (Ruáingga) adalah sebuah bahasa yang dituturkan etnis Rohingya di Arakan di Myanmar. Bahasa ini mirip dengan Bahasa Chittagonia yang digunakan di kawasan Chittagong di Bangladesh. Dalam sejarahnya, bahasa ini telah ditulis dalam berbagai jenis aksara, termasuk alfabet Arab, Urdu, aksara Hanifi, alfabet Myanmar, dan yang terbaru, Rohingyalish, yang dibentuk dari alfabet Romawi. Naskah berbahasa Rohingya tertua yang ditulis dengan alfabet Arab berasal dari lebih dari 300 tahun lalu. Saat Negara Bagian Rakhine (Arakan) masih di bawah pemerintahan Britania Raya (1826 1948), etnis Rohingya umumnya menggunakan bahasa Inggris dan Urdu untuk komunikasi tertulis. S jak Myanmar merdeka pada tahun 1948, segala bentuk komunikasi resmi menggunakan bahasa Myanmar.
Pada tahun 1975, sebuah jenis sistem tulis baru diciptakan menggunakan alfabet Arab; ada pula cendekiawan yang menggunakan alfabet Urdu untuk menutupi kekurangan alfabet Arab, namun keduanya tidak menghasilkan hasil yang memuaskan dan orang-orang Rohingya kesulitan membaca tulisan yang menggunakan alfabet Arab maupun Urdu.
Molana Hanif dan rekan-rekannya kemudian mengembangkan sekelompok baru huruf berorientasi kanan ke kiri yang berdasarkan alfabet Arab ditambah dengan beberapa pinjaman dari alfabet Romawi dan Myanmar, namun meskipun dianggap oleh para cendekiawan sebagai suatu perbaikan dibandingkan sistem tulis sebelumnya, tetap saja sistem baru ini dikritik karena banyak huruf yang terlalu mirip dengan huruf lainnya. Tak lama kemudian, E.M. Siddique memilih jalan baru dengan menggunakan huruf Latin untuk menulis Bahasa Rohingya. Hasilnya adalah sistem yang disebut Rohingyalish yang terdiri dari 26 huruf Romawi, lima huruf hidup beraksen, dan dua huruf Latin tambahan untuk bunyi retrofleks dan nasal.
Referensi
https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Rohingya
https://id.wikipedia.org/wiki/Rohingya
http://www.kompasiana.com/mr_ded/rohingya-sebuah-tinjauan-sejarah-atas-konflik-yang-berkepanjangan_55602aa699937379578b4581
RELATED POSTS :
0 Comments
Post a Comment